Thursday, June 12, 2014

Salah Alamat



Suatu malam di tempat pengobatan alternatif. “Wah, ini menurut pengelihatan saya bukan itu Bu penyakitnya,” kata yang ngobatin ke nyokap gue menerangkan penyakit yang gue derita waktu itu. 
“Lho, terus apa dong, Pak?” Nyokap gue balik bertanya penasaran. “Yaa, bukan itu pokoknya. Gini deh, sekarang ibu cari dokter yang lebih keren lagi, saya yakin bukan itu dan pasti bisa diobati tanpa harus operasi.” 
Setelah kalimat penutup tersebut konsultasi pun selesai. Kami mundur sedikit kebelakang agar pasien yang lain bisa gantian berkonsultasi. Karena memang tidak disediakan ruangan khusus, maka para pasien hanya menunggu layaknya orang tahlilan, yang mendapat giliran maju ke depan.   
Ditengah-tengah rasa penasaran gue sama nyokap, tiba-tiba pasien lain yang dari tadi iseng menguping konsultasi kami menegur dengan misterius, “Bu, ibu… pssttt… !” Matanya yang lirik kanan kiri ala detektif Sarmono, lalu kepala yang sedikit ditundukkan dan telapak tangan kirinya berusaha menutupi sebagian wajahnya yang lumayan luas membuat gue sama nyokap juga ikutan nunduk-nunduk dan hampir tiarap di tempat menaggapinya. 
“Iya Pak ada apa?” kata nyokap ke dia.
“Pssstt… begini, Bu. Saya sudah mendengar semuanya. Mulai dari A sampai Z saya tau Bu. Jadi ternyata yang membunuh bayinya Nadia adalah Nadianya sendiri, Bu. Nadia Malu kalau harus membesarkan anaknya tanpa ayah.”
“Lho, Pak?”gue dan nyokap terkejut bareng.
“Masya Allah Bu maaf (sambil nepok jidad), tadi saya abis nonton beranak dalam karung, jadinya terbawa suasana” Hampir aja gue mau menelpon polisi seketika itu juga. Gue juga sempet kesel waktu itu, kenapa si Nadia pakai membunuh anaknya sendiri. Padahal dia masih cantik dan pasti masih banyak laki-laki yang mau sama dia. Nah lho…
“Pssstt… Jadi begini bu,” dia melanjutkan pembicaraannya, “Saya sudah mendengar semuanya, kebetulan saya punya kenalan seorang dokter yang juga professor. Dari kecil saya dan keluarga berobat ke beliau. Yaa, bisa dibilang beliau sudah menjadi dokter keluarga kami, Bu. Nah, setelah mendengar konsultasi ibu tadi, sepertinya penyakit anak ibu bisa ditangani oleh beliau. Beliau sangat ahli penyakit dalam, Bu. Kemarin uwak saya berobat ke beliau, Alhamdulillah Bu, ga jadi operasi.”
“Owh, memang sakit apa uwaknya?” tanya nyokap.
“Psstt… Muntah receh, Bu!” Yassalaaam, ini orang. Pantas saja gak jadi operasi. Gue rasa setelah itu uwaknya  meninggal gara-gara santetnya sudah sampai level Sembilan. Naik sedikit lagi gue jamin rongsokan yang keluar, bukan recehan lagi.
Dia melanjutkan lagi pembicaraannya, “psstt… kalau ibu mau ini saya ada kartu namanya beliau. Namanya dokter Margono (semua nama disamarkan). Bilang aja bu, Doni yang ngasih tau.”
“Owh iya, terima kasih, Pak Doni,” kata nyokap sambil melihat ke kartu nama yang baru diterimanya.
“Psstt… ibu kalau mau ke sana harus bikin janji dulu sebelumnya. Itu di kartu nama sudah  ada nomer telp, nomer hape, e-mail, facebook, twitter, instagram, path, sewa badut, dan sedot wc-nya sekalian, Bu.”
“Owh, iya… sekali lagi terima kasih, Pak,” jawab nyokap lagi. Terus terang gue agak kurang yakin sama dokternya. Soalnya bapak-bapak yang barusan memasarkan dia rada aneh.
“Mama yakin kita nyoba ke sana ma?” tanya gue ke nyokap.
“Yaah, liat besok aja deh ki, nanti coba mama hubungi dulu dokternya”.
Besoknya nyokap menghubungi nomer yang ada di kartu nama lalu membuat janji untuk mendapatkan nomer urut antrian. Jawaban yang di dapat dari hasil menelpon, kita baru bisa datang dua hari lagi setelah membuat janji. Gile tu dokter…
*** 
Di sore hari, pada hari yang sudah ditentukan, gue sama nyokap siap-siap berangkat menuju rumah dokter tersebut. Lumayan agak jauh, rumahnya di daerah Kali Malang, sekitar satu jam setengah dari rumah gue yang di Cibubur.
Hari itu seperti hari-hari biasa, gue menyetir dan nyokap duduk di kursi tengah. Kota Jakarta yang gue tempati gak ubahnya ladang mengadu nasib yang selalu saja dipadati berbagai kesibukan. Termasuk gue yang saat itu sedang sibuk memikirkan dalam hati, ‘ini berneran dokter gak sih?’
“Ma, mama yakin sama dokternya,” tanya gue membuka pembicaran sambil sesekali menginjak gas dan kopling di tengah kemacetan ruas jalan Jakarta.
“Yaa, mama gak tau juga, Ki. Namanya juga usaha, mudah-mudahan aja cocok. Fiki kan gak mau dioperasi. Ya harus nyoba ini tandanya.”
“Iya sih, Ma. Kan mama tau sendiri terakhir Fiki suntik vitamin C sama Kak Meli gimana jadinya.”
“Iya, yang Fiki kabur terus ditangkap sama satpam Komplekkan.”
“Nah itu dia, Ma, gimana kalau operasi coba.”
Setelah menembus kemacetan akhirnya gue dan nyokap sampai juga ke alamat yang dituju. Nyokap turun lebih dulu, sedangkan gue mencari tempat parkir yang strategis, baru setelah itu gue menyusul nyokap.”
Mobil-mobil berjajar rapi di depan rumah pak dokter. Sepertinya orang yang mengantri di dalamnya juga setara dengan jumlah mobil yang diparkir. Tapi ternyata prediksi gue salah. Mobil-mobil yang parkir tidak bertujuan  ke dokter, tapi ke pesta perkawinan yang ada di rumah ke  dua setelah rumah Pak dokter. Meski begitu, tetap saja di dalamnya ada beberapa orang yang sedang mengantri.
“Gimana Ma?” tanya gue ke nyokap yang sudah duduk di ruang tunggu.
“Iya sebentar lagi, tadi mama udah lihat susternya.”
“Owh…”
Gue pun mengambil posisi nyaman duduk di sebelah nyokap. Seperti biasanya gue selalu memperhatikan tempat-tempat yang baru pertama kali gue kunjungi dengan seksama.
Gue lihat di tembok ruang tunggu banyak gambar-gambar penyuluhan kesehatan dengan tokoh-tokoh kartun sebagai iconnya yang membuat gue bertanya-tanya. ‘Ini Mickey Mouse, Sponge Bob, Barnie, dkk, berobat di sini juga yaa? Karena gue sering melihat di rumah makan-rumah makan di pasang foto-foto artis sebagai tanda ia sudah berkunjung. Dan kemungkinan besar ini sama, cuma bedanya gak bertanda tangan.
Gue juga sempat memperhatikan anak-anak balita yang lari-larian di teras halaman rumah Pak dokter. Lalu di deretan nyokap, ada beberapa orang mamalia yang sedang menyusui bayinya. Yaa, gue sebut mamalia, karena menurut Roy Saputra, mas-mas bau ketek yang biasa kita temui di angkot itu juga termasuk mamalia meski puting susunya tidak produktif.
Semakin memperhatikan keadaan sekeliling semakin gue curiga, kenapa yang datang pasiennya balita semua? Apa jangan-jangan…?
Gak lama kemudian susternya keluar dari ruangan dokter. Lalu ia mendata pasien yang baru pertama kali datang ke sana. “Fikry Hasyim!,” kata susternya memanggil nama gue. Suaranya lembut. Apa lagi rambut pendek, kulit putih, mata agak sipit serta hidung mancungnya membuat ia kelihatan lebih manis. Dalam hati,’yang ini aja dong dokternya’.
“Iya saya suster!” jawab gue agak bersemangat.
“Owh… Masnya ya. Hmm… terus yang mau berobat siapa? Masnya juga?”
Belum sempat gue jawab pertanyaannya, suster cantik tadi sudah memotong pembicaraan gue, “owh iya, saya tahu, pasti anak atau adiknya ya Mas yang mau berobat. Siapa nama anak atau adiknya? Gak usah pakai nama Masnya.” Ni suster udah manggilnya ‘mas’ pakai menyangka gue sudah beranak pula lagi.
“Lho, ini saya suster pasiennya.” Jawab gue meyakinkan.
“Iya benar sus, ini anak saya yang mau berobat,” nyokap gue menambahkan.
“Hemm… waduh, maaf ibu. Di sini khusus balita. Kami tidak melayani pasien dewasa.”
“Diaaank,” sontak kaget mendengarnya. Ternyata kecurigaan gue terbukti.  
“Hemm… Tunggu sebentar deh Ibu, Mas, biar saya tanyakan ke dokternya dulu.”
Lalu suster tersebut masuk ke ruangan dokter dan beberapa menit kemudian ia sudah keluar lagi. “Baik Ibu, Mas. Sudah saya tanyakan, kata Pak dokter gak apa-apa. Oke deh, didata dulu yaa, Mas.”
“Iya…” jawab gue lesu. Ternyata gue dikerjain sama si bapak-bapak misterius.
“Nama, Fikry. Alamat, Cibubur. Umurnya berapa Mas?”
“21 sus…,”
“Berapa, Mas!”
“Dua puluh satu sus…,”
“Berapa Mas, kurang kencang!”
“Duaaaa pooloooh satooooooo sus…” dalam hati, ‘Itu kuping apa cantelan sih, jarak sejengkal gak kedengeran.
“Owh iya… hihihihi…” si suster ketawa geli mendegar umur gue yang bersaing jauh dengan pasien lainnya.
Gak lama setelah nama gue didata, gue pun dipanggil masuk ke ruangan dokter. Firasat gue semakin buruk. Pasti di dalam gue bakalan dibully lagi sama dokternya. Karena menurut observasi gue, dokter sama suster itu biasanya sehati. Kalau susternya galak, dokternya pasti tukang jagal. Dan kalau susternya suka ngeledek, doktenya suka membully.
Di ruangan, “hallo selamat sore!” sapa pak dokter ke gue dan nyokap, “wah, sudah gede aja nih anaknya, Bu.”
Dalam hati, ‘sial!’
Pak dokter terlihat ramah dan awet muda, meski rambutnya sudah memutih dengan sempurna. Ia mengalami fase penuaan yang baik. Semua itu terpancar dari wajahnya yang ceria dan senyumnya yang merekah. Dia begitu percaya diri meski penyangga gigi palsunya agak keluar batas normal.
Lalu dokterpun melanjutkan pembicaraan. “Ini ngomong-ngomong gimana nih, ko bisa sampai ke sini?”
“Iya Pak dokter,” sambung nyokap menjawab pertanyaannya, “jadi begini, awalnya kami dikenalkan sama Doni. Katanya ada dokter kenalan dia yang hebat. Makanya kami tertarik ke sini. Apalagi katanya pak dokter ini dokter dia dari kecil dan sudah menjadi dokter keluarga di keluarganya.” Jawab nyokap menerangkan, supaya alasan gue datang ke sana masih bisa di terima secara logis dan gak dianggap salah alamat.
“Oaalaaah… si Doni? Haahahaha… Iya, dia itu memang pasien saya waktu dia masih balita. Sekarang ponakan-ponakannya yang berobat ke sini. Kalau dianya sih sudah tidak, kan sudah besar, bukan begitu, Mas.”
Sontak gue kaget dan langsung menatap ke arah pak dokter, “ehm… iya,” sambil menahan emosi.
“Oke deh, Masnya saya periksa. Nanti saya lihat aja kendalanya apa, terus nanti saya kasih rekomendasi lagi untuk datang ke dokter kenalan saya di RSPAD.”
“Baiklah dok. Tapi ngomong-ngomong, apa kenalannya pak dokter spesialis balita juga?” tanya gue memastikan, karena gue gak mau kejadian kayak gini terulang lagi.
“Hahahahaha… ya bukanlah, Mas. Masnya ini bisa aja. Kenalan saya terpercaya ko. Dia speisalis kelamin reptil.”
“Laaaaaaaaah!”

No comments:

Post a Comment