Wednesday, June 4, 2014

Mapan, Nikah, dan Rezeki



Ga sengaja waktu lagi iseng buka facebook ada inbox masuk dari salah satu temen gue. Dia bertanya kayak ini, “mapan menurut pandangan mas Fikry itu apa sih?” Agak risih sih sebenarnnya dipanggil mas, hehe…, dan gue lebih seneng dipanggil nama biar lebih akrab. Soalnya tiap kali dipanggil mas, gue langsung berasa lagi bawa gerobak sayur di komplek sebelah rumah gue. Tapi gue gak mau rugi, dia manggil gue ‘mas’, gue manggil dia ‘mbak’. Karena paling enggak, disaat gue merasa jadi tukang sayur keliling, dia juga merasa jadi pembantu rumah tangga komplek yang beli sayuran gue

Akhirnya gue kasih jawaban gini, “mapan menurut saya adalah kemampuan seseorang untuk berusaha memanfaatkan serta mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya untuk bertahan. Dan mapan tidak bisa dinilai dengan materi ataupun kedudukan”.

“Lho, ko jawabannya beda sama yang lain mas? Misalnya ada yang bilang gini, ‘belum mapan ko udah ngebet nikah, mau dikasih makan apa anak istri?’ apa makna mapan menurut sampean masih sama seperti yang sebelumnya?” Dalem hati gue, ‘tergantung sih, nikahnya sama apa, klo sama manusia yaa kasih makan nasi. Kalau sama herbivora kasih makan tumbuhan, dan kalau sama carnivora tinggalin di hutan aja suruh berburu sendiri, hehe…’

Dari pertanyaan temen gue di atas, gue rasa perspektif orang tentang mapan dan nikah harus diluruskan kembali. Karena sekarang banyak orang yang berfikiran kalau mau menikah harus mapan dulu. Dan orang tua perempuan juga mendukung pendapat yang sama, ‘cari pasangan hidup yang sudah mapan’, yang dimaksud dalam segi materi. Jadi, mau calonnya ngerti agama atau tidak, asal dia bisa menghidupi, orang tua sudah cukup tenang.  

Akhirnya gue jawab, “Kalau kemapanan dipandang hanya dari sudut pandang materi, itu gak adil, karena artinya, mereka yang tergolong kurang mampu tidak boleh menikah. Adapun kemapanan yang diperlukan dalam menikah, hanyalah kemampuan seorang suami dalam berusaha menafkahi keluarganya dengan memanfaatkan dan mengembangkan segala potensi yang ada dalam dirinya. Soal banyak atau sedikit rezeki yang didapat itu Allah yang mengatur. Kita berusaha mencari rezeki bukan karena rezeki itu datang dari apa yang kita usahakan. Tetapi kita berusaha mencari rezeki karena Allah memerintahkan kita untuk berusaha. Dalam istilah bahasa arabnya (at-ta’aamul bil asbaab).

Dalam Al-qur’an Allah telah berfirman:
وما من دابة في الأرض إلا على الله رزقها [هود:6]
“tidak ada satupun (mahluk) yang berjalan di muka bumi, kecuali Allah yang bertanggung jawab atas rezekinya”. (Hud: 6)

وفي السماء رزقكم وما توعدون [الذريات: 22]
“dan di langitlah rezeki kalian serta segala apa yang telah dijanjikan” (Ad-zurriyaat: 22)

Dalam dua ayat di atas bisa kita lihat sendiri, di ayat pertama Allah telah menjamin bahwasannya Allah Swt akan bertanggung jawab atas rezeki semua mahluk yang berjalan di muka bumi. Maka apakah kita ragu dengan janji Allah Swt?

Pernah suatu hari gue denger cerita, bahwasannya Imam Abu Hanifah memiliki seekor kucing yang sangat ia sayangi. Setiap harinya diberi makan tanpa sedikitpun kucing itu kelaparan. Tapi dengan pola makan yang dirasa sudah sangat mencukupi bagi seekor kucing, kucingnya Imam Abu Hanifah tetap saja mencuri makanan tambahan. Dan setiap kali ia mencuri, ia tidak memakannya seperti biasa, tetapi ia bawa jauh keluar rumah. 

Akhirnya Imam Abu Hanifah curiga dengan perilaku kucingnya tersebut. Maka suatu ketika setelah kucingnya mencuri makanan tambahan Imam, Abu Hanifah mencoba mengikuti kemana kucingnya pergi. Dan tenyata kucingnya berhenti di sebuah goa yang di mana di dalam goa tersebut terdapat seekor ular yang buta. Lalu kucingnya menaruh makanan yang ia curi agak masuk ke mulut gua sehingga ular tersebut dapat lebih mudah merasakan adanya makanan dan bisa menjangkaunya. 

Dari kisah di atas bisa sama-sama kita ambil pelajaran, bahwa janji Allah itu nyata. Ular yang buta saja Allah tanggung rezekinya apalagi kita sebagai khalifah di muka bumi. 

Lalu di ayat yang ke dua, Allah bukan hanya berjanji, tapi sekaligus bersumpah. Karena dalam bahasa Arab huruf (و) biasa dipakai juga untuk bersumpah. Sebegitu ragunya kah kita akan janji Allah sehingga mengharusnkan Allah bersumpah dalam firmannya? Allah Swt bersumpah bahwasannya rezeki kita itu di langit. Dalam artian rezeki adalah murni karuna dari Allah Swt, adapun yang kita lakukan di bumi adalah wujud dari ketaatan kita menjalani perintah-Nya yang menyuruh kita untuk berusaha. Analogi lain, sakit misalnya, yang menyembuhkan penyakit tetap Allah, tapi kita ke dokter adalah bagian dari usaha karena Allah menyuruh kita berusaha. 

Tidak cukup sampai di situ, di ayat lain Allah juga berfirman:
وإن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله [النور:32]
“dan jika mereka dalam keadaan miskin, maka Allah akan memepekaya mereka dengan karunianya”

Di dalam ayat ini Allah Swt menjelaskan bahwa jika sepasang suami istri menikah dan merka dalam keadaan fakir miskin, maka Allah Swt akan memperkaya mereka dengan segala karunianya. 

Nah, jadi sekarang menurut gue, yang paling penting harus dipersiapkan dalam sebuah pernikahan adalah niat yang suci untuk ibadah. Kalau niat awal dalam menikah sudah murni ingin mencari ridhonya Allah Swt, maka Allah tidak akan menyianyiakan hamba-Nya yang Ia ridhoi. Susah, senang, sedih, suka, dan bahagia semua adalah bumbu-bumbu kehidupan yang terdapat dalam sebuah pernikahan, yang mana segala cobaan yang ada akan membuat pasangan suami istri yang menikah karena Allah Swt semakin kuat dalam menjaga tali cinta kasih sehidup semati yang terucap di akad. 

Hal tersebut berbanding terbalik dengan pasangan yang menikah karena cinta buta, mengejar materi, atau bahkan hanya sekedar pelampiasan nafsu kebutuhan biologis. Itu sama saja membangun rumah dengan jaring laba-laba sebagai pondasinya, rapuh dan tidak akan bertahan lama. 

Jadi menurut gue tidak perlu menunggu mapan dalam segi materi untuk menikah, tapi mantapkan niat, lalu ucapkan ‘bismillah’.

Oya satu lagi, kebanyakan laki-laki sekarang mencari istri yang mau diajak hidup susah. Menurut gue pandangan seperti itu harus dirubah. Soalnya sering timbul pertanyaan dalam diri gue pribadi, ‘ni orang mau ngajak nikah apa mau ngajak hidup susah?’. Kalau gue jadi ceweknya, gue sih nolak. Hehe… Karena seharusnya, seorang suami itu terus membahagiakan istri dan anak-anaknya walaupun keadaan dirinya susah. Jadi sekarang kalau di tanya, ‘mau cewek yang gimana?’ Simple aja jawabnya, ‘yang sholehah, dan mau diajak hidup bahagia bersama’. Hehe…
  

  

2 comments:

  1. waaaaah..... ada Icha... hehe... makasi yaa udh mampir... sering2 maen yaak... hehehe

    ReplyDelete