Terlahir ke dunia merupakan anugerah
terindah bagi setiap manusia. Begitu pula bagiku, karena aku juga termasuk
golongan manusia. Tapi ketika kelahiran dikaitkan dengan tempatnya, itu baru
masalah bagiku terutama dimasa kecilku, dimana aku dan sepupuku yang lainya
saling membanggakan tempat dimana ia dilahirkan. Sebenarnya memang bukan
masalah kita dilahirkan dimana, tapi dilingkungan keluargaku, dilahirkan di
rumah sakit itu lebih keren dari pada dilahirkan di bidan atau di dukun
beranak. Memang sekilas terdengar aneh, tapi itulah faktanya, dan aku harus
rela menjadi korban fakta aneh tersebut.
Adjie, dia sepupuku yg paling akrab
denganku. Tapi sayang dia sudah pergi lebih dulu. Sewaktu kecil kita saling
olok mengolok tentang masalah yang barusan aku bahas. Dan sudah bisa dipastikan
dia yg menang. Yaah...pertama karena dia dilahirkan di rumah sakit sedangkan
aku di bidan, dan yang kedua dia tau karena sebab apa aku dilahirkan di bidan
dan itu memalukan.
Jadi ketika sore hari, ibuku yang saat itu
sudah mencapai usia 9 bulan mengandungku, merasakan sakit di perutnya. Karena
melihat usia kandungan yang memang sudah waktunya, ayahku sebagai suami SIAGA
(siap antar jaga) langsung mengambil langkah seribu untuk membawa ibuku ke
rumah sakit yang ketika itu nenekku tercinta juga ikut mengantar, karena ibuku
anak paling kecil.
Sesampainya di rumah sakit, ibuku
langsung mengambil mengambil posisi dengan disertai rintihan ala ibu yang akan
melahirkan. Di samping kirinya ada ayahku tak henti memberi semangat sambil
terus berdoa. Dan proses itu pun dimulai.
Tukang parkir kamar bersalin mulai
memberi aba-aba, yang pastinya tidak menggunakan peluit, "ayo ibu, tarik
nafas dari hidung, keluarkan dari mulut. Tairk nafas dari hidung, keluarkan
dari mulut", dan begitu seterus nya. Sepertinya isyarat tersebut sudah
universal. Karena dari yang akan melahirkan betulan sampai anak kecil yang main
papa-mama menggunakan isyarat tersebut. Mendengar aba-aba tesebut ibukupun
menjadi lebih semangat sembari beharap aku cepat keluar.
Dan selang beberapa menit,
"hiyaat.....ciyaaah.....heh...eheh..eheh.Hiyaat....ciyaaah....heh...eheh..eheh", mungkin kurang pas klo aksen suara
dianalogikan ke dalam tulisan, yaah selebihnya agar lebih pas Anda
dipersilahkan untuk berimprovisasi.
Proses itupun berlanjut, hingga akhirnya
keluarlah... Preet!! Brobot...brobot!! Dan yang ini juga kurang pas, jadi
sekali lagi silahkan berimprovisasi. Yaaah...ternyata setelah rasa sakit yang
amat. Aku yang ditunggu masih tertidur nyenyak di dalam sehingga benda itu
menyalip kehadiranku dan mengotori seprei rumah sakit. Tapi aku bersykur, ia
tidak mengambil jalurku, karena ia masih keluar lewat jalur takdirnya. Aku
tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau jalurku ikut diambil. Mungkin cerita
ini akan menjadi tidak jauh berbeda dengan cerita bus malam yg ugal-ugalan.
Dan setelah semuanya rapi, kedua orang
tuaku dan nenekku kembali pulang diringi lambaian tangan suster-suster dan
dokter yg tadi ada dikamar bersalin. Mungkin mereka terlihat tersenyum ramah,
tapi aku bisa pastikan dalam hati mereka bekata,"duuuuh si ibu, klo mau
itukan kita bisa pinjemin toilet...!".
Setelah sampai di rumah, mungkin terjadi
percakapan, tapi tidak perlulah dibahas disini karena sudah harga mati itu
lebih memalukan dari yang sebelumnya.
Selang beberapa waktu kemudian,"bang
tolong bang perutku sakit lagi", kata ibuku kepada ayahku. Tapi karena
ayahku lelaki sejati, ia tidak mau terjerumus ke lubang yang sama untuk kedua
kalinya. Disamping jarak rumah sakit yang jauh, menjadi buah bibir suster
serumah sakit sudah cukup menjadi pelajaran baginya.
Akhirnya dibawanyalah ibuku ke bidan terdekat.
Bidan Sri namanya. Sengaja aku tuliskan nama bidan tersebut, karena sewaktu aku
balita, setiap melewati rumah bidan tersebut aku selalu tiba-tiba bahagia tidak
jelas sambil berteriak ke ibuku,"ma, itu lumahnya bidan Sli ma, liat ma
itu lumahnya bidan Sli! Lalu ibuku menjawab dengan penuh kasih
sayang,"yang mana?".
Lalu kusambut lagi,"yang itu ma yang
walna putih".
"Owh iya...dulu Fiki lahir di situ
ya?" kata ibuku menanggapi celoteh ku.
"Iya ma", celotehku lagi.
Parahnya, sampai saat ini yang aku tau dari bidan Sri hanya bangunan rumah
betingkat berwarna putih yang di depanya dipasang plang bertuliskan "Bidan
Ny. Sri" tanpa tau orangnya. Sebenarnya ada nama panjangnya, tapi lupa.
Selang beberapa lama sesampainya di
bidan..."e..e..ea..ea...ea.. E..e..ea..ea..ea! Untuk aksen yang ini sudah
bisa kupastikan 85% pas dengan aslinya, walaupun agak lebih mirip bahasa alay.
Tapi nanti dulu, sebenarnya bukan suara bayi yang mirip bahasa alay, tapi
bahasa alay yang meniru suara bayi. Secara tidak langsung bisa dibilang alay
itu bayi yang terkurung dalam tubuh dewasanya.
Dan akhirnya setelah melewati penantian
panjang, lahirlah Aku dengan selamat. Mungkin saat itu sebenarnya aku tertawa,
dan tangis yang timbul hanya karena aku menjalankan titahku sebagai bayi. Kalau
boleh jujur, kisah gagalnya aku dilahirkan di rumah sakit masih kontroversi,
apakah itu benar terjadi, atau hanya bualan sepupuku untuk membuli aku. Tapi
kalau keotentikan kelahiranku di bidan itu 100% original. Yaaah ......biar sajalah. Toh akhirnya aku
lahir dengan selamat. Dan kisah ini biar saja terukir dalam bentuknya yang
aneh...





Hahahahah ih kebayang deh. Ntar sebelum lahiran ane mau ke toilet dlu ah biar ga kayak gitu hahaha. Lucu tulisannya. Oia improvisasi suaranya mungkin enak kl gini: watchaaaaawww wadeziigh. haha
ReplyDeletehaha.... mungkin klo nyokap dulu mondok d shaolin suaranya jadi kayak gitu...
ReplyDeletehahahahahah ngebaynginnya haduuuuh ga mau ky gituuuuuu hahaha
ReplyDelete