Mentari pagi ini muncul lebih awal dari biasanya. Padahal
jika kuhitung tidurnya semalam kurang dari delapan jam. Entah semalam ia mimpi
buruk sehingga terjaga tanpa bisa memejamkan matanya lagi, atau memang
rutinitas di negeri ini menuntutnya untuk apel lebih awal dari di negeri lain.
Padahal yang aku rasakan saat di siang hari sekalipun hanya sinarnya saja yang
membelai tanpa menikmati panasnya. mungkin ini adalah alasan mengapa banyak
wisatawan datang ke Indonesia hanya untuk berjemur.
Pagi ini awal kegiatanku di negri kincir angin. Belanda.
Seperti biasa aku dan rekan-rekan yang lain satu kontingen peserta Jambore
Nasional Belanda mengawali pagi kami dengan sarapan bersama, lalu dilanjutkan
dengan pembagian tugas. Mungkin kami cukup beruntung, diantara jutaan pelajar
indonesia yang lain. Kami dikirim sebagai utusan negara untuk mengikuti pesta
penggalang di negara tersebut.
Hari itu kegiatan di camp adalah hiking, tapi bedanya,
hiking di sini dibagi beberapa macam, dan kebetulan aku dan dua rekannku
mendapatkan bagian sense hike, yaitu hiking yang mana petunjuk arahnya
menuntut peserta untuk menggunakan panca indera dalam mencari jalan. Sekilas
tedengar mudah, tapi tenyata bukan hanya reguku yang pulang dijemput dengan
mobil panitia karena tersasar, tapi banyak juga dari regu lain yang bernasib
sama.
Perjalananpun dimulai. Aku bukan hanya bertiga dalam satu
regu, tapi kami digabung menjadi satu bersama tiga orang Belanda lainya. Jadi jumlah
kami menjadi enam orang. Dua laki-laki yaitu aku dan Kindy serta empat permpuan
yang mana salah satunya adalah rekanku dari Indonesia Vicky.
Selayaknya orang timur, aku beserta dua rekanku mencoba berinteraksi
dengan kenalan baru kami peserta Jamboree dari Negara tuan rumah dengan
menunjukkan sikap ramah ala timur yang kami biasa terapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Mulai dari membuka pembicaraan, bertanya walau sedikit agak kepo,
memberikan perhatian, menawarkan makanan yang kami punya dan hal apa saja yang
bisa kami lakukan yang sekiranya bisa mengambil hati mereka. Tapi ternyata
semua itu sia-sia.
Di awal perjalanan, kami orang Indonesia membuka semua bekal
makanan yang kami bawa. Karena yang ada di fikiran kami, hiking tidak akan
lama, dan kurang dari tengah hari kami sudah bisa kembali ke camp dan menikmati
istirahat siang. Atau paling tidak, kami membawa cukup uang untuk membeli
makanan di jalan. Dan juga yang ada di fikiran kami, mungkin dengan menawarkan
makanan, kita bisa lebih akrab, sebagaimana yang kita lakukan di Indonesia.
Dengan ramah kami
menawarkan makanan kami kepada orang-orang Belanda tersebut, tetapi mereka
menolaknya dengan muka datar. Tidak apa, mungkin belum kenal. Kalimat
tersebutlah yang terbesit dalam hatiku. Disela-sela perjalanan, aku mencoba
mengajak bicara satu dua orang diantara mereka, sekaligus menguji kemampuan
bahasa inggrisku di usiaku yang cukup belia. Tapi respon mereka lagi-lagi datar
dan tanpa rasa. Mungkin bahasaku kurang bisa difahami. Hanya berfikiran positif
yang bisa kulakukan saat itu.
Dan ternyata disanalah letak kesalahnya. Sudah merupakan
kebiasaan orang Indonesia terlalu mudah menyamakan adat istiadat daerah lain
dengan daerah asalnya. Sehingga kami berfikir akan mudah berbaur dengan budaya
mereka. Atau kebalikanya, orang Indonesia terlalu mudah membawa budaya luar
masuk kedalam dan itu diterima, sehingga ketika mereka membawa budaya mereka
keluar, mereka berfikiran akan mudah di terima. Dan nyatanya tidak. Butuh
waktu, proses dan cara tersendiri untuk bisa membaur, dan mengenalkan budaya
kita ke orang luar.
Waktu istirahat tiba, berbeda dengan kebiasaan hiking atau
lintas alam yang sering kita lakukan di Negara kita, dimana setiap beberapa
meter perjalanan kita selalu dipantau. Dan setiap sekian meter, akan ada pos
dimana kita harus melaporkan kelengkapan regu dan nota perjalanan. Di sini,
semua bebas, kita hanya di beri selembar kertas petunjuk dan selebihnya kita di
suruh menggunakan panca indera kita untuk mencari petunjuk yang ada di jalan.
Hanya ada satu dua pos yang berjaga, dan itu setelah beberapa kilo meter.
Pada saat istirahat, orang-orang Belanda baru mengeluarkan
bekal mereka. Berbeda dengan adat kita, mereka dengan asik menikmati bekal
mereka sendiri tanpa ada basa-basi sedikitpun. Spontan kami orang Indonesia
hanya bisa diam, saling melihat satu sama lain dan mencoba menertawakan
kebodohan kita, karena bekal kami sudah habis di awal perjalanan. Ingin rasanya
membeli makanan cepat saji, tapi tidak bisa, karena yang ada disekeliling kami
hanya padang rumput. Okelah dalam
hatiku, karena kami muslim, kami sudah terbiasa puasa. Jadi anggaplah kali itu
kami sedang berpuasa.
Ditengah
sejuknya angin padang rumput, di dukung cuaca yang tidak terlalu panas dan di
tambah jauhnya jarak yang sudah kami tempuh, timbul keinginanku untuk buang air
kecil. Baru aku merasa kebingungan. Akhirnya aku tegur Kindy,”ndi, mau kencing
nih, masa kencing di sini?”
“Wah,
ga tau Fik, kita kan sama-sama orang baru di sini”, jawabnya. Lalu kutanya
temanku yang lain si Vicky,”Vick, gimana nih?” Dia hanya menjawab,”yaaah…mana aku
tau”.
Dengan
terpaksa, dan agak sedikit malu, ku sapa Caroline yang sedang menikmati santap
siangnya. Sebenarnya bukan Caroline namanya, tapi karena wajahnya yang cantik,
kurasa nama itu pantas untuknya.
“hey
Caroline, am I disturb you?” tanyaku malu-malu.
“Oh…
no! just say it”, jawabnya singkat, sambil menuntaskan kunyahanya.
“Ehmm…
I wanna pee,” kataku kepadanya. Tapi dia langsung bertanya balik kepadaku
seakan kaget,”what?”. Langsung perjelas lagi maksudku,”no… no… I mean, I want
to have pee!”. Tetapi dia masih saja tidak faham,”What?”. Aku jadi
bertanya-tanya dalam hati, apa aku salah menggunakan kosakata, atau memang
benar-benar dia tidak faham.
Untung
di Ponpes aku ikut ekskul teater, bagian pantomim. Spontan saja kuperagakan
gerakan membuka celana seperti orang yang akan buang air kecil. Dan bravo, dia
langsung faham. Lalu dia berkata,”Ok, but I’m sorry I can’t accompany you. I
have to finish my lunch. It’s my friend, you may go with her, and she will show
you the place, but she doesn’t speak English”.
“Ok…
never mind, thank you!” jawabku.
Baru
dari situ aku tahu. Ternyata tidak semua orang di sini suka berbahasa Inggris.
Bahkan ada sebagian dari masyarakatnya yang memang anti Inggris. Tidak mau
berbahasa Inggris, apalagi memakai produk buatan Inggris. Andai masyarakat
Indonesia ada yang berani melakukan tindakan seperti tersebut. Mencintai dan
menghargai segala yang berbau Indonesia mungkin kita sudah menjadi Negara maju
saat ini.
Setelah
menuntaskan keperluanku. Regu kami kembali berjalan. Dengan kondisi perut yang
sangat butuh masukkan, kupaksakan kaki untuk terus melangkah. Sampai akhirnya
kita sampai pada posisi dimana kita sudah tidak menemukan petunjuk sama sekali.
Ku coba memperhatikan sekelilingku, barang kali ada tanda di pohon atau di tanah. Tapi ternyata tidak ada.
Diam-diam
kumencuri pandang ke wajah Caroline yang mulai memerah karena sengatan
matahari. Dari air mukanya ia terlihat sedikit agak panik, sembari mencoba
berdiskusi dengan beberapa temanya untuk mencari jalan keluar. Sementara kami,
orang Indonesia hanya bisa mendengarkan omongan mereka yang mayoritas aksen
suaranya keluar dari tenggorokkan. Ya, itulah ciri khas bahasa Belanda.
Tak
lama kemudan, salah satu diantara mereka ada yang mengeluarkan hanphone dari
dalam tasnya. Lalu percakapan pun terjadi. Entah apa yang dibicarakan pastinya itu
isyarat untuk meminta pertolongan.
Setelah
itu, aku dan rekan-rekan lainya hanya bisa menuggu di tengah luasnya padang
rumput. Menikmati sepoi angin yang sudah dari tadi merayu untuk aku masuk ke
alam mimpi. Aku jadi berkhayal, andai saja, sikap Caroline tidak sedingin itu.
Mungkin aku akan berfikiran untuk menjadikanya teman dekatku. Haha.
Dari
kejauhan terdengar suara mobil datang, dan benar itu mobil panitia yang sengaja
datang menjemput kami. Akhirnya kebosanan yang entah dari kapan tertidur
dijiwaku pun enyah seketika. Sudah tidak sabar rasanya ingin kembali ke camp.
Menikmati istirahat siang sambil memulihkan kembali tenaga yang terkuras karena
hiking aneh hari ini.





No comments:
Post a Comment