Wednesday, July 3, 2013

CD Ku di Bukit Shofa



Umroh sekeluarga memang kenangan paling indah yang tak terlupakan. Dan gue berdoa semoga aja mimpi nyokap untuk bisa pergi haji bersama bisa jadi kenyataan.
Ramadhan 2004. Alhamdulillah gue sekeluarga bisa menjalani ibadah puasa di tanah suci Mekkah. Sebenarnya pijakan kaki kami yang pertama bukanlah di Makkah, melainkan di Madinah. Karena sesampainya di bandara King Abdul Aziz Jeddah, dengan bus kami langsung dibawa ke Madinah.
Cukup nikmat, buka puasa pertama kami lakukan di Masjid Nabawi. Gue akuin, di Masjid nabawi pelayanan cukup cepat dan rapi. Karena 15 menit sebelum adzan Maghrib berkumandang, plastik panjang sudah digelar di tiap shaf. Lalu setelah itu berbagai macam menu ta’jil pun dihidangkan. Yang pasti setiap orang mendapat, semangkuk yogurt, seper empat potong roti gandum yang kalau ia tidak dibagi, bentuknya akan lebih besar dari Frisbee, beberapa butir korma, segelas air zam-zam dan tak lupa gahwa (sejenis kopi bunn, yang biasanya di campur dengan jahe).
Wajarlah, sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia yang suka sok tau dan gengsi untuk bertanya. Apalagi kalau merasa dirinya sedang diperhatikan. Melihat menu yang dihidangkan cukup menarik menurut gue, sikap gue langsung sok-sokan kayak orang arab. Dalam diri, gue serasa memiliki jenggot lebat dan hidung mancung, padahal untuk berbicara bahasa arab belepotanya minta ampun.
Setelah makan beberapa butir korma, gue yang ketika itu duduk di samping bokap, langsung buka yogurt mangkokan dengan gesitnya mengikuti tingkah laku orang arab yang ada di samping gue. Trus gue potek roti gandum dengan potekan yang cukup besar lalu gue cocol kemangkuk yogurt yang ada di depan gue. Dan “haaaup!” Potongan roti berlumuran yogurt yang cukup besar pun berbaring indah di rongga mulut gue. Lalu seketika itu juga mata gue langsung melotot dan lidah gue seakan mau berontak akibat efek mengecap rasa dari makanan yang baru gue makan.
Bokap gue yang dari awal memperhatikan proses gue makan pun bertanya, “enak ki?” Lalu dengan sigap gue pencet idung gue sampe ga bisa nafas, menutup mata dan mengunyah dengan kecepatan 80 kunyahan permenit sampai akhirnya makanan itu bisa masuk keperut gue. Dan hal tersebutlah  yang biasa gue lakukan ketika makanan yang rasanya aneh sudah terlanjur masuk ke mulut, dan ga bisa dikeluarkan karena situasi dan tempat tidak mendukung untuk melepehkan makanan sembarangan. Baru setelah usaha yang cukup menguras tenaga gue jawab pertanyaan bokap, “aneh pa, rasanya…”.
“Bhaahaha…makanya cobain dulu!” sahut bokap gue menang, karena dia merasa kalau dia ga kena perangkap.
Gue bukanya ga biasa minum yogurt. Tapi rasa yogurtnya yang ga kayak biasanya. Karena rasanya sangat beda dengan yogurt Cisangkuy atau yogurt yang biasa dibeli di mini market. Ternyata orang arab lebih suka yogurt yang murni, tanpa diberi gula atau campuran rasa lainya.
Setelah merasa tidak puas dengan yogurt dan roti gandum super besar akhirnya gue coba minum gahwa, karena sudah dari tadi gue perhatikan orang arab di samping kanan gue enak banget minumnya.
Sebelum meminum gue coba cium dulu baunya, kalau aneh ga akan gue minum. Karena sebagai orang Indonesia, gue ga mau terjerumus ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Lalu gue dekat kan hidung gue ke bibir gelas, dan ternyata…wuih! aromanya begitu menggoda. Tanpa pikir panjang, langsung aja gue minum segelas gahwa yang sudah hampir dingin, “srruuup!”.
Dan untuk kedua kalinya, mata gue melotot, tangan gue mencet hidung, lalu kembali mengunyah dengan kecepatan yang sama, hingga “glegek!” Lho, ko dikunyah? Ya… karena itu sudah menjadi bagian dari rukun, jadi harus dikerjakan, tidak sah jadinya kalau ditinggalkan.
***
Setelah tiga hari kami di Madinah, tibalah waktunya untuk melaksanakan umroh ke Makkah. Perjalanan dari Madinah ke Makkah cukup menguras tenaga. Apalagi di bulan puasa. Walaupun naik bus ber-AC tetap serasa naik onta kehilangan punuk akibat kehausan ketika melihat pemandangan diluar hanya ada gunung batu dan hamparan pasir. Walaupun  akhirnya gue sadar, ternyata batu itu indah.
Sesampainya di Makkah kami langsung menuju Masjidil Haram, sungguh takjub gue, ketika pertama kali melihat Ka’bah. Rasanya hati ini bergetar, mata tak kuat menahan air mata syukur, dan mulut tak henti-hentinya mengucap tasbih dan tahmid.
Dengan kain ihrom yang hampir melorot, gue berjalan mengelilingi Ka’bah sambil memengang tangan bokap. Di belakang gue dan bokap, ada adik gue Fira sama nyokap juga saling menuntun. Maklum, peminat umroh ketika Ramadan cukup banyak sehingga akan dengan mudah kita kehilangan satu sama lain.
Tawaf putaran ke tigapun terselesaikan dan masuklah pada putaran yang ke empat. Betapa kagetnya gue ketika gue menatap ke arah bokap, ternyata yang gue tuntun bukan bokap gue. Dan orang yang gue tuntun juga ikutan kaget setelah tau kalau yang dia tuntun bukan istrinya. Lalu gue lihat kebelakang, ternyata adik gue sama nyokap juga ga ada. Waaahh… gaswat! Kalau hilang di Cililitan, gue masih tau jalan pulang. Ini hilangnya di Masjidil Haram, yang mana kalau tidak hafal di pintu mana ketika masuk, pasti akan kebingungan mencari sandal ketika keluar.
Sebenernya sih ada cara mudah, agar gue bisa diketemukan kembali sama bokap dan nyokap gue dengan cepat. Yaitu dengan menerobos lautan manusia sampai menempel ke Ka’bah, trus gue panjat kainya sampai akhirnya gue berada di puncak Ka’bah, lalu gue teriak,”Papa…! Mama…! Fiki di sini pa…ma…!”
Tapi ga mungkinlah gue melakukan hal itu, karena gue ga bisa manjat dan karena kemungkinan yang terjadi jika hal itu beneran gue lakukan cuma dua. Yang pertama bokap nyokap gue akan pura-pura ga kenal dan memilih melanjutkan thawaf dan sa’inya, lalu melapor ke polisi kalau anaknya hilang ketika thawaf. Dan yang ke dua, setelah turun dari atas Ka’bah, gua akan dibunuh karena dikira ngaku Tuhan. Kalaupun tidak dibunuh, larinya pasti ke rumah sakit jiwa.
Akhirnya, karena sudah terlalu banyak hal-hal konyol yang bersarang di otak gue. Gue lebih memilih menyelesaikan thawaf dan sa’i terlebih dahulu baru setelah itu mencari bokap, nyokap dan ade gue.
Setelah tahalul, gue coba kelilingi itu yang namanya Masjidil Haram, ternyata capeknya minta ampun. Ga jauh beda sama lari pagi di senayan, cuma bedanya di sini ga ada tukang bubur ayam. Untungnya gak sampai harus menyelesaikan satu putaran gue sudah bisa bertemu dan berkumpul lagi dengan keluarga tercinta. Dan nyokap langsung bilang, “Fiki kemana aja? Mama sempat cemas takut Fiki kenapa-kenapa!” Dengan nada lesu gue menjawab,”ga tau ma…tadi salah nuntun”.
Eh… adik gue malah ngakak, *jitak…!*
***



Pagi yang cerah, dan cuasa yang tidak terlalu panas, sangat mendukung untuk melaksanakan ibadah umroh yang ke dua. Akhirnya setelah sarapan pagi, kami langsung pergi untuk mengambil miqot untuk berihrom.
Di umroh yang ke dua ini gue bertekad bahwa gue ga boleh kehilangan keluarga gue lagi. Akhirnya tiap selesai satu putaran thawaf, gue selalu mengabsen untuk memastikan gue ga salah tuntun. “Papa… Mama… Fira…”, dan mereka selalu bilang “haaadir!” seusai namanya disebut.
Thawaf pun selesai, dan gue sangat bahagia karena gue ga kehilangan keluarga gue lagi. Lalu kami pun melanjutkan ibadah dengan melaksanakan sa’i.
Tidak jauh berbeda konsepnya dengan thawaf, gue tetap mengabsen keluarga gue setiap akan melanjutkan sa’i. Dan mereka juga selalu bilang ‘hadir’ ketika diabsen.  
Putaran pertama, putaran kedua, putaran ketiga, Alhamdulillah kami lancar menjalankanya. Di sa’i putaran ke empat entah kenapa tiba-tiba saja otak gue berfikir, menerka, meraba, seakan ada yang kurang. Spontan saja dengan cepatnya processor di kepala gue mengurutkan semua kejadian mulai dari hotel, sampai di tempat sa’i sekarang. “Ambil miqot udah, berihrom udah, niat juga udah” kata gue dalem hati.
Sambil berjalan, gue terus mencoba untuk menerka, “apalagi yang kurang, apa yang ketinggalan”. Lalu tak lama setelah berfikir keras, “astaga…! Pa… Fiki masih pake kancut!” kata gue ke bokap.
“Hah… yang bener! Coba periksa lagi!” kata bokap gue. Nyokap sama adik gue ngeliat gue dengan mimik bingung seakan memastikan kalau gue ga lagi bercanda.
“Bener pa… masih pake!” timpal gue lagi.
“Yaudah, sebentar lagi sampe bukit Shafa, lepas di sana aja!” Katanya nyokap gue. Bokap sama adik gue pun mengamini.
“Ya ampun ma…! Kan kan banyak orang!” gue coba mengelak, karena gue juga ga mau acara umroh bareng keluarga dibumbui dengan cerita melepas celana dalam di bukit Shofa. Apa jadinya?
“Yaa…abis mau gimana lagi?” Mau ngulang umroh dari awal?” kata nyokap gue lagi.
Akhirnya sesampainya di bukit Shofa, kami sekeluarga berkumpul di pojok, yang mana seingat gue di pojok terdapat sebuah lemari besar atau apa yang gue juga kurang ingat pastinya. Lalu tak lama kemudian, bokap, nyokap, dan adik gue sudah membentuk formasi untuk menutupi gue yang akan melepas celana dalam.
“Udah belom bang…lama amat!” kata adik gue.
“Iya nih bentar lagi… ni juga udah”, jawab gue.
Dan setelah selesai, “udah ni ma… taro dimana yaa?” tanya gue ke nyokap.
“Yaudah, selipin di bawah situ aja!” kata nyokap sambil menunjuk kearah lemari yang gue sebut tadi. Dan ketika gue selipkan celana dalam gue, ternyata dia ga sendirian. Sudah ada beberapa temanya yang sedang tertidur pulas di bawah selipan lemari. Hati gue lumayan lega, karena yang punya cerita seperti ini ga gue sendiri.
  Lalu setelah merasa benar-benar  aman, kamipun melanjutkan sa’i layaknya orang yang beristirahat sejenak lalu berjalan kembali.

1 comment:

  1. amit-amit fikiiiiii hahahahahahaha ga kebayang tuh pas adegan lo buka CD. Horor gila haha

    ReplyDelete