Dear Sagitarius, maaf sebelumnya, lagi-lagi
aku menyapamu dalam bisu. Aku sedang minikmati malamku yang hening sembari mencipta bayangmu dalam semburat puing.
Seketsa malam tanpa petir di langitku masih seperti biasanya tetap angkuh dan
tersenyum kelam. Aku mencibirnya, karena larutnya tak seindah jilbab hitammu
yang berhias lipatan senyum di wajah jelitamu.
Ia marah dan cemburu kepadaku,
karena aku telah membanding-bandingkannya denganmu. Lalu sambil mengecup bibir
gelas berisi teh Kenya bercampur daun mint ku tuturkan parasmu kepadanya. Aku
bilang aku tidak membanding-bandingkannya denganmu, tetapi tadi tanpa sengaja
anganku menejelma bayangmu di sisi gulitanya. Ia pun paham dan mengerti akan ku
yang sedang terbentur rindu Romeo di benakku untukmu.
Sekilas ucapanku terlihat ambigu. Menanti turunnya hujan di
teriknya kemarau padang pasir Sahara adalah sama saja mengejar cahaya bintang
di langit mendung. Tapi aku tetap berharap, sekalipun harapan itu adalah
tetesan embun di sore hari, ia lebih pantas menjadi mimpi dari pada puisi angin
yang terdengar bersajak untukku lalu pergi bersama debur dan menjadi bukan
milikku lagi.
Andai saja waktu dan jarak bisa
lebih berbaik hati kepadaku, ingin rasanya aku berkompromi dengan mereka agar
meringankan masanya sejenak untukku. Meski waktuku akan menjadi lebih singkat,
paling tidak aku bisa lebih cepat menemuimu, menggandeng tanganmu, dan
melakukan hal-hal terindah dalam lamunanku bersamamu.





No comments:
Post a Comment