Sebelum
memori itu pupus ditelan waktu, kuputuskan untuk mengabadikanya dalam sebuah
cerita singkat, yang semoga bisa menjadi bagian dari sejarah hidupku yang berharga.
Hingga kelak, siapa saja yang membaca bisa mengambil pelajaran, bahwa hidup
tidak selamanya mudah. Dan dibalik setiap kesulitan yang dilalui ada pintu
kebahagiaan yang terbuka lebar.
05.30
pm KSA, sudah lebih dari sejam yang lalu aku menunggu kedatangan bus yang akan
membawaku pergi menuju Ibu Kota Yaman, San’a. Jadwal yang tertera di tiket, bus
akan berangkat pukul empat sore, tapi ternyata sampai saat ini bus tak kunjung
datang. Mungkin memang budaya terlambat tidak hanya bertaraf nasional
sebagaimana yang sering kita rasakan di Indonesia tapi juga sudah mendunia.
Disamping itu, aku melihat ke kanan dan kiri ku, belum ada calon penumpang
selain aku yang datang. Spontan saja terbesit di kepalaku, aku tidak hanya
menunggu bus, tapi juga penumpang lain
yang jumlahnya tidak sedikit.
Pandanganku
kosong, entah apa yang aku fikirkan ketika itu. Sofa butut yang aku duduki saat
di ruang tunggu sudah hampir hilang kenyamananya. Yang jelas harapanku, bus
bisa datang lebih cepat, dan aku bisa cepat sampai di San’a, melihat kondisi
politik di Yaman yang tidak stabil akibat demo disana-sini menuntut
diturunkanya presiden Ali Abdullah Shaleh dari jabatanya, maka segala macam
kemungkinan terburuk pun dapat terjadi. Menurut berita di televisi yang aku
dengar, sudah banyak korban jiwa yang berjatuhan akibat demo tersebut. Aku
sengaja mengambil jalan darat walaupun sebenarnya bisa lewat udara, sebab untuk
ukuran penerbangan domestik, biaya tranportasi pesawat di Yaman masih terbilang
mahal. Apalagi kondisi kantong tidak mendukung.
Tak
lama kemudian beberapa temanku yang ikut mengantarku ke agen bus datang membawa
sedikit cemilan untuk menghilangkan rasa suntuk yang sudah menjalar keseluruh
jiwaku. Lumayan, sebungkus keripik kentang, beberapa coklat yang ditemani soft
drink bisa melunakkan rasa jenuhku.
Sebenarnya
agak berat untuk meninggalkan studiku di sini. Tapi kondisi fisikku
mengharuskanku mengambil cuti untuk menjalani pengobatan di Indonesia yang bisa
dibilang Indonesia masih lebih maju di banding Yaman dari segi kualitas,
fasilitas, dan pelayanan kesehatan. karena pernah suatu ketika aku sedang
mendapat giliran menemani temanku yang saat itu dia divonis gagal ginjal dan
harus menjalani cuci darah di sini. Cukup terkejut, ternyata rumah sakit
terbaik yang ada di provinsi Hadhromaut tidak lebih bersih dari terminal
Kampung Rambutan tempat aku biasa menunggu bus way. Hal itu dikarenakan
pemandangan yang seharusnya ada di terminal bisa aku dapatkan di rumah sakit.
Mulai dari orang meludah sembarangan, hingar bingar teriakan menginginkan dilayani
lebih dulu, bau yang tak sedap dan masih banyak lagi yang menurutku lebih
pantas menjadi potret situasi terminal dari pada rumah sakit. Seandainya
diadakan penilaian untuk rumah sakit, perkiraanku ‘Ibnu Sina’ hanya akan
mendapat peringkat D atau E.
Tidak
sampai di situ, rumah sakit di sini bisa dibilang miskin servis. Pasien dipaksa
harus mengurus dan memperhatikan kesehatanya sendiri. Mulai dari minum obat,
makan, ganti infus dan pekerjaan lain yang seharusnya mendapat perhatian dari pihak
rumah sakit tapi ternyata pasien harus melakukanya sendiri. Beruntung bagi
mereka yang ditemani sanak keluarga atau teman, setidaknya masih ada yang bisa
membantu mereka selama sakit. Sedangkan yang hanya tinggal sendiri dan
mengandalkan perhatian dari rumah sakit, menurutku ia hanya akan semakin sakit
dan entah kapan akan sembuh. Karena bukan sekali aku melihat pasien menyuntik
cairan obat sendiri hanya dengan melihat aturan pakai dan dosis yang
direkomendasikan dokter. Belum lagi jadwal kunjung dokter yang tidak teratur,
yang pastinya akan membuat pasien tambah terbengkalai. Harusnya Negara Islam
bisa memberi pelayanan yang lebih baik sesuai ajaran agamanya.
***
Penantian panjang akhirnya usai. Bus yang akan
aku tumpangi datang seiring berkumandangnya adzan Maghrib. Dengan sigap dua
orang temanku membantuku menata barangku di bagasi bus. Kondektur juga tak
kalah sibuk. Ia menyapu bersih seisi bus dengan cepat. Lalu penjaga agen
bus menyuruhku masuk ke dalam bus,
karena bus akan langsung berangkat tanpa menunggu lama.
Otakku
langsung bertanya-tanya, ‘ini penumpang lainya pada kemana?’ Dengan rasa
penasaran yang cukup dalam, aku akhirnya masuk ke dalam bus. Kuliahat sopir bus
sedang mengelap kemudinya pertanda bus akan segera berangkat.
‘Pak
supir, bisa saya sholat maghrib dulu, berhubung saya lihat bus masih kosong’,
tanyaku kepada sopir untuk mengobati rasa penasaran ku. ‘Sudah, kamu duduk
saja, nanti kita bisa jama’ di jalan!’
Melihat
bangku penumpang kosong semua, aku pilih kursi agak depan agar bisa melihat
jalan. Sopir bus, masih memperisiapkan segala yang dibutuhkan untuk perjalanan
yang cukup jauh ini. Diapun beranjak dari bangku kemudi, lalu berjalan ke
bangku paling belakang. Entah apa yang dikerjakan. Aku tidak mau tau terlalu
banyak. Tapi karena masih penasaran, sekembalinya ia dari bangku paling belakang,
aku mencoba bertanya kembali, ‘pak supir, apa ada nomer bangku, atau ketentuan
dimana sebenarnya saya harus duduk?’
‘Sudahlah,
kamu duduk saja terserah kamu dimana! Bus ini kosong. Tapi saya minta, kamu
jangan ambil bagian depan. Silahkan kamu duduk di bagian tengah atau agak
kebelakang. Karena urusanya bisa panjang waktu pemeriksaan jika ada orang
asing’, kata sopir bus panjang lebar kepadaku yang secara tidak langsung
membuatku menafsirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi
kepadaku di perjalanan. Bayangkan saja, bus sebesar itu hanya aku sendiri
penumpangnya, bertiga dengan sopir dan kondektunya. Keadaan tersebut menambah
perasaanku semakin kacau, karena aku tidak sedang menyewa bus pribadi yang
mewah lengkap dengan berbagai fasilitas hiburan di dalamnya, tapi aku sedang
menaiki bus umum yang akan memasuki daerah konflik dan aku hanya sendiri di
dalamnya. Tak ada yang dapat aku lakukan saat itu selain menyebut nama-Nya,
karena aku yakin dalam kesendirianku selalu ada Dia menjagaku. Sungguh Dialah
sebaik-baik penolong.
***
Bus
pun berjalan. Kesendirianku membawaku terbang lebih dulu ke rumah dimana mama
papaku sedang menungguku saat ini, padahal jam terbang pesawatku masih esok
lusa. Air wajah mereka tiba-tiba terbayang jelas di anganku. Saat ini aku
mengharapkan kehadiran mereka untuk mengusir segala ketakutanku. Aku ingin
mendengar suara mereka yang selalu menguatkanku ketika aku lemah dalam
ketidakberdayaanku. Aku merindukan pelukan mereka yang selalu meyakinkanku
bahwa tidak akan terjadi sesuatu apapun yang akan membahayakanku. Aku ingin
cepat sampai, dan berharap semua ketidakpastian ini akan berakhir indah dan
baik-baik saja sesuai doaku.
Selang
beberapa jam, kuperhatikan ternyata sudah cukup jauh aku meninggalkan kota
Seiyun tempat aku menunggu bus, yang
mana sekarang aku sudah berada di kota Qothn dimana akhirnya bus berhenti dan
mengambil dua orang penumpang. Puji syukurku kepada-Nya, jumlah penumpang
menjadi enam orang setelah di agen selanjutnya setelah kota Qothn, naik lagi
tiga orang penumpang. Iseng-iseng kulirik tanda sinyal di handphonku, ternyata
masih ada dua. Maka kusempatkan untuk mengirim SMS ke mamaku sebelum nantinya
aku memasuki wilayah tanpa jaringan sedikitpun, tuk sekedar meminta doa tanpa
mengabari keadanku sebenarnya saat ini. Aku tidak ingin mereka terlalu
mencemaskanku. Dan selang beberapa menit kemudian setelah SMS terkirim, akupun
tertidur bersama roda yang terus berputar menembus gelapnya malam diantara
pegunungan batu yang berbaris.
***
‘Bangun!
Bangun!’ Suara keras membuatku terjaga. Akupun setengah sadar sambil mencoba
menerka siapa yang ada dihadapanku sekarang. Perlahan kucoba menggambarkan
sosok berkumis tebal dan berseragam dengan jelas. Rupanya seorang polisi Yaman
yang sedang mengadakan pemeriksaan. Lalu ia bertanya kepadaku dengan senjata
laras panjang jenis AK masih menggantung di tangan kirinya, ‘ajnabiy?’
‘Ayyuwa’.
‘Min
ain?’.
‘Tareem’.
Setelah
itu dia menanyakan beberapa kelengkapan seperti paspor, surat jalan, dan identitas
lainya, maka langsung aku ambilkan dari kantong jaket kulitku lalu kuserahkan
kepadanya.
‘Baik,
semua lengkap, silahkan istirahat kembali!’ Akupun lega mendengar perkataan
polisi tersebut. Kemudian aku putuskan untuk berpindah tempat duduk dan kembali
melanjutkan mempiku yang sempat terputus setelah lampu dalam bus diredupkan.
Aku
memang sangat mudah untuk tertidur di perjalanan, baik itu naik bus, kereta,
atau pesawat. Sekalipun ada fasilitas tv atau hiburan lain di dalamya, itu bukan
menjadi alasan untuk membuatku tidak terkantuk. Apalagi ditambah AC yang
dingin. Udara sejuk yang dikeluarkanya tambah memuluskan perjalananku pindah ke
alam bawah tanpa batas.
Ketika
masih belajar di pondok pesantren, aku sering melakukan perjalanan jauh
menggunakan bus atau kereta. Dan aku sangat menikmati perjalanan tersebut.
Karena secara tidak langsung, perjalanan mengajarkan kita arti hidup yang
sesungguhnya. Dimana kita semua sedang menjalani perjalanan kita masing-masing.
Walaupun liku dan arah setiap orang berbeda-beda tetapi tujuan akhir dan
pelabuhan kita sama.
Malam
masih legam dengan ronanya yang kelam. Semuanya terasa sunyi dan sepi sepanjang
jalan. Hingga pada akhirnya pada pukul 03.00 am aku kembali dibuat terjaga oleh
suara yang lagi-lagi tidak aku kenal, ‘Bangun! Bangun! Ayo cepat keluar!’ Kali
ini perintah yang kudengar berberda dengan yang sebelumnya, lebih kasar dan
memaksa. Lalu dengan tubuh yang masih sedikit kaku akibat posisi tidur yang
kurang nyaman aku mencoba melirik siapa yang telah membangunkanku sekaligus
memeriksa orang-orang satu bis di sekililingku. Mengejutkan! Ternyata yang
membangunkanku bukanlah polisi yang
resmi bertugas, melainkan personil qabilah[1]
yang memang biasa mencegat, atau membajak mobil-mobil yang melintas di
kawasan mereka.
Setelah
tahu keadaan sebenarnya, mataku yang tadinya masih terkantuk menjadi segar
seketika, karena terpacu oleh adrenalin yang berkerja ekstra. Aku di paksa
turun oleh orang bergamis putih yang memerintahku dengan menggunakan moncong
AK-47. Kulihat penumpang yang lain sudah memindahkan barang-barang mereka ke
bus yang juga diberhentikan di depan busku. Terlihat juga bapak tua yang tadi
duduk bersamaku sedang menempatkan barangnya di bagasi bus depan.
‘Ayo
nak, mana barang-barangmu, mari saya bantu pindahkan’, kata bapak tua kepadaku.
Masih dalam keadaan panik dan tidak tau harus berbuat apa, ku turuti saja
perintah bapak tua tersebut. Kucari barang bawaanku di dalam bagasi, lalu
dengannya kupindahkan ke bus lain di depan.
‘Sebenarnya
ada apa sih, pak?’
‘Tidak
tau juga, yang jelas, bus kita akan dibajak. Maka semua penumpang yang akan ke
San’a di suruh pindah ke bus itu’
Aku
tidak bisa berfikir sehat ketika itu. Di sekelilingku orang bersenjata berjaga
ketat. Sepintas kulirik ke arah bus ku, sopir bus sedang berdebat keras dengan
salah seorang pesonil qobilah. Entah apa yang mereka perdebatkan, tapi pastinya
sopir bus ingin mempertahankan busnya.
Dalam kepanikan yang sangat aku akhirnya
tersadar kalau sekarang aku sedang berada di Ma’rib, yaitu kota kecil sebelum
masuk ke San’a yang memang di jaga ketat oleh para qobilah. apalagi
setelah pecahnya demontrasi. Mereka lebih memperketat lapisan pemeriksaan demi
kepentingan politik pastinya. Karena sebagian besar dari mereka anti pemerintah.
Di
Yaman, senjata api memang bebas diperjualbelikan. Tidak heran kalau mereka
semua melikinya. Kalau kita pergi ke restoran di Indonesia, orang-orang menaruh
gadget di atas meja makanya, tapi kalau di Yaman, sudah menjadi pemandangan
yang biasa ketika orang makan yang di taruh di atas meja adalah peralatan
perang. Mulai dari senjata laras panjang sampai pistol revolver diajak makan.
Maka dari itu pemerintah pun akan berfikir dua kali jika ingin mengusik
kegiatan mereka. Bisa-bisa yang terjadi malah perang saudara.
Akupun
hanya bisa terdiam, sambil mengawasi kegiatan mereka. Aku belum mendapat kejelasan,
apakah akan dipindah bus atau barang-barangku dibawa pergi dan aku disandera
bersama penumpang yang lain. Mulutku tak henti-hentinya mengucap dzikir memohon
pertolongan-Nya. Kupasrahkan segala apa yang akan terjadi kepada-Nya.
Sampai-sampai aku sempat berfikir, di sinilah akhir hidupku. Karena bukan tidak
mungkin salah seorang dari mereka khilaf lalu melepaskan timah panas ke
kepalaku. Lalu habislah ceritaku, dan orang tuaku di rumah tidak akan pernah
tau aku dikubur dimana, lantaran tidak ada jaringan untuk komunikasi dan
pegunungan batu markas qobilah merupakan tempat yang jarang mendapat
perhatian pemerintah. Sehingga yang terbunuh disana, akan lenyap bagai debu.
Setelah
setengah jam menunggu, debat antara supir busku dan salah seorang personil qobilah
selesai. Keputusanya busku dapat melanjutkan perjalanan. Dan aku kembali
memindahkan barang-barangku dari bagasi bus di depan ke bagasi busku dengan
susah payah. Dan bus pun berjalan kembali. Sebelum berjalan sopir bus berkata
kepadaku, ‘di depan nanti, akan masih ada banyak pemeriksaan. Demi kelancaran
perjalanan. Setiap ada pemeriksaan, kamu lebih baik berbaring di kursi, lalu
kamu tutupi wajahmu dengan jaket kulitmu itu dan jangan bangun kecuali yang
memeriksa menegurmu, paham!’ Akupun mengangguk.
Penumpang
bus yang tadinya enam orang sudah berkurang. Rupanya sebelum sampai di Ma’rib
telah turun tiga orang. sehingga kami sekarang hanya berlima dengan supir dan
kondekturnya. Tak apalah. Paling tidak mimpi burukku selesai. Hidupmu tidak
berakir di sini fik! Dan akupun terlelap kembali.
***
Tepat
pukul tujuh pagi aku terbangun. Kudapati bus sedang berhenti menepi di pinggir
jalan. Lalu kucoba mengangkat kepala sedikit dan melirik keluar. Ternyata
lagi-lagi supir bus bernego dengan polisi dan tentara yang berjaga di pintu
masuk ke kota San’a. Ya, rupanya aku sudah hampir memasuki kota San’a. Dua
orang penumpang lainya turun ke samping bus tuk sekedar olahraga kecil sambil
menunggu negosiasi selesai. Sedangkan aku memilih untuk tetap tinggal di bus,
karena tidak ingin urusan menjadi tambah panjang karena keberadaanku.
Sholat subuhku hari ini terlewatkan. Mungkin
karena tidurku yang terlalu lelap sehingga supir dan kondekturnya pun enggan
membanguniku saat berhenti di tempat peristirahatan. Sudah tidak sabar rasanya
ingin cepat masuk ke kota San’a lalu beristirahat di KBRI. Tapi ternyata sudah
hampir satu jam aku di pintu masuk kota San’a.
Setelah
klimaks tempratur jengah dalam jiwaku, akhirnya buspun boleh memasuki kota
San’a. Ia berputar-putar sebentar menyusuri jalan-jalan kota yang pagi itu
sangat sepi sebelum akhirnya berhenti di agen. Melihat keadaan yang
terjadi, aku rasa orang-orang juga enggan
untuk sekedar keluar rumah mencari sarapan atau membeli kebutuhan lainya. Sebab
pasca demo yang terjadi, suasana kota San’a sangat mencekam. Banyak jalan di
tutup, tentara-tentara bersenjata berjaga di setiap sudut kota, suara letupan
senjata tak henti terdengar, dan tank-tank beserta mobil-mobil amfibi tak mau
kalah ikut membuat suasana tambah menjadi runyam.
Sampailah di agen. Aku langsung mengambil
barangku dan memeriksanya agar jangan sampai ada yang tertinggal. Lalu dengan
taksi yang barusan aku stop aku pergi menuju KBRI San’a untuk menemui Pak Huda,
rekan sepupu iparku di Jakarta.
Hari itu aku bermalam di rumahnya. Dan
keesokan harinya ia mengantarku ke bandara San’a International Airport.
Sangat
berbeda, perjalananku menuju bandara begitu mulus tanpa hambatan sedikitpun,
walaupun jalan-jalan banyak di tutup disana sini. Dengan Land Cruiser Prado
berplat CD aku merasakan sejenak nikmatnya jadi pejabat. Sekilas sangatlah
nyaman, tapi akhirnya aku sadar, setiap kenyamanan yang didapat harus dibayar
dengan ribuan tanggungjawab yang berat.
Pak
Huda mengantarku mulai dari check in, sampai aku masuk ke ruang tunggu
dimana hanya penumpang yang diperkenankan masuk. Aku merasa begitu besar
pertolongan-Nya kepadaku. Setelah kemarin malam keadaanku carut marut tak
menentu.
Sekarang
semuanya begitu mudah. Dan ini membuat aku semakin bersyukur dan semakin yakin
kalau Dia tidak tidur. Dia akan selalu mendengar keluh kesah hambanya yang mau
bersabar menghadapi setiap ujian-ujian yang Ia berikan. Dan Dia pasti akan
membukakan jalan keluar untuk setiap masalah hamba-Nya selama hamba-Nya mau
berusaha dan memohon segala pertolongan kepada-Nya.
Akupun
akhirnya terbang dan kembali kepelukan orang-orang tercinta yang sudah cukup
cemas menungguku di rumah.
[1]
Sekelompok kaum berdasarkan keturunan. Seperti yang kita sering baca di buku
sejarah. Qobilah Quraiys, artinya kaum quraiys.





No comments:
Post a Comment