Gemerlap
langit berbintang begitu indah melukis wajah malam purnama.
Para pengamen jalanan silih berganti menyajikan nada irama tuk menemani Farel
yang sedari tadi duduk termenung di ujung taman kota. Namun hadirnya pengamen
hanya ia sambut dengan lambaian tangan tanda ia tidak mengantongi recehan. Sebotol air mineral dingin dan sebungkus
cokelat Toblerone begitu setia menemani kesendiriannya. Ia selalu melakukan hal
tersebut saat alur kehidupan sedang kalut, gabungan manis cokelat dan dingin
air mineral adalah obat mujarab yang selalu bisa menetralkan suasana hatinya, sehingga
otaknya bisa kembali berpikir logis.
Farel
bukan perokok yang biasa melepaskan setiap masalah bersama kepulan asap yang
berembus, tapi ia pecinta cokelat yang selalu mencairkan setiap problem melebur
bersama rasa manis yang memanjakan lidah. Ia begitu menikmati suasana mengemut
cokelat serta meneguk air mineral dingin di bawah hamparan langit gemintang
Tatapan
mata Farel masih kosong, hingar bingar suasana kota di malam minggu tidak bisa
juga membuatnya bergeming lalu beranjak berbaur bersama orang-orang menikmati
indahnya malam. Ia sudah tenggelam dalam dunianya sendiri, angannya pergi jauh
menembus dimensi yang entah berada dimana.
Tapi
sesaat kemudian heningnya terhenti. Ia mengubah posisi duduk santai
menjadi lebih tegap ketika bola matanya memandang lurus ke depan ke arah wanita
yang berada di seberang jalan sedang menuju menghampirinya. Wanita yang sudah tidak
asing lagi baginya. Sosok berambut panjang sebahu yang selama ini mengisi
kosong ruang hati dan pikirannya. Gadis pujaan nan cantik menawan yang ia
dambakan kelak akan menjadi pendamping hidupnya. Farah.
Jantung
Farel berdetak semakin cepat seiring langkah Farah yang datang mendekatinya.
Pikirannya kacau, ia sedang meraba-raba kalimat apa yang akan ia lontarkan ke
Farah. Hatinya kembali bergolak setelah sebungkus cokelat berhasil menetralisir
pola pikirnya. Dan sosok Farah pun sekarang berada tepat di hadapannya.
“Farel,”
Farah mencoba menegur laki-laki yang mengambil posisi mematung tidak
menghiraukan kedatangannya.
Hening.
Farel masih belum tau akan menjawab bagaimana sapaan Farah. Otaknya masih
memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
“Mau
apa datang kemari, bukannya kita sudah berakhir ya?” Farel mencoba menjawab
Farah dengan pertanyaan langsung.
“Iya
aku ngerti Farel, kita memang sudah berakhir, tapi plis Farel, untuk kali ini
saja izinkan aku bicara.” Farel terdiam mendengar kata-kata Farah, “boleh aku
duduk?”
“Duduklah,”
jawab Farel datar.
Setelah
Farah duduk di sampingnya, Farel kembali melemparkan pertanyaan yang cukup
tajam bagi Farah, “kapan kamu melangsungkan akad nikah?”
“Farel
plis, izinkan aku menjelaskan semuanya dulu,” jawab Farah mencoba menangkan
hati Farel yang sedang berkecamuk.
Semarah
apapun Farel, Farah selalu saja bisa mengambil hatinya dan membuat suasana
menjadi cair, “owh begitu, baiklah, aku mendengarkan.” Pandangan Farel tetap
lurus ke depan tanpa menghiraukan Farah yang ada di sampingnya. Setiap kali
melihat Farah, yang ada terbesit di dirinya hanya sakit hati yang tak kunjung
sembuh.
“Jadi
begini Farel,” Farah mulai meneruskan pembicaraannya, “ternyata pria yang
datang berta’aruf kepadaku sudah dicarikan calon juga oleh keluarganya. Ibu
pria tersebut saat ini lebih condong kepada wanita pilihan keluarga. Memang dia
memilih aku, tapi jika ibunya memilih wanita itu, ia tidak bisa menolak pilihan
ibunya. Dia meminta waktu kepadaku untuk untuk beristikhoroh dan bicara kepada
ibunya.
Dan
kamu perlu tau Farel, saat kamu memaksa aku menentukan pilihan antara kamu dan
dia, aku tertekan. Aku berada diantara tuntutan keluarga yang ingin aku menikah
cepat dan keinginanku menikah dengan orang yang aku cintai. Aku menyesal telah
memilih dia dan meninggalkanmu. Setelah ia datang dan bertemu dengan papa mama,
aku masih belum bisa menghilangkan bayangmu dari ingatanku. Yang ada dibenakku
cuma kamu.
Dan
kamu juga harus tau Farel, laki-laki yang selalu ditanyai dan diperhatikan oleh
mamaku itu kamu bukan dia. Mama selalu tanya, ‘Farel kemana? Kenapa gak sama
Farel aja?’
Memang
iya, kemarin papa dan mamaku mendesak aku untuk menikah lebih cepat, melihat
usiaku yang sudah terlalu matang. Tapi saat ini papa dan mama sudah tidak
menekan aku lagi. Mereka tidak memaksakan aku harus menikah tahun ini, mereka
ingin aku menikah dengan orang yang aku cintai. Dan kamu pastinya tau siapa
laki-laki yang aku cintai yang tidak bisa aku lepaskan dari hati dan pikiranku.
Aku
ingin menikah dengan orang yang aku sayangi, Farel. Aku ingin tertawa saat
setelah menikah nanti, bukannya canggung. Aku ingin membangun keluarga bersama
orang yang benar-benar bisa mengerti aku. Aku maunya kamu, Farel.
Sekarang
dia sedang bimbang, antara memilih aku dan wanita pilihan keluarganya. Jadi
kemungkinan aku akan menjadi pengantin dengan dia sangat tipis. Tapi sayang,
dulu kamu sudah bilang akan menutup rapat hatimu untukku, padahal aku masih berharap
bisa kembali kepadamu.”
Setelah
penjelasan Farah, mereka berdua terdiam. Farel belum bisa menjawab semua
penjelasan Farah. Ia belum mampu mengiyakan keinginan Farah untuk bisa kembali
kepadanya, karena sebelumnya, berkali-kali ia beri kesempatan kepada Farah,
tapi selalu saja Farah yang menyianyiakan kesempatan tersebut. Farah lebih
memilih meninggalkan Farel.
Suasana
masih hening, keduanya membisu saling menahan perasaan. Dalam hati, Farel
benar-benar ingin Farah kembali, tapi ia juga tidak mau patah hati untuk
kesekian kali karena setiap kali ia memberi hatinya untuk Farah, Farah
melepasnya dan hanya bisa berkata ‘maaf’. Farel bimbang antara menerima Farah,
atau menyuruhnya pergi selamanya.
Perlahan
Farel mencoba membuka pembicaraan, “jadi kamu belum dilamar?”
“Iya,
dan belum ada kepastian dari dia,” jawab Farah.
“Kamu
maunya aku?” tanya Farel lagi memastikan.
“Iya
Farel, kamu tau itukan? Dan aku cuma bahagia sama kamu,” jawab Farah
meyakinkan.
Farel
tertegun. Ia masih berpikir dan berpikir apakah Farah sungguh-sungguh
menginginkannya atau masih seperti sebelum-sebelumnya, Farah hanya
menjadikannya lelaki cadangan.
“Tapi
Farah,” Farel melanjutkan pembicaraan, “ jika dia memilih kamu dan meninggalkan
wanita pilihan keluarganya, serta ibunya merestui, apa kamu mau menolaknya?”
Dan
keadaanpun berbalik, sekarang Farah yang tertegun dengan pertanyaan Farel,
karena ia tau ia tidak akan bisa menolak jika pria tersebut memilihnya. Tapi
egonya yang masih menginginkan Farel mendorong ia untuk berkilah, “Farel, aku
kan sudah bilang, aku maunya kamu, dan dengan keadaan seperti ini tidak mungkin
dia memilih aku. Wanita itu didukung oleh keluarganya sedangkan aku tidak.”
Farel
kembali tertegun dan hatinya mulai luluh oleh semua bujuk rayuan Farah. Ia
tergoda dan mulai mencoba membuka hati lagi untuk Farah yang selama ini sudah
ia coba tuk menguburnya dalam-dalam.
“Baiklah,
jika memang benar itu maumu, aku akan buka hatiku untukmu. Tapi Farah, aku
masih lama, kamu tau kan aku harus membiayai adikku dulu yang tahun ini akan
lulus. Paling cepat tahun depan aku baru bisa menikahimu. Apa kamu siap
menungguku?”
“Hei
Farel, kamu itu adalah alasan kenapa aku kuat menunggu, sedangkan menunggu
adalah hal yang paling aku benci. Lagi pula aku menuggumu tidak dengan diam
mematung. Kamu tau, aku berkali-kali dipanggil Rektor mendapat tawaran menjadi
dosen di universitas tempat aku kuliah, jadi menunggumu akan menjadi hal indah
yang menghiasi hari-hariku?” jawab Farah.
“Benarkah
begitu?” tanya Farel ragu.
“Ya
benarlah Farel,” jawab Farah meyakinkan.
Malam
itu di hati Farel mulai tumbuh kembali harapan yang selama ini telah pupus. Ia
pulang mengantar Farah dengan sejuta harapan terpendam yang menjadi suratan doa
kepada penciptan-Nya.
Lampu-lampu
jalan yang terang menguning membuat suasana hati Farel yang hampir tandus
kembali bersemi. Ia mulai bersemangat lagi, karena bagian dari dirinya yang
hilang telah ia temukan kembali.
***
Arloji
di tangan kiri Farel menunjukkan pukul 10.00 malam. Ia memarkir sepeda motornya
tepat di depan gerbang rumah Farah.
“Farah!”
sebelum Farah beranjak masuk, Farel menghampirinya. Sambil memegang tangan
Farah dan mata mereka bertemu, Farel bertanya memastikan, “benar kamu maunya
aku?”
“Sungguh
Farel!”
“Baiklah,
kalau begitu, aku mau kamu bilang ke papa dan jelaskan semuanya. Aku tunggu
jawabannmu besok. Kamu siap bilang ke papa kan?”
“In
Syaa Allah, Farel.”
***
Keesokan
harinya di hari Senin seperti biasa, Farel menjalankan rutinitasnya sebagai pekerja kantoran.
Tapi hari ini terasa berbeda baginya, ia masih diselimuti tanda tanya akan jawaban
yang akan Farah berikan kepadanya. Ia ragu akan Farah yang benar-benar
menginginkannya kembali. Konsentrasinya buyar, ia tidak sanggup mengerjakan
pekerjaannya dengan baik hari ini.
Di
sela-sela bekerja, berkali-kali ia melihat pemberitahuan di hanphone-nya. Ia
menunggu bbm dari Farah. Ia menunggu jawaban atas apa yang Farah utarakan
semalam. Ia berharap Farah membawa kabar gembira dengan memilihnya dan mau
menunggu.
Harap-harap
cemas tak henti-henti meranggaskan hatinya. Dia bukan laki-laki egois yang
selalu memaksakan kehendak, melainkan sosok penyabar yang selalu mampu bertahan
meski berkali-kali disakiti oleh orang yang ia sayangi. Terlihat bodoh, tapi
itulah Farel dengan segala ketulusannya.
Farel
bukan tergolong pria tidak laku yang mengharap dipilih oleh wanita pujaannya.
Begitu banyak wanita yang ingin mendampinginya, tapi untuk saat ini cintanya
masih menatap ke satu arah dan berdiam untuk waktu yang lama. Entah sampai
kapan, mungkin sampai cintanya benar-benar membunuh dan membuangnya percuma.
***
Senja
mulai menampakkan rona merahnya, Farel semakin tidak sabar menunggu jawaban
dari Farah. Lalu dengan cepat, di pintu keluar kantor ia mengambil handphone-nya dan
mencoba mengirim pesan ke bbm ke Farah.
Farel:
Hasil akhir?
Pesannya
begitu singkat dan padat. Cukup lama Farel menunggu balasan dari Farah. Logo pesan
yang ia kirim masih berlambang D berwarna biru, pesannya belum dibaca oleh
Farah.
Farel
semakin cemas, ia bertanya-tanya dalam hati sekaligus mempersiapkan dirinya
untuk jawaban yang tidak ia harapkan.
Pelan
ia melanjutkan langkahnya ke tempat parkir motor sambil terus mengutak-atik
hapenya tanpa tau apa yang ingin ia cari. Yang ada dibenaknya, ia hanya ingin
cepat mendapatkan jawaban dari Farah, sekali pun itu menyakitkan.
Langit
senja yang tadinya cerah kemudian mendung menambah suasa hati Farel makin
berkecamuk. Ia hanya mampu memendamnya dalam hati. Sendiri.
Tak
lama kemudian, yang ditunggu-tunggu pun datang, bbm dari Farah. Dengan detak
jantung yang berdegup semakin kencang Farel mencoba menguatkan diri membuka
pesannya.
Farah:
Farel, Sandi dan keluarganya datang pagi tadi, aku benar-benar tidak tahu. Sandi
langsung ngomong ke papa. Semua sudah diurus. Aku akan menikah minggu depan,
Farel. Farel maaf!
Langit
seakan runtuh, Farel tidak tahu harus menjawab apa pesan dari Farah. Setelah ia
mencoba membuka hatinya kembali untuk Farah, lagi-lagi Farah mempermainkan
perasaannya untuk yang kesekian kali.
Farel
melangkah lesu, ternyata dugaannya benar, bahwa selama ini Farah orang yang
begitu ia sayangi hanya mempermainkannya. Farah tidak benar-benar mencintai
Farel sebagaimana Farel mencintai Farah.
Farah:
Farel maafin aku!
Farel:
Iya…