Monday, May 20, 2013

Disalip Itu




Terlahir ke dunia merupakan anugerah terindah bagi setiap manusia. Begitu pula bagiku, karena aku juga termasuk golongan manusia. Tapi ketika kelahiran dikaitkan dengan tempatnya, itu baru masalah bagiku terutama dimasa kecilku, dimana aku dan sepupuku yang lainya saling membanggakan tempat dimana ia dilahirkan. Sebenarnya memang bukan masalah kita dilahirkan dimana, tapi dilingkungan keluargaku, dilahirkan di rumah sakit itu lebih keren dari pada dilahirkan di bidan atau di dukun beranak. Memang sekilas terdengar aneh, tapi itulah faktanya, dan aku harus rela menjadi korban fakta aneh tersebut. 
Adjie, dia sepupuku yg paling akrab denganku. Tapi sayang dia sudah pergi lebih dulu. Sewaktu kecil kita saling olok mengolok tentang masalah yang barusan aku bahas. Dan sudah bisa dipastikan dia yg menang. Yaah...pertama karena dia dilahirkan di rumah sakit sedangkan aku di bidan, dan yang kedua dia tau karena sebab apa aku dilahirkan di bidan dan itu memalukan.
Jadi ketika sore hari, ibuku yang saat itu sudah mencapai usia 9 bulan mengandungku, merasakan sakit di perutnya. Karena melihat usia kandungan yang memang sudah waktunya, ayahku sebagai suami SIAGA (siap antar jaga) langsung mengambil langkah seribu untuk membawa ibuku ke rumah sakit yang ketika itu nenekku tercinta juga ikut mengantar, karena ibuku anak paling kecil.
Sesampainya di rumah sakit, ibuku langsung mengambil mengambil posisi dengan disertai rintihan ala ibu yang akan melahirkan. Di samping kirinya ada ayahku tak henti memberi semangat sambil terus berdoa. Dan proses itu pun dimulai.
Tukang parkir kamar bersalin mulai memberi aba-aba, yang pastinya tidak menggunakan peluit, "ayo ibu, tarik nafas dari hidung, keluarkan dari mulut. Tairk nafas dari hidung, keluarkan dari mulut", dan begitu seterus nya. Sepertinya isyarat tersebut sudah universal. Karena dari yang akan melahirkan betulan sampai anak kecil yang main papa-mama menggunakan isyarat tersebut. Mendengar aba-aba tesebut ibukupun menjadi lebih semangat sembari beharap aku cepat keluar.
Dan selang beberapa menit, "hiyaat.....ciyaaah.....heh...eheh..eheh.Hiyaat....ciyaaah....heh...eheh..eheh", mungkin kurang pas klo aksen suara dianalogikan ke dalam tulisan, yaah selebihnya agar lebih pas Anda dipersilahkan untuk berimprovisasi.
Proses itupun berlanjut, hingga akhirnya keluarlah... Preet!! Brobot...brobot!! Dan yang ini juga kurang pas, jadi sekali lagi silahkan berimprovisasi. Yaaah...ternyata setelah rasa sakit yang amat. Aku yang ditunggu masih tertidur nyenyak di dalam sehingga benda itu menyalip kehadiranku dan mengotori seprei rumah sakit. Tapi aku bersykur, ia tidak mengambil jalurku, karena ia masih keluar lewat jalur takdirnya. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau jalurku ikut diambil. Mungkin cerita ini akan menjadi tidak jauh berbeda dengan cerita bus malam yg ugal-ugalan.
Dan setelah semuanya rapi, kedua orang tuaku dan nenekku kembali pulang diringi lambaian tangan suster-suster dan dokter yg tadi ada dikamar bersalin. Mungkin mereka terlihat tersenyum ramah, tapi aku bisa pastikan dalam hati mereka bekata,"duuuuh si ibu, klo mau itukan kita bisa pinjemin toilet...!".
Setelah sampai di rumah, mungkin terjadi percakapan, tapi tidak perlulah dibahas disini karena sudah harga mati itu lebih memalukan dari yang sebelumnya.
Selang beberapa waktu kemudian,"bang tolong bang perutku sakit lagi", kata ibuku kepada ayahku. Tapi karena ayahku lelaki sejati, ia tidak mau terjerumus ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Disamping jarak rumah sakit yang jauh, menjadi buah bibir suster serumah sakit sudah cukup menjadi pelajaran baginya.
 Akhirnya dibawanyalah ibuku ke bidan terdekat. Bidan Sri namanya. Sengaja aku tuliskan nama bidan tersebut, karena sewaktu aku balita, setiap melewati rumah bidan tersebut aku selalu tiba-tiba bahagia tidak jelas sambil berteriak ke ibuku,"ma, itu lumahnya bidan Sli ma, liat ma itu lumahnya bidan Sli! Lalu ibuku menjawab dengan penuh kasih sayang,"yang mana?".
Lalu kusambut lagi,"yang itu ma yang walna putih".
"Owh iya...dulu Fiki lahir di situ ya?" kata ibuku menanggapi celoteh ku.
"Iya ma", celotehku lagi. Parahnya, sampai saat ini yang aku tau dari bidan Sri hanya bangunan rumah betingkat berwarna putih yang di depanya dipasang plang bertuliskan "Bidan Ny. Sri" tanpa tau orangnya. Sebenarnya ada nama panjangnya, tapi lupa.
Selang beberapa lama sesampainya di bidan..."e..e..ea..ea...ea.. E..e..ea..ea..ea! Untuk aksen yang ini sudah bisa kupastikan 85% pas dengan aslinya, walaupun agak lebih mirip bahasa alay. Tapi nanti dulu, sebenarnya bukan suara bayi yang mirip bahasa alay, tapi bahasa alay yang meniru suara bayi. Secara tidak langsung bisa dibilang alay itu bayi yang terkurung dalam tubuh dewasanya.
Dan akhirnya setelah melewati penantian panjang, lahirlah Aku dengan selamat. Mungkin saat itu sebenarnya aku tertawa, dan tangis yang timbul hanya karena aku menjalankan titahku sebagai bayi. Kalau boleh jujur, kisah gagalnya aku dilahirkan di rumah sakit masih kontroversi, apakah itu benar terjadi, atau hanya bualan sepupuku untuk membuli aku. Tapi kalau keotentikan kelahiranku di bidan itu 100% original.  Yaaah ......biar sajalah. Toh akhirnya aku lahir dengan selamat. Dan kisah ini biar saja terukir dalam bentuknya yang aneh...

3 comments:

  1. Hahahahah ih kebayang deh. Ntar sebelum lahiran ane mau ke toilet dlu ah biar ga kayak gitu hahaha. Lucu tulisannya. Oia improvisasi suaranya mungkin enak kl gini: watchaaaaawww wadeziigh. haha

    ReplyDelete
  2. haha.... mungkin klo nyokap dulu mondok d shaolin suaranya jadi kayak gitu...

    ReplyDelete
  3. hahahahahah ngebaynginnya haduuuuh ga mau ky gituuuuuu hahaha

    ReplyDelete