Bermain
dengan anak kecil merupakan hiburan yang rasanya sungguh berbeda dengan hiburan
lainya seperti menonton tv atau bermain video game. Karena bermain dengan
mereka bisa membuat kita meninggalkan sejenak kepenatan yang ada di kepala lalu
melupakan masa dimana kita berpijak dan pergi jauh kembali ke masa kecil.
Mungkin itu salah satu alasan mengapa orang menikah, kepingin cepat punya anak.
Gue
punya banyak ponakan, tapi cuma tiga kurcaci yang deket sama gue. Mereka adalah
Chika, Salma, dan Davina, kesemuanya adalah anak dari kakak sepupu gue Lia.
Selain
mengajak mereka bermain gue juga seneng mengajak mereka ngobrol. Karena menurut
gue tingkah laku dan perkataan anak kecil itu polos dan jujur. Mereka berlaku
dan berkata apa adanya. Berbeda ketika kita berbicara dengan orang sebaya kita
ataupun orang yang lebih dewasa. Pastinya kebohongan yang disembunyikan akan
lebih banyak dari pada kejujuran yang diutarakan.
Chika.
Dia anak paling besar dari tiga bersaudara tersebut. Gue menyebut mereka
‘kurcaci’, karena sewaktu gue dan adik gue kecil, juga di panggil seperti itu
oleh nyokapnya dan sepupu-sepupu gue yang lainya. Dan menurut gue itu pas-pas
aja. Karena menurut pengamatan gue, orang-orang sekarang sering membuat
penamaan yang aneh-aneh dan gak pas. Seperti ada grup penyanyi dangdut, terdiri
dari tiga orang wanita, tapi mereka memberi nama grup mereka ‘trio macan’.
Menurut gue hal itu sama dengan
pelecehan nama baik macan. Karena kehadiran mereka sudah merubah perspektif gue
tentang macan yang tadinya sangar menjadi unyu, seksi dan menggemaskan.
Waktu
begitu cepat berjalan, Chika sekarang sudah duduk di sekolah dasar. Padahal dua
tahun yang lalu waktu gue lagi di rumah, dia baru merayakan ulang tahunya yang
ke lima. Tapi walaupun ketika itu ia masih berumur lima tahun, badanya yang
bongsor tidak kalah besar dengan anak SD kelas tiga.
Chika
sangat suka sekali bercerita, mulai dari cerita teman-temanya di TK, cerita
pembantunya yang galak sampai cerita film-film kartun yang dia tonton, seperti
Shaun sheep, Dora, Sponge Bob dan kartun-kartun lainya. Untuk gadis cilik
seusianya, bisa dibilang ia cukup cerdas, gampang bergaul, dan pandai
berimajinasi.
Di
suatu pagi, seperti kebiasaan anak kecil pada umumnya, bangun tidur dengan
hanya mengenakan singlet dan celana dalam, rambut acak-acakan, lalu
berjalan-jalan di dalam rumah sambil menunggu nyokapnya menyiapkan air mandi
untuknya. Entah apa yang dikerjakan yang jelas itu sudah merupakan rutinitas.
‘Kaka,
ayo mandi air hangatnya udah siap!’ kata nyokapnya setengah stress, karena
disamping ia harus siap-siap ke kantor, kewajiban mengurus anak tetap nomer
satu dan tidak bisa ditinggalkan.
‘Ssshhht,
aku lagi sibuk ma’, sembari tangan kirinya memegang kardus susu instan, dan
jemari tangan kananya mengusap-usap permukaanya.
‘Kamu
lagi ngapain sih ka?’ Tanya nyokapnya lagi.
‘Biasa
lah ma, ini lho, Samsung tablet’.
‘Hahaha…
Samsung tablet! Sudahlah nak mainanya mama mau ngantor nih, kamu kan juga harus
sekolah!’
Dengan
langkah malas Chika pun pergi mandi menuruti mamanya, ‘sekolah lagi-sekolah
lagi, capek aku ma…’.
Kasihan
kamu nak, padahal baru TK sudah merasakan capeknya sekolah. Padahal sampai
nanti kita tua, arti sekolah yaitu belajar tidak akan pernah usai sampai kita
benar-benar menutup mata dan tak akan membukanya lagi.
Selain
terhibur, dari si kecil Chika gue juga dapet banyak pelajaran hidup yang kadang
orang dewasa tidak pernah menyadarinya.
Pernah
waktu chatting sama nyokapnya di whats app, nyokapnya cerita ke gue kalau Chika
semalem abis mimpi indah, ‘ma, aku semalem aku mimpi indaaah banget’.
‘Kamu
mimpi apa ka?’ Tanya nyokapnya. ‘Aku mimpi ketemu om Fiki’. Dalem hati gue. Wow,
sebegitu sepesialnyakah gue? Jadi buat lo semua yang ingin bahagia,
berdoalah, malalm ini lo mimpi ketemu gue.
Tapi
bukan di situ intinya. Dari omongan Chika, gue mengambil pelajaran, hanya
dengan adanya orang-orang yang kita sayangi di sekitar kita itu sudah cukup
membuat kita bahagia. Sebegitu sederhananya arti kebahagiaan menurut Chika,
dan harus kita renungi, itulah hakikat kebahagiaan sebenarnya.
Definisi
kebahagiaan menjadi rumit ketika manusia beranjak dewasa, dimana hati dan
fikiran manusia sudah tercemar oleh hal-hal yang merusak pola pikir dan prilaku
manusia.
Standar
kebahagiaan menjadi berubah tergantung kepada pencapaian materi, kekuasaan dan
kedudukan di mata orang lain. Maka tidak heran kalau sekarang sering kita temui
orang-orang perang saudara hanya karena harta. Mereka rela melupakan ini kakak
ini adik demi materi yang umurnya sebatas sepiring nasi yang dimakan lalu
habis.
Gak
sabar rasanya kepingin cepat selesai kuliah, lalu kembali berkumpul bersama
keluarga besar gue tercinta.
Belum
lama ini, gue dapet kabar dari nyokapnya via chatting di facebook, kalau
Chika sudah mengang Android sendri. Sebenernya bukan punya dia, tapi punya bokapnya.
Berhubung bokapnya malas menggunakanya dan kurang begitu faham, jatuhlah
Android itu ketanganya. Untung dia ga follow gue di twitter, bisa-bisa tweet
gue yang aneh-aneh jadi bahan omonganya dan teman-temanya di SD.
***
Satu
tingkat di bawah Chika ada adiknya, namanya Salma. Diantara kedua saudara
kandungnya kulit Salma agak sedikit lebih kecoklatan. Makanya dia sering jadi
bahan ledekan gue. Dan setiap abis gue ledekin dia ngambek dan langsung ga mood
main. Kalau udah gitu, gue milih kabur dan baru balik lagi kalau dia udah
hilang ngambeknya.
Salma
paling suka makan Zuppa soup yang di jual di Pizza Hut, setiap kali ke
Pizza Hut, dia bisa menghabiskan 3 mangkuk Zuppa Soup. Jatah dia, jatah kakaknya dan jatah
adiknya. Karena biasanya Chika kakaknya dan Davina adiknya hanya memakan
rotinya saja yang menutupi permukaan mangkuk. Selebihnya Salma yang
menghabiskan.
Lucunya
setiap kali ingin menghabiskan jatah kedua saudaranya dia tidak lupa meminta
izin terlebih dahulu, ‘kakak supnya aku abisiin yaa’.
‘Iya…’
kata Chika. Berbeda ketika ia mau menghabiskan jatah adiknya Davina, ‘ih… Davin
ko supnya ga diabisiin sih…’ Trus dia mengadu ke nyokapnya, ‘tuh ma, Davin
supnya ga diabisin!’
‘Salma
mau?’ kata nyokapnya. ‘Abisin deh nak, boleh ko’. Sambil senyum-senyum
mangkuknya Davina ia ambil lalu makan kembali dengan tenangnya.
Salma
juga tidak kalah cerdas dari kakaknya, sama-sama pintar ngomong dan suka
bercerita. Tapi gue rasa ceritanya agak sedikit absurd dibanding kakaknya.
Mungkin karena umurnya yang masih terlalu dini untuk membuat cerita yang
nyambung.
Pernah
suatu ketika pas gue lagi nonton tv, tiba-tiba dia langsung loncat ke pangkuan
gue dengan tangan dan mulutnya yang berlumuran coklat. Lalu dia berkata, ‘Om…,
om Fiki kenal Agus ga?’
Dalem
hati gue, ‘Agus siapa yaa? temen SD, temen pondok, atau temen dimana ya? Dan ko
si Salma bisa kenal?’ Karena sangat mungkin nyokap atau bokapnya mempekerjakan
tukang kebun atau pembantu lalu dia mengaku teman gue, ‘Kenalin dek Salma, saya
Agus temanya om Fiki, omnya dek Salma’.
‘Ga
tau’, jawab gue singkat.
‘Yaaah…
payaaah… om Fiki ga kenal Agus!’, waduh, gue dibilang payah sama anak umur
empat tahun.
Otak gue langsung bekerja dua kali lebih
keras. Gue coba memutar memori, jangan-jangan Agus yang dimaksud oleh Salma,
bukan sekedar teman tapi ia adalah tokoh sejarah, pahlawan revolusi, H. Agus
Salim atau siapalah yang menurut gue, kalau gue sampai gak bisa jawab pangkat
gue sebagai mahasiswa bisa dicopot oleh Salma gadis kecil berumur 4 tahun dan
belom sekolah. Mengingat zaman sudah terlalu maju, maka anak kecil bisa saja
mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang dewasa.
Akhirnya,
karena merasa putus asa, gue mengaku kalah dan gue jawab, ‘udah Sal, om Fiki ga
tau, Agus yang mana sih?’
‘Yaaah…
payah…’ sembari tanganya yang bersandar di paha gue memainkan jari-jari
mungilnya, lalu ia melanjutkan perkataanya pelan-pelan, supaya gue fokus dan ga
salah dengar. ‘Agus itu…, tukang sate deket lumah aku. Dia itu… Pacalnya mbak
aku yang dulu. Om Fiki kenal ga sama mbak aku yang dulu…?’
Oh
God…! Mungkin si Salma beranggapan Agus ini pahlawan bersenjatakan kipas sate
yang berusaha mendapatkan hati wanita pujaanya, yaitu mbaknya (baca: pembantu),
sampai-sampai gue dibilang ‘payah’ gara-gara gak kenal sama Agus.
Ga
cukup sampai di situ, gue juga harus kenal sama pembantunya yang dulu. Padahal
tiga kurcaci ini sering banget gonta-ganti pembantu. Dan baru beberapa waktu
yang lalu gue nganterin nyokapnya jemput dua pembantu baru yang akhirnya hanya
bertahan beberapa minggu.
Dan
dari Salma gue juga dapet pelajaran berharga. Salma mengajarkan gue untuk adil
berbagi kasih sayang diantara keluarga. Karena posisinya sebagai anak ke-dua
dari tiga bersaudara, menuntut dia untuk bersikap lebih dewasa bahkan dari
kakaknya sendiri. Dia harus bisa menghormati kakaknya sekaligus menyayangi
adiknya. Terkadang ia harus dimarahi kakaknya karena berlaku agak kasar
terhadap adiknya, terkadang pula ia harus membelai lembut adiknya ketika Chika
memarahi Davina. Dan itu sudah ia lakukan.
***
Davina,
dia yang paling imut dan menggemaskan diantara saudaranya lantaran ia anak
paling kecil. Bicaranya yang masih terbata-bata membuat kita senang mengajaknya
berbicara walaupun entah apa yang dibicarakanya.
Dan
sekarang Davina sudah tumbuh menjadi anak TK. Dari nyokapnya gue dapat cerita
kalau dia sudah pandai ngomong. Kemarin dia sempat bertanya ke nyokapnya, ‘ma,
om Fiki sekolahnya lama banget ma, om Fiki ga kangen ma sama aku? Nanti kalau
om Fiki pulang aku udah gede banget ya ma’.
Perkataan
sederhana dari mulut anak kecil, tapi kalau kita mau menyelami, akan banyak
hikmah yang dapat kita ambil. Dari perkataan Davina gue jadi mikir, padahal gue
ga pernah ngasih kado atau hadiah berharga apapun ke dia yang bisa membuat dia
ingat sama gue. Dan yang gue lakukan cuma bermain dan bermain.
Itu
artinya untuk mengungkapkan rasa sayang, kita tidak perlu berbuat sesuatu
diluar kemampuan kita. Kita hanya perlu berbuat sejujur dan setulus mungkin
sesuai kemampuan kita, maka orang di sekeliling kita akan menyayangi kita apa
adanya tanpa kita meminta.
Masih
banyak lagi hal-hal yang bisa kita ambil dari kehidupan ini. Dan gue sangat
berterima kasih kepada ponakan-ponakan kecil gue yang secara gak langsung
mengajarkan potongan-potongan arti kehidupan yang terkadang gue sendiri sulit
untuk menerjemahkanya.
Tidak
dimana-mana yang namanya anak kecil, paling susah di suruh mandi. Tapi kalau
sudah kena air, yang terjadi malah kebalikanya. Mereka akan berdiam lama-lama
di dalamnya. Seandainya nyokapnya memberi izin mungkin mereka akan bertapa di
dalam air.
Gue
sama adik gue Fira, biasanya lempar-lemparan kalau sudah urusan memandikan tiga
kurcaci ini. Hal itu terjadi ketika mereka sedang kekosongan pembantu dan
nyokapnya belum pulang dari kantor.
‘Hayoo,
siapa yang mau dimandiin om Fiki’, kata Fira dengan gayanya yang menirukan joki
Dahsyat, seakan-akan dimandikan oleh gue itu adalah hadiah undian.
‘Aku’.
‘Aku’.
‘Aku’.
Sorak mereka bertiga bersahutan.
‘Gak
ah, gak mau, sama tante Fira aja yaa mandinya’, kata gue menghindar. Lagi pula
siapa juga yang mau, baru bangun tidur siang, tiba-tiba langsung disodorkan
tiga anak kecil untuk dimandikan.
‘Aaaahhh…
ga mauu…, maunya sama om Fikiiiiii…!’ teriak mereka bareng. Gue juga ga tau
siapa yang mengajari mereka bisa seperti itu. Tapi gue rasa Fira yang
mengajarinya, karena di siang harinya dia yang menyuapkan mereka makan.
Untuk
meringankan tugas gue lempar satu ke abang sepupu gue yang sedang asyik
menikmati isapan rokoknya. ‘Yaudah…gini, Chika sama om Ade aja gimana,
mau?’
‘Iya
deh ga papa, aku sama om Ade aja’,
‘Iyaa…iyaa…
ayo cepat buka bajunya’, untung abang sepupu gue perhatian.
‘Naah…
Davina buka popoknya sama tante Fira yaa! om Fiki mandiin kakak Salma dulu’. Soalnya
gue paling males tuh kalau kebagian jackpot sewaktu ritual buka popok.
Sambil
menuntun Salma ke tempat cuci baju - tempat favorit mereka untuk mandi - gue
bilang ke Fira dengan sedikit ledekan, ‘Fai, bukain popoknya yaa, sekalian
cebokin, nanti kalau udah, langsung aja bawa ke gue, biar ga pake lama’.
‘Huuuh,
dasar! Mandiin sekalian bukain popoknya dong!’ kata Fira mencibir.
Mungkin
itu dulu diantara banyak potongan-potongan kenangan indah bersama mereka yang
bisa gue tuliskan dan gue ambil hikmahnya.
Kita
baru akan merasakan indahnya berkumpul bersama, disaat nanti kita harus
merasakan perpisahan. Selagi mereka ada, maka sayangilah!