Reruntuhan atap
belum sepenuhnya hancur meski embusan angin kemarau meracau hentak. Tepian demi
tepian kujalani dalam isak lirih senja yang menangis disambut kelam. Ia tak
seharusnya bertabuh risau, karena janji purnama terhadap srigala hitam tetaplah
sumpah sang Esa kepada hamba-Nya yang merajut gema. Tepat. Pasti.
Aku termenung, membiarkan
mataku berkelana dengan liriknya yang angkuh menatap debur ombak menerpa
karang. Ia mengajakku serta jiwaku menghujam sebilah belati di jantung Nirmala
si pelantun rindu. Aku terdiam, dan aku bilang padanya, diam! Aku tak ingin
diriku hanyut dalam rona magis kutukan pasir. Aku lebih memilih mematung raga,
menepis busur rayuan dalam kaku dari pada ikut terbang lalu terjatuh melebur
palsu. Itu tidak adil.
Syukurlah, mentari
pagi ini sedikit lebih memanjakanku dengan belaian sinarnya setelah malamku
perih dirasuk nada sumbang pembunuh misteri. Aku menemukan secercah harapan
yang terbungkus rapi di sebuah gundukan. Ya, gundukan putih bertarbur bintik
menyimpul cita. Ia beralur cokelat berlapis jingga. Beralaskan hampa disulut
irama. Sederhana tapi menggoda. Aku terhanyut.
Cukup lama bagiku
untuk memahami sandinya. Menghitung kumpulan bilangan yang semuanya ganjil
memang tidak menyenangkan. Tetapi semakin kuruntut, rotasinya yang teratur,
membuatku mengerti bahwa persamaan tidak
selalu muncul dari balik awan. Ia ada, lurus, berbelok, lalu berbalik,
membentuk sebuah keserasian sajak yang di racik apik. Sebuah bisikan yang
selalu kunantikan berdesir lentik. Anyaman
pasir.





No comments:
Post a Comment