Udara
pagi benar-benar sejuk dengan tetesan embunnya. Jalan-jalan terlihat masih
sangat sepi, belum ada tanda-tanda aktifitas masyarakat akan dimulai pagi itu.
Mungkin orang-orang masih enggan keluar rumah atau sekedar mencari minuman
hangat dan sepotong roti untuk sarapan, sebab suasana kota yang beriklim dingin sedang hangat
menggentarkan karena suara-suara tembakan yang hampir terdengar setiap saat.
Land
Cruiser Prado dengan plat CD melesat dengan gagahnya menembus pos-pos penjagaan
tanpa hambatan, padahal ketika itu hampir semua jalan protokol di San’a - ibu
kota Yaman - ditutup karena situasi politik yang masih tidak stabil di Negara
tersebut. Setiap kali melewati pos, para tentara bersentaja laras panjang yang
berjaga hanya hormat, lalu mempersilahkan mobil untuk berjalan kembali.
Aku
yang
duduk di sebelah kanan supir begitu asik menikmati suasana indah pagi
hari
yang tersuguhkan dari kota tempat istana Ratu Balkis pernah berdiri
megah, sebelum akhirnya Nabi Sulaiman As memindahkannya ke Palestina.
Meskipun begitu, kesunyian malam masih terasa hingga sang mentari
muncul.
Pagi
itu tujuanku ke Bandara Internasional San’a. Aku diantar oleh salah seorang
staf KBRI yang kebetulan kerabat dekat sepupu iparku. Pak Huda namanya. Ia
duduk di kursi tengah tepat di belakang sopir. Sengaja ia mengantarku ke
bandara lantaran situasi keamanan kurang memungkinkan bagiku untuk pergi
sendiri. Karena pastinya akan banyak hal sulit yang aku hadapi di tengah
perjalanan, mengingat situasi kota dalam keadaan siaga I.
Sesampainya
di bandara, aku langsung diantar masuk oleh Pak Huda. Pagi ini ia berpenampilan
agak santai tidak seperti waktu aku
menemuinya di kantor. Dengan celana jeans biru langit, Polo T-shirt
berkerah, dan jas cokelat, serta id-card yang selalu terkalung di lehernya, ia terlihat
cukup berwibawa, dan dengan tanda pengenalnya tersebut ia bisa menemaniku hingga masuk
ke ruang tunggu yang biasanya hanya diperkenankan untuk penumpang.
Tak
lama setelah itu ia pamit, karena masih ada banyak pekerjaan yang harus di
selesaikan di kantor. Lalu akupun beranjak menghilangkan jengah dalam diriku
dengan melihat-lihat jajanan yang ada di ruang tunggu sambil membeli sedikit
tambahan souvenir untuk oleh-oleh keluargaku di rumah.
***
***
Menunggu adalah hal menyebalkan yang selalu saja menyelingi kisah perjalanan hidup, entah sudah berapa cokelat yang habis kumakan di ruang tunggu, untung akhirnya
tiba juga waktuku untuk masuk ke pesawat. Para petugas terlihat bersiap-siap
untuk menertibkan para penumpang.
Sesaat kemudian pintu kaca terbuka, lalu aku mengambil langkah maju bersama para penumpang lain memasuki bus yang akan mengantarkan penumpang ke pesawat yang akan mereka tumpangi. Maklum, bandara internasional San'a mungkin hanya sepertigapuluhnya bandara Soekarno-Hatta, sehingga belum mempunyai fasilitas belalai gajah untuk masuk ke pesawat.
Sesaat kemudian pintu kaca terbuka, lalu aku mengambil langkah maju bersama para penumpang lain memasuki bus yang akan mengantarkan penumpang ke pesawat yang akan mereka tumpangi. Maklum, bandara internasional San'a mungkin hanya sepertigapuluhnya bandara Soekarno-Hatta, sehingga belum mempunyai fasilitas belalai gajah untuk masuk ke pesawat.
Di atas
pesawat, aku langsung mencari tempat dudukku dan dengan sigap kumasukkan ransel
kecilku ke bagasi kabin. Alhamdulillah, aku dapat window seat left side.
Tempat yang menurutku paling nyaman ketika bepergian sendiri naik pesawat
terbang. Karena aku tahu kemana harus membuang jenuh saat kudapatkan teman
sebangkuku kurang familiar untuk diajak bicara.
Tapi sayangnya, teori 'kebahagian dan kesedihan datang sepaket dalam kehidupan kita' itu juga berlaku di sini. Di saat aku bahagia bisa membuang jenuhku dengan melihat pemandangan di luar, ketika itu juga aku sedih karena sulit berkomunikasi untuk sekedar bilang "maaf saya mau pipis." Resiko.
Tapi sayangnya, teori 'kebahagian dan kesedihan datang sepaket dalam kehidupan kita' itu juga berlaku di sini. Di saat aku bahagia bisa membuang jenuhku dengan melihat pemandangan di luar, ketika itu juga aku sedih karena sulit berkomunikasi untuk sekedar bilang "maaf saya mau pipis." Resiko.
Orang-orang
masih sibuk mencari tempat duduknya masing-masing. Diantara mereka juga ada
berusaha memaksakan kopernya yang besar untuk tetap masuk, padahal seharusnya
ditempatkan dibagasi pesawat pada saat chek-in tadi, bukan diletakkan di bagasi
kabin. Pramugari berparas cantik dengan wajah campuran arab dan eropa terlihat
sangat sibuk menertibkan penumpang. Meski demikian, senyum manisnya tak henti tersungging
dari bibir merahnya.
Sesudah
mengambil posisi nyaman, aku mengambil majalah dari kantong belakang kursi di
depanku. Perlahan aku baca judulnya dengan terbata-bata, “F-l-y
E-m-i-r-a-t-e-s…”. Ya, akhirnya aku berhasil membaca judul besar dari
majalah tersebut, masih ada beberapa kata lagi yang harus aku baca. Sebenarnya
aku cukup lancar berbahasa Inggris, tapi terkadang bepergian jauh menurunkan
kecerdasanku hingga 80 persen. Maka hanya 20 persen dari kecerdasan yang bisa
aku gunakan selama bepergian, dan satu persennya sudah kugunakan untuk membaca
judul majalah petunjuk keselamatan penumpang. Bodoh.
“Buffh…!”
Di tengah konsentrasiku membaca judul majalah tersebut, seorang laki-laki
berkulit putih dengan kemeja hitam dan celana jeans biru tiba-tiba duduk di
sebelah kananku. Apa yang ia lakukan sebenarnya hal biasa. Duduk. Tapi dengan
ukuran badannya yang super jumbo, yaitu empat kali lebih besar dariku, perubahan
posisinya dari berdiri ke duduk cukup mennggetarkan singgasanaku di kabin
pesawat tersebut. Saat itu juga aku merasa tidak sedang berada di pesawat, tapi
di angkot 06 A, duduk di pojok dengan volume penumpang tidak wajar, yang pada
saat itu biasanya supir angkot berteriak sambil melihat spion tengah, “woi…!
yang kecil dipangku”, dan pada saat yang bersamaan juga ayahku berteriak, “saya
bayar dua bang!”.
Tapi
saat ini aku tidak bersama ayahku di pesawat, dan pramugari juga tidak mungkin
bilang kepada orang bule di sampingku, “excuse me Sir, can you lap your child,
please!” Aku tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi dan bule itu
benar-benar memangkuku, mungkin penerbangaku akan lebih terasa seperti naik
bapak hamil terbang dari pada naik pesawat.
Pemumpang
sudah menempati tempat duduk mereka masing-masing, tapi belum ada tanda-tanda
pesawat akan lepas landas. Aku mencoba menatap ke bule di sampingku. Ia
sepertinya sedang menikmati posisi nyamannya sembari menarik nafas panjang. Terfikir
olehku untuk mencoba menyapanya, sekedar salam kenal agar ia tau bahwa
di sampingnya ada anak manusia bukan siluman upil yang biasa diplintir-plintir lalu dibuang.
“Ehm..
excuse
me Sir!” kataku pelan sambil mencoba meneguhkan pandangan ke wajahnya.
Sebenarnya saat itu aku agak cemas, takut ia menjawab sapaanku sambil
mengeluarkan api
dari mulutnya.
“Owh..
yeah! Anything wrong? Am I disturbing you?” jawabnya sambil sedikit tersenyum.
Ternyata ia terlihat baik.
“Hemm…
no, sorry! Nothing…” jawabku singkat. Terdengar olehku dari cara dia mengeja
huruf R, sepertinya ia berasal dari
Rusia atau Prancis. Tapi dugaan kuatku ia dari Rusia, dan itu berangkat dari
bau badannya. Ya, walaupun kecerdasan yang aku pakai hanya 20 persen,
penciumanku cukup tajam dalam menerka sesuatu.
Setelah
diam, kucoba sapa ia kembali, “sorry, where are you from?” pertanyaan standar,
tapi sekaligus berperan untuk membuktikan dugaanku bahwa ia orang Rusia.
“Owh,
I’m from Russia, and you?” dia balik bertanya, “hemm… I’m from Indonesia, have
you visited Indonesia, Sir?”
“No,
where is it?”
“It’s
at Asia, near Singapore. Don’t you hear about it before?” dengan rasa penasaran aku bertanya kepada bule
tersebut. Tapi dengan santai ia menjawab, “no I don’t.”
“Hemm…
okay, no problem. But for your information, Indonesia is the biggest country in
Asia.”
“Owh…
that’s great! But long time ago and I don’t remember when, I’ve visited Bali at
Asia. It’s amazing island you know.”
“Oh my
God, so that is Indonesia, Sir!”
“No, I
visited Bali, not Indonesia.”
“Yes, I
know you visited Bali, but Bali is inside Indonesian Republic’s area, and if
you are visiting Bali then you are visiting Indonesia”. Dalam hati, “ini
bulenya yang kurang cerdas, tidak bisa mengerti bahwa Bali adalah pulau yang
ada di dalam Negara kesatuan Republik Indonesia, atau jangan-jangan aku yang
salah tidak pernah tahu kalau bali sudah jadi Negara sendiri.
“Owh,
okay… forget it!” Jawab bule tersebut santai.
“Whaaaaat?
It’s okay, no problem,” sebagai pribumi yang ingin negaranya diakui orang asing aku cukup terkejut dengan tanggapan santainya yang kurang peduli, tapi mungkin lebih baik aku diam dan mengalah, dari pada
harus buang waktu berdebat dengan bule yang aku rasa tidak pernah belajar
Geografi. Kami pun diam.
***
***
Tak
terasa pesawat sudah berputar-putar mengambil ancang-ancang akan lepas landas.
Sebelum mesin pesawat berderu kencang, bule Russia ini mengeluarkan iPhone dari
dalam saku celananya yang aku rasa sudah di setting flight mode, karena
tidak mungkin ia berani mengaktifakannya sedangkan pesawat akan lepas landas. Selang
beberapa detik kemudian ia menegurku sambil menjulurkan iPhone-nya kepadaku,
“hey, see this…! This is my dog!”
Aku memperhatikannya.
Aku memperhatikannya.
Lalu ia
geser lagi ke gambar selanjutnya, “see! This is when it was child”. Terlihat
olehku sesosok anjing hitam, yang lebih tepatnya balita anjing hitam, yang
saking hitamnya, hanya putih bola matanya saja yang mungkin terlihat di saat
gelap.
Entah apa yang ada dipikiran bule tersebut, mungkin ia ingin menghiburku dengan foto-foto anjingnya. Tapi sebagai seorang muslim timur, aku merasa serba salah dalam menyikapi hal tersebut. Tidak tahu apa yang harus aku katakan. Akhirnya aku menanggapi semampuku dan tetap menjaga agar tidak menyinggung perasaannya, "owh, Sir, your dog so cute, it's really pure black." Tapi tanggapan balasan darinya malah melotot aneh.
Entah apa yang ada dipikiran bule tersebut, mungkin ia ingin menghiburku dengan foto-foto anjingnya. Tapi sebagai seorang muslim timur, aku merasa serba salah dalam menyikapi hal tersebut. Tidak tahu apa yang harus aku katakan. Akhirnya aku menanggapi semampuku dan tetap menjaga agar tidak menyinggung perasaannya, "owh, Sir, your dog so cute, it's really pure black." Tapi tanggapan balasan darinya malah melotot aneh.
Ibu
jari besarnya kembali menggerakkan layar ke gambar berikutnya, “and this, when
it was four. And this one, it is now… hehe”. Terakhir adalah gambar anjing itu
sekarang. Ia sedang berbaring di atas spring bed besar dengan bed cover warna
biru bercorak bintang-bintang. Di lehernya terdapat kalung berduri besi yang
membuatnya terlihat lebih sangar. Anjing yang beruntung.
“Owh… how
old is it now?”
“six…
hehe”
Untungnya
di
usianya yang ke enam, ia masih diperlakukan layaknya anjing biasa,
hanya
bedanya ia agak sedikit disayang, kalau tidak, pasti fotonya sekarang ia
sedang mengenakan seragam putih merah dengan tas ransel Teletubies di
punggungnya.
***
***
Mesin
pesawat mulai berderu, seorang pramugari cantik terlihat berjalan agak tergesa
dari bangku depan menuju ke belakang sambil sesekali mengingatkan penumpang
yang belum mengenakan sabuk pengamannya. Maksud hati ingin mencari perhatiannya
dengan tidak mengenakan sabuk pengaman dulu sampai ia mendekat ke kursiku. Yah,
paling tidak ia bisa membantuku mengenakannya dan mengusap kepalaku seraya
berkata, “hei handsome, fasten your seatbelt, please!”
Tapi
sayang, sebelum hal itu terjadi, bahkan sebelum pramugari tersebut mendekat ke
kursiku, tangan besar bule Russia dari samping kananku langsung menyambar tali
sabuk pengamanku dan mengikatkan pengaitnya dengan kencang sambil bilang,
“fasten your seatbelt boy, we get to fly now!” Seketika itu juga perutku seperti
diinjak gajah dan mataku langsung melotot menahan sakit. Mungkin niatnya baik,
tapi sayang dia lupa, bahwa aku ini manusia bukan kantong sampah yang harus
diikat kencang agar tidak berserakan. Ya, budaya timurlah yang memaksaku
untuk tidak melawan dan mencoba memahami serta memaklumi apa yang menurut
mereka baik walaupun buruk bagi kita. Dan itulah jawaban mengapa bangsa kita
dulu dijajah dan sampai saat ini masih terjajah. Kita selalu memandang positif
segala budaya luar yang masuk dengan multi etika yang seharusnya tidak semua
kita serap, dan bak keledai galau, kita mengamini bahwa
itulah kemajuan.
Sambil
masih menahan sakit, kucoba melonggarkan pengait sabuk pengaman tersebut,
hingga akhirnya aku bisa kembali bernafas normal. Tidak mau mengambil pusing,
kupalingkan pandanganku jauh ke luar jendela pesawat memandang barisan rumah
yang semakin terlihat kecil seiring dengan bertambah tingginya pesawatku
terbang, hingga akhirnya menembus permukaan mega kemudian tampaklah gugusan
awan putih yang terbentang luas sejauh mata memandang.
Maha
Suci Engkau Yaa Rabb yang telah menganugrahiku mata untuk melihat kebesaran
kuasa-Mu. Meski aku sering lalai dalam mensyukuri nikmat-Mu, Engkau masih
memberiku waktu untuk kembali tunduk di hadap-Mu.
Penerbangan
kali ini sebernarnya hanya sebentar, karena jarak tempuh yang memang tidak
terlalu jauh, yaitu dari San’a International Airport menuju Dubai International
Airport. Berhubung tempat dan teman duduk yang kurang bersahabat waktu dua jam
menjadi terasa amat panjang. Monitor kecil di depanku yang berisi berbagai
macam hiburan pun terasa membosankan. Tiada tempat bagiku mencurahkan segala
gundahku selain kepada-Nya. Aku berharap, pesawat bisa cepat mendarat dan aku
bisa menghirup udara segar Dubai meski hanya sebatas transit, dan untuk penerbangan selanjutnya, aku tidak bertemu lagi dengan mahluk sejenis bule Rusia tadi.





Buat alur sama penggambaran situasi udah bagus kok Kak Eka. Pertahankan ya, kalau bisa dikembangkan tapi jangan jadi 'lebay'. :)
ReplyDeleteBuat awal cerita kalau bisa jangan menggambarkan waktu, cuaca, atau keadaan alam sekitar. Biar lebih greget hehe.
Itu aja dari aku, basicly.. KAKAK LUAR BIASA!
yaaaaaah..... ko "ka Eka", hahahaha.... ane tu tukeran hari sama Eka... jadi Eka postingnya besok..
ReplyDeleteOh iya maaf Kak Fikry.
ReplyDelete