Sebelum jemariku rapuh tak mampu mengetik di atas
keyboard. Sebelum bibirku kelu tak mampu berucap. Sebelum raga ini menjadi
seonggok daging yang terbujur kaku. Inginku goreskan sebuah kejujuran hati dari
relung yang terdalam yang dimiliki jasad ini.
Mungkin judulnya terbilang aneh, namun inilah
faktanya. Realita yang aku alami dan aku jalani. Tidak lupa sebelum aku bercerita
panjang lebar, terima kasihku aku ucapkan juga kepada pendiri facebook, dan social
media lainnya yang telah menjadi perantara kisah cintaku dengan sagitarius
pilihanku. Dengan adanya media di zaman modern seperti ini, semakin mudah bagi
kita untuk meninggalkan sejarah bagi keturunan kita. Bagaimanapun keturunan
kita harus tau bahwa mereka punya nenek moyang. Mereka punya sejarah untuk
diambil pelajarannya.
Paling tidak, jika nanti kita hanya tinggal sebuah
nama di atas batu nisan, keturunan kita masih bisa bercengkrama dengan kita
lewat sebuah tulisan.
2012, tahun aku pertama kali aku bertemu dengannya di layar
pc, Cliquerz Verarrian. Awalnya sapaan salamku hanya dianggap angin lalu
olehnya. Bertahun-tahun aku mencoba menyapanya, namun tak jua ada sedikitpun
balasan darinya. Dimulai dari tahun 2012, 2013, 2014, semua respon yang kudapat
hanya dingin tak bertepi. Tak ada balasan salam atau bahkan emoticon senyum
yang aku dapat. Bahkan dibaca pun tidak olehnya.
Namun hal tersebut tak membuat hatiku pupus. Saat pertama
kali ku menyapanya di tahun 2012, aku sudah pernah berjanji dalam hati, bahwa
suatu saat nanti, aku akan membuatnya jatuh hati kepadaku, entah bagaimana dan
seperti apa caranya, jika berjodoh, Allah lah yang akan menentukan dan membuka
jalannya. Biar waktu dan takdir yang membuat semua indah pada waktunya.
Lama waktu berjalan, aku juga disibukkan dengan
kuliahku di Yaman, rasanya taka da waktu untuk memikirkan balasan pesanku di
facebook darinya. Hanya saja ibarat pepatah lama, pucuk di cinta ulam pun tiba.
Awal 2015 pesan inboxku dibaca dan dibalas olehnya, meski hanya sekedar balasan
ucapan salamku dari tahun 2012, “walaikumsalam”.
Melihat nama facebooknya muncul di layar handponeku
mengirim pesan, hatiku pun berbunga-bunga. Entah apa yang ada di fikiranku, aku
tak mampu berfikir untuk merangkai kata, hanya sebuah gerakan reflek jari yang aku
lakukan. Segera aku buka pesan itu lalu aku balas sekenanya, “apa kabar? Masih di
Brunei?”
Aku tahu ia sedang studi di Brunei melalui stalking
akun facebooknya. Ia seorang WNI yang sedang melanjutkan studinya di Brunei
Darussalam.
Akhirnya, setelah salam terakhirku dari sekian banyak salam
yang aku ucapkan, mulai dari sanalah, hubungan kami lebih sering dan lebih
intens lagi. Kami sering bertanya kabar, sharing pengalaman, dan banyak hal
yang kami bagi bersama melalui perantara layar handphone ataupun laptop.
Banyak orang bilang, kenalan di facebook atau social media
lainnya banyak hoaxnya, banyak orang menipu. Pada banyak kejadian memang
seperti itu. Karena diantara teman-temanku ada beberapa yang mengalami penipuan
dengan kenalan facebooknya. Di foto cantik, ketika bertemu, ternyata buruk rupa.
Membangun sebuah kepercayaan melalui social media
memang tidak mudah, harus benar-benar saling jujur apa adanya dengan keadaan
masing-masing. Yang membuat aku semakin serius yaitu ketika aku mulai dekat dan
sering mengobrol dengannya. Aku langsung dikenalkan ke Ibunya, karena ibunya
juga cukup protektif kepadanya agar tidak sembarangan berkenalan di social
media.
Dari pengalamanku, tidak ada yang negatif tentang
social media, semua tergantung bagaimana kita menggunakan dan berinteraksi
dengan orang-orang di dalamnya. Kita dapat bertemu banyak teman, namun kita
juga bisa berhadapan dengan banyak musuh di social media, semua tergantung
bagaimana kita menyikapi segala respon yang timbul akibat interaksi di social
media ataupun internet pada umumnya.
Ini baru penggalan awal dari kisah cintaku dengan
sagitariusku. Ikuti lanjutannya hanya di blog ini…





No comments:
Post a Comment