Hei,
apa kabar Oktober 2015. Semoga lo semua ngejalaninnya dengan penuh harapan
baru, semangat baru dan niat yang baru demi masa depan besar yang lo mimpikan.
Banyak
yang komen tulisan gue sebelumnya sedih, ada yang baca sampe nangis, bahkan ada
yang baru baca judulnya dia udah gak mau lanjutin bacanya karena takut nangis.
Makasi buat semua yang udah mampir walaupun menurut kenalan baru gue Riana
Maulida yang sempet gue sotoyin dan untungnya dia gak ngambek, tulisan itu
harusnya banyak yang komen. Tapi itu gak penting. Karena di sini yaaaa gue pure
cuma mau berbagi yang kadang gue suka susah nyari telinga mana yang siap
dengerin.
2015
menurut gue benar-benar tahun dimana gue mulai berkenalan dengan alam secara
lebih luas. Di tahun ini gue nyicipin sedih, senang, susah, gembira, dan semua menjadi
satu paket yang silih berganti. Atas semua yang gue jalani pada akhirnya gue bersyukur
dengan segala apa yang ada. Pahit manisnya harus gue telan.
Banyak
orang beresolusi dengan segudang mimpi dan harapan di tiap awal tahun,
khususnya 2015 kemarin. Ada yang berncana nikah, ada yang pasang target bisa
beranak pinak sebanyak mungkin, ada yang targetnya nembak gebetan di bawah
pohon pisang, dan masih banyak lagi resolusi-resolusi yang orang-orang
rencanakan pada umumnya. Sedangkan gue sendiri, gue gak sempet mikir resolusi
apa yang harus jadi target gue di 2015 ini, tapi kenyataannya, rencana Allah
lebih fantastis dan lebih besar dari ekspektasi yang gue bayangin, walaupun gue
ngejalaninnya harus berdarah-darah dulu. Tapi paling enggak gue puas.
Udah
ah, cukup prolognya, hehe… Intinya sekarang gue mau berbagi kesenangan. Kalau
di April 2015 kemarin gue sempet berduka cita atas kepergian Bokap gue, tapi di
Oktober 2015 ini gue kedatangan personil baru pelengkap keluarga besar gue. Dia
anak adik gue, Fira.
Jadi
ceritanya, waktu gue baru pulang sholat subuh, jalan kaki bareng ipar gue
sambil ngobrol-ngobrol ringan, pas sampai di rumah nyokap gue teriak, “Fira
pendarahan, Ki! Keluar cairan terus dari tadi.” Akhirnya gue langsung lapor ke
sepupu gue yang dokter yang rumahnya hanya beberapa meter dari rumah gue. Dia pun
langsung lari dan gue cepat-cepat nyiapin mobil.
Perlengkapan
seadanya di bawa, tujuan pertama ke bidan 24 jam dekat rumah. Sesampainya di
sana, ternyata tulisan 24 jam yang terpampang hanya logo. Karena pada
kenyataannya, pagar tertutup rapat, lampu-lampu gelap, dan pos satpamnnya pun
tidak ada yang jaga. Akhirnya ipar gue mutusin untuk tancap ke rumah sakit
besar di jalan alternatif Cibubur. Gue pun langsung tancap gas ke sana.
Sampai
di rumah sakit, adik gue langsung masuk IGD, lalu dilarikan ke kamar bersalin. Pemeriksaan
pun dilakukan. Kemudian setelah prosesnya berjalan ternyata baru bukaan satu
dan untuk sampai bukaan sepuluh kemungkinan masih lama, dan selama itu kondisi bayi
harus di observasi.
Gak
kebayang, perjuangan ibu buat ngelahirin anaknya, dan sekarang adik gue
ngerasain sendiri. Detik demi detik menunggu hasil observasi dan bukaan demi
bukaan. Gue berharap cuma satu waktu itu, kalaulah memang ditakdirkan lahir
normal, semoga pas pembukaan 10 Jokowi gak usah sok-sok ikutan blusukan
ngersesmiin pembukaannya. Yang ada ponakan gue gak jadi lahir, gara-gara takut liat muka presidennya.
Akhirnya,
karena estimasi dokter dan perawat yang bertanggung jawab, proses yang di
jalanin adik gue bakalan lama, gue izin balik dulu karena masih harus ada yang
diurus.
Sore
harinya gue terus update perkembangan adik gue via telepon, dan hasilnya masih
belum, masih pembukaan satu. Gue pun jalan ke rumah teman gue di bilangan
Sawangan, Depok.
Waktu
berjalan dan urusan gue pun kelar, pas jam 20.15, gue ditelepon nyokap, untungnya
gue lagi berhenti dari motor sebentar buat ngecek update terbaru, “Fiki dimana?
Fira mau Caesar jam 10, Mama mau ke rumah sakit sekarang.”
Posisi
gue saat itu masih di daerah Margonda, yang kalau gue jalan normal, sampai di
rumah paling cepat kisaran 30-45 menit lebih. Tanpa pikir panjang, gue langsung
buru-buru ke rumah, dan Alhamdulillah, cuma 15-20 menit.
Gue
cepat berbenah, dan langsung tancap ke ruma sakit bareng nyokap.
Di
rumah sakit, adik gue udah dirapihin buat siap-siap masuk ruang operasi. Ruma sakit
tempat adik gue bakalan Caesar, yaitu rumah sakit dimana Bokap gue kemarin
pembuluh darah di otak. Yaa, kasarnya, di rumah sakit itu Bokap gue meninggal,
dan di rumah sakit itu juga cucunya lahir.
Jam
di tangan gue menunjukkan pukul 21.10, adik gue siap diantar masuk ruang
operasi. Asli, jalan menuju ruang operasi ngingetin gue banget sama Bokap. Karena
dari ruang bersalin ke kamar operasi, ngelewatin ruang ICU di mana Bokap
mengembuskan nafas terakhirnya. Di koridor itu jug ague bulak-balik masuk ruang
ICU buat lihat kondisi Bokap. Dan yang lebih parahnya lagi, pas adik gue masuk
ruang operasi, bayangan gue langsung nerawang jauh ke bulan April, dimana Bokap
di depan ruang operasi itu pamit dan minta maaf untuk yang terakhir kalinya.
Yaa,
begitulah siklus hidup. Ada yang lahir, ada yang meninggal. Ada yang datang,
dan harus ada juga yang pergi.
Jam
21.30 operasi dimulai. Untungnya adik gue boleh ditemenin suaminya di dalam
ruangan operasi. Gue sama nyokap nunggu di ruang bersalin, sambil beres beres
persiapan pindah ke kamar perawatan. Harap-harap cemas tetap ada, walaupn
operasi ini gak seberat yang dijalani Bokap. Tapi sedikit banyak, rasa takut di
hati tetap ada.
Lama
menunggu gue turun ke lantai 1 buat nyari makanan. Sekembalinya gue dari bawah,
pas keluar lift ternyata ipar gue. “Alhamdulillah, Bang! Udah lahir”. Syukur gue
dalam hati. Memang sudah aturan Allah Sang Maha Penyusun Sekenario hidup. Indah,
tapi penuh haru. Entah mengapa Dia sengaja menakdirkan, tempat dimana gue harus
menelan sedih, di tempat itu juga gue dipaksa membuang segala sedih itu.
Memang
sudah dari lama direncanakan, kalau benar anaknya lahir laki-laki, maka mau
diberi nama sama seperti kakeknya, ‘Hasyim’. Mau seperti apa panjanganya, tapi
panggilannya tetap Hasyim. Dan ternyata kehendak Allah itu indah, ponakan gue
lahir laki-laki dan diberi nama Muhammad Hasyim.
Banyak
sih yang komentar, “kayak gak ada nama lain aja.” Yang lain lagi, “tambahin
kek, belakangnya apa gitu, nama itu kan doa, jadi bla…bla..bla…”, intinya
panjang deh kalau harus gue tulis di sini semua komentar orang-orang tentang
ponakan gue ini.
Yaa,
mungkin mereka lupa, penyematan sebuah nama itu doa dari orang tua ke anaknya,
tidak harus menjadikan rangkaian sebuah nama itu sendiri yang bisa berarti doa.
Dan kami sekeluarga memberinya nama Hasyim dengan harapan kelak ia bisa menjadi
penerus kakeknya, punya akhlak seperti kakeknya, dan bisa menjadi panutan
seperti kakeknya.
Tapi
untungnya, di antara komentar-komentar negatif, yang berkomentar positif juga banyak.
Dan pada akhirnya, komentar hanya menjadi komentar. Niat kami jelas jalannya
pun ikhlas.
Selamat
datang Hasyim Junior. Selamat membuka mata di semesta yang luas ini. Kami akan
selalu mendukungmu lahir dan batin.