Monday, May 20, 2013

Sense Hike…



Mentari pagi ini muncul lebih awal dari biasanya. Padahal jika kuhitung tidurnya semalam kurang dari delapan jam. Entah semalam ia mimpi buruk sehingga terjaga tanpa bisa memejamkan matanya lagi, atau memang rutinitas di negeri ini menuntutnya untuk apel lebih awal dari di negeri lain. Padahal yang aku rasakan saat di siang hari sekalipun hanya sinarnya saja yang membelai tanpa menikmati panasnya. mungkin ini adalah alasan mengapa banyak wisatawan datang ke Indonesia hanya untuk berjemur.
Pagi ini awal kegiatanku di negri kincir angin. Belanda. Seperti biasa aku dan rekan-rekan yang lain satu kontingen peserta Jambore Nasional Belanda mengawali pagi kami dengan sarapan bersama, lalu dilanjutkan dengan pembagian tugas. Mungkin kami cukup beruntung, diantara jutaan pelajar indonesia yang lain. Kami dikirim sebagai utusan negara untuk mengikuti pesta penggalang di negara tersebut.
Hari itu kegiatan di camp adalah hiking, tapi bedanya, hiking di sini dibagi beberapa macam, dan kebetulan aku dan dua rekannku mendapatkan bagian sense hike, yaitu hiking yang mana petunjuk arahnya menuntut peserta untuk menggunakan panca indera dalam mencari jalan. Sekilas tedengar mudah, tapi tenyata bukan hanya reguku yang pulang dijemput dengan mobil panitia karena tersasar, tapi banyak juga dari regu lain yang bernasib sama.
Perjalananpun dimulai. Aku bukan hanya bertiga dalam satu regu, tapi kami digabung menjadi satu  bersama tiga orang Belanda lainya. Jadi jumlah kami menjadi enam orang. Dua laki-laki yaitu aku dan Kindy serta empat permpuan yang mana salah satunya adalah rekanku dari Indonesia Vicky.  
Selayaknya orang timur, aku beserta dua rekanku mencoba berinteraksi dengan kenalan baru kami peserta Jamboree dari Negara tuan rumah dengan menunjukkan sikap ramah ala timur yang kami biasa terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari membuka pembicaraan, bertanya walau sedikit agak kepo, memberikan perhatian, menawarkan makanan yang kami punya dan hal apa saja yang bisa kami lakukan yang sekiranya bisa mengambil hati mereka. Tapi ternyata semua itu sia-sia.
Di awal perjalanan, kami orang Indonesia membuka semua bekal makanan yang kami bawa. Karena yang ada di fikiran kami, hiking tidak akan lama, dan kurang dari tengah hari kami sudah bisa kembali ke camp dan menikmati istirahat siang. Atau paling tidak, kami membawa cukup uang untuk membeli makanan di jalan. Dan juga yang ada di fikiran kami, mungkin dengan menawarkan makanan, kita bisa lebih akrab, sebagaimana yang kita lakukan di Indonesia.
 Dengan ramah kami menawarkan makanan kami kepada orang-orang Belanda tersebut, tetapi mereka menolaknya dengan muka datar. Tidak apa, mungkin belum kenal. Kalimat tersebutlah yang terbesit dalam hatiku. Disela-sela perjalanan, aku mencoba mengajak bicara satu dua orang diantara mereka, sekaligus menguji kemampuan bahasa inggrisku di usiaku yang cukup belia. Tapi respon mereka lagi-lagi datar dan tanpa rasa. Mungkin bahasaku kurang bisa difahami. Hanya berfikiran positif yang bisa kulakukan saat itu.
Dan ternyata disanalah letak kesalahnya. Sudah merupakan kebiasaan orang Indonesia terlalu mudah menyamakan adat istiadat daerah lain dengan daerah asalnya. Sehingga kami berfikir akan mudah berbaur dengan budaya mereka. Atau kebalikanya, orang Indonesia terlalu mudah membawa budaya luar masuk kedalam dan itu diterima, sehingga ketika mereka membawa budaya mereka keluar, mereka berfikiran akan mudah di terima. Dan nyatanya tidak. Butuh waktu, proses dan cara tersendiri untuk bisa membaur, dan mengenalkan budaya kita ke orang luar.
Waktu istirahat tiba, berbeda dengan kebiasaan hiking atau lintas alam yang sering kita lakukan di Negara kita, dimana setiap beberapa meter perjalanan kita selalu dipantau. Dan setiap sekian meter, akan ada pos dimana kita harus melaporkan kelengkapan regu dan nota perjalanan. Di sini, semua bebas, kita hanya di beri selembar kertas petunjuk dan selebihnya kita di suruh menggunakan panca indera kita untuk mencari petunjuk yang ada di jalan. Hanya ada satu dua pos yang berjaga, dan itu setelah beberapa kilo meter.
Pada saat istirahat, orang-orang Belanda baru mengeluarkan bekal mereka. Berbeda dengan adat kita, mereka dengan asik menikmati bekal mereka sendiri tanpa ada basa-basi sedikitpun. Spontan kami orang Indonesia hanya bisa diam, saling melihat satu sama lain dan mencoba menertawakan kebodohan kita, karena bekal kami sudah habis di awal perjalanan. Ingin rasanya membeli makanan cepat saji, tapi tidak bisa, karena yang ada disekeliling kami hanya padang rumput.  Okelah dalam hatiku, karena kami muslim, kami sudah terbiasa puasa. Jadi anggaplah kali itu kami sedang berpuasa.
Ditengah sejuknya angin padang rumput, di dukung cuaca yang tidak terlalu panas dan di tambah jauhnya jarak yang sudah kami tempuh, timbul keinginanku untuk buang air kecil. Baru aku merasa kebingungan. Akhirnya aku tegur Kindy,”ndi, mau kencing nih, masa kencing di sini?”
“Wah, ga tau Fik, kita kan sama-sama orang baru di sini”, jawabnya. Lalu kutanya temanku yang lain si Vicky,”Vick, gimana nih?” Dia hanya menjawab,”yaaah…mana aku tau”.
Dengan terpaksa, dan agak sedikit malu, ku sapa Caroline yang sedang menikmati santap siangnya. Sebenarnya bukan Caroline namanya, tapi karena wajahnya yang cantik, kurasa nama itu pantas untuknya.
“hey Caroline, am I disturb you?” tanyaku malu-malu.
“Oh… no! just say it”, jawabnya singkat, sambil menuntaskan kunyahanya.
“Ehmm… I wanna pee,” kataku kepadanya. Tapi dia langsung bertanya balik kepadaku seakan kaget,”what?”. Langsung perjelas lagi maksudku,”no… no… I mean, I want to have pee!”. Tetapi dia masih saja tidak faham,”What?”. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati, apa aku salah menggunakan kosakata, atau memang benar-benar dia tidak faham.
Untung di Ponpes aku ikut ekskul teater, bagian pantomim. Spontan saja kuperagakan gerakan membuka celana seperti orang yang akan buang air kecil. Dan bravo, dia langsung faham. Lalu dia berkata,”Ok, but I’m sorry I can’t accompany you. I have to finish my lunch. It’s my friend, you may go with her, and she will show you the place, but she doesn’t speak English”.
“Ok… never mind, thank you!” jawabku.
Baru dari situ aku tahu. Ternyata tidak semua orang di sini suka berbahasa Inggris. Bahkan ada sebagian dari masyarakatnya yang memang anti Inggris. Tidak mau berbahasa Inggris, apalagi memakai produk buatan Inggris. Andai masyarakat Indonesia ada yang berani melakukan tindakan seperti tersebut. Mencintai dan menghargai segala yang berbau Indonesia mungkin kita sudah menjadi Negara maju saat ini.
Setelah menuntaskan keperluanku. Regu kami kembali berjalan. Dengan kondisi perut yang sangat butuh masukkan, kupaksakan kaki untuk terus melangkah. Sampai akhirnya kita sampai pada posisi dimana kita sudah tidak menemukan petunjuk sama sekali. Ku coba memperhatikan sekelilingku, barang kali ada tanda di pohon atau  di tanah. Tapi ternyata tidak ada.
Diam-diam kumencuri pandang ke wajah Caroline yang mulai memerah karena sengatan matahari. Dari air mukanya ia terlihat sedikit agak panik, sembari mencoba berdiskusi dengan beberapa temanya untuk mencari jalan keluar. Sementara kami, orang Indonesia hanya bisa mendengarkan omongan mereka yang mayoritas aksen suaranya keluar dari tenggorokkan. Ya, itulah ciri khas bahasa Belanda.
Tak lama kemudan, salah satu diantara mereka ada yang mengeluarkan hanphone dari dalam tasnya. Lalu percakapan pun terjadi. Entah apa yang dibicarakan pastinya itu isyarat untuk meminta pertolongan.
Setelah itu, aku dan rekan-rekan lainya hanya bisa menuggu di tengah luasnya padang rumput. Menikmati sepoi angin yang sudah dari tadi merayu untuk aku masuk ke alam mimpi. Aku jadi berkhayal, andai saja, sikap Caroline tidak sedingin itu. Mungkin aku akan berfikiran untuk menjadikanya teman dekatku. Haha.
Dari kejauhan terdengar suara mobil datang, dan benar itu mobil panitia yang sengaja datang menjemput kami. Akhirnya kebosanan yang entah dari kapan tertidur dijiwaku pun enyah seketika. Sudah tidak sabar rasanya ingin kembali ke camp. Menikmati istirahat siang sambil memulihkan kembali tenaga yang terkuras karena hiking aneh hari ini.

No comments:

Post a Comment