Saturday, September 6, 2014

Flight with Russian Man


Udara pagi benar-benar sejuk dengan tetesan embunnya. Jalan-jalan terlihat masih sangat sepi, belum ada tanda-tanda aktifitas masyarakat akan dimulai pagi itu. Mungkin orang-orang masih enggan keluar rumah atau sekedar mencari minuman hangat dan sepotong roti untuk sarapan, sebab suasana kota yang beriklim dingin sedang hangat menggentarkan karena suara-suara tembakan yang hampir terdengar setiap saat.
Land Cruiser Prado dengan plat CD melesat dengan gagahnya menembus pos-pos penjagaan tanpa hambatan, padahal ketika itu hampir semua jalan protokol di San’a - ibu kota Yaman - ditutup karena situasi politik yang masih tidak stabil di Negara tersebut. Setiap kali melewati pos, para tentara bersentaja laras panjang yang berjaga hanya hormat, lalu mempersilahkan mobil untuk berjalan kembali.
Aku yang duduk di sebelah kanan supir begitu asik menikmati suasana indah pagi hari yang tersuguhkan dari kota tempat istana Ratu Balkis pernah berdiri megah, sebelum akhirnya Nabi Sulaiman As memindahkannya ke Palestina. Meskipun begitu, kesunyian malam masih terasa hingga sang mentari muncul.
Pagi itu tujuanku ke Bandara Internasional San’a. Aku diantar oleh salah seorang staf KBRI yang kebetulan kerabat dekat sepupu iparku. Pak Huda namanya. Ia duduk di kursi tengah tepat di belakang sopir. Sengaja ia mengantarku ke bandara lantaran situasi keamanan kurang memungkinkan bagiku untuk pergi sendiri. Karena  pastinya akan banyak hal sulit yang aku hadapi di tengah perjalanan, mengingat situasi kota dalam keadaan siaga I.
Sesampainya di bandara, aku langsung diantar masuk oleh Pak Huda. Pagi ini ia berpenampilan agak santai tidak seperti waktu aku  menemuinya di kantor. Dengan celana jeans biru langit, Polo T-shirt berkerah, dan jas cokelat, serta id-card yang selalu terkalung di lehernya, ia terlihat cukup berwibawa, dan dengan tanda pengenalnya tersebut ia bisa menemaniku hingga masuk ke ruang tunggu yang biasanya hanya diperkenankan untuk penumpang.
Tak lama setelah itu ia pamit, karena masih ada banyak pekerjaan yang harus di selesaikan di kantor. Lalu akupun beranjak menghilangkan jengah dalam diriku dengan melihat-lihat jajanan yang ada di ruang tunggu sambil membeli sedikit tambahan souvenir untuk oleh-oleh keluargaku di rumah.
***
Menunggu adalah hal menyebalkan yang selalu saja menyelingi kisah perjalanan hidup, entah sudah berapa cokelat yang habis kumakan di ruang tunggu, untung akhirnya tiba juga waktuku untuk masuk ke pesawat. Para petugas terlihat bersiap-siap untuk menertibkan para penumpang. 
Sesaat kemudian pintu kaca terbuka, lalu aku mengambil langkah maju bersama para penumpang lain memasuki bus yang akan mengantarkan penumpang ke pesawat yang akan mereka tumpangi. Maklum, bandara internasional San'a mungkin hanya sepertigapuluhnya bandara Soekarno-Hatta, sehingga belum mempunyai fasilitas belalai gajah untuk masuk ke pesawat.
Di atas pesawat, aku langsung mencari tempat dudukku dan dengan sigap kumasukkan ransel kecilku ke bagasi kabin. Alhamdulillah, aku dapat window seat left side. Tempat yang menurutku paling nyaman ketika bepergian sendiri naik pesawat terbang. Karena aku tahu kemana harus membuang jenuh saat kudapatkan teman sebangkuku kurang familiar untuk diajak bicara. 
Tapi sayangnya, teori 'kebahagian dan kesedihan datang sepaket dalam kehidupan kita' itu juga berlaku di sini. Di saat aku bahagia bisa membuang jenuhku dengan melihat pemandangan di luar, ketika itu juga aku sedih karena sulit berkomunikasi untuk sekedar bilang "maaf saya mau pipis." Resiko.
Orang-orang masih sibuk mencari tempat duduknya masing-masing. Diantara mereka juga ada berusaha memaksakan kopernya yang besar untuk tetap masuk, padahal seharusnya ditempatkan dibagasi pesawat pada saat chek-in tadi, bukan diletakkan di bagasi kabin. Pramugari berparas cantik dengan wajah campuran arab dan eropa terlihat sangat sibuk menertibkan penumpang. Meski demikian, senyum manisnya tak henti tersungging dari bibir merahnya.
Sesudah mengambil posisi nyaman, aku mengambil majalah dari kantong belakang kursi di depanku. Perlahan aku baca judulnya dengan terbata-bata, “F-l-y  E-m-i-r-a-t-e-s…”. Ya, akhirnya aku berhasil membaca judul besar dari majalah tersebut, masih ada beberapa kata lagi yang harus aku baca. Sebenarnya aku cukup lancar berbahasa Inggris, tapi terkadang bepergian jauh menurunkan kecerdasanku hingga 80 persen. Maka hanya 20 persen dari kecerdasan yang bisa aku gunakan selama bepergian, dan satu persennya sudah kugunakan untuk membaca judul majalah petunjuk keselamatan penumpang. Bodoh.
“Buffh…!” Di tengah konsentrasiku membaca judul majalah tersebut, seorang laki-laki berkulit putih dengan kemeja hitam dan celana jeans biru tiba-tiba duduk di sebelah kananku. Apa yang ia lakukan sebenarnya hal biasa. Duduk. Tapi dengan ukuran badannya yang super jumbo, yaitu empat kali lebih besar dariku, perubahan posisinya dari berdiri ke duduk cukup mennggetarkan singgasanaku di kabin pesawat tersebut. Saat itu juga aku merasa tidak sedang berada di pesawat, tapi di angkot 06 A, duduk di pojok dengan volume penumpang tidak wajar, yang pada saat itu biasanya supir angkot berteriak sambil melihat spion tengah, “woi…! yang kecil dipangku”, dan pada saat yang bersamaan juga ayahku berteriak, “saya bayar dua bang!”.
Tapi saat ini aku tidak bersama ayahku di pesawat, dan pramugari juga tidak mungkin bilang kepada orang bule di sampingku, “excuse me Sir, can you lap your child, please!” Aku tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi dan bule itu benar-benar memangkuku, mungkin penerbangaku akan lebih terasa seperti naik bapak hamil terbang dari pada naik pesawat.
Pemumpang sudah menempati tempat duduk mereka masing-masing, tapi belum ada tanda-tanda pesawat akan lepas landas. Aku mencoba menatap ke bule di sampingku. Ia sepertinya sedang menikmati posisi nyamannya sembari menarik nafas panjang. Terfikir olehku untuk mencoba menyapanya, sekedar salam kenal agar ia tau bahwa di sampingnya ada anak manusia bukan siluman upil yang biasa diplintir-plintir lalu dibuang.
“Ehm.. excuse me Sir!” kataku pelan sambil mencoba meneguhkan pandangan ke wajahnya. Sebenarnya saat itu aku agak cemas, takut ia menjawab sapaanku sambil mengeluarkan api dari mulutnya.
“Owh.. yeah! Anything wrong? Am I disturbing you?” jawabnya sambil sedikit tersenyum. Ternyata ia terlihat baik.
“Hemm… no, sorry! Nothing…” jawabku singkat. Terdengar olehku dari cara dia mengeja huruf  R, sepertinya ia berasal dari Rusia atau Prancis. Tapi dugaan kuatku ia dari Rusia, dan itu berangkat dari bau badannya. Ya, walaupun kecerdasan yang aku pakai hanya 20 persen, penciumanku cukup tajam dalam menerka sesuatu.
Setelah diam, kucoba sapa ia kembali, “sorry, where are you from?” pertanyaan standar, tapi sekaligus berperan untuk membuktikan dugaanku bahwa ia orang Rusia.
“Owh, I’m from Russia, and you?” dia balik bertanya, “hemm… I’m from Indonesia, have you visited Indonesia, Sir?”
“No, where is it?”
“It’s at Asia, near Singapore. Don’t you hear about it before?” dengan  rasa penasaran aku bertanya kepada bule tersebut. Tapi dengan santai ia menjawab, “no I don’t.”
“Hemm… okay, no problem. But for your information, Indonesia is the biggest country in Asia.”
“Owh… that’s great! But long time ago and I don’t remember when, I’ve visited Bali at Asia. It’s amazing island you know.”
“Oh my God, so that is Indonesia, Sir!”
“No, I visited Bali, not Indonesia.”
“Yes, I know you visited Bali, but Bali is inside Indonesian Republic’s area, and if you are visiting Bali then you are visiting Indonesia”. Dalam hati, “ini bulenya yang kurang cerdas, tidak bisa mengerti bahwa Bali adalah pulau yang ada di dalam Negara kesatuan Republik Indonesia, atau jangan-jangan aku yang salah tidak pernah tahu kalau bali sudah jadi Negara sendiri.
“Owh, okay… forget it!” Jawab bule tersebut santai.
“Whaaaaat? It’s okay, no problem,” sebagai pribumi yang ingin negaranya diakui orang asing aku cukup terkejut dengan tanggapan santainya yang kurang peduli, tapi mungkin lebih baik aku diam dan mengalah, dari pada harus buang waktu berdebat dengan bule yang aku rasa tidak pernah belajar Geografi. Kami pun diam.
***
Tak terasa pesawat sudah berputar-putar mengambil ancang-ancang akan lepas landas. Sebelum mesin pesawat berderu kencang, bule Russia ini mengeluarkan iPhone dari dalam saku celananya yang aku rasa sudah di setting flight mode, karena tidak mungkin ia berani mengaktifakannya sedangkan pesawat akan lepas landas. Selang beberapa detik kemudian ia menegurku sambil menjulurkan iPhone-nya kepadaku, “hey, see this…! This is my dog!” 
Aku memperhatikannya. 
Lalu ia geser lagi ke gambar selanjutnya, “see! This is when it was child”. Terlihat olehku sesosok anjing hitam, yang lebih tepatnya balita anjing hitam, yang saking hitamnya, hanya putih bola matanya saja yang mungkin terlihat di saat gelap. 
Entah apa yang ada dipikiran bule tersebut, mungkin ia ingin menghiburku dengan foto-foto anjingnya. Tapi sebagai seorang muslim timur, aku merasa serba salah dalam menyikapi hal tersebut. Tidak tahu apa yang harus aku katakan. Akhirnya aku menanggapi semampuku dan tetap menjaga agar tidak menyinggung perasaannya, "owh, Sir, your dog so cute, it's really pure black." Tapi tanggapan balasan darinya malah melotot aneh.
Ibu jari besarnya kembali menggerakkan layar ke gambar berikutnya, “and this, when it was four. And this one, it is now… hehe”. Terakhir adalah gambar anjing itu sekarang. Ia sedang berbaring di atas spring bed besar dengan bed cover warna biru bercorak bintang-bintang. Di lehernya terdapat kalung berduri besi yang membuatnya terlihat lebih sangar. Anjing yang beruntung.
“Owh… how old is it now?”
“six… hehe”
Untungnya di usianya yang ke enam, ia masih diperlakukan layaknya anjing biasa, hanya bedanya ia agak sedikit disayang, kalau tidak, pasti fotonya sekarang ia sedang mengenakan seragam putih merah dengan tas ransel Teletubies di punggungnya.
***
Mesin pesawat mulai berderu, seorang pramugari cantik terlihat berjalan agak tergesa dari bangku depan menuju ke belakang sambil sesekali mengingatkan penumpang yang belum mengenakan sabuk pengamannya. Maksud hati ingin mencari perhatiannya dengan tidak mengenakan sabuk pengaman dulu sampai ia mendekat ke kursiku. Yah, paling tidak ia bisa membantuku mengenakannya dan mengusap kepalaku seraya berkata, “hei handsome, fasten your seatbelt, please!”
Tapi sayang, sebelum hal itu terjadi, bahkan sebelum pramugari tersebut mendekat ke kursiku, tangan besar bule Russia dari samping kananku langsung menyambar tali sabuk pengamanku dan mengikatkan pengaitnya dengan kencang sambil bilang, “fasten your seatbelt boy, we get to fly now!” Seketika itu juga perutku seperti diinjak gajah dan mataku langsung melotot menahan sakit. Mungkin niatnya baik, tapi sayang dia lupa, bahwa aku ini manusia bukan kantong sampah yang harus diikat kencang agar tidak berserakan. Ya, budaya timurlah yang memaksaku untuk tidak melawan dan mencoba memahami serta memaklumi apa yang menurut mereka baik walaupun buruk bagi kita. Dan itulah jawaban mengapa bangsa kita dulu dijajah dan sampai saat ini masih terjajah. Kita selalu memandang positif segala budaya luar yang masuk dengan multi etika yang seharusnya tidak semua kita serap, dan bak keledai galau, kita mengamini bahwa itulah kemajuan.
Sambil masih menahan sakit, kucoba melonggarkan pengait sabuk pengaman tersebut, hingga akhirnya aku bisa kembali bernafas normal. Tidak mau mengambil pusing, kupalingkan pandanganku jauh ke luar jendela pesawat memandang barisan rumah yang semakin terlihat kecil seiring dengan bertambah tingginya pesawatku terbang, hingga akhirnya menembus permukaan mega kemudian tampaklah gugusan awan putih yang terbentang luas sejauh mata memandang.
Maha Suci Engkau Yaa Rabb yang telah menganugrahiku mata untuk melihat kebesaran kuasa-Mu. Meski aku sering lalai dalam mensyukuri nikmat-Mu, Engkau masih memberiku waktu untuk kembali tunduk di hadap-Mu.
Penerbangan kali ini sebernarnya hanya sebentar, karena jarak tempuh yang memang tidak terlalu jauh, yaitu dari San’a International Airport menuju Dubai International Airport. Berhubung tempat dan teman duduk yang kurang bersahabat waktu dua jam menjadi terasa amat panjang. Monitor kecil di depanku yang berisi berbagai macam hiburan pun terasa membosankan. Tiada tempat bagiku mencurahkan segala gundahku selain kepada-Nya. Aku berharap, pesawat bisa cepat mendarat dan aku bisa menghirup udara segar Dubai meski hanya sebatas transit, dan untuk penerbangan selanjutnya, aku tidak bertemu lagi dengan mahluk sejenis bule Rusia tadi. 

3 comments:

  1. Buat alur sama penggambaran situasi udah bagus kok Kak Eka. Pertahankan ya, kalau bisa dikembangkan tapi jangan jadi 'lebay'. :)

    Buat awal cerita kalau bisa jangan menggambarkan waktu, cuaca, atau keadaan alam sekitar. Biar lebih greget hehe.

    Itu aja dari aku, basicly.. KAKAK LUAR BIASA!

    ReplyDelete
  2. yaaaaaah..... ko "ka Eka", hahahaha.... ane tu tukeran hari sama Eka... jadi Eka postingnya besok..

    ReplyDelete