Di
ulang tahunku yang ke-17 belas aku mendapatkan kado yang bagiku sangat berarti.
Mungkin anak konglomerat, di usia tersebut dihadiahi mobil baru oleh orang tua
mereka. Tapi berhubung aku bukan bagian dari mereka, orang tuaku menghadiahiku
SIM nya saja. Terus terang, diperbolehkan membuat SIM merupakan kebahagiaan
tersendiri bagiku, karena memang sudah dari kecil aku hobi nyertir. Mulai dari
TK, aku senang duduk dipangkuan supir jika sepupu atau pamanku yang
mengemudikan mobilnya. Tidak ayahku pastinya, karena ia punya phobia nyetir
mobil. Hingga akhirnya pada saat SD kelas 5 aku sudah bisa mengemudikan mobil
sendiri, walaupun yang terlihat ketika aku mengemudi hanya mobil berjalan tanpa
ada supirnya.
Nenekku
sempat kaget,”piiii…!, calia’ ko ha, Zebra bajalan sandiyi”. Dengan bahasa
Padang yang khas, mencoba memanggil ibuku. Ibuku anak paling kecil, sehingga di
keluarga ia dipanggil Upi, panggilan khas orang Padang untuk anak perempuan
paling kecil. Mendengar nenekku berteriak, ibuku langsung keluar dari rumah dan
memastikan apa yang diucapkan nenekku barusan.”Oh… itu sih si Fiki Mi,” kata
ibuku ke nenekku, yang memanggil nenekku dengan panggilan Mami. Dan mulai kelas
5 SD juga hiburanku sepulang sekolah adalah main mobil, karena di rumah tidak
ada video game atau permainan anak seusiaku yang lebih menarik. Walaupun hanya
di dalam komplek, itu sudah cukup membuatku mahir dari hari-kehari.
“Fiki…!
Sini nak”, ibuku memanggilku.”Iya, ma…”, jawabku dari kamarku di atas. Lalu aku
turun kebawah menemui ibuku.
“Ini
KTP udah jadi, mumpung di rumah bikin SIM deh, jadi mama tenang kalau Fiki bawa
mobil kemana-mana udah punya SIM. Mama tadi udah ngomong sama pak Marwi,
papanya Aziz temen Fiki yang polisi itu. Katanya temen dia ada yang mau bikin
SIM juga, jadi biar bareng aja, kan lebih gampang klo bareng polisi, trus Fiki
perginya ajak bang Ade. Mama denger bang Ade mau sekalian perpanjang SIMnya.
Nah, terus sekarang Fiki siap-siap, karena Pak Marwi sama temenya sebentar lagi
datang”, kata ibuku panjang lebar. Mendengar itu hatiku langsung berbunga,
ibarat pilot yang akan memulai jam terbang pertamanya. Yang ada di fikiranku
saat itu, sebentar lagi aku bebas bawa mobil kemana-mana selagi di rumah.
Karena bulan depanya setelah Idul Fitri aku harus balik ke pondok.
Waktu
menunjukkan pukul 11.00, aku bang Ade, dan dua orang polisi lainyapun berangkat
dari rumahku menuju Daan Mogot, tempat pembuatan sim untuk daerah Jakarta.
Ketika itu, aku yang mengemudi. Dengan dua orang polisi di dalam, sudah barang
tentu polisi di luar tidak berani menilang. Kalaupun diberhentikan paling hanya
bilang,”mari pak”. Lalu dijawab,”mari”.
Adzan
zhuhur berkumandang, tepat ketika aku sudah sampai di tempat pembuatan SIM.
Karena waktu itu bulan Ramadhan, semangat untuk menjalankan ibadahpun meningkat
10 kail lipat. Maka kami memutuskan untuk menunaikan sholat zuhur terlebih
dahulu. Karena perkiraanku, dengan dua orang polisi, proses pembuatan SIM tidak
akan jauh berbeda dengan foto copy KTP. Tidak akan memakan waktu lama.
Seusai
sholat, aku langsung menjalani proses, mengisi formulir dan sebagainya. Setelah
semua selesai aku bertanya ke salah satu polisi,”mas, kita ga perlu ujian kan?”
Lalu dijawab, “owh ujian dek, saya saja ujian. Sekarang kita tunggu giliran
untuk ujian tulis”. Oh Tuhan, perasaanku langsung tidak enak. Pasti ini akan
berjalan di luar rencana. Karena tidak ada yang namanya ujian SIM itu lulus,
walaupun otaknya secerdas Habibie dan kemampuan mengemudinya melebihi Ananda
Nicola, tetap saja klo tidak pake uang tidak akan lulus. Sudah menjadi rahasia
umum birokrasi di Indonesia memang mental sogok, tidak lebih.
Ujian
tulispun berjalan. Dan ketika itu pun aku berfikir. Kalau seandainya aku tidak
lulus, tandanya orang tuaku salah menyekolahkan aku. Karena yang setelah aku
perhatikan, soal ujianya tidak lebih susah dari soal ujian anak SLB. Sungguh
formalitas yang di resmikan.
“Saudara
Muhammad Fikry Yazid, Mengulang Ujian bulan depan”, tepatnya pasti tidak
seperti itu, karena aku lupa tanggalnya. Ya, itu adalah hasil pengumuman ujian
tulis. Aku tidak lulus dan harus mengulang. Dan apa yang aku prediksikan
sebelumnya ternyata benar.
Dua
polisi yang tadi bersamaku, mereka sedang mengikuti ujian praktek. Dan wujud
mereka bersamaku, tidak lebih hanya seperti penumpang di pinggir jalan yang
mencari tumpangan gratis. Bodoh dan tidak membantu sama sekali.
Sebenarnya
hati nuraniku ingin mengikuti peraturan yang ada. Mengikuti ujian lalu
mendapatkan SIM dengan cara yang lazim. Tapi mental pejabat kita yang mengatas
namakan dirinya pengayom masyarakat hanya mental kecoa yang tidak pantas
dihormati sama sekali, membuat aku atau kebanyakan masyarakat lainya berbuat
seperti itu. Mencari jalan pintas yang lebih sedikit memakan biaya. Tetapi
mungkin nasibku kurang beruntung, orang yang pergi bersamaku ternyata sama-sama
kecoa yang yang ingin terlihat sebagai orang yang disiplin dengan mengajakku
menuruti kemauan kecoa. Toh nanti di akhir aku harus memutuskan untuk
terjerumus dalam perangkap kecoa-kecoa tersebut.
Banyak
logika-logika bodoh yang aku temukan dalam birokarasi kepolisian di Indonesia.
Dengan posisiku sebagai masyarakat yang butuh ayoman dan perlindungan, sudah
seharusnya aku mempelajari sedikit tata cara mengadu dan menuntut hak sebagai
warga Negara Indonesia.
Singkat
cerita pada suatu ketika, aku bersama ibuku, pergi ke salah satu polsek di
bilangan Jakarta, untuk melaporkan keadaan kami yang saat itu sedang dalam
keadaan mencekam. Karena komplek pribadi tempat kami tinggal, didatangi enam
belas preman dari salah satu ormas besar di Indonesia, yang mana mereka sengaja
disewa untuk mengkudeta dan merebut paksa tempat kami.
Ibukupun
menyampaikan laporanya, aku disampingnya hanya mendengarkan dengan seksama, dan
memperhatikan gerak-gerik pak polisi yang sedang melakukan adegan mengetik
layaknya di sinetron. “Terima kasih ibu, atas laporanya, sekarang ibu bisa
kembali pulang, kita sejauh ini tidak bisa melakukan apa-apa sebelum ada tindak
kriminal”. Oh God, ternyata hanya itu yang keluar dari mulut polisi tersebut
setelah laporan panjang lebar dan keresahan yang kita rasakan. Jadi mereka baru
bisa bertindak, kalau kami sudah teraniaya, atau terbunuh sekalipun. Dan
sebelum ada kejadian, mereka tidak bisa memberi fasilitas perlindungan, walapun
itu dibayar. Logika bodoh dari mana yang mereka pelajari.
Itu
baru sebagian, dan masih banyak lagi logika-logika bodoh yang aku sendiri tidak
mengerti mengapa logika tersebut bisa terpatri kuat dalam sanubari mereka para
polisi. Ada lagi yang mengatakan, “hilang ayam, lapor polisi jadi hilang
kambing, atau dengan analogi lain hilang motor lapor polisi jadi hilang mobil”.
Tidak heran kalau bangsa ini tidak maju-maju.
Waktupun
semakin sore, bang Ade, sepupuku datang menghampiriku. “Gimana ki? Dah
selesai?”
“Ga
lulus bang?”, sambil kutunjukkan hasil ujian kepadanya.
“Lho,
trus polisi yang tadi mana?” tanyanya lagi.
“Ga
tau tuh, dah pulang kali”, jawabku lesu.
Lalu
dengan sigap, sepupuku langsung mencari jalan. Kurasa dia lebih berpengalaman
dari dua polisi bodoh yang menumpang di mobilku. Kami berdua langsung menuju
ruangan tempat foto dan pencetakan SIM. “Bisa dibantu mba?” kata sepupuku ke
salah satu petugas. Yang aku nilai dandananya agak kurang lazim bagi seorang
polwan.
“Berapa
SIM?” tanyanya.
“Dua
mba, SIM A sama SIM C?”
“Berani
berapa?”
“250
ribu deh mba 1 SIM”.
“Wah,
udah sore nih, naikin lagilah”.
“Yaudah
deh mba, 300 gimana?
“Ok
deal, mari ikut saya”. Lalu kami beranjak menuju tempat seleksi hasil ujian.
Berkas ujianku yang tadinya bertuliskan “tidak lulus” langsung diubah seketika
menjadi “lulus”. Di sinilah aku terperangkap dalam jebakan kecoa.
“Dah,
sekarang tinggal ke petugas ujian praktek, kasih aja 15 ribu nanti saya tunggu
di kantor”, kata si nona polwan yang aku taksir baru berumur sekitar 30 an.
Ternyata untuk kecoa yang mengawasi ujian praktek bisa dibeli hanya dengan 15
ribu.
Setelah
semuanya beres, aku dan sepupuku kembali ke kantor polwan tersebut dan dengan
atas nama keluarga entah aku menjadi siapanya akupun tidak tahu yang jelas
akhirnya aku difoto, SIM di print dan taraaaa!! SIM A dan SIM C sudah
bertengger di dompetku.
Setelah
itu, aku keluar kantor, dan bertemu dengan dua polisi bodoh yang ternyata
mereka menuggu untuk menumpang kembali di mobilku. “Bagaimana dek?” Tanya salah
satu dari mereka basa basi.
“Udah
kelar, 300 ribu, dua SIM jadi 1jt sama formuilrnya” jawabku ketus. Memang sudah
begitu tabiatku. Aku tidak akan peduli berbicara dengan siapa, selama boroknya
sudah jelas dimataku. Ingin rasanya menyuruh mereka pulang sendiri, tapi sudahlah, hal tersebut hanya akan membuat
mereka terlihat lebih bodoh dari wujud aslinya.
Bagi
polisi atau keluarga polisi manapun yang membaca tulisan ini. Tidak perlu
tersinggung. Karena ini hanya suara hati masyarakat yang menuntut keadilan
untuk kebaikan bangsa ini. Bekerjalah secara professional. Kita sudah memilih
bidang kita masing-masing, gunakanlah sebaik-baiknya untuk kemajuan bangsa.
Kalaupun Anda tidak terima, ketahuilah sebaik-baiknya pencitraan adalah dengan
perbuatan. Benahi diri Anda dan jadilah yang terbaik untuk masyarakat. Marah-marah
karena tulisan ini hanya akan membuat diri Anda kecil atau masalah ini menjadi
besar.
Tidak
bisa dipungkiri, bahwa diantara polisi ada mereka-mereka yang disiplin, jujur,
idealis, dan benar-benar mengayomi masyarakat. Tapi kebanyakan wajah yang
tampil dimasyarakat ya wajah-wajah seperti dalam cerita di atas. Dan terakhir
tulisan ini ada bukan karena kita benci polisi dari dalam hati tapi karena kita
semua cinta Indonesia dan ingin ada perubahan yang mendorong bangsa ini untuk
maju. Dimulai dari diri sendiri dan dari bidangnya masing-masing mari kita
angkat martabat bangsa ini.





No comments:
Post a Comment