Thursday, July 11, 2013

Belajarlah Dari Mereka



Bermain dengan anak kecil merupakan hiburan yang rasanya sungguh berbeda dengan hiburan lainya seperti menonton tv atau bermain video game. Karena bermain dengan mereka bisa membuat kita meninggalkan sejenak kepenatan yang ada di kepala lalu melupakan masa dimana kita berpijak dan pergi jauh kembali ke masa kecil. Mungkin itu salah satu alasan mengapa orang menikah, kepingin cepat punya anak.
Gue punya banyak ponakan, tapi cuma tiga kurcaci yang deket sama gue. Mereka adalah Chika, Salma, dan Davina, kesemuanya adalah anak dari kakak sepupu gue Lia.
Selain mengajak mereka bermain gue juga seneng mengajak mereka ngobrol. Karena menurut gue tingkah laku dan perkataan anak kecil itu polos dan jujur. Mereka berlaku dan berkata apa adanya. Berbeda ketika kita berbicara dengan orang sebaya kita ataupun orang yang lebih dewasa. Pastinya kebohongan yang disembunyikan akan lebih banyak dari pada kejujuran yang diutarakan.
Chika. Dia anak paling besar dari tiga bersaudara tersebut. Gue menyebut mereka ‘kurcaci’, karena sewaktu gue dan adik gue kecil, juga di panggil seperti itu oleh nyokapnya dan sepupu-sepupu gue yang lainya. Dan menurut gue itu pas-pas aja. Karena menurut pengamatan gue, orang-orang sekarang sering membuat penamaan yang aneh-aneh dan gak pas. Seperti ada grup penyanyi dangdut, terdiri dari tiga orang wanita, tapi mereka memberi nama grup mereka ‘trio macan’. Menurut gue hal itu  sama dengan pelecehan nama baik macan. Karena kehadiran mereka sudah merubah perspektif gue tentang macan yang tadinya sangar menjadi unyu, seksi dan menggemaskan.
Waktu begitu cepat berjalan, Chika sekarang sudah duduk di sekolah dasar. Padahal dua tahun yang lalu waktu gue lagi di rumah, dia baru merayakan ulang tahunya yang ke lima. Tapi walaupun ketika itu ia masih berumur lima tahun, badanya yang bongsor tidak kalah besar dengan anak SD kelas tiga.
Chika sangat suka sekali bercerita, mulai dari cerita teman-temanya di TK, cerita pembantunya yang galak sampai cerita film-film kartun yang dia tonton, seperti Shaun sheep, Dora, Sponge Bob dan kartun-kartun lainya. Untuk gadis cilik seusianya, bisa dibilang ia cukup cerdas, gampang bergaul, dan pandai berimajinasi.
Di suatu pagi, seperti kebiasaan anak kecil pada umumnya, bangun tidur dengan hanya mengenakan singlet dan celana dalam, rambut acak-acakan, lalu berjalan-jalan di dalam rumah sambil menunggu nyokapnya menyiapkan air mandi untuknya. Entah apa yang dikerjakan yang jelas itu sudah merupakan rutinitas.
‘Kaka, ayo mandi air hangatnya udah siap!’ kata nyokapnya setengah stress, karena disamping ia harus siap-siap ke kantor, kewajiban mengurus anak tetap nomer satu dan tidak bisa ditinggalkan.
‘Ssshhht, aku lagi sibuk ma’, sembari tangan kirinya memegang kardus susu instan, dan jemari tangan kananya mengusap-usap permukaanya.
‘Kamu lagi ngapain sih ka?’ Tanya nyokapnya lagi.
‘Biasa lah ma, ini lho, Samsung tablet’.
‘Hahaha… Samsung tablet! Sudahlah nak mainanya mama mau ngantor nih, kamu kan juga harus sekolah!’
Dengan langkah malas Chika pun pergi mandi menuruti mamanya, ‘sekolah lagi-sekolah lagi, capek aku ma…’.
Kasihan kamu nak, padahal baru TK sudah merasakan capeknya sekolah. Padahal sampai nanti kita tua, arti sekolah yaitu belajar tidak akan pernah usai sampai kita benar-benar menutup mata dan tak akan membukanya lagi.
Selain terhibur, dari si kecil Chika gue juga dapet banyak pelajaran hidup yang kadang orang dewasa tidak pernah menyadarinya.
Pernah waktu chatting sama nyokapnya di whats app, nyokapnya cerita ke gue kalau Chika semalem abis mimpi indah, ‘ma, aku semalem aku mimpi indaaah banget’.
‘Kamu mimpi apa ka?’ Tanya nyokapnya. ‘Aku mimpi ketemu om Fiki’. Dalem hati gue. Wow, sebegitu sepesialnyakah gue? Jadi buat lo semua yang ingin bahagia, berdoalah, malalm ini lo mimpi ketemu gue. 
Tapi bukan di situ intinya. Dari omongan Chika, gue mengambil pelajaran, hanya dengan adanya orang-orang yang kita sayangi di sekitar kita itu sudah cukup membuat kita bahagia. Sebegitu sederhananya arti kebahagiaan menurut Chika, dan harus kita renungi, itulah hakikat kebahagiaan sebenarnya.
Definisi kebahagiaan menjadi rumit ketika manusia beranjak dewasa, dimana hati dan fikiran manusia sudah tercemar oleh hal-hal yang merusak pola pikir dan prilaku manusia.
Standar kebahagiaan menjadi berubah tergantung kepada pencapaian materi, kekuasaan dan kedudukan di mata orang lain. Maka tidak heran kalau sekarang sering kita temui orang-orang perang saudara hanya karena harta. Mereka rela melupakan ini kakak ini adik demi materi yang umurnya sebatas sepiring nasi yang dimakan lalu habis.
Gak sabar rasanya kepingin cepat selesai kuliah, lalu kembali berkumpul bersama keluarga besar gue tercinta.
Belum lama ini, gue dapet kabar dari nyokapnya via chatting di facebook, kalau Chika sudah mengang Android sendri. Sebenernya bukan punya dia, tapi punya bokapnya. Berhubung bokapnya malas menggunakanya dan kurang begitu faham, jatuhlah Android itu ketanganya. Untung dia ga follow gue di twitter, bisa-bisa tweet gue yang aneh-aneh jadi bahan omonganya dan teman-temanya di SD.
***
Satu tingkat di bawah Chika ada adiknya, namanya Salma. Diantara kedua saudara kandungnya kulit Salma agak sedikit lebih kecoklatan. Makanya dia sering jadi bahan ledekan gue. Dan setiap abis gue ledekin dia ngambek dan langsung ga mood main. Kalau udah gitu, gue milih kabur dan baru balik lagi kalau dia udah hilang ngambeknya.
Salma paling suka makan Zuppa soup yang di jual di Pizza Hut, setiap kali ke Pizza Hut, dia bisa menghabiskan 3 mangkuk Zuppa  Soup. Jatah dia, jatah kakaknya dan jatah adiknya. Karena biasanya Chika kakaknya dan Davina adiknya hanya memakan rotinya saja yang menutupi permukaan mangkuk. Selebihnya Salma yang menghabiskan.
Lucunya setiap kali ingin menghabiskan jatah kedua saudaranya dia tidak lupa meminta izin terlebih dahulu, ‘kakak supnya aku abisiin yaa’.
‘Iya…’ kata Chika. Berbeda ketika ia mau menghabiskan jatah adiknya Davina, ‘ih… Davin ko supnya ga diabisiin sih…’ Trus dia mengadu ke nyokapnya, ‘tuh ma, Davin supnya ga diabisin!’
‘Salma mau?’ kata nyokapnya. ‘Abisin deh nak, boleh ko’. Sambil senyum-senyum mangkuknya Davina ia ambil lalu makan kembali dengan tenangnya.
Salma juga tidak kalah cerdas dari kakaknya, sama-sama pintar ngomong dan suka bercerita. Tapi gue rasa ceritanya agak sedikit absurd dibanding kakaknya. Mungkin karena umurnya yang masih terlalu dini untuk membuat cerita yang nyambung.
Pernah suatu ketika pas gue lagi nonton tv, tiba-tiba dia langsung loncat ke pangkuan gue dengan tangan dan mulutnya yang berlumuran coklat. Lalu dia berkata, ‘Om…, om Fiki kenal Agus ga?’
Dalem hati gue, ‘Agus siapa yaa? temen SD, temen pondok, atau temen dimana ya? Dan ko si Salma bisa kenal?’ Karena sangat mungkin nyokap atau bokapnya mempekerjakan tukang kebun atau pembantu lalu dia mengaku teman gue, ‘Kenalin dek Salma, saya Agus temanya om Fiki, omnya dek Salma’.
‘Ga tau’, jawab gue singkat.
‘Yaaah… payaaah… om Fiki ga kenal Agus!’, waduh, gue dibilang payah sama anak umur empat tahun.
 Otak gue langsung bekerja dua kali lebih keras. Gue coba memutar memori, jangan-jangan Agus yang dimaksud oleh Salma, bukan sekedar teman tapi ia adalah tokoh sejarah, pahlawan revolusi, H. Agus Salim atau siapalah yang menurut gue, kalau gue sampai gak bisa jawab pangkat gue sebagai mahasiswa bisa dicopot oleh Salma gadis kecil berumur 4 tahun dan belom sekolah. Mengingat zaman sudah terlalu maju, maka anak kecil bisa saja mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang dewasa.
Akhirnya, karena merasa putus asa, gue mengaku kalah dan gue jawab, ‘udah Sal, om Fiki ga tau, Agus yang mana sih?’
‘Yaaah… payah…’ sembari tanganya yang bersandar di paha gue memainkan jari-jari mungilnya, lalu ia melanjutkan perkataanya pelan-pelan, supaya gue fokus dan ga salah dengar. ‘Agus itu…, tukang sate deket lumah aku. Dia itu… Pacalnya mbak aku yang dulu. Om Fiki kenal ga sama mbak aku yang dulu…?’
Oh God…! Mungkin si Salma beranggapan Agus ini pahlawan bersenjatakan kipas sate yang berusaha mendapatkan hati wanita pujaanya, yaitu mbaknya (baca: pembantu), sampai-sampai gue dibilang ‘payah’ gara-gara gak kenal sama Agus.
Ga cukup sampai di situ, gue juga harus kenal sama pembantunya yang dulu. Padahal tiga kurcaci ini sering banget gonta-ganti pembantu. Dan baru beberapa waktu yang lalu gue nganterin nyokapnya jemput dua pembantu baru yang akhirnya hanya bertahan beberapa minggu. 
Dan dari Salma gue juga dapet pelajaran berharga. Salma mengajarkan gue untuk adil berbagi kasih sayang diantara keluarga. Karena posisinya sebagai anak ke-dua dari tiga bersaudara, menuntut dia untuk bersikap lebih dewasa bahkan dari kakaknya sendiri. Dia harus bisa menghormati kakaknya sekaligus menyayangi adiknya. Terkadang ia harus dimarahi kakaknya karena berlaku agak kasar terhadap adiknya, terkadang pula ia harus membelai lembut adiknya ketika Chika memarahi Davina. Dan itu sudah ia lakukan.
***     
Davina, dia yang paling imut dan menggemaskan diantara saudaranya lantaran ia anak paling kecil. Bicaranya yang masih terbata-bata membuat kita senang mengajaknya berbicara walaupun entah apa yang dibicarakanya.
Dan sekarang Davina sudah tumbuh menjadi anak TK. Dari nyokapnya gue dapat cerita kalau dia sudah pandai ngomong. Kemarin dia sempat bertanya ke nyokapnya, ‘ma, om Fiki sekolahnya lama banget ma, om Fiki ga kangen ma sama aku? Nanti kalau om Fiki pulang aku udah gede banget ya ma’.
Perkataan sederhana dari mulut anak kecil, tapi kalau kita mau menyelami, akan banyak hikmah yang dapat kita ambil. Dari perkataan Davina gue jadi mikir, padahal gue ga pernah ngasih kado atau hadiah berharga apapun ke dia yang bisa membuat dia ingat sama gue. Dan yang gue lakukan cuma bermain dan bermain.
Itu artinya untuk mengungkapkan rasa sayang, kita tidak perlu berbuat sesuatu diluar kemampuan kita. Kita hanya perlu berbuat sejujur dan setulus mungkin sesuai kemampuan kita, maka orang di sekeliling kita akan menyayangi kita apa adanya tanpa kita meminta.
Masih banyak lagi hal-hal yang bisa kita ambil dari kehidupan ini. Dan gue sangat berterima kasih kepada ponakan-ponakan kecil gue yang secara gak langsung mengajarkan potongan-potongan arti kehidupan yang terkadang gue sendiri sulit untuk menerjemahkanya. 
Tidak dimana-mana yang namanya anak kecil, paling susah di suruh mandi. Tapi kalau sudah kena air, yang terjadi malah kebalikanya. Mereka akan berdiam lama-lama di dalamnya. Seandainya nyokapnya memberi izin mungkin mereka akan bertapa di dalam air.
Gue sama adik gue Fira, biasanya lempar-lemparan kalau sudah urusan memandikan tiga kurcaci ini. Hal itu terjadi ketika mereka sedang kekosongan pembantu dan nyokapnya belum pulang dari kantor.
‘Hayoo, siapa yang mau dimandiin om Fiki’, kata Fira dengan gayanya yang menirukan joki Dahsyat, seakan-akan dimandikan oleh gue itu adalah hadiah undian.
‘Aku’.
‘Aku’.
‘Aku’. Sorak mereka bertiga bersahutan.
‘Gak ah, gak mau, sama tante Fira aja yaa mandinya’, kata gue menghindar. Lagi pula siapa juga yang mau, baru bangun tidur siang, tiba-tiba langsung disodorkan tiga anak kecil untuk dimandikan.
‘Aaaahhh… ga mauu…, maunya sama om Fikiiiiii…!’ teriak mereka bareng. Gue juga ga tau siapa yang mengajari mereka bisa seperti itu. Tapi gue rasa Fira yang mengajarinya, karena di siang harinya dia yang menyuapkan mereka makan.
Untuk meringankan tugas gue lempar satu ke abang sepupu gue yang sedang asyik menikmati isapan rokoknya. ‘Yaudah…gini, Chika sama om Ade aja gimana, mau?’ 
‘Iya deh ga papa, aku sama om Ade aja’,
‘Iyaa…iyaa… ayo cepat buka bajunya’, untung abang sepupu gue perhatian.
‘Naah… Davina buka popoknya sama tante Fira yaa! om Fiki mandiin kakak Salma dulu’. Soalnya gue paling males tuh kalau kebagian jackpot  sewaktu ritual buka popok.
Sambil menuntun Salma ke tempat cuci baju - tempat favorit mereka untuk mandi - gue bilang ke Fira dengan sedikit ledekan, ‘Fai, bukain popoknya yaa, sekalian cebokin, nanti kalau udah, langsung aja bawa ke gue, biar ga pake lama’.
‘Huuuh, dasar! Mandiin sekalian bukain popoknya dong!’ kata Fira mencibir.
Mungkin itu dulu diantara banyak potongan-potongan kenangan indah bersama mereka yang bisa gue tuliskan dan gue ambil hikmahnya.
Kita baru akan merasakan indahnya berkumpul bersama, disaat nanti kita harus merasakan perpisahan. Selagi mereka ada, maka sayangilah!
 

Tuesday, July 9, 2013

Sendiri di Bus



Sebelum memori itu pupus ditelan waktu, kuputuskan untuk mengabadikanya dalam sebuah cerita singkat, yang semoga bisa menjadi bagian dari sejarah hidupku yang berharga. Hingga kelak, siapa saja yang membaca bisa mengambil pelajaran, bahwa hidup tidak selamanya mudah. Dan dibalik setiap kesulitan yang dilalui ada pintu kebahagiaan yang terbuka lebar.
05.30 pm KSA, sudah lebih dari sejam yang lalu aku menunggu kedatangan bus yang akan membawaku pergi menuju Ibu Kota Yaman, San’a. Jadwal yang tertera di tiket, bus akan berangkat pukul empat sore, tapi ternyata sampai saat ini bus tak kunjung datang. Mungkin memang budaya terlambat tidak hanya bertaraf nasional sebagaimana yang sering kita rasakan di Indonesia tapi juga sudah mendunia. Disamping itu, aku melihat ke kanan dan kiri ku, belum ada calon penumpang selain aku yang datang. Spontan saja terbesit di kepalaku, aku tidak hanya menunggu bus, tapi juga penumpang  lain yang jumlahnya tidak sedikit.   
Pandanganku kosong, entah apa yang aku fikirkan ketika itu. Sofa butut yang aku duduki saat di ruang tunggu sudah hampir hilang kenyamananya. Yang jelas harapanku, bus bisa datang lebih cepat, dan aku bisa cepat sampai di San’a, melihat kondisi politik di Yaman yang tidak stabil akibat demo disana-sini menuntut diturunkanya presiden Ali Abdullah Shaleh dari jabatanya, maka segala macam kemungkinan terburuk pun dapat terjadi. Menurut berita di televisi yang aku dengar, sudah banyak korban jiwa yang berjatuhan akibat demo tersebut. Aku sengaja mengambil jalan darat walaupun sebenarnya bisa lewat udara, sebab untuk ukuran penerbangan domestik, biaya tranportasi pesawat di Yaman masih terbilang mahal. Apalagi kondisi kantong tidak mendukung.
Tak lama kemudian beberapa temanku yang ikut mengantarku ke agen bus datang membawa sedikit cemilan untuk menghilangkan rasa suntuk yang sudah menjalar keseluruh jiwaku. Lumayan, sebungkus keripik kentang, beberapa coklat yang ditemani soft drink bisa melunakkan rasa jenuhku.
Sebenarnya agak berat untuk meninggalkan studiku di sini. Tapi kondisi fisikku mengharuskanku mengambil cuti untuk menjalani pengobatan di Indonesia yang bisa dibilang Indonesia masih lebih maju di banding Yaman dari segi kualitas, fasilitas, dan pelayanan kesehatan. karena pernah suatu ketika aku sedang mendapat giliran menemani temanku yang saat itu dia divonis gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah di sini. Cukup terkejut, ternyata rumah sakit terbaik yang ada di provinsi Hadhromaut tidak lebih bersih dari terminal Kampung Rambutan tempat aku biasa menunggu bus way. Hal itu dikarenakan pemandangan yang seharusnya ada di terminal bisa aku dapatkan di rumah sakit. Mulai dari orang meludah sembarangan, hingar bingar teriakan menginginkan dilayani lebih dulu, bau yang tak sedap dan masih banyak lagi yang menurutku lebih pantas menjadi potret situasi terminal dari pada rumah sakit. Seandainya diadakan penilaian untuk rumah sakit, perkiraanku ‘Ibnu Sina’ hanya akan mendapat peringkat D atau E.
Tidak sampai di situ, rumah sakit di sini bisa dibilang miskin servis. Pasien dipaksa harus mengurus dan memperhatikan kesehatanya sendiri. Mulai dari minum obat, makan, ganti infus dan pekerjaan lain yang seharusnya mendapat perhatian dari pihak rumah sakit tapi ternyata pasien harus melakukanya sendiri. Beruntung bagi mereka yang ditemani sanak keluarga atau teman, setidaknya masih ada yang bisa membantu mereka selama sakit. Sedangkan yang hanya tinggal sendiri dan mengandalkan perhatian dari rumah sakit, menurutku ia hanya akan semakin sakit dan entah kapan akan sembuh. Karena bukan sekali aku melihat pasien menyuntik cairan obat sendiri hanya dengan melihat aturan pakai dan dosis yang direkomendasikan dokter. Belum lagi jadwal kunjung dokter yang tidak teratur, yang pastinya akan membuat pasien tambah terbengkalai. Harusnya Negara Islam bisa memberi pelayanan yang lebih baik sesuai ajaran agamanya.
***
 Penantian panjang akhirnya usai. Bus yang akan aku tumpangi datang seiring berkumandangnya adzan Maghrib. Dengan sigap dua orang temanku membantuku menata barangku di bagasi bus. Kondektur juga tak kalah sibuk. Ia menyapu bersih seisi bus dengan cepat. Lalu penjaga agen bus  menyuruhku masuk ke dalam bus, karena bus akan langsung berangkat tanpa menunggu lama.
Otakku langsung bertanya-tanya, ‘ini penumpang lainya pada kemana?’ Dengan rasa penasaran yang cukup dalam, aku akhirnya masuk ke dalam bus. Kuliahat sopir bus sedang mengelap kemudinya pertanda bus akan segera berangkat.
‘Pak supir, bisa saya sholat maghrib dulu, berhubung saya lihat bus masih kosong’, tanyaku kepada sopir untuk mengobati rasa penasaran ku. ‘Sudah, kamu duduk saja, nanti kita bisa jama’ di jalan!’
Melihat bangku penumpang kosong semua, aku pilih kursi agak depan agar bisa melihat jalan. Sopir bus, masih memperisiapkan segala yang dibutuhkan untuk perjalanan yang cukup jauh ini. Diapun beranjak dari bangku kemudi, lalu berjalan ke bangku paling belakang. Entah apa yang dikerjakan. Aku tidak mau tau terlalu banyak. Tapi karena masih penasaran, sekembalinya ia dari bangku paling belakang, aku mencoba bertanya kembali, ‘pak supir, apa ada nomer bangku, atau ketentuan dimana sebenarnya saya harus duduk?’
‘Sudahlah, kamu duduk saja terserah kamu dimana! Bus ini kosong. Tapi saya minta, kamu jangan ambil bagian depan. Silahkan kamu duduk di bagian tengah atau agak kebelakang. Karena urusanya bisa panjang waktu pemeriksaan jika ada orang asing’, kata sopir bus panjang lebar kepadaku yang secara tidak langsung membuatku menafsirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi kepadaku di perjalanan. Bayangkan saja, bus sebesar itu hanya aku sendiri penumpangnya, bertiga dengan sopir dan kondektunya. Keadaan tersebut menambah perasaanku semakin kacau, karena aku tidak sedang menyewa bus pribadi yang mewah lengkap dengan berbagai fasilitas hiburan di dalamnya, tapi aku sedang menaiki bus umum yang akan memasuki daerah konflik dan aku hanya sendiri di dalamnya. Tak ada yang dapat aku lakukan saat itu selain menyebut nama-Nya, karena aku yakin dalam kesendirianku selalu ada Dia menjagaku. Sungguh Dialah sebaik-baik penolong.
***
Bus pun berjalan. Kesendirianku membawaku terbang lebih dulu ke rumah dimana mama papaku sedang menungguku saat ini, padahal jam terbang pesawatku masih esok lusa. Air wajah mereka tiba-tiba terbayang jelas di anganku. Saat ini aku mengharapkan kehadiran mereka untuk mengusir segala ketakutanku. Aku ingin mendengar suara mereka yang selalu menguatkanku ketika aku lemah dalam ketidakberdayaanku. Aku merindukan pelukan mereka yang selalu meyakinkanku bahwa tidak akan terjadi sesuatu apapun yang akan membahayakanku. Aku ingin cepat sampai, dan berharap semua ketidakpastian ini akan berakhir indah dan baik-baik saja sesuai doaku.
Selang beberapa jam, kuperhatikan ternyata sudah cukup jauh aku meninggalkan kota Seiyun tempat aku menunggu bus,  yang mana sekarang aku sudah berada di kota Qothn dimana akhirnya bus berhenti dan mengambil dua orang penumpang. Puji syukurku kepada-Nya, jumlah penumpang menjadi enam orang setelah di agen selanjutnya setelah kota Qothn, naik lagi tiga orang penumpang. Iseng-iseng kulirik tanda sinyal di handphonku, ternyata masih ada dua. Maka kusempatkan untuk mengirim SMS ke mamaku sebelum nantinya aku memasuki wilayah tanpa jaringan sedikitpun, tuk sekedar meminta doa tanpa mengabari keadanku sebenarnya saat ini. Aku tidak ingin mereka terlalu mencemaskanku. Dan selang beberapa menit kemudian setelah SMS terkirim, akupun tertidur bersama roda yang terus berputar menembus gelapnya malam diantara pegunungan batu yang berbaris.
***
‘Bangun! Bangun!’ Suara keras membuatku terjaga. Akupun setengah sadar sambil mencoba menerka siapa yang ada dihadapanku sekarang. Perlahan kucoba menggambarkan sosok berkumis tebal dan berseragam dengan jelas. Rupanya seorang polisi Yaman yang sedang mengadakan pemeriksaan. Lalu ia bertanya kepadaku dengan senjata laras panjang jenis AK masih menggantung di tangan kirinya, ‘ajnabiy?’
Ayyuwa’.
Min ain?’.
Tareem’.
Setelah itu dia menanyakan beberapa kelengkapan seperti paspor, surat jalan, dan identitas lainya, maka langsung aku ambilkan dari kantong jaket kulitku lalu kuserahkan kepadanya.
‘Baik, semua lengkap, silahkan istirahat kembali!’ Akupun lega mendengar perkataan polisi tersebut. Kemudian aku putuskan untuk berpindah tempat duduk dan kembali melanjutkan mempiku yang sempat terputus setelah lampu dalam bus diredupkan.
Aku memang sangat mudah untuk tertidur di perjalanan, baik itu naik bus, kereta, atau pesawat. Sekalipun ada fasilitas tv atau hiburan lain di dalamya, itu bukan menjadi alasan untuk membuatku tidak terkantuk. Apalagi ditambah AC yang dingin. Udara sejuk yang dikeluarkanya tambah memuluskan perjalananku pindah ke alam bawah tanpa batas.
Ketika masih belajar di pondok pesantren, aku sering melakukan perjalanan jauh menggunakan bus atau kereta. Dan aku sangat menikmati perjalanan tersebut. Karena secara tidak langsung, perjalanan mengajarkan kita arti hidup yang sesungguhnya. Dimana kita semua sedang menjalani perjalanan kita masing-masing. Walaupun liku dan arah setiap orang berbeda-beda tetapi tujuan akhir dan pelabuhan kita sama.
Malam masih legam dengan ronanya yang kelam. Semuanya terasa sunyi dan sepi sepanjang jalan. Hingga pada akhirnya pada pukul 03.00 am aku kembali dibuat terjaga oleh suara yang lagi-lagi tidak aku kenal, ‘Bangun! Bangun! Ayo cepat keluar!’ Kali ini perintah yang kudengar berberda dengan yang sebelumnya, lebih kasar dan memaksa. Lalu dengan tubuh yang masih sedikit kaku akibat posisi tidur yang kurang nyaman aku mencoba melirik siapa yang telah membangunkanku sekaligus memeriksa orang-orang satu bis di sekililingku. Mengejutkan! Ternyata yang membangunkanku  bukanlah polisi yang resmi bertugas, melainkan personil qabilah[1] yang memang biasa mencegat, atau membajak mobil-mobil yang melintas di kawasan mereka.
Setelah tahu keadaan sebenarnya, mataku yang tadinya masih terkantuk menjadi segar seketika, karena terpacu oleh adrenalin yang berkerja ekstra. Aku di paksa turun oleh orang bergamis putih yang memerintahku dengan menggunakan moncong AK-47. Kulihat penumpang yang lain sudah memindahkan barang-barang mereka ke bus yang juga diberhentikan di depan busku. Terlihat juga bapak tua yang tadi duduk bersamaku sedang menempatkan barangnya di bagasi bus depan.
‘Ayo nak, mana barang-barangmu, mari saya bantu pindahkan’, kata bapak tua kepadaku. Masih dalam keadaan panik dan tidak tau harus berbuat apa, ku turuti saja perintah bapak tua tersebut. Kucari barang bawaanku di dalam bagasi, lalu dengannya kupindahkan ke bus lain di depan.
‘Sebenarnya ada apa sih, pak?’
‘Tidak tau juga, yang jelas, bus kita akan dibajak. Maka semua penumpang yang akan ke San’a di suruh pindah ke bus itu’
Aku tidak bisa berfikir sehat ketika itu. Di sekelilingku orang bersenjata berjaga ketat. Sepintas kulirik ke arah bus ku, sopir bus sedang berdebat keras dengan salah seorang pesonil qobilah. Entah apa yang mereka perdebatkan, tapi pastinya sopir bus ingin mempertahankan busnya.
 Dalam kepanikan yang sangat aku akhirnya tersadar kalau sekarang aku sedang berada di Ma’rib, yaitu kota kecil sebelum masuk ke San’a yang memang di jaga ketat oleh para qobilah. apalagi setelah pecahnya demontrasi. Mereka lebih memperketat lapisan pemeriksaan demi kepentingan politik pastinya. Karena sebagian besar dari mereka anti pemerintah.
Di Yaman, senjata api memang bebas diperjualbelikan. Tidak heran kalau mereka semua melikinya. Kalau kita pergi ke restoran di Indonesia, orang-orang menaruh gadget di atas meja makanya, tapi kalau di Yaman, sudah menjadi pemandangan yang biasa ketika orang makan yang di taruh di atas meja adalah peralatan perang. Mulai dari senjata laras panjang sampai pistol revolver diajak makan. Maka dari itu pemerintah pun akan berfikir dua kali jika ingin mengusik kegiatan mereka. Bisa-bisa yang terjadi malah perang saudara.
Akupun hanya bisa terdiam, sambil mengawasi kegiatan mereka. Aku belum mendapat kejelasan, apakah akan dipindah bus atau barang-barangku dibawa pergi dan aku disandera bersama penumpang yang lain. Mulutku tak henti-hentinya mengucap dzikir memohon pertolongan-Nya. Kupasrahkan segala apa yang akan terjadi kepada-Nya. Sampai-sampai aku sempat berfikir, di sinilah akhir hidupku. Karena bukan tidak mungkin salah seorang dari mereka khilaf lalu melepaskan timah panas ke kepalaku. Lalu habislah ceritaku, dan orang tuaku di rumah tidak akan pernah tau aku dikubur dimana, lantaran tidak ada jaringan untuk komunikasi dan pegunungan batu markas qobilah merupakan tempat yang jarang mendapat perhatian pemerintah. Sehingga yang terbunuh disana, akan lenyap bagai debu.
Setelah setengah jam menunggu, debat antara supir busku dan salah seorang personil qobilah selesai. Keputusanya busku dapat melanjutkan perjalanan. Dan aku kembali memindahkan barang-barangku dari bagasi bus di depan ke bagasi busku dengan susah payah. Dan bus pun berjalan kembali. Sebelum berjalan sopir bus berkata kepadaku, ‘di depan nanti, akan masih ada banyak pemeriksaan. Demi kelancaran perjalanan. Setiap ada pemeriksaan, kamu lebih baik berbaring di kursi, lalu kamu tutupi wajahmu dengan jaket kulitmu itu dan jangan bangun kecuali yang memeriksa menegurmu, paham!’ Akupun mengangguk.  
Penumpang bus yang tadinya enam orang sudah berkurang. Rupanya sebelum sampai di Ma’rib telah turun tiga orang. sehingga kami sekarang hanya berlima dengan supir dan kondekturnya. Tak apalah. Paling tidak mimpi burukku selesai. Hidupmu tidak berakir di sini fik! Dan akupun terlelap kembali.
***
Tepat pukul tujuh pagi aku terbangun. Kudapati bus sedang berhenti menepi di pinggir jalan. Lalu kucoba mengangkat kepala sedikit dan melirik keluar. Ternyata lagi-lagi supir bus bernego dengan polisi dan tentara yang berjaga di pintu masuk ke kota San’a. Ya, rupanya aku sudah hampir memasuki kota San’a. Dua orang penumpang lainya turun ke samping bus tuk sekedar olahraga kecil sambil menunggu negosiasi selesai. Sedangkan aku memilih untuk tetap tinggal di bus, karena tidak ingin urusan menjadi tambah panjang karena keberadaanku.
 Sholat subuhku hari ini terlewatkan. Mungkin karena tidurku yang terlalu lelap sehingga supir dan kondekturnya pun enggan membanguniku saat berhenti di tempat peristirahatan. Sudah tidak sabar rasanya ingin cepat masuk ke kota San’a lalu beristirahat di KBRI. Tapi ternyata sudah hampir satu jam aku di pintu masuk kota San’a.
Setelah klimaks tempratur jengah dalam jiwaku, akhirnya buspun boleh memasuki kota San’a. Ia berputar-putar sebentar menyusuri jalan-jalan kota yang pagi itu sangat sepi sebelum akhirnya berhenti di agen. Melihat keadaan yang terjadi,  aku rasa orang-orang juga enggan untuk sekedar keluar rumah mencari sarapan atau membeli kebutuhan lainya. Sebab pasca demo yang terjadi, suasana kota San’a sangat mencekam. Banyak jalan di tutup, tentara-tentara bersenjata berjaga di setiap sudut kota, suara letupan senjata tak henti terdengar, dan tank-tank beserta mobil-mobil amfibi tak mau kalah ikut membuat suasana tambah menjadi runyam.
 Sampailah di agen. Aku langsung mengambil barangku dan memeriksanya agar jangan sampai ada yang tertinggal. Lalu dengan taksi yang barusan aku stop aku pergi menuju KBRI San’a untuk menemui Pak Huda, rekan sepupu iparku di Jakarta.
 Hari itu aku bermalam di rumahnya. Dan keesokan harinya ia mengantarku ke bandara San’a International Airport.
Sangat berbeda, perjalananku menuju bandara begitu mulus tanpa hambatan sedikitpun, walaupun jalan-jalan banyak di tutup disana sini. Dengan Land Cruiser Prado berplat CD aku merasakan sejenak nikmatnya jadi pejabat. Sekilas sangatlah nyaman, tapi akhirnya aku sadar, setiap kenyamanan yang didapat harus dibayar dengan ribuan tanggungjawab yang berat.
Pak Huda mengantarku mulai dari check in, sampai aku masuk ke ruang tunggu dimana hanya penumpang yang diperkenankan masuk. Aku merasa begitu besar pertolongan-Nya kepadaku. Setelah kemarin malam keadaanku carut marut tak menentu.
Sekarang semuanya begitu mudah. Dan ini membuat aku semakin bersyukur dan semakin yakin kalau Dia tidak tidur. Dia akan selalu mendengar keluh kesah hambanya yang mau bersabar menghadapi setiap ujian-ujian yang Ia berikan. Dan Dia pasti akan membukakan jalan keluar untuk setiap masalah hamba-Nya selama hamba-Nya mau berusaha dan memohon segala pertolongan kepada-Nya.
Akupun akhirnya terbang dan kembali kepelukan orang-orang tercinta yang sudah cukup cemas menungguku di rumah.    
    
 



      







[1] Sekelompok kaum berdasarkan keturunan. Seperti yang kita sering baca di buku sejarah. Qobilah Quraiys, artinya kaum quraiys.

Wednesday, July 3, 2013

CD Ku di Bukit Shofa



Umroh sekeluarga memang kenangan paling indah yang tak terlupakan. Dan gue berdoa semoga aja mimpi nyokap untuk bisa pergi haji bersama bisa jadi kenyataan.
Ramadhan 2004. Alhamdulillah gue sekeluarga bisa menjalani ibadah puasa di tanah suci Mekkah. Sebenarnya pijakan kaki kami yang pertama bukanlah di Makkah, melainkan di Madinah. Karena sesampainya di bandara King Abdul Aziz Jeddah, dengan bus kami langsung dibawa ke Madinah.
Cukup nikmat, buka puasa pertama kami lakukan di Masjid Nabawi. Gue akuin, di Masjid nabawi pelayanan cukup cepat dan rapi. Karena 15 menit sebelum adzan Maghrib berkumandang, plastik panjang sudah digelar di tiap shaf. Lalu setelah itu berbagai macam menu ta’jil pun dihidangkan. Yang pasti setiap orang mendapat, semangkuk yogurt, seper empat potong roti gandum yang kalau ia tidak dibagi, bentuknya akan lebih besar dari Frisbee, beberapa butir korma, segelas air zam-zam dan tak lupa gahwa (sejenis kopi bunn, yang biasanya di campur dengan jahe).
Wajarlah, sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia yang suka sok tau dan gengsi untuk bertanya. Apalagi kalau merasa dirinya sedang diperhatikan. Melihat menu yang dihidangkan cukup menarik menurut gue, sikap gue langsung sok-sokan kayak orang arab. Dalam diri, gue serasa memiliki jenggot lebat dan hidung mancung, padahal untuk berbicara bahasa arab belepotanya minta ampun.
Setelah makan beberapa butir korma, gue yang ketika itu duduk di samping bokap, langsung buka yogurt mangkokan dengan gesitnya mengikuti tingkah laku orang arab yang ada di samping gue. Trus gue potek roti gandum dengan potekan yang cukup besar lalu gue cocol kemangkuk yogurt yang ada di depan gue. Dan “haaaup!” Potongan roti berlumuran yogurt yang cukup besar pun berbaring indah di rongga mulut gue. Lalu seketika itu juga mata gue langsung melotot dan lidah gue seakan mau berontak akibat efek mengecap rasa dari makanan yang baru gue makan.
Bokap gue yang dari awal memperhatikan proses gue makan pun bertanya, “enak ki?” Lalu dengan sigap gue pencet idung gue sampe ga bisa nafas, menutup mata dan mengunyah dengan kecepatan 80 kunyahan permenit sampai akhirnya makanan itu bisa masuk keperut gue. Dan hal tersebutlah  yang biasa gue lakukan ketika makanan yang rasanya aneh sudah terlanjur masuk ke mulut, dan ga bisa dikeluarkan karena situasi dan tempat tidak mendukung untuk melepehkan makanan sembarangan. Baru setelah usaha yang cukup menguras tenaga gue jawab pertanyaan bokap, “aneh pa, rasanya…”.
“Bhaahaha…makanya cobain dulu!” sahut bokap gue menang, karena dia merasa kalau dia ga kena perangkap.
Gue bukanya ga biasa minum yogurt. Tapi rasa yogurtnya yang ga kayak biasanya. Karena rasanya sangat beda dengan yogurt Cisangkuy atau yogurt yang biasa dibeli di mini market. Ternyata orang arab lebih suka yogurt yang murni, tanpa diberi gula atau campuran rasa lainya.
Setelah merasa tidak puas dengan yogurt dan roti gandum super besar akhirnya gue coba minum gahwa, karena sudah dari tadi gue perhatikan orang arab di samping kanan gue enak banget minumnya.
Sebelum meminum gue coba cium dulu baunya, kalau aneh ga akan gue minum. Karena sebagai orang Indonesia, gue ga mau terjerumus ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Lalu gue dekat kan hidung gue ke bibir gelas, dan ternyata…wuih! aromanya begitu menggoda. Tanpa pikir panjang, langsung aja gue minum segelas gahwa yang sudah hampir dingin, “srruuup!”.
Dan untuk kedua kalinya, mata gue melotot, tangan gue mencet hidung, lalu kembali mengunyah dengan kecepatan yang sama, hingga “glegek!” Lho, ko dikunyah? Ya… karena itu sudah menjadi bagian dari rukun, jadi harus dikerjakan, tidak sah jadinya kalau ditinggalkan.
***
Setelah tiga hari kami di Madinah, tibalah waktunya untuk melaksanakan umroh ke Makkah. Perjalanan dari Madinah ke Makkah cukup menguras tenaga. Apalagi di bulan puasa. Walaupun naik bus ber-AC tetap serasa naik onta kehilangan punuk akibat kehausan ketika melihat pemandangan diluar hanya ada gunung batu dan hamparan pasir. Walaupun  akhirnya gue sadar, ternyata batu itu indah.
Sesampainya di Makkah kami langsung menuju Masjidil Haram, sungguh takjub gue, ketika pertama kali melihat Ka’bah. Rasanya hati ini bergetar, mata tak kuat menahan air mata syukur, dan mulut tak henti-hentinya mengucap tasbih dan tahmid.
Dengan kain ihrom yang hampir melorot, gue berjalan mengelilingi Ka’bah sambil memengang tangan bokap. Di belakang gue dan bokap, ada adik gue Fira sama nyokap juga saling menuntun. Maklum, peminat umroh ketika Ramadan cukup banyak sehingga akan dengan mudah kita kehilangan satu sama lain.
Tawaf putaran ke tigapun terselesaikan dan masuklah pada putaran yang ke empat. Betapa kagetnya gue ketika gue menatap ke arah bokap, ternyata yang gue tuntun bukan bokap gue. Dan orang yang gue tuntun juga ikutan kaget setelah tau kalau yang dia tuntun bukan istrinya. Lalu gue lihat kebelakang, ternyata adik gue sama nyokap juga ga ada. Waaahh… gaswat! Kalau hilang di Cililitan, gue masih tau jalan pulang. Ini hilangnya di Masjidil Haram, yang mana kalau tidak hafal di pintu mana ketika masuk, pasti akan kebingungan mencari sandal ketika keluar.
Sebenernya sih ada cara mudah, agar gue bisa diketemukan kembali sama bokap dan nyokap gue dengan cepat. Yaitu dengan menerobos lautan manusia sampai menempel ke Ka’bah, trus gue panjat kainya sampai akhirnya gue berada di puncak Ka’bah, lalu gue teriak,”Papa…! Mama…! Fiki di sini pa…ma…!”
Tapi ga mungkinlah gue melakukan hal itu, karena gue ga bisa manjat dan karena kemungkinan yang terjadi jika hal itu beneran gue lakukan cuma dua. Yang pertama bokap nyokap gue akan pura-pura ga kenal dan memilih melanjutkan thawaf dan sa’inya, lalu melapor ke polisi kalau anaknya hilang ketika thawaf. Dan yang ke dua, setelah turun dari atas Ka’bah, gua akan dibunuh karena dikira ngaku Tuhan. Kalaupun tidak dibunuh, larinya pasti ke rumah sakit jiwa.
Akhirnya, karena sudah terlalu banyak hal-hal konyol yang bersarang di otak gue. Gue lebih memilih menyelesaikan thawaf dan sa’i terlebih dahulu baru setelah itu mencari bokap, nyokap dan ade gue.
Setelah tahalul, gue coba kelilingi itu yang namanya Masjidil Haram, ternyata capeknya minta ampun. Ga jauh beda sama lari pagi di senayan, cuma bedanya di sini ga ada tukang bubur ayam. Untungnya gak sampai harus menyelesaikan satu putaran gue sudah bisa bertemu dan berkumpul lagi dengan keluarga tercinta. Dan nyokap langsung bilang, “Fiki kemana aja? Mama sempat cemas takut Fiki kenapa-kenapa!” Dengan nada lesu gue menjawab,”ga tau ma…tadi salah nuntun”.
Eh… adik gue malah ngakak, *jitak…!*
***



Pagi yang cerah, dan cuasa yang tidak terlalu panas, sangat mendukung untuk melaksanakan ibadah umroh yang ke dua. Akhirnya setelah sarapan pagi, kami langsung pergi untuk mengambil miqot untuk berihrom.
Di umroh yang ke dua ini gue bertekad bahwa gue ga boleh kehilangan keluarga gue lagi. Akhirnya tiap selesai satu putaran thawaf, gue selalu mengabsen untuk memastikan gue ga salah tuntun. “Papa… Mama… Fira…”, dan mereka selalu bilang “haaadir!” seusai namanya disebut.
Thawaf pun selesai, dan gue sangat bahagia karena gue ga kehilangan keluarga gue lagi. Lalu kami pun melanjutkan ibadah dengan melaksanakan sa’i.
Tidak jauh berbeda konsepnya dengan thawaf, gue tetap mengabsen keluarga gue setiap akan melanjutkan sa’i. Dan mereka juga selalu bilang ‘hadir’ ketika diabsen.  
Putaran pertama, putaran kedua, putaran ketiga, Alhamdulillah kami lancar menjalankanya. Di sa’i putaran ke empat entah kenapa tiba-tiba saja otak gue berfikir, menerka, meraba, seakan ada yang kurang. Spontan saja dengan cepatnya processor di kepala gue mengurutkan semua kejadian mulai dari hotel, sampai di tempat sa’i sekarang. “Ambil miqot udah, berihrom udah, niat juga udah” kata gue dalem hati.
Sambil berjalan, gue terus mencoba untuk menerka, “apalagi yang kurang, apa yang ketinggalan”. Lalu tak lama setelah berfikir keras, “astaga…! Pa… Fiki masih pake kancut!” kata gue ke bokap.
“Hah… yang bener! Coba periksa lagi!” kata bokap gue. Nyokap sama adik gue ngeliat gue dengan mimik bingung seakan memastikan kalau gue ga lagi bercanda.
“Bener pa… masih pake!” timpal gue lagi.
“Yaudah, sebentar lagi sampe bukit Shafa, lepas di sana aja!” Katanya nyokap gue. Bokap sama adik gue pun mengamini.
“Ya ampun ma…! Kan kan banyak orang!” gue coba mengelak, karena gue juga ga mau acara umroh bareng keluarga dibumbui dengan cerita melepas celana dalam di bukit Shofa. Apa jadinya?
“Yaa…abis mau gimana lagi?” Mau ngulang umroh dari awal?” kata nyokap gue lagi.
Akhirnya sesampainya di bukit Shofa, kami sekeluarga berkumpul di pojok, yang mana seingat gue di pojok terdapat sebuah lemari besar atau apa yang gue juga kurang ingat pastinya. Lalu tak lama kemudian, bokap, nyokap, dan adik gue sudah membentuk formasi untuk menutupi gue yang akan melepas celana dalam.
“Udah belom bang…lama amat!” kata adik gue.
“Iya nih bentar lagi… ni juga udah”, jawab gue.
Dan setelah selesai, “udah ni ma… taro dimana yaa?” tanya gue ke nyokap.
“Yaudah, selipin di bawah situ aja!” kata nyokap sambil menunjuk kearah lemari yang gue sebut tadi. Dan ketika gue selipkan celana dalam gue, ternyata dia ga sendirian. Sudah ada beberapa temanya yang sedang tertidur pulas di bawah selipan lemari. Hati gue lumayan lega, karena yang punya cerita seperti ini ga gue sendiri.
  Lalu setelah merasa benar-benar  aman, kamipun melanjutkan sa’i layaknya orang yang beristirahat sejenak lalu berjalan kembali.