Dear Sagitarius, apa kabarmu di sana?
Semoga titik pijakmu yang lebih dulu tersapa matahari tak menghalangiku
menyampaikan salam bintangku untukmu. Entah mengapa akhir-akhir ini puisimu
begitu bersajak menemani hariku. Setiap lembar pagiku selalu saja tertulis
runtutan 'alif' hingga 'ya' merangkai namamu dalam rima yang berbisik klasik.
Dermaga memoriku masih menyimpan
rapi potretmu dalam background senja yang selalu saja terlihat begitu manis
dalam balutan jilbab pinkmu. Saat itu kau sedang berjalan santai dengan DSLR-mu
di tepian relung pantai. Tidak ada yang istimewa, hanya saja lesungmu yang
tersungging saat kau melirik awan dari balik lensamu membuat panorama mega seketika
menjadi lebih indah. Lalu bersamaan dengan irama ombak yang mendesir merdu, kau
menyapa alam di ujung senja dengan senyum pelangimu.
Aku malu menyapamu. Aku hanya berani
memperhatikanmu dari jendela langitku yang berbatas jauh dengan langitmu. Aku
lebih memilih melukis senja dan membuatnya menawan dengan adanya kamu tergores
di sudut kanvasnya.
Semua itu bukan tanpa alasan.
Perbedaan rotasi yang membujur dan melintang membuatku lebih senang melihatmu
berpetualang. Tunas gugusanmu baru mucul, dan setelah beberapa fase kelana
rasimu baru akan terlihat unggul. Jika memang saat itu diizinkan, maka aku
ingin menjadikan rasimu dan rasiku bersublimasi dalam satu gugusan cakrawala
dimensi raga. Aku akan menjemputmu di stasiun bima, lalu mengajakmu
melangkahkan ribuan kilometer menyatukan rasa.
Bahasanya tingkat tinggi nih, semacam gabungan antara diary dan puisi. Cakep :)))
ReplyDeletehaha... klo yang kayak gini sih katanya 'prosa', tapi ga tau deh ini dah bisa dibilang prosa atau blm.. masih ecek2 ini maah... hehe.. makasi yaa dah mampir....
Delete