Tumbuh
dan berkembang merupakan ciri mahluk hidup. Sebagai mahluk hidup aku mencoba
untuk menyesuaikan diri agar tetap eksis, walaupun dalam proses tumbuh banyak
hal-hal aneh yang aku lakukan dan orang tuaku atau orang dewasa lainya
menganggap itu hal lumrah karena aku masih dalam proses pembelajaran.
Aku
teringat ketika aku belajar buka kancing. Secara perlahan ibuku menuntunku,”gini
Ki caranya!” Pelan-pelan ibuku memperlihatkan bagaimana ia memasukkan dan
mengeluarkan kancing. Akupun dengan seksama memperhatikan. Karena membuka
kancing adalah jalan untuk aku meraih prestasi baru di umurku yang masih
balita. Jadi ketika ada keluarga atau tetangga yang datang ibuku akan
bilang,”eh liat deh… si Fiki udah bisa buka kancing!” Lalu aku keluar dari kamar
dengan menggunakan baju kemeja yang sudah terkancing kemudian aku
mempertunjukkan kebolehanku membuka kancing. Andai saja ketika itu aku sudah
mengerti uang, maka di depan rumah akan aku taruh sebuah kaleng lalu kutulis
“Pertunjukkan Membuka Kancing. Per orang Rp 100”.
Setelah
belajar sekian lama, ternyata aku gagal dalam pelajaran membuka kancing. Kegagalan
ku terbukti pada suatu hari, ketika itu kami sekeluarga baru pulang dari pesta
perkawinan. Dan aku ketika itu memakai kemeja andalanku waktu kecil, yang mana
pastinya saat itu bukan aku yang memasang kancingnya, karena tidak etis kami
terlambat datang kepesta hanya karena menungguku memasang kancing. Dengan warnanya yang tidak jelas dan
coraknyapun tidak beraturan aku tetap pede memakai kemeja tersebut. Bisa
dibilang abstrak.
Lalu
dengan suara lantang aku memanggil ibuku,”ma… mama… sini ma! Fiki dah bisa buka
kancing”. Ibuku langsung menghampiriku seraya melihat lalu berkata,”itu sih
bukan buka namanya, tapi nyopotin”. Karena yang kulakukan waktu itu yaitu
menarik ujung baju kuat-kuat dengan tangan kanan dan kiriku layaknya Superman
yang akan berubah wujud.
“Tapi
ini kebuka lho ma bajunya, liat deh”, celotehku lagi karena ingin perbuatanku
dibenarkan oleh ibuku. “Iya…iya…”, sambil ibuku memunguti satu persatu biji
kancing yang berserakan.
Aku
juga teringat ketika aku tersengat phobia takut terhadap ledakan balon. Jadi
setiap ada balon diledakkan aku langsung menangis sekencang-kencangnya. Mungkin
bisa jadi sebenarnya ketika itu aku terlalu menghayati lagu nasional anak kecil
yang berjudul ‘balonku’, tepatnya pada bait,”meletus balon hijau Dorr! Hatiku
sangat kacau”. Dan sangking kacaunya aku jadi menangis tersedu-sedu. Seharusnya
lagu itu tidak diajarkan.
Tapi
sudah tahu keadaanku seperti itu, masih saja setiap perayaan ulang tahun harus
ada ritual meledakkan balon. Mungkin di era ini sudah tidak lagi. Tapi di era
90-an meledakkan balon merupakan ritual wajib bahkan bisa menjadi inti setelah
meniup lilin. Karena buktinya aku harus menjalani ritual tersebut setiap kali
ulang tahunku dirayakan. Dan konsepnya adalah, yang meledakkan balonya harus
orang yang berulang tahun dan tidak bisa
diwakilkan. Maka yang terjadi setiap kali, ulang tahunku dirayakan aku akan
membuka kado setelah selesai menangis.
Aku juga teringat ketika aku paling susah
disuruh mandi. Apalagi hari minggu. Karena menurutku saat itu, mandi adalah
sesuatu yang merusak suasana. Maka ketika kecil, aku tidak akan mandi kecuali
momenya benar-benar penting.
Ibuku
sering stress dengan kelakuanku yang
susah disuruh mandi. Sudah tampilan tidak karuan, badan kotor, baju kotor, bau
lagi. Lengkap sudah. Bisa dibilang keadaanku sangat the kill and the kummel.
Tapi istilah yang paling sering dilontarkan ibuku ketika menyuruhku mandi,”Fiki…
ayo mandi! Ih…baunya dah tujuh rupa!” Dalam hati,”itu tujuh lupa bau apa aja
ma???”
Sangking
malesnya mandi, aku bisa nangis sekencang-kenjangnya bila dipaksa mandi. Suatu
ketika aku sedang main pasir, karena hari sudah sore, maka ibuku seperti
biasanya harus teriak-teriak dulu menyuruhku mandi, “Fiki… udah sore, ayo
mandi!” kata ibuku.”Bental lagi ma, telowonganya belom jadi”, celotehku.
“Mandi
dulu nanti main lagi”, ibuku tidak putus asa. Yang penting aku mandi dulu,
nanti mau kotor-kotoran lagi urusan belakangan. Sekilas mungkin teorinya salah.
Karena, kalau ibu biasa, dia lebih memilih membiarkan anaknya main sampe puas.
Dan setelah kotor semua baru dia memandikanya, jadi tidak kerja dua kali.
Berhubung ibuku luar biasa, maka dia punya teori sendiri. Dan itu mematikan.
“Ga
mau ma… masih tanggung”, biasa lah anak kecil selalu menjawab dan keras kepala.
Akhirnya
ketika aku sedang fokus terhadap terowongan pasirku, saat itulah aku lengah.
Aku pikir ibuku sudah meridhoiku untuk terus bermain. Ternyata tidak. Dengan
sigap ia menggendongku dari belakang tanpa sepengetahuanku. Lalu dibawanya aku
ke kamar mandi dan tanpa basa basi lansung diguyur, byurr! Spontan aku langsung
menangis berbarengan dengan guyuran air,”huaaa…huaaa…huaaa…m-m-masih m-m-mau…m-m-main
pasiiii…l”, celotehku mencoba terus berbicara di tengah derasnya tangis.
“Iya…
habis ini boleh ko main lagi”, kata ibuku coba menenangkanku sambil
mengosok-gosok badanku dengan sabun. Dan benar saja setelah selesai mandi dan
bedakan, aku diperbolehkan main pasir lagi.
Di
saat aku menyentuh pasir kembali. Pyeess! Rasanya setelah mandi jauh berbeda
dengan sebelum mandi. Hambar, tidak ada rasa dan kurang menggairahkan. Memang
benar, mandi itu sangat merusak suasana. Mungkin ibuku lebih tahu teori itu.
Dan itulah yang membuatnya menjadi luar biasa. I love you mom.
Dan
bagi yang tidak percaya, silahkan coba teori tersebut. Insya Allah ampuh.
Yang
aku ingat lagi saat balita, aku paling takut cukur rambut. Entah kenapa, setiap
kali dicukur, aku pasti menangis lagi tersedu-sedu. Tapi mungkin sebenarnya aku
berani, karena ketika ayahku mengajak,”Fiki…cukur rambut bareng papa yuk!”.
“Ayuk!”
jawabku.
“Berani
ga?” Tanya ayahku.
“Belani
lah pa”, celotehku.
Sampailah
di tukang cukur. Ketika duduk diatas papan tambahan, dan aku mengaca aku masih
biasa. Tapi ketika gunting cukur menghantam rambutku, itulah peluit start untuk
aku mulai menangis,”huaa…huaa…huaaa…”. Tapi anehnya ketika itu aku tidak punya
inisiatif turun atau kabur dari kursi cukur. Posisi tetap tegak, kepala tidak
bergoyang, tapi menangis.
Wuah…
masa kecil memang penuh kenangan. Karena dimasa itu kita baru mengenal dunia,
meraba serta mencari arti wujud kita
yang sebenarnya. Dan yang tidak terlupakan juga, aku paling sering bertengkar
dengan adikku. Cakar, cakaran, lempar-lemparan bantal, main guling-gulingan di
kasur dan apa saja yang bisa kami jadikan sarana untuk bertengkar kami lakukan.
Lalu setelah salah satu merasa dirugikan dia akan menangis dan mengadu. Dan
baru setelah lelah menangis kami tertidur, dan bangun dengan saling bermaafan
kembali.
Indah,
lucu, dan penuh kenangan. Begitu mudah kami untuk bertengkar, tapi mudah pula
untuk kembali bermaafan. Seakan tidak pernah ada beban. Karena dari kecil yang
ditanamkan kedua orang tuaku adalah, kita ini bersaudara. Aku kakak, dan Fira
adik. Karena kami hanya dua bersaudara, jika salah satu diantara kami hilang
maka tidak ada gantinya.
Miris
rasanya melihat banyak orang sekarang yang sudah tidak peduli dengan hubungan
darah.
Lho…ko
jadi seperti sinetron akhirnya… Mungkin ini pengaruh “Bayi yang tertukar”.
Semua orang jadi mendramatisir setiap kejadian. Haha.
Dan
terakhir yang aneh dari masa kecilku yang masih bisa kuingat. Entah mengapa
gigi seriku tumbuhnya tidak berwarna putih? Tapi hitam. Begitu juga dengan
adikku. Bedanya gigiku yang hitam 4 dan adikku 3. Mungkin karena aku kakak dan
dia adik maka jumlah gigi hitamku lebih banyak. Sungguh Tuhan Maha adil. Maka
jadilah kita sepasang kakak adik yang bergigi susu hitam.





No comments:
Post a Comment