Umroh sekeluarga memang kenangan paling indah yang tak
terlupakan. Dan gue berdoa semoga aja mimpi nyokap untuk bisa pergi haji
bersama bisa jadi kenyataan.
Ramadhan 2004. Alhamdulillah gue sekeluarga bisa menjalani ibadah
puasa di tanah suci Mekkah. Sebenarnya pijakan kaki kami yang pertama bukanlah
di Makkah, melainkan di Madinah. Karena sesampainya di bandara King Abdul Aziz
Jeddah, dengan bus kami langsung dibawa ke Madinah.
Cukup nikmat, buka puasa pertama kami lakukan di Masjid
Nabawi. Gue akuin, di Masjid nabawi pelayanan cukup cepat dan rapi. Karena 15
menit sebelum adzan Maghrib berkumandang, plastik panjang sudah digelar di tiap
shaf. Lalu setelah itu berbagai macam menu ta’jil pun dihidangkan. Yang pasti
setiap orang mendapat, semangkuk yogurt, seper empat potong roti gandum
yang kalau ia tidak dibagi, bentuknya akan lebih besar dari Frisbee,
beberapa butir korma, segelas air zam-zam dan tak lupa gahwa (sejenis
kopi bunn, yang biasanya di campur dengan jahe).
Wajarlah, sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia yang suka
sok tau dan gengsi untuk bertanya. Apalagi kalau merasa dirinya sedang
diperhatikan. Melihat menu yang dihidangkan cukup menarik menurut gue, sikap
gue langsung sok-sokan kayak orang arab. Dalam diri, gue serasa memiliki
jenggot lebat dan hidung mancung, padahal untuk berbicara bahasa arab
belepotanya minta ampun.
Setelah makan beberapa butir korma, gue yang ketika itu
duduk di samping bokap, langsung buka yogurt mangkokan dengan gesitnya
mengikuti tingkah laku orang arab yang ada di samping gue. Trus gue potek roti
gandum dengan potekan yang cukup besar lalu gue cocol kemangkuk yogurt
yang ada di depan gue. Dan “haaaup!” Potongan roti berlumuran yogurt yang
cukup besar pun berbaring indah di rongga mulut gue. Lalu seketika itu juga
mata gue langsung melotot dan lidah gue seakan mau berontak akibat efek
mengecap rasa dari makanan yang baru gue makan.
Bokap gue yang dari awal memperhatikan proses gue makan pun
bertanya, “enak ki?” Lalu dengan sigap gue pencet idung gue sampe ga bisa
nafas, menutup mata dan mengunyah dengan kecepatan 80 kunyahan permenit sampai
akhirnya makanan itu bisa masuk keperut gue. Dan hal tersebutlah yang biasa gue lakukan ketika makanan yang
rasanya aneh sudah terlanjur masuk ke mulut, dan ga bisa dikeluarkan karena
situasi dan tempat tidak mendukung untuk melepehkan makanan sembarangan. Baru
setelah usaha yang cukup menguras tenaga gue jawab pertanyaan bokap, “aneh pa,
rasanya…”.
“Bhaahaha…makanya cobain dulu!” sahut bokap gue menang, karena
dia merasa kalau dia ga kena perangkap.
Gue bukanya ga biasa minum yogurt. Tapi rasa yogurtnya
yang ga kayak biasanya. Karena rasanya sangat beda dengan yogurt
Cisangkuy atau yogurt yang biasa dibeli di mini market. Ternyata orang arab
lebih suka yogurt yang murni, tanpa diberi gula atau campuran rasa
lainya.
Setelah merasa tidak puas dengan yogurt dan roti gandum
super besar akhirnya gue coba minum gahwa, karena sudah dari tadi gue
perhatikan orang arab di samping kanan gue enak banget minumnya.
Sebelum meminum gue coba cium dulu baunya, kalau aneh ga
akan gue minum. Karena sebagai orang Indonesia, gue ga mau terjerumus ke lubang
yang sama untuk kedua kalinya. Lalu gue dekat kan hidung gue ke bibir gelas,
dan ternyata…wuih! aromanya begitu menggoda. Tanpa pikir panjang, langsung aja
gue minum segelas gahwa yang sudah hampir dingin, “srruuup!”.
Dan untuk kedua kalinya, mata gue melotot, tangan gue mencet
hidung, lalu kembali mengunyah dengan kecepatan yang sama, hingga “glegek!” Lho,
ko dikunyah? Ya… karena itu sudah menjadi bagian dari rukun, jadi harus
dikerjakan, tidak sah jadinya kalau ditinggalkan.
***
Setelah tiga hari kami di Madinah, tibalah waktunya untuk
melaksanakan umroh ke Makkah. Perjalanan dari Madinah ke Makkah cukup menguras
tenaga. Apalagi di bulan puasa. Walaupun naik bus ber-AC tetap serasa naik onta
kehilangan punuk akibat kehausan ketika melihat pemandangan diluar hanya ada
gunung batu dan hamparan pasir. Walaupun akhirnya gue sadar, ternyata batu itu indah.
Sesampainya di Makkah kami langsung menuju Masjidil Haram,
sungguh takjub gue, ketika pertama kali melihat Ka’bah. Rasanya hati ini
bergetar, mata tak kuat menahan air mata syukur, dan mulut tak henti-hentinya
mengucap tasbih dan tahmid.
Dengan kain ihrom yang hampir melorot, gue berjalan
mengelilingi Ka’bah sambil memengang tangan bokap. Di belakang gue dan bokap,
ada adik gue Fira sama nyokap juga saling menuntun. Maklum, peminat umroh
ketika Ramadan cukup banyak sehingga akan dengan mudah kita kehilangan satu
sama lain.
Tawaf putaran ke tigapun terselesaikan dan masuklah pada
putaran yang ke empat. Betapa kagetnya gue ketika gue menatap ke arah bokap,
ternyata yang gue tuntun bukan bokap gue. Dan orang yang gue tuntun juga ikutan
kaget setelah tau kalau yang dia tuntun bukan istrinya. Lalu gue lihat
kebelakang, ternyata adik gue sama nyokap juga ga ada. Waaahh… gaswat! Kalau hilang
di Cililitan, gue masih tau jalan pulang. Ini hilangnya di Masjidil Haram, yang
mana kalau tidak hafal di pintu mana ketika masuk, pasti akan kebingungan
mencari sandal ketika keluar.
Sebenernya sih ada cara mudah, agar gue bisa diketemukan
kembali sama bokap dan nyokap gue dengan cepat. Yaitu dengan menerobos lautan
manusia sampai menempel ke Ka’bah, trus gue panjat kainya sampai akhirnya gue
berada di puncak Ka’bah, lalu gue teriak,”Papa…! Mama…! Fiki di sini pa…ma…!”
Tapi ga mungkinlah gue melakukan hal itu, karena gue ga bisa
manjat dan karena kemungkinan yang terjadi jika hal itu beneran gue lakukan
cuma dua. Yang pertama bokap nyokap gue akan pura-pura ga kenal dan memilih
melanjutkan thawaf dan sa’inya, lalu melapor ke polisi kalau anaknya hilang
ketika thawaf. Dan yang ke dua, setelah turun dari atas Ka’bah, gua akan
dibunuh karena dikira ngaku Tuhan. Kalaupun tidak dibunuh, larinya pasti ke
rumah sakit jiwa.
Akhirnya, karena sudah terlalu banyak hal-hal konyol yang
bersarang di otak gue. Gue lebih memilih menyelesaikan thawaf dan sa’i terlebih
dahulu baru setelah itu mencari bokap, nyokap dan ade gue.
Setelah tahalul, gue coba kelilingi itu yang namanya
Masjidil Haram, ternyata capeknya minta ampun. Ga jauh beda sama lari pagi di
senayan, cuma bedanya di sini ga ada tukang bubur ayam. Untungnya gak sampai
harus menyelesaikan satu putaran gue sudah bisa bertemu dan berkumpul lagi
dengan keluarga tercinta. Dan nyokap langsung bilang, “Fiki kemana aja? Mama
sempat cemas takut Fiki kenapa-kenapa!” Dengan nada lesu gue menjawab,”ga tau
ma…tadi salah nuntun”.
Eh… adik gue malah ngakak, *jitak…!*
***
Pagi yang cerah, dan cuasa yang tidak terlalu panas, sangat
mendukung untuk melaksanakan ibadah umroh yang ke dua. Akhirnya setelah sarapan
pagi, kami langsung pergi untuk mengambil miqot untuk berihrom.
Di umroh yang ke dua ini gue bertekad bahwa gue ga boleh
kehilangan keluarga gue lagi. Akhirnya tiap selesai satu putaran thawaf, gue
selalu mengabsen untuk memastikan gue ga salah tuntun. “Papa… Mama… Fira…”, dan
mereka selalu bilang “haaadir!” seusai namanya disebut.
Thawaf pun selesai, dan gue sangat bahagia karena gue ga
kehilangan keluarga gue lagi. Lalu kami pun melanjutkan ibadah dengan
melaksanakan sa’i.
Tidak jauh berbeda konsepnya dengan thawaf, gue tetap
mengabsen keluarga gue setiap akan melanjutkan sa’i. Dan mereka juga selalu
bilang ‘hadir’ ketika diabsen.
Putaran pertama, putaran kedua, putaran ketiga,
Alhamdulillah kami lancar menjalankanya. Di sa’i putaran ke empat entah kenapa
tiba-tiba saja otak gue berfikir, menerka, meraba, seakan ada yang kurang. Spontan
saja dengan cepatnya processor di kepala gue mengurutkan semua kejadian
mulai dari hotel, sampai di tempat sa’i sekarang. “Ambil miqot udah, berihrom
udah, niat juga udah” kata gue dalem hati.
Sambil berjalan, gue terus mencoba untuk menerka, “apalagi
yang kurang, apa yang ketinggalan”. Lalu tak lama setelah berfikir keras,
“astaga…! Pa… Fiki masih pake kancut!” kata gue ke bokap.
“Hah… yang bener! Coba periksa lagi!” kata bokap gue. Nyokap
sama adik gue ngeliat gue dengan mimik bingung seakan memastikan kalau gue ga
lagi bercanda.
“Bener pa… masih pake!” timpal gue lagi.
“Yaudah, sebentar lagi sampe bukit Shafa, lepas di sana
aja!” Katanya nyokap gue. Bokap sama adik gue pun mengamini.
“Ya ampun ma…! Kan kan banyak orang!” gue coba mengelak,
karena gue juga ga mau acara umroh bareng keluarga dibumbui dengan cerita
melepas celana dalam di bukit Shofa. Apa jadinya?
“Yaa…abis mau gimana lagi?” Mau ngulang umroh dari awal?”
kata nyokap gue lagi.
Akhirnya sesampainya di bukit Shofa, kami sekeluarga
berkumpul di pojok, yang mana seingat gue di pojok terdapat sebuah lemari besar
atau apa yang gue juga kurang ingat pastinya. Lalu tak lama kemudian, bokap,
nyokap, dan adik gue sudah membentuk formasi untuk menutupi gue yang akan
melepas celana dalam.
“Udah belom bang…lama amat!” kata adik gue.
“Iya nih bentar lagi… ni juga udah”, jawab gue.
Dan setelah selesai, “udah ni ma… taro dimana yaa?” tanya
gue ke nyokap.
“Yaudah, selipin di bawah situ aja!” kata nyokap sambil
menunjuk kearah lemari yang gue sebut tadi. Dan ketika gue selipkan celana
dalam gue, ternyata dia ga sendirian. Sudah ada beberapa temanya yang sedang
tertidur pulas di bawah selipan lemari. Hati gue lumayan lega, karena yang
punya cerita seperti ini ga gue sendiri.
Lalu setelah merasa benar-benar aman, kamipun melanjutkan sa’i layaknya orang
yang beristirahat sejenak lalu berjalan kembali.





amit-amit fikiiiiii hahahahahahaha ga kebayang tuh pas adegan lo buka CD. Horor gila haha
ReplyDelete