Friday, May 24, 2013

Fiki kecil




Tumbuh dan berkembang merupakan ciri mahluk hidup. Sebagai mahluk hidup aku mencoba untuk menyesuaikan diri agar tetap eksis, walaupun dalam proses tumbuh banyak hal-hal aneh yang aku lakukan dan orang tuaku atau orang dewasa lainya menganggap itu hal lumrah karena aku masih dalam proses pembelajaran.
Aku teringat ketika aku belajar buka kancing. Secara perlahan ibuku menuntunku,”gini Ki caranya!” Pelan-pelan ibuku memperlihatkan bagaimana ia memasukkan dan mengeluarkan kancing. Akupun dengan seksama memperhatikan. Karena membuka kancing adalah jalan untuk aku meraih prestasi baru di umurku yang masih balita. Jadi ketika ada keluarga atau tetangga yang datang ibuku akan bilang,”eh liat deh… si Fiki udah bisa buka kancing!” Lalu aku keluar dari kamar dengan menggunakan baju kemeja yang sudah terkancing kemudian aku mempertunjukkan kebolehanku membuka kancing. Andai saja ketika itu aku sudah mengerti uang, maka di depan rumah akan aku taruh sebuah kaleng lalu kutulis “Pertunjukkan Membuka Kancing. Per orang Rp 100”.
Setelah belajar sekian lama, ternyata aku gagal dalam pelajaran membuka kancing. Kegagalan ku terbukti pada suatu hari, ketika itu kami sekeluarga baru pulang dari pesta perkawinan. Dan aku ketika itu memakai kemeja andalanku waktu kecil, yang mana pastinya saat itu bukan aku yang memasang kancingnya, karena tidak etis kami terlambat datang kepesta hanya karena menungguku memasang kancing.  Dengan warnanya yang tidak jelas dan coraknyapun tidak beraturan aku tetap pede memakai kemeja tersebut. Bisa dibilang abstrak.
Lalu dengan suara lantang aku memanggil ibuku,”ma… mama… sini ma! Fiki dah bisa buka kancing”. Ibuku langsung menghampiriku seraya melihat lalu berkata,”itu sih bukan buka namanya, tapi nyopotin”. Karena yang kulakukan waktu itu yaitu menarik ujung baju kuat-kuat dengan tangan kanan dan kiriku layaknya Superman yang akan berubah wujud.
“Tapi ini kebuka lho ma bajunya, liat deh”, celotehku lagi karena ingin perbuatanku dibenarkan oleh ibuku. “Iya…iya…”, sambil ibuku memunguti satu persatu biji kancing yang berserakan.
Aku juga teringat ketika aku tersengat phobia takut terhadap ledakan balon. Jadi setiap ada balon diledakkan aku langsung menangis sekencang-kencangnya. Mungkin bisa jadi sebenarnya ketika itu aku terlalu menghayati lagu nasional anak kecil yang berjudul ‘balonku’, tepatnya pada bait,”meletus balon hijau Dorr! Hatiku sangat kacau”. Dan sangking kacaunya aku jadi menangis tersedu-sedu. Seharusnya lagu itu tidak diajarkan.
Tapi sudah tahu keadaanku seperti itu, masih saja setiap perayaan ulang tahun harus ada ritual meledakkan balon. Mungkin di era ini sudah tidak lagi. Tapi di era 90-an meledakkan balon merupakan ritual wajib bahkan bisa menjadi inti setelah meniup lilin. Karena buktinya aku harus menjalani ritual tersebut setiap kali ulang tahunku dirayakan. Dan konsepnya adalah, yang meledakkan balonya harus orang yang  berulang tahun dan tidak bisa diwakilkan. Maka yang terjadi setiap kali, ulang tahunku dirayakan aku akan membuka kado setelah selesai menangis.
  Aku juga teringat ketika aku paling susah disuruh mandi. Apalagi hari minggu. Karena menurutku saat itu, mandi adalah sesuatu yang merusak suasana. Maka ketika kecil, aku tidak akan mandi kecuali momenya benar-benar penting.
Ibuku sering stress  dengan kelakuanku yang susah disuruh mandi. Sudah tampilan tidak karuan, badan kotor, baju kotor, bau lagi. Lengkap sudah. Bisa dibilang keadaanku sangat the kill and the kummel. Tapi istilah yang paling sering dilontarkan ibuku ketika menyuruhku mandi,”Fiki… ayo mandi! Ih…baunya dah tujuh rupa!” Dalam hati,”itu tujuh lupa bau apa aja ma???”
Sangking malesnya mandi, aku bisa nangis sekencang-kenjangnya bila dipaksa mandi. Suatu ketika aku sedang main pasir, karena hari sudah sore, maka ibuku seperti biasanya harus teriak-teriak dulu menyuruhku mandi, “Fiki… udah sore, ayo mandi!” kata ibuku.”Bental lagi ma, telowonganya belom jadi”, celotehku.
“Mandi dulu nanti main lagi”, ibuku tidak putus asa. Yang penting aku mandi dulu, nanti mau kotor-kotoran lagi urusan belakangan. Sekilas mungkin teorinya salah. Karena, kalau ibu biasa, dia lebih memilih membiarkan anaknya main sampe puas. Dan setelah kotor semua baru dia memandikanya, jadi tidak kerja dua kali. Berhubung ibuku luar biasa, maka dia punya teori sendiri. Dan itu mematikan.
“Ga mau ma… masih tanggung”, biasa lah anak kecil selalu menjawab dan keras kepala.
Akhirnya ketika aku sedang fokus terhadap terowongan pasirku, saat itulah aku lengah. Aku pikir ibuku sudah meridhoiku untuk terus bermain. Ternyata tidak. Dengan sigap ia menggendongku dari belakang tanpa sepengetahuanku. Lalu dibawanya aku ke kamar mandi dan tanpa basa basi lansung diguyur, byurr! Spontan aku langsung menangis berbarengan dengan guyuran air,”huaaa…huaaa…huaaa…m-m-masih m-m-mau…m-m-main pasiiii…l”, celotehku mencoba terus berbicara di tengah derasnya tangis.
“Iya… habis ini boleh ko main lagi”, kata ibuku coba menenangkanku sambil mengosok-gosok badanku dengan sabun. Dan benar saja setelah selesai mandi dan bedakan, aku diperbolehkan main pasir lagi.  
Di saat aku menyentuh pasir kembali. Pyeess! Rasanya setelah mandi jauh berbeda dengan sebelum mandi. Hambar, tidak ada rasa dan kurang menggairahkan. Memang benar, mandi itu sangat merusak suasana. Mungkin ibuku lebih tahu teori itu. Dan itulah yang membuatnya menjadi luar biasa. I love you mom.
Dan bagi yang tidak percaya, silahkan coba teori tersebut. Insya Allah ampuh.
Yang aku ingat lagi saat balita, aku paling takut cukur rambut. Entah kenapa, setiap kali dicukur, aku pasti menangis lagi tersedu-sedu. Tapi mungkin sebenarnya aku berani, karena ketika ayahku mengajak,”Fiki…cukur rambut bareng papa yuk!”.
“Ayuk!” jawabku.
“Berani ga?” Tanya ayahku.
“Belani lah pa”, celotehku.
Sampailah di tukang cukur. Ketika duduk diatas papan tambahan, dan aku mengaca aku masih biasa. Tapi ketika gunting cukur menghantam rambutku, itulah peluit start untuk aku mulai menangis,”huaa…huaa…huaaa…”. Tapi anehnya ketika itu aku tidak punya inisiatif turun atau kabur dari kursi cukur. Posisi tetap tegak, kepala tidak bergoyang, tapi menangis.
Wuah… masa kecil memang penuh kenangan. Karena dimasa itu kita baru mengenal dunia, meraba serta  mencari arti wujud kita yang sebenarnya. Dan yang tidak terlupakan juga, aku paling sering bertengkar dengan adikku. Cakar, cakaran, lempar-lemparan bantal, main guling-gulingan di kasur dan apa saja yang bisa kami jadikan sarana untuk bertengkar kami lakukan. Lalu setelah salah satu merasa dirugikan dia akan menangis dan mengadu. Dan baru setelah lelah menangis kami tertidur, dan bangun dengan saling bermaafan kembali.
Indah, lucu, dan penuh kenangan. Begitu mudah kami untuk bertengkar, tapi mudah pula untuk kembali bermaafan. Seakan tidak pernah ada beban. Karena dari kecil yang ditanamkan kedua orang tuaku adalah, kita ini bersaudara. Aku kakak, dan Fira adik. Karena kami hanya dua bersaudara, jika salah satu diantara kami hilang maka tidak ada gantinya.
Miris rasanya melihat banyak orang sekarang yang sudah tidak peduli dengan hubungan darah.
Lho…ko jadi seperti sinetron akhirnya… Mungkin ini pengaruh “Bayi yang tertukar”. Semua orang jadi mendramatisir setiap kejadian. Haha.
Dan terakhir yang aneh dari masa kecilku yang masih bisa kuingat. Entah mengapa gigi seriku tumbuhnya tidak berwarna putih? Tapi hitam. Begitu juga dengan adikku. Bedanya gigiku yang hitam 4 dan adikku 3. Mungkin karena aku kakak dan dia adik maka jumlah gigi hitamku lebih banyak. Sungguh Tuhan Maha adil. Maka jadilah kita sepasang kakak adik yang bergigi susu hitam.


 

No comments:

Post a Comment