Ga
sengaja waktu lagi iseng buka facebook ada inbox masuk dari salah satu temen
gue. Dia bertanya kayak ini, “mapan menurut pandangan mas Fikry itu apa sih?”
Agak risih sih sebenarnnya dipanggil mas, hehe…, dan gue lebih seneng dipanggil
nama biar lebih akrab. Soalnya tiap kali dipanggil mas, gue langsung berasa
lagi bawa gerobak sayur di komplek sebelah rumah gue. Tapi gue gak mau rugi,
dia manggil gue ‘mas’, gue manggil dia ‘mbak’. Karena paling enggak, disaat gue
merasa jadi tukang sayur keliling, dia juga merasa jadi pembantu rumah tangga
komplek yang beli sayuran gue
Akhirnya
gue kasih jawaban gini, “mapan menurut saya adalah kemampuan seseorang untuk
berusaha memanfaatkan serta mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya untuk
bertahan. Dan mapan tidak bisa dinilai dengan materi ataupun kedudukan”.
“Lho,
ko jawabannya beda sama yang lain mas? Misalnya ada yang bilang gini, ‘belum
mapan ko udah ngebet nikah, mau dikasih makan apa anak istri?’ apa makna mapan
menurut sampean masih sama seperti yang sebelumnya?” Dalem hati gue, ‘tergantung
sih, nikahnya sama apa, klo sama manusia yaa kasih makan nasi. Kalau sama
herbivora kasih makan tumbuhan, dan kalau sama carnivora tinggalin di hutan aja
suruh berburu sendiri, hehe…’
Dari
pertanyaan temen gue di atas, gue rasa perspektif orang tentang mapan dan nikah
harus diluruskan kembali. Karena sekarang banyak orang yang berfikiran kalau
mau menikah harus mapan dulu. Dan orang tua perempuan juga mendukung pendapat
yang sama, ‘cari pasangan hidup yang sudah mapan’, yang dimaksud dalam segi
materi. Jadi, mau calonnya ngerti agama atau tidak, asal dia bisa menghidupi,
orang tua sudah cukup tenang.
Akhirnya
gue jawab, “Kalau kemapanan dipandang hanya dari sudut pandang materi, itu gak
adil, karena artinya, mereka yang tergolong kurang mampu tidak boleh menikah.
Adapun kemapanan yang diperlukan dalam menikah, hanyalah kemampuan seorang
suami dalam berusaha menafkahi keluarganya dengan memanfaatkan dan
mengembangkan segala potensi yang ada dalam dirinya. Soal banyak atau sedikit
rezeki yang didapat itu Allah yang mengatur. Kita berusaha mencari rezeki bukan
karena rezeki itu datang dari apa yang kita usahakan. Tetapi kita berusaha
mencari rezeki karena Allah memerintahkan kita untuk berusaha. Dalam istilah
bahasa arabnya (at-ta’aamul bil asbaab).
Dalam
Al-qur’an Allah telah berfirman:
وما من دابة في الأرض إلا على الله رزقها [هود:6]
“tidak
ada satupun (mahluk) yang berjalan di muka bumi, kecuali Allah yang bertanggung
jawab atas rezekinya”. (Hud: 6)
وفي السماء رزقكم وما توعدون [الذريات: 22]
“dan di langitlah rezeki kalian serta
segala apa yang telah dijanjikan” (Ad-zurriyaat: 22)
Dalam
dua ayat di atas bisa kita lihat sendiri, di ayat pertama Allah telah menjamin
bahwasannya Allah Swt akan bertanggung jawab atas rezeki semua mahluk yang
berjalan di muka bumi. Maka apakah kita ragu dengan janji Allah Swt?
Pernah
suatu hari gue denger cerita, bahwasannya Imam Abu Hanifah memiliki seekor
kucing yang sangat ia sayangi. Setiap harinya diberi makan tanpa sedikitpun
kucing itu kelaparan. Tapi dengan pola makan yang dirasa sudah sangat mencukupi
bagi seekor kucing, kucingnya Imam Abu Hanifah tetap saja mencuri makanan
tambahan. Dan setiap kali ia mencuri, ia tidak memakannya seperti biasa, tetapi
ia bawa jauh keluar rumah.
Akhirnya
Imam Abu Hanifah curiga dengan perilaku kucingnya tersebut. Maka suatu ketika
setelah kucingnya mencuri makanan tambahan Imam, Abu Hanifah mencoba mengikuti
kemana kucingnya pergi. Dan tenyata kucingnya berhenti di sebuah goa yang di
mana di dalam goa tersebut terdapat seekor ular yang buta. Lalu kucingnya
menaruh makanan yang ia curi agak masuk ke mulut gua sehingga ular tersebut
dapat lebih mudah merasakan adanya makanan dan bisa menjangkaunya.
Dari
kisah di atas bisa sama-sama kita ambil pelajaran, bahwa janji Allah itu nyata.
Ular yang buta saja Allah tanggung rezekinya apalagi kita sebagai khalifah di
muka bumi.
Lalu
di ayat yang ke dua, Allah bukan hanya berjanji, tapi sekaligus bersumpah.
Karena dalam bahasa Arab huruf (و)
biasa dipakai juga untuk bersumpah. Sebegitu ragunya kah kita akan janji Allah
sehingga mengharusnkan Allah bersumpah dalam firmannya? Allah Swt bersumpah
bahwasannya rezeki kita itu di langit. Dalam artian rezeki adalah murni karuna
dari Allah Swt, adapun yang kita lakukan di bumi adalah wujud dari ketaatan
kita menjalani perintah-Nya yang menyuruh kita untuk berusaha. Analogi lain,
sakit misalnya, yang menyembuhkan penyakit tetap Allah, tapi kita ke dokter
adalah bagian dari usaha karena Allah menyuruh kita berusaha.
Tidak
cukup sampai di situ, di ayat lain Allah juga berfirman:
وإن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله [النور:32]
“dan
jika mereka dalam keadaan miskin, maka Allah akan memepekaya mereka dengan
karunianya”
Di
dalam ayat ini Allah Swt menjelaskan bahwa jika sepasang suami istri menikah
dan merka dalam keadaan fakir miskin, maka Allah Swt akan memperkaya mereka
dengan segala karunianya.
Nah,
jadi sekarang menurut gue, yang paling penting harus dipersiapkan dalam sebuah
pernikahan adalah niat yang suci untuk ibadah. Kalau niat awal dalam menikah
sudah murni ingin mencari ridhonya Allah Swt, maka Allah tidak akan
menyianyiakan hamba-Nya yang Ia ridhoi. Susah, senang, sedih, suka, dan bahagia
semua adalah bumbu-bumbu kehidupan yang terdapat dalam sebuah pernikahan, yang
mana segala cobaan yang ada akan membuat pasangan suami istri yang menikah
karena Allah Swt semakin kuat dalam menjaga tali cinta kasih sehidup semati
yang terucap di akad.
Hal
tersebut berbanding terbalik dengan pasangan yang menikah karena cinta buta,
mengejar materi, atau bahkan hanya sekedar pelampiasan nafsu kebutuhan
biologis. Itu sama saja membangun rumah dengan jaring laba-laba sebagai
pondasinya, rapuh dan tidak akan bertahan lama.
Jadi
menurut gue tidak perlu menunggu mapan dalam segi materi untuk menikah, tapi
mantapkan niat, lalu ucapkan ‘bismillah’.
Oya
satu lagi, kebanyakan laki-laki sekarang mencari istri yang mau diajak hidup
susah. Menurut gue pandangan seperti itu harus dirubah. Soalnya sering timbul
pertanyaan dalam diri gue pribadi, ‘ni orang mau ngajak nikah apa mau ngajak hidup
susah?’. Kalau gue jadi ceweknya, gue sih nolak. Hehe… Karena seharusnya,
seorang suami itu terus membahagiakan istri dan anak-anaknya walaupun keadaan
dirinya susah. Jadi sekarang kalau di tanya, ‘mau cewek yang gimana?’ Simple
aja jawabnya, ‘yang sholehah, dan mau diajak hidup bahagia bersama’. Hehe…
Sepakat!!
ReplyDeletewaaaaah..... ada Icha... hehe... makasi yaa udh mampir... sering2 maen yaak... hehehe
ReplyDelete