Suatu
malam di tempat pengobatan alternatif. “Wah, ini menurut pengelihatan saya
bukan itu Bu penyakitnya,” kata yang ngobatin ke nyokap gue menerangkan
penyakit yang gue derita waktu itu.
“Lho,
terus apa dong, Pak?” Nyokap gue balik bertanya penasaran. “Yaa, bukan itu
pokoknya. Gini deh, sekarang ibu cari dokter yang lebih keren lagi, saya yakin
bukan itu dan pasti bisa diobati tanpa harus operasi.”
Setelah
kalimat penutup tersebut konsultasi pun selesai. Kami mundur sedikit kebelakang
agar pasien yang lain bisa gantian berkonsultasi. Karena memang tidak
disediakan ruangan khusus, maka para pasien hanya menunggu layaknya orang
tahlilan, yang mendapat giliran maju ke depan.
Ditengah-tengah
rasa penasaran gue sama nyokap, tiba-tiba pasien lain yang dari tadi iseng
menguping konsultasi kami menegur dengan misterius, “Bu, ibu… pssttt… !”
Matanya yang lirik kanan kiri ala detektif Sarmono, lalu kepala yang sedikit
ditundukkan dan telapak tangan kirinya berusaha menutupi sebagian wajahnya yang
lumayan luas membuat gue sama nyokap juga ikutan nunduk-nunduk dan hampir
tiarap di tempat menaggapinya.
“Iya
Pak ada apa?” kata nyokap ke dia.
“Pssstt…
begini, Bu. Saya sudah mendengar semuanya. Mulai dari A sampai Z saya tau Bu.
Jadi ternyata yang membunuh bayinya Nadia adalah Nadianya sendiri, Bu. Nadia
Malu kalau harus membesarkan anaknya tanpa ayah.”
“Lho,
Pak?”gue dan nyokap terkejut bareng.
“Masya
Allah Bu maaf (sambil nepok jidad), tadi saya abis nonton beranak dalam karung,
jadinya terbawa suasana” Hampir aja gue mau menelpon polisi seketika itu juga.
Gue juga sempet kesel waktu itu, kenapa si Nadia pakai membunuh anaknya
sendiri. Padahal dia masih cantik dan pasti masih banyak laki-laki yang mau
sama dia. Nah lho…
“Pssstt…
Jadi begini bu,” dia melanjutkan pembicaraannya, “Saya sudah mendengar
semuanya, kebetulan saya punya kenalan seorang dokter yang juga professor. Dari
kecil saya dan keluarga berobat ke beliau. Yaa, bisa dibilang beliau sudah
menjadi dokter keluarga kami, Bu. Nah, setelah mendengar konsultasi ibu tadi,
sepertinya penyakit anak ibu bisa ditangani oleh beliau. Beliau sangat ahli
penyakit dalam, Bu. Kemarin uwak saya berobat ke beliau, Alhamdulillah Bu, ga
jadi operasi.”
“Owh,
memang sakit apa uwaknya?” tanya nyokap.
“Psstt…
Muntah receh, Bu!” Yassalaaam, ini orang. Pantas saja gak jadi operasi. Gue
rasa setelah itu uwaknya meninggal
gara-gara santetnya sudah sampai level Sembilan. Naik sedikit lagi gue jamin
rongsokan yang keluar, bukan recehan lagi.
Dia
melanjutkan lagi pembicaraannya, “psstt… kalau ibu mau ini saya ada kartu
namanya beliau. Namanya dokter Margono (semua nama disamarkan). Bilang aja bu,
Doni yang ngasih tau.”
“Owh
iya, terima kasih, Pak Doni,” kata nyokap sambil melihat ke kartu nama yang
baru diterimanya.
“Psstt…
ibu kalau mau ke sana harus bikin janji dulu sebelumnya. Itu di kartu nama
sudah ada nomer telp, nomer hape,
e-mail, facebook, twitter, instagram, path, sewa badut, dan sedot wc-nya
sekalian, Bu.”
“Owh,
iya… sekali lagi terima kasih, Pak,” jawab nyokap lagi. Terus terang gue agak
kurang yakin sama dokternya. Soalnya bapak-bapak yang barusan memasarkan dia
rada aneh.
“Mama
yakin kita nyoba ke sana ma?” tanya gue ke nyokap.
“Yaah,
liat besok aja deh ki, nanti coba mama hubungi dulu dokternya”.
Besoknya
nyokap menghubungi nomer yang ada di kartu nama lalu membuat janji untuk
mendapatkan nomer urut antrian. Jawaban yang di dapat dari hasil menelpon, kita
baru bisa datang dua hari lagi setelah membuat janji. Gile tu dokter…
***
Di
sore hari, pada hari yang sudah ditentukan, gue sama nyokap siap-siap berangkat
menuju rumah dokter tersebut. Lumayan agak jauh, rumahnya di daerah Kali
Malang, sekitar satu jam setengah dari rumah gue yang di Cibubur.
Hari
itu seperti hari-hari biasa, gue menyetir dan nyokap duduk di kursi tengah. Kota
Jakarta yang gue tempati gak ubahnya ladang mengadu nasib yang selalu saja
dipadati berbagai kesibukan. Termasuk gue yang saat itu sedang sibuk memikirkan
dalam hati, ‘ini berneran dokter gak sih?’
“Ma,
mama yakin sama dokternya,” tanya gue membuka pembicaran sambil sesekali
menginjak gas dan kopling di tengah kemacetan ruas jalan Jakarta.
“Yaa,
mama gak tau juga, Ki. Namanya juga usaha, mudah-mudahan aja cocok. Fiki kan
gak mau dioperasi. Ya harus nyoba ini tandanya.”
“Iya
sih, Ma. Kan mama tau sendiri terakhir Fiki suntik vitamin C sama Kak Meli
gimana jadinya.”
“Iya,
yang Fiki kabur terus ditangkap sama satpam Komplekkan.”
“Nah
itu dia, Ma, gimana kalau operasi coba.”
Setelah
menembus kemacetan akhirnya gue dan nyokap sampai juga ke alamat yang dituju. Nyokap
turun lebih dulu, sedangkan gue mencari tempat parkir yang strategis, baru
setelah itu gue menyusul nyokap.”
Mobil-mobil
berjajar rapi di depan rumah pak dokter. Sepertinya orang yang mengantri di
dalamnya juga setara dengan jumlah mobil yang diparkir. Tapi ternyata prediksi
gue salah. Mobil-mobil yang parkir tidak bertujuan ke dokter, tapi ke pesta perkawinan yang ada
di rumah ke dua setelah rumah Pak
dokter. Meski begitu, tetap saja di dalamnya ada beberapa orang yang sedang
mengantri.
“Gimana
Ma?” tanya gue ke nyokap yang sudah duduk di ruang tunggu.
“Iya
sebentar lagi, tadi mama udah lihat susternya.”
“Owh…”
Gue
pun mengambil posisi nyaman duduk di sebelah nyokap. Seperti biasanya gue
selalu memperhatikan tempat-tempat yang baru pertama kali gue kunjungi dengan
seksama.
Gue
lihat di tembok ruang tunggu banyak gambar-gambar penyuluhan kesehatan dengan
tokoh-tokoh kartun sebagai iconnya yang membuat gue bertanya-tanya. ‘Ini Mickey
Mouse, Sponge Bob, Barnie, dkk, berobat di sini juga yaa? Karena gue sering
melihat di rumah makan-rumah makan di pasang foto-foto artis sebagai tanda ia
sudah berkunjung. Dan kemungkinan besar ini sama, cuma bedanya gak bertanda
tangan.
Gue
juga sempat memperhatikan anak-anak balita yang lari-larian di teras halaman
rumah Pak dokter. Lalu di deretan nyokap, ada beberapa orang mamalia yang
sedang menyusui bayinya. Yaa, gue sebut mamalia, karena menurut Roy Saputra,
mas-mas bau ketek yang biasa kita temui di angkot itu juga termasuk mamalia
meski puting susunya tidak produktif.
Semakin
memperhatikan keadaan sekeliling semakin gue curiga, kenapa yang datang
pasiennya balita semua? Apa jangan-jangan…?
Gak
lama kemudian susternya keluar dari ruangan dokter. Lalu ia mendata pasien yang
baru pertama kali datang ke sana. “Fikry Hasyim!,” kata susternya memanggil
nama gue. Suaranya lembut. Apa lagi rambut pendek, kulit putih, mata agak sipit
serta hidung mancungnya membuat ia kelihatan lebih manis. Dalam hati,’yang ini
aja dong dokternya’.
“Iya
saya suster!” jawab gue agak bersemangat.
“Owh…
Masnya ya. Hmm… terus yang mau berobat siapa? Masnya juga?”
Belum
sempat gue jawab pertanyaannya, suster cantik tadi sudah memotong pembicaraan
gue, “owh iya, saya tahu, pasti anak atau adiknya ya Mas yang mau berobat.
Siapa nama anak atau adiknya? Gak usah pakai nama Masnya.” Ni suster udah
manggilnya ‘mas’ pakai menyangka gue sudah beranak pula lagi.
“Lho,
ini saya suster pasiennya.” Jawab gue meyakinkan.
“Iya
benar sus, ini anak saya yang mau berobat,” nyokap gue menambahkan.
“Hemm…
waduh, maaf ibu. Di sini khusus balita. Kami tidak melayani pasien dewasa.”
“Diaaank,”
sontak kaget mendengarnya. Ternyata kecurigaan gue terbukti.
“Hemm…
Tunggu sebentar deh Ibu, Mas, biar saya tanyakan ke dokternya dulu.”
Lalu
suster tersebut masuk ke ruangan dokter dan beberapa menit kemudian ia sudah
keluar lagi. “Baik Ibu, Mas. Sudah saya tanyakan, kata Pak dokter gak apa-apa.
Oke deh, didata dulu yaa, Mas.”
“Iya…”
jawab gue lesu. Ternyata gue dikerjain sama si bapak-bapak misterius.
“Nama,
Fikry. Alamat, Cibubur. Umurnya berapa Mas?”
“21
sus…,”
“Berapa,
Mas!”
“Dua
puluh satu sus…,”
“Berapa
Mas, kurang kencang!”
“Duaaaa
pooloooh satooooooo sus…” dalam hati, ‘Itu kuping apa cantelan sih, jarak
sejengkal gak kedengeran.
“Owh
iya… hihihihi…” si suster ketawa geli mendegar umur gue yang bersaing jauh
dengan pasien lainnya.
Gak
lama setelah nama gue didata, gue pun dipanggil masuk ke ruangan dokter.
Firasat gue semakin buruk. Pasti di dalam gue bakalan dibully lagi sama
dokternya. Karena menurut observasi gue, dokter sama suster itu biasanya
sehati. Kalau susternya galak, dokternya pasti tukang jagal. Dan kalau
susternya suka ngeledek, doktenya suka membully.
Di
ruangan, “hallo selamat sore!” sapa pak dokter ke gue dan nyokap, “wah, sudah
gede aja nih anaknya, Bu.”
Dalam
hati, ‘sial!’
Pak
dokter terlihat ramah dan awet muda, meski rambutnya sudah memutih dengan
sempurna. Ia mengalami fase penuaan yang baik. Semua itu terpancar dari
wajahnya yang ceria dan senyumnya yang merekah. Dia begitu percaya diri meski
penyangga gigi palsunya agak keluar batas normal.
Lalu
dokterpun melanjutkan pembicaraan. “Ini ngomong-ngomong gimana nih, ko bisa
sampai ke sini?”
“Iya
Pak dokter,” sambung nyokap menjawab pertanyaannya, “jadi begini, awalnya kami
dikenalkan sama Doni. Katanya ada dokter kenalan dia yang hebat. Makanya kami
tertarik ke sini. Apalagi katanya pak dokter ini dokter dia dari kecil dan
sudah menjadi dokter keluarga di keluarganya.” Jawab nyokap menerangkan, supaya
alasan gue datang ke sana masih bisa di terima secara logis dan gak dianggap
salah alamat.
“Oaalaaah…
si Doni? Haahahaha… Iya, dia itu memang pasien saya waktu dia masih balita.
Sekarang ponakan-ponakannya yang berobat ke sini. Kalau dianya sih sudah tidak,
kan sudah besar, bukan begitu, Mas.”
Sontak
gue kaget dan langsung menatap ke arah pak dokter, “ehm… iya,” sambil menahan
emosi.
“Oke
deh, Masnya saya periksa. Nanti saya lihat aja kendalanya apa, terus nanti saya
kasih rekomendasi lagi untuk datang ke dokter kenalan saya di RSPAD.”
“Baiklah
dok. Tapi ngomong-ngomong, apa kenalannya pak dokter spesialis balita juga?”
tanya gue memastikan, karena gue gak mau kejadian kayak gini terulang lagi.
“Hahahahaha…
ya bukanlah, Mas. Masnya ini bisa aja. Kenalan saya terpercaya ko. Dia
speisalis kelamin reptil.”
“Laaaaaaaaah!”





No comments:
Post a Comment