Tuesday, July 9, 2013

Sendiri di Bus



Sebelum memori itu pupus ditelan waktu, kuputuskan untuk mengabadikanya dalam sebuah cerita singkat, yang semoga bisa menjadi bagian dari sejarah hidupku yang berharga. Hingga kelak, siapa saja yang membaca bisa mengambil pelajaran, bahwa hidup tidak selamanya mudah. Dan dibalik setiap kesulitan yang dilalui ada pintu kebahagiaan yang terbuka lebar.
05.30 pm KSA, sudah lebih dari sejam yang lalu aku menunggu kedatangan bus yang akan membawaku pergi menuju Ibu Kota Yaman, San’a. Jadwal yang tertera di tiket, bus akan berangkat pukul empat sore, tapi ternyata sampai saat ini bus tak kunjung datang. Mungkin memang budaya terlambat tidak hanya bertaraf nasional sebagaimana yang sering kita rasakan di Indonesia tapi juga sudah mendunia. Disamping itu, aku melihat ke kanan dan kiri ku, belum ada calon penumpang selain aku yang datang. Spontan saja terbesit di kepalaku, aku tidak hanya menunggu bus, tapi juga penumpang  lain yang jumlahnya tidak sedikit.   
Pandanganku kosong, entah apa yang aku fikirkan ketika itu. Sofa butut yang aku duduki saat di ruang tunggu sudah hampir hilang kenyamananya. Yang jelas harapanku, bus bisa datang lebih cepat, dan aku bisa cepat sampai di San’a, melihat kondisi politik di Yaman yang tidak stabil akibat demo disana-sini menuntut diturunkanya presiden Ali Abdullah Shaleh dari jabatanya, maka segala macam kemungkinan terburuk pun dapat terjadi. Menurut berita di televisi yang aku dengar, sudah banyak korban jiwa yang berjatuhan akibat demo tersebut. Aku sengaja mengambil jalan darat walaupun sebenarnya bisa lewat udara, sebab untuk ukuran penerbangan domestik, biaya tranportasi pesawat di Yaman masih terbilang mahal. Apalagi kondisi kantong tidak mendukung.
Tak lama kemudian beberapa temanku yang ikut mengantarku ke agen bus datang membawa sedikit cemilan untuk menghilangkan rasa suntuk yang sudah menjalar keseluruh jiwaku. Lumayan, sebungkus keripik kentang, beberapa coklat yang ditemani soft drink bisa melunakkan rasa jenuhku.
Sebenarnya agak berat untuk meninggalkan studiku di sini. Tapi kondisi fisikku mengharuskanku mengambil cuti untuk menjalani pengobatan di Indonesia yang bisa dibilang Indonesia masih lebih maju di banding Yaman dari segi kualitas, fasilitas, dan pelayanan kesehatan. karena pernah suatu ketika aku sedang mendapat giliran menemani temanku yang saat itu dia divonis gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah di sini. Cukup terkejut, ternyata rumah sakit terbaik yang ada di provinsi Hadhromaut tidak lebih bersih dari terminal Kampung Rambutan tempat aku biasa menunggu bus way. Hal itu dikarenakan pemandangan yang seharusnya ada di terminal bisa aku dapatkan di rumah sakit. Mulai dari orang meludah sembarangan, hingar bingar teriakan menginginkan dilayani lebih dulu, bau yang tak sedap dan masih banyak lagi yang menurutku lebih pantas menjadi potret situasi terminal dari pada rumah sakit. Seandainya diadakan penilaian untuk rumah sakit, perkiraanku ‘Ibnu Sina’ hanya akan mendapat peringkat D atau E.
Tidak sampai di situ, rumah sakit di sini bisa dibilang miskin servis. Pasien dipaksa harus mengurus dan memperhatikan kesehatanya sendiri. Mulai dari minum obat, makan, ganti infus dan pekerjaan lain yang seharusnya mendapat perhatian dari pihak rumah sakit tapi ternyata pasien harus melakukanya sendiri. Beruntung bagi mereka yang ditemani sanak keluarga atau teman, setidaknya masih ada yang bisa membantu mereka selama sakit. Sedangkan yang hanya tinggal sendiri dan mengandalkan perhatian dari rumah sakit, menurutku ia hanya akan semakin sakit dan entah kapan akan sembuh. Karena bukan sekali aku melihat pasien menyuntik cairan obat sendiri hanya dengan melihat aturan pakai dan dosis yang direkomendasikan dokter. Belum lagi jadwal kunjung dokter yang tidak teratur, yang pastinya akan membuat pasien tambah terbengkalai. Harusnya Negara Islam bisa memberi pelayanan yang lebih baik sesuai ajaran agamanya.
***
 Penantian panjang akhirnya usai. Bus yang akan aku tumpangi datang seiring berkumandangnya adzan Maghrib. Dengan sigap dua orang temanku membantuku menata barangku di bagasi bus. Kondektur juga tak kalah sibuk. Ia menyapu bersih seisi bus dengan cepat. Lalu penjaga agen bus  menyuruhku masuk ke dalam bus, karena bus akan langsung berangkat tanpa menunggu lama.
Otakku langsung bertanya-tanya, ‘ini penumpang lainya pada kemana?’ Dengan rasa penasaran yang cukup dalam, aku akhirnya masuk ke dalam bus. Kuliahat sopir bus sedang mengelap kemudinya pertanda bus akan segera berangkat.
‘Pak supir, bisa saya sholat maghrib dulu, berhubung saya lihat bus masih kosong’, tanyaku kepada sopir untuk mengobati rasa penasaran ku. ‘Sudah, kamu duduk saja, nanti kita bisa jama’ di jalan!’
Melihat bangku penumpang kosong semua, aku pilih kursi agak depan agar bisa melihat jalan. Sopir bus, masih memperisiapkan segala yang dibutuhkan untuk perjalanan yang cukup jauh ini. Diapun beranjak dari bangku kemudi, lalu berjalan ke bangku paling belakang. Entah apa yang dikerjakan. Aku tidak mau tau terlalu banyak. Tapi karena masih penasaran, sekembalinya ia dari bangku paling belakang, aku mencoba bertanya kembali, ‘pak supir, apa ada nomer bangku, atau ketentuan dimana sebenarnya saya harus duduk?’
‘Sudahlah, kamu duduk saja terserah kamu dimana! Bus ini kosong. Tapi saya minta, kamu jangan ambil bagian depan. Silahkan kamu duduk di bagian tengah atau agak kebelakang. Karena urusanya bisa panjang waktu pemeriksaan jika ada orang asing’, kata sopir bus panjang lebar kepadaku yang secara tidak langsung membuatku menafsirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi kepadaku di perjalanan. Bayangkan saja, bus sebesar itu hanya aku sendiri penumpangnya, bertiga dengan sopir dan kondektunya. Keadaan tersebut menambah perasaanku semakin kacau, karena aku tidak sedang menyewa bus pribadi yang mewah lengkap dengan berbagai fasilitas hiburan di dalamnya, tapi aku sedang menaiki bus umum yang akan memasuki daerah konflik dan aku hanya sendiri di dalamnya. Tak ada yang dapat aku lakukan saat itu selain menyebut nama-Nya, karena aku yakin dalam kesendirianku selalu ada Dia menjagaku. Sungguh Dialah sebaik-baik penolong.
***
Bus pun berjalan. Kesendirianku membawaku terbang lebih dulu ke rumah dimana mama papaku sedang menungguku saat ini, padahal jam terbang pesawatku masih esok lusa. Air wajah mereka tiba-tiba terbayang jelas di anganku. Saat ini aku mengharapkan kehadiran mereka untuk mengusir segala ketakutanku. Aku ingin mendengar suara mereka yang selalu menguatkanku ketika aku lemah dalam ketidakberdayaanku. Aku merindukan pelukan mereka yang selalu meyakinkanku bahwa tidak akan terjadi sesuatu apapun yang akan membahayakanku. Aku ingin cepat sampai, dan berharap semua ketidakpastian ini akan berakhir indah dan baik-baik saja sesuai doaku.
Selang beberapa jam, kuperhatikan ternyata sudah cukup jauh aku meninggalkan kota Seiyun tempat aku menunggu bus,  yang mana sekarang aku sudah berada di kota Qothn dimana akhirnya bus berhenti dan mengambil dua orang penumpang. Puji syukurku kepada-Nya, jumlah penumpang menjadi enam orang setelah di agen selanjutnya setelah kota Qothn, naik lagi tiga orang penumpang. Iseng-iseng kulirik tanda sinyal di handphonku, ternyata masih ada dua. Maka kusempatkan untuk mengirim SMS ke mamaku sebelum nantinya aku memasuki wilayah tanpa jaringan sedikitpun, tuk sekedar meminta doa tanpa mengabari keadanku sebenarnya saat ini. Aku tidak ingin mereka terlalu mencemaskanku. Dan selang beberapa menit kemudian setelah SMS terkirim, akupun tertidur bersama roda yang terus berputar menembus gelapnya malam diantara pegunungan batu yang berbaris.
***
‘Bangun! Bangun!’ Suara keras membuatku terjaga. Akupun setengah sadar sambil mencoba menerka siapa yang ada dihadapanku sekarang. Perlahan kucoba menggambarkan sosok berkumis tebal dan berseragam dengan jelas. Rupanya seorang polisi Yaman yang sedang mengadakan pemeriksaan. Lalu ia bertanya kepadaku dengan senjata laras panjang jenis AK masih menggantung di tangan kirinya, ‘ajnabiy?’
Ayyuwa’.
Min ain?’.
Tareem’.
Setelah itu dia menanyakan beberapa kelengkapan seperti paspor, surat jalan, dan identitas lainya, maka langsung aku ambilkan dari kantong jaket kulitku lalu kuserahkan kepadanya.
‘Baik, semua lengkap, silahkan istirahat kembali!’ Akupun lega mendengar perkataan polisi tersebut. Kemudian aku putuskan untuk berpindah tempat duduk dan kembali melanjutkan mempiku yang sempat terputus setelah lampu dalam bus diredupkan.
Aku memang sangat mudah untuk tertidur di perjalanan, baik itu naik bus, kereta, atau pesawat. Sekalipun ada fasilitas tv atau hiburan lain di dalamya, itu bukan menjadi alasan untuk membuatku tidak terkantuk. Apalagi ditambah AC yang dingin. Udara sejuk yang dikeluarkanya tambah memuluskan perjalananku pindah ke alam bawah tanpa batas.
Ketika masih belajar di pondok pesantren, aku sering melakukan perjalanan jauh menggunakan bus atau kereta. Dan aku sangat menikmati perjalanan tersebut. Karena secara tidak langsung, perjalanan mengajarkan kita arti hidup yang sesungguhnya. Dimana kita semua sedang menjalani perjalanan kita masing-masing. Walaupun liku dan arah setiap orang berbeda-beda tetapi tujuan akhir dan pelabuhan kita sama.
Malam masih legam dengan ronanya yang kelam. Semuanya terasa sunyi dan sepi sepanjang jalan. Hingga pada akhirnya pada pukul 03.00 am aku kembali dibuat terjaga oleh suara yang lagi-lagi tidak aku kenal, ‘Bangun! Bangun! Ayo cepat keluar!’ Kali ini perintah yang kudengar berberda dengan yang sebelumnya, lebih kasar dan memaksa. Lalu dengan tubuh yang masih sedikit kaku akibat posisi tidur yang kurang nyaman aku mencoba melirik siapa yang telah membangunkanku sekaligus memeriksa orang-orang satu bis di sekililingku. Mengejutkan! Ternyata yang membangunkanku  bukanlah polisi yang resmi bertugas, melainkan personil qabilah[1] yang memang biasa mencegat, atau membajak mobil-mobil yang melintas di kawasan mereka.
Setelah tahu keadaan sebenarnya, mataku yang tadinya masih terkantuk menjadi segar seketika, karena terpacu oleh adrenalin yang berkerja ekstra. Aku di paksa turun oleh orang bergamis putih yang memerintahku dengan menggunakan moncong AK-47. Kulihat penumpang yang lain sudah memindahkan barang-barang mereka ke bus yang juga diberhentikan di depan busku. Terlihat juga bapak tua yang tadi duduk bersamaku sedang menempatkan barangnya di bagasi bus depan.
‘Ayo nak, mana barang-barangmu, mari saya bantu pindahkan’, kata bapak tua kepadaku. Masih dalam keadaan panik dan tidak tau harus berbuat apa, ku turuti saja perintah bapak tua tersebut. Kucari barang bawaanku di dalam bagasi, lalu dengannya kupindahkan ke bus lain di depan.
‘Sebenarnya ada apa sih, pak?’
‘Tidak tau juga, yang jelas, bus kita akan dibajak. Maka semua penumpang yang akan ke San’a di suruh pindah ke bus itu’
Aku tidak bisa berfikir sehat ketika itu. Di sekelilingku orang bersenjata berjaga ketat. Sepintas kulirik ke arah bus ku, sopir bus sedang berdebat keras dengan salah seorang pesonil qobilah. Entah apa yang mereka perdebatkan, tapi pastinya sopir bus ingin mempertahankan busnya.
 Dalam kepanikan yang sangat aku akhirnya tersadar kalau sekarang aku sedang berada di Ma’rib, yaitu kota kecil sebelum masuk ke San’a yang memang di jaga ketat oleh para qobilah. apalagi setelah pecahnya demontrasi. Mereka lebih memperketat lapisan pemeriksaan demi kepentingan politik pastinya. Karena sebagian besar dari mereka anti pemerintah.
Di Yaman, senjata api memang bebas diperjualbelikan. Tidak heran kalau mereka semua melikinya. Kalau kita pergi ke restoran di Indonesia, orang-orang menaruh gadget di atas meja makanya, tapi kalau di Yaman, sudah menjadi pemandangan yang biasa ketika orang makan yang di taruh di atas meja adalah peralatan perang. Mulai dari senjata laras panjang sampai pistol revolver diajak makan. Maka dari itu pemerintah pun akan berfikir dua kali jika ingin mengusik kegiatan mereka. Bisa-bisa yang terjadi malah perang saudara.
Akupun hanya bisa terdiam, sambil mengawasi kegiatan mereka. Aku belum mendapat kejelasan, apakah akan dipindah bus atau barang-barangku dibawa pergi dan aku disandera bersama penumpang yang lain. Mulutku tak henti-hentinya mengucap dzikir memohon pertolongan-Nya. Kupasrahkan segala apa yang akan terjadi kepada-Nya. Sampai-sampai aku sempat berfikir, di sinilah akhir hidupku. Karena bukan tidak mungkin salah seorang dari mereka khilaf lalu melepaskan timah panas ke kepalaku. Lalu habislah ceritaku, dan orang tuaku di rumah tidak akan pernah tau aku dikubur dimana, lantaran tidak ada jaringan untuk komunikasi dan pegunungan batu markas qobilah merupakan tempat yang jarang mendapat perhatian pemerintah. Sehingga yang terbunuh disana, akan lenyap bagai debu.
Setelah setengah jam menunggu, debat antara supir busku dan salah seorang personil qobilah selesai. Keputusanya busku dapat melanjutkan perjalanan. Dan aku kembali memindahkan barang-barangku dari bagasi bus di depan ke bagasi busku dengan susah payah. Dan bus pun berjalan kembali. Sebelum berjalan sopir bus berkata kepadaku, ‘di depan nanti, akan masih ada banyak pemeriksaan. Demi kelancaran perjalanan. Setiap ada pemeriksaan, kamu lebih baik berbaring di kursi, lalu kamu tutupi wajahmu dengan jaket kulitmu itu dan jangan bangun kecuali yang memeriksa menegurmu, paham!’ Akupun mengangguk.  
Penumpang bus yang tadinya enam orang sudah berkurang. Rupanya sebelum sampai di Ma’rib telah turun tiga orang. sehingga kami sekarang hanya berlima dengan supir dan kondekturnya. Tak apalah. Paling tidak mimpi burukku selesai. Hidupmu tidak berakir di sini fik! Dan akupun terlelap kembali.
***
Tepat pukul tujuh pagi aku terbangun. Kudapati bus sedang berhenti menepi di pinggir jalan. Lalu kucoba mengangkat kepala sedikit dan melirik keluar. Ternyata lagi-lagi supir bus bernego dengan polisi dan tentara yang berjaga di pintu masuk ke kota San’a. Ya, rupanya aku sudah hampir memasuki kota San’a. Dua orang penumpang lainya turun ke samping bus tuk sekedar olahraga kecil sambil menunggu negosiasi selesai. Sedangkan aku memilih untuk tetap tinggal di bus, karena tidak ingin urusan menjadi tambah panjang karena keberadaanku.
 Sholat subuhku hari ini terlewatkan. Mungkin karena tidurku yang terlalu lelap sehingga supir dan kondekturnya pun enggan membanguniku saat berhenti di tempat peristirahatan. Sudah tidak sabar rasanya ingin cepat masuk ke kota San’a lalu beristirahat di KBRI. Tapi ternyata sudah hampir satu jam aku di pintu masuk kota San’a.
Setelah klimaks tempratur jengah dalam jiwaku, akhirnya buspun boleh memasuki kota San’a. Ia berputar-putar sebentar menyusuri jalan-jalan kota yang pagi itu sangat sepi sebelum akhirnya berhenti di agen. Melihat keadaan yang terjadi,  aku rasa orang-orang juga enggan untuk sekedar keluar rumah mencari sarapan atau membeli kebutuhan lainya. Sebab pasca demo yang terjadi, suasana kota San’a sangat mencekam. Banyak jalan di tutup, tentara-tentara bersenjata berjaga di setiap sudut kota, suara letupan senjata tak henti terdengar, dan tank-tank beserta mobil-mobil amfibi tak mau kalah ikut membuat suasana tambah menjadi runyam.
 Sampailah di agen. Aku langsung mengambil barangku dan memeriksanya agar jangan sampai ada yang tertinggal. Lalu dengan taksi yang barusan aku stop aku pergi menuju KBRI San’a untuk menemui Pak Huda, rekan sepupu iparku di Jakarta.
 Hari itu aku bermalam di rumahnya. Dan keesokan harinya ia mengantarku ke bandara San’a International Airport.
Sangat berbeda, perjalananku menuju bandara begitu mulus tanpa hambatan sedikitpun, walaupun jalan-jalan banyak di tutup disana sini. Dengan Land Cruiser Prado berplat CD aku merasakan sejenak nikmatnya jadi pejabat. Sekilas sangatlah nyaman, tapi akhirnya aku sadar, setiap kenyamanan yang didapat harus dibayar dengan ribuan tanggungjawab yang berat.
Pak Huda mengantarku mulai dari check in, sampai aku masuk ke ruang tunggu dimana hanya penumpang yang diperkenankan masuk. Aku merasa begitu besar pertolongan-Nya kepadaku. Setelah kemarin malam keadaanku carut marut tak menentu.
Sekarang semuanya begitu mudah. Dan ini membuat aku semakin bersyukur dan semakin yakin kalau Dia tidak tidur. Dia akan selalu mendengar keluh kesah hambanya yang mau bersabar menghadapi setiap ujian-ujian yang Ia berikan. Dan Dia pasti akan membukakan jalan keluar untuk setiap masalah hamba-Nya selama hamba-Nya mau berusaha dan memohon segala pertolongan kepada-Nya.
Akupun akhirnya terbang dan kembali kepelukan orang-orang tercinta yang sudah cukup cemas menungguku di rumah.    
    
 



      







[1] Sekelompok kaum berdasarkan keturunan. Seperti yang kita sering baca di buku sejarah. Qobilah Quraiys, artinya kaum quraiys.

No comments:

Post a Comment