Sunday, December 23, 2018

Father Of Two Sons - Part 2

Di part ke dua ini gue mau lanjutin cerita part pertamanya, gimana kisah kelahiran anak pertama dan ke dua gue, hingga akhirnya gue menjadi ‘fahter of two sons’ saat ini. Gak kebayang sebelumnya sih, kalau akhirnya istri gue bakalan hamil berturut-turut dalam 2 tahun sejak pernikahan kami.
Pernah gue iseng nanya istri gue, sebelum kami menikah, “Bund, aku boleh poligami gak”.
“Boleh, kalau aku gak bisa ngasih anak untuk kita,”jawab istri gue. Lah ini baru nikah 2 tahun, anak gue udah 2. Batal laah segala sekenario poligami… hehe.. lagian itu juga pertanyaan iseng sih. Katanya kalau lo dapet cewek yang mau di poligami imannya udah tingkat dewa, sholehahnya minta ampun. Dan semoga itu semua selalu dan senantiasa ada di istri gue.
Cerita kelahiran anak ke 2 gue gak jauh beda dengan anak pertama gue. Awalnya kami berpikir, kelahiran anak ke 2 akan lebih mudah dijalani. Bahkan ketika USG terakhir sebelum akan melahirkan, dokter yang memeriksa istri gue memberikan ucapan-ucapan positif saat pemeriksaan. Jadi ketika alat USG menempel di Perut Istri gue, terlihatlah semua aktifitas bayi gue di dalam perut, dia lagi siap-siap mau keluar, dandan yang rapi, nyisir rambut, tapi gak pake acara bikin alis, soalnya anak gue laki. Mungkin anak ke tiga gue kalau nanti perempuan di dalam perut bakalan ada meja make up.
Dokter mengatakan semuanya baik, posisi ok, siap meluncur, air ketuban cukup, tidak ada lilitan. Istilahnya all clear, gak ada hal yang perlu dicemaskan. In syaa Allah akan mudah, dan lahir dengan proses normal. Sampai-sampai dokter itu bilang, “aah.. ini mah tinggal nunggu bersin aja.. nanti juga keluar.”
Hari itu Jum’at malam, kami pulang dari klinik usai USG dengan perasaan tenang. Ucapan-ucapan dokter USG mengembuskan aura positif dalam pikiran kami. Harapan akan mudahnya proses persalinan yang kedua sudah terbayang-bayang dalam benak pikiran kami. Hanya tinggal menunggu waktu. Malam itu kami tertidur dengan pulas, tanpa ada rasa gelisah sedikitpun.
***
Hari berganti, dan waktu sholat subuh telah tibah, gue dibangunkan oleh istri tercinta dengan kalimat mengejutkan, “bang… udah keluar darah flek barusan?” suaranya lembut, tapi bisa bikin langsung bangun gak pake loading.
“Hah…! Seriusan, banyak gak?” tanya gue, menanggapi perkataan istri gue.
“Kayak biasa, sih. Kayak waktu hamil yang pertama”
“Yaudah, nanti periksa.”
Hari itu, gue masih ada kegiatan di kantor, maklum pegawai swasta yang hari Sabtu tetap masuk walaupun setengah hari. Karena di tempat kerja gue, hari Sabtu walaupun aktifitas kantor gak terlalu padat, ada saja hal yang perlu diurus di hari tersebut.  
Tanpa terasa, siang hari pun tiba, istri gue mengirim pesan wa ke gue:
‘ayah, kalau urusan ayah udah selesai, kita periksa yaa, aku dah mules-mules’
Mendapat pesan tersebut, gue langsung selesaikan segala urusan gue di kantor dan cepat-cepat berkemas pulang. Yaa walaupun jarak dari kantor ke rumah bisa dibilang kesandung juga nyampe, alias deket banget, tapi tetap saja perlu persiapan.
Sesampainya di rumah, gue langsung menyiapkan mobil, “gimana Bund, udah siap?”
“Udah,” jawab istri gue.
“Yaudah yuuk, kita langsung berangkat.”
Kali ini gue berangkat ditemani sama Ibu mertua gue yang datang khusus dari Brunei untuk ikut menemani proses persalinan istri gue. Sesampainya di klinik bersalin, istri gue diperiksa, dan ternyata sudah bukaan 2. Akhirnya kami memutuskan untuk langsung menginap di klinik tersebut, mengingat ini persalinan ke 2, yang biasanya, proses pembukaannya lebih cepat dari pada persalinan anak pertama. Dan kami tidak mau mengambil resiko pulang dahulu, setelah benar-benar mules baru kembali ke klinik, karena yang ada bisa-bisa lahiran di jalan. Kesian anak ke dua gue kalau sampai kejaidan seperti itu, bingung kalau besar nanti ditanya, “Abil, dulu lahirnya dimana?” mungkin teman sebayanya akan menjawab, “di Rumah Sakit, …. Di bidan…” dan lain sebagainya. Lalu anak gue menjawab, “di mobil…” itu gak lucu dah, seriusan.
Hari Sabtu yang cerah, kami lalui dengan optimisme tinggi, menunggu detik-detik persalinan tiba. Setelah siang istri gue diperiksa, sebagaimana biasanya, sesuai SOP yang berlaku, pemeriksaan selanjutnya akan dilaksanakan setelah 4 jam dari pemeriksaan sebelumnya. Namun dikarenakan masih pembukaan 2, saat akan dilakukan pemeriksaan berikutnya, kami sendiri yang memutuskan untuk tidak diperiksa terlebih dahulu, dikarenakan jarak antara satu kontraksi dengan kontraksi berikutnya masih sangat jauh, yaitu memakan durasi antara 30 menit sampai dengan 2 jam.
Akhirnya hari itu pun kami lalui dengan beristirahat di klinik bersama-sama. Gue ambil kamar kelas 3 di klinik tersebut, dengan komposisi kamar 4 ranjang, 1 kamar mandi, dilengkapi dengan televisi dan AC. Sengaja gue ambil kelas 3, gak ambil kamar kelas 1 atau VIP, karena klinik tersebut klinik yang lumayan sepi pengunjung. Gue akan lebih nyaman mengambil kamar kelas 3 dibanding VIP yang hanya menyediakan 1 tempat tidur untuk Ibu yang akan bersalin dan 1 sofa untuk penunggu. Fasilitas tambahan lainnya bisa dibilang sama saja. Dengan begitu… menunggu persalinan di klinik sudah seperti kita memesan kamar hotel dengan 4 tempat tidur, tanpa harus membawa kasur tambahan dari rumah layaknya kita menunggu pasien opname di rumah sakit pada umumnya.
Keesokan harinya, di Minggu pagi yang indah, istri gue memperbanyak jalan pagi guna mempercepat proses persalinan. Sedangkan gue, kembali ke rumah karena ada beberapa hal yang harus diurus, sekaligus menjemput anak Gue yang pertama, Acin, sudah semalaman dia ditinggal Ayah dan Ibunya menginap di klinik.
Waktu kembali berjalan, Minggu siang istri gue kembali diperiksa, akan tetapi hasilnya masih juga pembukaan 2. Sungguh hal ini di luar ekspektasi kami semua, mengingat ini persalinan ke 2 yang secara teori lebih mudah dan lebih cepat dari pada persalinan pertama.
Keluarga mulai gelisah, dari rumah tidak henti-hentinya menanyakan perkembangan. Telepon tidak berhenti berdering, pesan singkat via wa tidak ada matinya. Selalu saja menanyakan perkembangan pembukaan istri gue, “gimana, Ki, udah pembukaan berapa?”
“Ki, gimana Vera?” hampir-hampir gue bosan menjawabnya.
Setelah pemeriksaan yang hasilnya belum menunjukkan ke arah yang signifikan terhadap perkembangan proses persalinan istri gue, gue sibuk mencari rumput Fatimah yang biasa menjadi andalan untuk memperlancar proses persalinan. Gue dapat rumput Fatimah di sore harinya.
Berdasarkan pengalaman persalinan anak pertama gue, setelah diminumkan air rumput Fatimah, istri gue langsung mules parah dan pembukaan langsung naik ke pembukaan 7.  
Gue suguhkan air rumput Fatimah ke istri gue, lalu kami sama-sama menunggu reaksi dari hasil meminum air tersebut. Jam 8 Malam istri gue kembali diperiksa, tapi lagi-lagi hasilnya masih saja pembukaan 2. Belum ada perkembangan sama sekali.
Malam itu kami lalui dengan rasa cemas, mengapa belum ada perkembangan sedikit pun. Usaha sudah banyak dilakukan, tapi hasil belum mengarah ke nilai positif. Setiap 10 menit Istri gue kesakitan menahan kontraksi. Tepat jam 3 dini hari di hari Senin, 10 Desember 2018, kontraksi semakin hebat, dan jaraknya antara 5-7 menit sekali, terkadang 4 menit sekali.
Akhirnya ketika jam 7 pagi, istri gue kembali di periksa, tapi hasilnya masih saja pembukaan 2, padahal kontraksinya sudah semakin kuat, sampai-sampai istri gue takut buang air besar. Dikhawatirkan saat mengejan untuk mengeluarkan kotoran, yang keluar malah anak gue. Kan gak lucu juga klo anak gue lahir di kakus… apa kata dunia.
Waktu terus berjalan, detik demi detik semakin mencemaskan. Nyokap gue dari rumah gak henti-hentinya menelepon dan mengirim pesan singkat via wa, “Vera gimana ki? Ada perkembangan?”
“Apa gak coba alternatif lain? Mama cemas sudah 3 hari masih pembukaan 2 juga gak nambah.” Tambah nyokap gue di pesan selanjutnya.
“Alternatif lain maksudnya apa, Ma. Kalau pindah bidan sekalipun gak akan merubah penanganannya. SOP bidan yaa selama pembukaan masih 2 blm ada tindakan apa-apa, yang ada tetap disuruh banyak jalan, banyak gerak supaya mempercepat persalinan,” tulis gue mejawab pertanyaan nyokap gue.
Istri gue semakin kesakitan di tiap menitnya, sampai-sampai beberapa keluarga gue yang menjenguk gak kuat ngeliat istri gue menahan sakitnya kontraksi. Ada yang datang membawa makanan lalu pulang, ada yang baru masuk pintu kamar perawatan, melihat istri gue kesakitan akhirnya gak jadi masuk dan langsung pulang. Bahkan uwanya istri gue di Sukabumi mules-mules sendiri di rumahnya, akibat perasaan cemas dan khawatir mendengar istri gue belum ada perkembangan sama sekali.
Adzan zuhur berkumandang, gue sholat Zuhur terlebih dahulu sambil bermunajat semoga persalinan ini dilancarkan oleh Allah Swt, bayinya selamat, Ibunya sehat walafiat. Usai gue menunaikan sholat Zuhur, istri gue kembali di periksa, mengingat sudah lebih dari 4 jam berlalu sejak di periksa pukul 7.00 WIB tadi pagi. Lagi-lagi hasilnya, masih juga pembukaan 2. Sama sekali tidak ada perkembangan.
Situasi dalam ruangan masih sama, setiap 4 menit istri gue menahan sakitnya kontraksi yang muncul. Tapi hebatnya istri gue, di saat tidak kontraksi dia masih sempat bercanda sambil terus melakukan gerakan-gerakan yang dianjurkan untuk memperlancar persalinan. Mulai dari jalan jongkok, kayang, kopral ala tantara dan gerakan-gerakan aneh lainnya yang katanya dengan gerakan tersebut akan mempermudah proses keluarnya bayi dari dalam perut.
Tanpa terasa 3 jam telah berlalu dan Adzan Ashar sudah 30 menit yang lalu berkumandang. Gue tunaikan sholat Ashar terlebih dahulu dengan bergantian dengan mertua gue. Karena disaat-saat seperti itu, istri gue harus memegang tangan orang yang ada di dekatnya saat kontraksi menghantam. Dan tidak lama setelah menunaikan sholat Ashar ada bidan yang masuk untuk mengontrol keadaan istri gue, “gimana Bu, Jam berapa di periksa lagi?” tanya gue ke bidan yang masuk ke kamar gue.
“Nanti yaa Pak, tunggu setengah jam lagi kita periksa, mulesnya udah tambah sering yaa?”
“Iya ni Bu, udah 3 menit sekali.”
“Oke deh, Pak. Tunggu setengah jam lagi yaa.. “
Saat itu jam di handphone gue menunjukkan pukul 16.15 WIB, tandanya pukul 16.45 WIB nanti baru di periksa. Keadaan istri gue saat itu seperti mulai melemah. Dia seakan kehabisan tenaga akibat menahan rasa sakit yang bertubi-tubi. Gue, sama mertua gue terus menemani istri gue di sampingnya. Tidak jauh dari tempat tidur istri gue, ada Adik gue juga, Fira, yang saat itu sedang menejenguk dan ikut menemani.
Pukul 16.35 WIB kontraksi semakin hebat dan kuat, air mata berderai di pipi istri gue. Dan gak lama setelah itu istri gue teriak, “yaaaaah, pecah”. Ternyata air ketubannya sudah keluar. Gue langsung panik, “Fira, cepet panggil suster!” Adek gue segera lari keluar kamar memanggil suster atau bidan yang ada. Tapi saat itu semua seperti sedang sibuk masing-masing.
Dengan penanganan yang lambat, sontak gue lari keluar kamar, dari depan kamar gue teriak, “susteeeeeeer, bidaaaaaaaaan… ini udah pecah ketubannya.. susteeeeer! Bidaaaaaan!” teriakan gue dari Lorong klinik cukup mengejutkan mereka. Seketika saja mereka langsung berhamburan menuju kamar gue.
“Iya, Pak.. Iya Pak.. ini mau kami tangani.”
Salah satu dari mereka sudah sampai di kamar, ia langsung memeriksa istri gue, istri gue sudah meraung-raung sambil mengejan, “Pak, ini masih agak jauh bayinya, Bapak bisa angkat istrinya gak ke ruang bersalin, digendong aja pak,” kata Bu bidan kepada gue.
“Gak mauuuuuu…! Sakiiiiiit” istri gue menimpali usulan Bidan tersebut.
“Gak mauuuuu.. di sini aja udah,” dalam hati gue mikir juga. Gak mungkin gue gendong istri gue dalam keadaan sakit seperti ini, apalalagi gue inget berat dia udah bertambah 20kg semenjak mengandung. Yang ada malah bahaya kalau gue gendong terus terjatuh.
“Udahlah, Bu! Di sini aja persalinannya..” bentak gue ke Bu Bidan
“Baik pak.. baik. Kalau begitu tolong geser tempat tidurnya ke tengah, Pak. Agak kurang leluasa posisinya kalau di pojok seperti ini,” kata bidan tersebut mengkomandokan. Gue segera geser tempat tidur istri gue ke tengah ruangan. Untungnya ruang kamar kami cukup luas.
Alat-alat persalinanpun di bawa ke kamar. Dan persalinanpun dimulai, Istri gue masih meraung-raung.
“Ayo bu, terus.. terus…”
“Hiyaaaaaaaaaaak,” Istri gue mengejan sekuat tenaganya. Sambil mengejan dia ambil leher gue trus didekapnya gue kuat-kuat dengan tangan kirinya. Tangan kanannya mengambil jilbab mertua gue, dia Tarik kuat-kuat pula ibunya..
Saat-saat seperti ini gue ngerasa kayak orang yang paling bersalah atas semua kejadian ini, Atas kehamilan istri gue, atas persalinan yang sakit banget, dan atas segala derita yang dirasakan istri gue. Padahal seingat gue waktu proses pembuatan anak kami, kami lakukan dengan kesepakatan bersama secara suka cita. Tidak ada rasa intimidasi satu sama lain. Dan semua kami nikmati bersama. Mungkin bukan gue aja yang merasakan perasaan bersalah seperti ini. Semua bapak atau suami yang menemani proses persalinan istrinya, juga mengalami perasaan yang sama.
“Hiyaaaaaaaaak,” sekali lagi dia mengejan sekuat tenaga, dan akhirnya, “eaaaa…. Eaaa… eaaaa,” suara tangisan bayi pun terdengar. Anak ke dua gue telah terlahir dengan selamat dengan proses normal.
“Catet, Sus! Cateeeeeeet! Jam berapa sekarang,” teriak bidan yang mengeluarkan bayi gue kepada suster yang membantunya.
“Jaaaaam enaaaaam belaaas empaat empaaaaat,” jawab suster yang ditanya dengan teriakan juga. Heboh lah pokoknya. Tapi apapun yang terjadi, yang jelas bayi gue sudah terlahir dengan selamat pada hari Senin, 10 Desember 2018 pukul 16.44 WIB.
“Welcome to the world, Abdurrahman Habil.”
Puji syukur gak henti-hentinya gue haturkan kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan segala keindahan dan kenikmatan ini untuk gue. Alhamdulillah.
Oya.. di penutup tulisan ini, ada sisi lain yang mau gue certain selain proses persalinan, yaitu chemistry antara gue dan istri gue. Pernikahan gue dan istri gue adalah representasi pernikahan Gemini dan Sagitarius, yaa sebenernya sih percaya gak percaya sama yang namanya Zodiak. Anggap aja ini kebetulan yang indah laah.
Jauh sebelum nikah, di tahun 2014, gue pernah berkhayal punya pasangan seorang Sagitarius, sampai-sampai ada beberapa tulisan blog gue isinya surat cinta untuk Sagitarius khayalan gue, judulnya “Dear Sagitarius.” Bentuknya kayak apa, wajahnya bagaimana dan segala kecantikannya gue sama sekali gak tau, itu cuma ada di khayalan gue dan ternyata gue berjodoh dengan istri gue sekarang.
Gak sampai di situ, chemistry gue dan istri gue berlanjut ke anak-anak kami. Anak pertama gue, Muhammad Yaasin, lahir 19 Juni 2017, dengan golongan darah O, sama seperti Ibunya, dia terlahir sebagai seorang Gemini. Sedangkan anak ke dua gue, Abdurrahman Habil, lahir 10 Desember 2018, Dengan golongan darah B, sama kayak gue, dan dia lahir sebagai seorang Sagitarius.
Asli, ini sekenario Allah yang paling indah buat gue, semoga dengan kelahiran anak ke dua gue, segala kebaikan, rahmat, dan karunia-karunia Allah selalu tercurah untuk gue dan keluarga gue. Gak lupa, semoga para pembaca blog gue juga mendapatkan hal-hal terbaik yang pernah lo semua mimpikan.  
 

Wednesday, December 12, 2018

Father Of Two Sons - Part 1


Gak terasa perjalanan hidup sudah sampai di penghujung tahun 2018. Dan gak terasa juga udah sekian lama gue gak pernah nulis sampai akhirnya baru di akhir tahun ini gue sempetin nulis. Kayaknya banyak banget cerita sedih,,, senang duka dan gembira yang terlewati sebelum sempat terabadikan dalam sebuah tulisan.
Okelah, sesuai judul di atas, gue mau berbagi cerita gembira aja dulu dalam tulisan kali ini. Alhamdulillah, pada tanggal 10 Desember, jam 16.44 sore, gue resmi menjadi Bapak dengan dua anak laki-laki. Gue sangat bersyukur banget, di penutupan tahun 2018, Allah ngasih kado terindah buat gue yang gak ternilai sama sekali.
Gue mau berbagi pengalaman menjadi Suami yang nemenin Istrinya brojol di kamar persalinan. Di mulai dari anak pertama gue dulu yak. Muhammad Yaasin namanya.
Sebagai pasangan suami Istri yang baru saja menikah di September 2016 yang silam, dikaruniai anak adalah hal terindah pastinya. Alhamdulillah, tidak lama setelah menikah, istri gue langsung isi. Gue nikah September 2016, anak pertama gue lahir Juni 2017. Yap… seorang laki-laki Gemini.
Jadi ceritanya ketika mau lahiran anak gue yang pertama, saat itu bertepatan dengan Bulan Ramadhan, gue inget banget, gue baru aja pulang sholat Tarawih di malam Ahad tanggal 17 Juni. Seperti biasa, sepulang sholat tarawih, gue biasa ngobrol sama istri gue, tentang banyak hal, ketika itu yang gue obrolin urusan senam kegel.
Selesai ngobrol, entah dapat ilham dari mana, bini gue langsung praktek, dia ambil hanphonenya, buka youtube lalu dia ikuti seluruh rangkaian senam kegel yang ada di youtube. Sambil dia senam kegel gue tinggal makan nyeduh kopi di dapur.
Allah punya aturan, tepat jam 23.00, setelah istri gue senam kegel, dia mendapati di celana dalamnya ada flek (caiaran kental berwarna cokelat) yang membasahi, tapi belum ada tanda-tanda akan mules. Dia lapor ke gue, “bang ngeflek”. Berhubung ini anak yang pertama, gue setengah panik, buru-buru gue ambil mobil dan ngajak bini gue ke klinik tempat kami biasa kontrol.
Sesampainya di klinik, istri gue di periksa, ternyata belum ada pembukaan sama sekali. Akhirnya gue dan istri gue balik ke rumah. Kita coba untuk istirahat di malam itu, berharap ada hal baik yang terjadi esok hari.
Belum lama kita memejamkan mata, jam 01.30 dini hari, bini gue mules, dan setelah mengecek di kamar mandi, ternyata keluar flek lagi untuk ke dua kalinya. Sontak gue kaget, kemudian seketika itu juga gue bawa bini gue ke kelinik untuk diperiksa kembali. Namun hasilnya masih sama, belum ada pembukaan. Dan yang istri gue alami adalah kontraksi palsu (mules tapi belum mau keluar). Di pemeriksaan ke dua, bidannya agak bete karena gue datang ke dua kalinya untuk melaporkan kendala yang sama. Akhirnya gue gak cuma dapat pemeriksaan, tapi juga khotbah panjang sang bidan tentang apa itu kontraksi palsu dan bagaimana penanganannya. Istri gue di suruh banyak jalan, banyak gerak, dan banyak olahraga untuk mempercepat adanya pembukaan dan memudahkan persalinannya.
Setelah selesai, kami memutuskan untuk kembali ke rumah, sambil melipir dulu di pinggir jalan untuk menikmati santap sahur di warung roti bakar. Semenjak itu, istri gue mulesnya semakin rutin. Hampir setiap setengah jam sekali dia ngerasain mules. Dan malam itu, setelah sampai di rumah, kami tidak bisa tidur nyenyak.
Pagi hari pun tiba. Matahari pagi itu terlihat cerah, seakan memberi harapan baru untuk gue dan istri gue di pagi itu. Kami pun berharap, ada secercah cahaya yang membawa kabar gembira di hari itu. Namun keadaan belum berubah, istri gue masih terus-terusan mengalami kontraksi palsu. Sedikit-sedikit mules. Akhirnya gue memutuskan untuk periksa lagi, tapi di klinik lain. Bilang aja klinik B.
Sesampainya di klinik B, Istri gue diperiksa lagi, ternyata sudah pembukaan 1. Dalam proses persalinan, pembukaan mempunyai skala 1 – 10. Tandanya masih adala 9 pembukaan lagi yang harus ditunggu, untuk bisa melakukan proses persalinan. Dan biasanya, untuk anak pertama, dari pembukaan 1 ke pembukaan 4 bisa memakan waktu 1 – 2 hari. Akhirnya kami disuruh pulang kembali oleh bidan di klinik B, karena proses persalinannya masih jauh. Lagi – lagi disuruh banyak jalan, banyak gerak dan banyak olahraga.
Okelah, hari minggu itu kita lalui dengan banyak jalan bareng istri gue keliling sekitar rumah, sambil setiap kali jalan, istri gue harus berhenti sesekali, karena mengalami kontraksi.
Malam harinya keluarga istri gue datang dari Sukabumi, melihat istri gue yang kontraksinya semakin sering, pukul 22.00 gue bawa istri gue barang keluarganya ke klinik B untuk kembali diperiksa perkembangan pembukaannya. Tapi hasilnya masih saja pembukaan 1. Istri gue udah merintih kesakitan, tapi pembukaan belum juga bertambah. Dan kami kembali disuruh pulang, mengingat belum ada kemajuan yang signifikan
Esok harinya di hari senin, 19 Juni 2017, kontraksi semakin hebat dan tidak terperi. Semua orang yang ada ketika itu menyuarakan usulan yang sama, “udahlaaaa…h, sesar aja. Kesian atuh si eneng (panggilang istri gue) udah kesakitan kayak gitu”.
Ada lagi yang bahasanya lebih halus, mengarahkan tapi tidak to the point, meraka hanya memberi premis tapi tidak menyebutkan maksud dari perkataannya secara langsung, “ini si Vera kan udah lama mulesnya, apa gak mau coba jalan lain, biar bayinya selamat Veranya juga enak ngeluarinnya?”
Ada juga yang cuma mencibir, memprovokasi, tanpa solusi, “ih, gue sih gak tega ngeliatnya, udah dua malem mules, tapi yaudahlah, terserah suaminya aja”.
Pada keadaan seperti ini menurut gue, nalar, logika, dan prinsip seorang suami dan calon bapak diuji. Sekuat apa dia mempertahankan prinsipnya untuk menjaga agar bayinya bisa terlahir dengan proses normal. Setahan apa dia mendengar masukan-masukan dan ide-ide tidak bertanggungjawab yang masuk ke kupingnya.
Yap, “gue bilang masukan dan ide yang tidak bertanggungjawab”, karenan di posisi ini, apapun keputusan yang gue ambil, akibat, biaya, dan resiko semua bakalan gue yang nanggung. Orang-orang itu cuma bisa ngasih masukan dan setelah itu yaudah…
Kalau masukannya gue pakai dan berhasil, mereka akan senang dan berbangga diri, tapi kalau masukannya gue pakai dan ternyata gagal, atau terjadi hal yang tidak diinginkan, mereka cuma bisa bilang, “yaa.. kita kan cuma ngasih masukan, keputusan ada di Fiki”.
Tapi sebaliknya, kalau masukan mereka gak gue pakai, dan ternyata apa yang menjadi keyakinan gue jadi kenyataan. Yaa, omongan mereka datar-datar aja, gak akan memuji keputusan gue. Tetapi jika yang terjadi justru hal yang tidak diinginkan dengan keputusan yang gue ambil, mereka akan dengan suara lantang berkata, “tuuuuuuu ….. kaaaaaan, gak mau denger kata orang sih!”
“Tuuuuuuu…. Kaaaaan! Dibilang juga apa.. keras kepala sih jadi orang!”
Kampret kan? Makanya situasi-situasi seperti ini gue menyebutnya, ‘the kampret situation’. Karena efeknya emang kampret banget, apapun hasilnya.
Akhirnya, dengan situasi tersebut, gue tetap kembali kepada prinsip awal, dan tujuan awal gue sama istri gue. Bayi gue harus lahir secara normal, apapun caranya. Sampai dititik bidanpun angkat tangan dan menyarankan jalan lain. Tapi selama bidan bilang bayi gue masih bisa lahir secara normal. Itu yang gue pegang.
Gak lama setelah memutuskan itu di dalam hati gue bilang ke istri gue, “Bund, tetap mau laihiran normal kan? Gak mau sesar kan?”
Istri gue jawab, “yaa normal atuh maunya, siapa juga yang mau sesar?”
Setelah mendapat jawaban yang menguatkan dari istri gue, gue langsung mutar otak, gue inget-inget, bahwasannya salah seorang rekan kerja gue ada yang pernah menyarankan ke klinik bersalin C.
Tanpa pikir panjang, gue langsug kontak dia, dan alhamdulillah, dia bisa dihubungi dengan cepat. Gue langsung ambil mobil dan minta dia ikut gue nganter istri gue ke klinik C.
***
Dalam perjalanan gue nganter Istri ke klinik C, gue dianter rekan gue, sama satu orang tukang urut yang agak mistis. Gue sebut mistis, karena semenjak gue kecil, dia udah ngurut gue, sampai sekarang gue udah beranak, tiap kali diurut, apapun keluhannya, penyebabnya cuma itu-itu aja, kalau tidak, kesambet, yaa ketumpangan. Kalau enggak ada salah satu arwah keluarga gue yang kangen minta didoain. Gue menyebut dia,’ibu baju item’. Karena waktu gue kecil, itu tukang urut tiap dipanggil kostumnya selalu kaos hitam dan rok hitam, entah dia gak punya baju lain, atau memang itu jimatnya gue gak tau dah. 
Dan sepanjang jalan ini ibu baju item omongannya berantakan, “ini neneknya masih nahan ini, minta dibikinin kopi item dari sumatera”.
Gue diem aja, sambil terus focus bawa mobil, jangan sampai ada guncangan yang bikin istri gue kesakitan.
Gak lama, dia ngoceh lagi, “ini bayinya minta bawang bombai disiangin sambil dibacain ayat kursi,” dan masih banyak lagi ocehan-ocehannya yang gak masuk akal yang bikin pengen nabok bawannya. Gimana gak emosi, dalam keadaan kayak gitu, sempet-sempetnya mulut dibiarin ngoceh.
Kalau bukan karena hormatin dia tukang pijet kepercayaan nyokap, dan warisan turun temurun dari nenek gue, udah gue turunin di jalan tu orang.
Lagian dari mana logikanya nenek gue minta kopi tiba-tiba di saat istri gue lagi kesakitan mau lahiran, dan dari mana urusannya bayi gue minta bawang bombai coba. Hadeeeeh. Yang ada kalau emang nenek gue masih hidup, pastinya bakan cepet-cepet nyuruh ke bidan. Gak mungkin lah, istri gue lagi kesakitan, trus nenek gue bilang, “fikiiiii.. mau cepet lahiran gak? Cepet buatin nenek kopi hitam dari sumatera!”
Sesampainya di klinik C, istri gue langsung di periksa sama salah seorang bidan di klinik tersebut. Asli, liat perangainya itu bidan lebih supir angkot dari pada tukang bantuin ngelahirin. Dia asli Medan, tinggi besar, rambut pendek seleher, dan berkacamata kayak Pak Raden.
“Bagaimana, Bu?” gue bertanya kepada bidan tersebut tentang perkembangan istri gue.
“Masih bukaan 1,” jawab bidan itu dengan aksen bataknya. “mau di sini apa di bawa pulang dulu?”
Dalam hati, akhirnya gue dikasih pilihan, gak seperti di klinik A dan B yang istri gue langsung di suruh pulang karena masih bukaan 1. Tanpa pikir panjang, akhirnya gue mutusin untuk langsung dirawat di klinik tersebut. Karena agak repot kalau gue harus bawa istri gue pulang lagi, karena jarak klinik C agak sedikit jauh dari rumah gue.
Gue urus registrasinya, pesan kamar di kelas I saat itu.
***
Waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB. Istri gue diperiksa kembali setelah 4 jam berlalu, ternyata hasilnya alhamdulillah sudah bukaan 2, sakit yang dirasa masih terus ada. Tiap 5 menit sekali istri gue mules dan menahan sakit. Dan setiap dia mules, gue selalu jadi sasaran tembaknya. Apapun dari badan gue bisa dicubit sekencang-kencangnya. Kalau pas yang kepegang rambut, yaa rambut gue dijambak. Gak percaya? Buat para single baik laki-laki ataupun perempuan, silahkan alamin sendiri nanti yaaak..
Mulai dari sejak istri gue diperiksa pembukaannya, gue gak henti-hentinya memanjatkan doa, semoga apa yang menjadi keyakinan gue dan istri gue, bisa terklaksana dengan bai katas izin Allah Swt.
Waktu 4 jam pun kembali berlalu. Sepertinya istri gue sudah hamper kehilangan tenaga akibat menahan rasa sakit yang begitu hebat setiap kali mengalami kontraksi. Yang terjadi, setiap kali kontraksi, ia akan mengerang hebat, lalu jika sudah lewat masa kontraksi antara 10 – 20 detik, ia akan kembali melemah seakan kehabisan tenaga.
Bayangkan, sudah dua hari dua malam ia mengalami hal tersebut, mulai dari kotraksi, 30 menit sekali, sampai saat ini sudah semakin rapat jaraknya, 2-3 menit sekali.
Tepat pukul 16.15 WIB, istri gue kembali diperiksa, dan alhamdulillah, sudah bukaan 4, masih ada 6 bukaan lagi yang harus dilalui. Banyak orang bilang, kalau sudah bukaan 4 tandanya waktunya sudah dekat. Dari bukaan 4 ke bukaan selanjutnya biasanya tidak akan lama.
Detik pada jam tangan gue terus berjalan, hingga saat ini waktu maghrib pun tiba. Sementara istri gue ada bibinya yang menemani, gue sholat dulu di masjid depan klinik.
Sepulangnya gue dari Masjid, gue lihat ada rekan gue yang tadi pagi mengantar ke klinik sedang duduk di kursi ruang tunggu sambil membaca Al-Qur’an. Lalu gue sapa, “udah lama?”
“Enggak baru aja dateng ni, itu Akh, ana bawa air rumput Fatimah, tadi udah coba diminumin sih, semoga aja bisa jadi wasilah mempercepat kelahirannya”.
“Oo… gitu! Oke siaap.. makasi banyak yaaa.”
Memang menurut sebagian orang, air rendaman rumput Fatimah bisa membantu jalannya persalinan, dan gak ada salahnya juga dicoba. Dan setelah istri gue diminumin air rendaman rumput Fatimah, tidak lama kemudian, kontraksinya semakin hebat dari sebelum-sebelumnya, akhirnya istri gue diperiksa lagi di tempat bersalin, dan ternyata sudah bukaan 7.
Akhirnya kata bidan yang memeriksa, “udah gak usah balik ke kamar perawatan, di sini aja”
Benar saja, setelah bukaan 7 itu, kontraksi bukan main rutinnya, hamper tidak ada jeda waktu. Hanya menyisakan beberapa menit setiap sehabis multi kontraksi. Sampai-sampai tidak ada waktu istirahat untuk istri gue mengumpulkan tenaga.
Orang bilang, wanita mau melahirkan harus mengumpulkan tenaga. Karena dia akan butuh nafas yang panjang, dan kekuatan penuh saat mengejan.
Tidak ada habisnya gue berzikir, karena hanya itu yang bisa gue lakukan sambil menemani istri gue di ruang bersalin.
***
Lantunan ayat suci Al-Qur’an begitu terasa terdengar, karena saat itu memang bulan Ramadhan, malam yang ke 25. Bacaan imam saat shalat tarawih lumayan menyejukkan hati kami yang sedang gundah gulana menunggu detik – detik sang bayi akan keluar. Buah hati yang kami tunggu-tunggu kehadirannya.
Tidak habis rasanya bibir ini mengucap takbir, tahlil dan sholawat kepada baginda Nabi Besar Muhammad Saw, sebagai ungkapan doa akan harapan, semoga semua proses ini dilancarkan oleh Allah Swt.
Jam diding ruang bersalin terasa begitu lambat berdetak, jarumnya menunjukkan pukul 21.15 WIB. Bidan Batak yang dari hari ini beberapa kali memeriksa istri gue sudah masuk ke ruangan bersalin. “ayo Bu, kita latian Tarik nafasnya, sambil atur posisinya”.
Beberapa kali atur posisi, masih saja belum menemukan posisi yang pas untuk istri gue bersalin menurut bidan tersebut, “Ibu jangan kayak gitu, kalau kayak gitu susah keluar nanti bayinya,” gretak bidan tersebut. Udahlah istri gue lagi kesakitan masih juga diomelin… kadang-kadang emang dasar orang Indonesia.
Kali ini saat-saat paling mendebarkan semakin dekat, jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.50 WIB. Sudah 35 menit berlalu akhirnya ditemukan juga posisi yang pas.
“Ayo bu, kumpulkan tenaga,” ujar bidan Batak tersebut.
“huff.. haaaaah…. Huuuffff… haaaaaaa,” istri gue berusaha mengejan sekuat mungkin.
“Ibu kepalanya jangan liat ke atas, liat ke arah perut…!”
Gue semakin berdebar menyaksikan hal tersebut, gue pegang erat tangan istri gue sambil merangkulnya. Mencoba terus memberi semangat, agar ia kuat melalu proses ini.
“Ayo Bu.. Terus! Tarik nafas yang dalam, terus mengejan sekuat-kuatnya…. Ayoo Bu.. !
Agak sedikit penasaran, gue coba melirik ke arah tempat keluarnya bayi, tetapi, belum sempat gue melirik, suara bidan Batak sudah lebih dahulu menggelegar, “Bapak jangan liat kesitu! Tatap muka istrinya…!”
“Iya bu,,, iya,, maaf”
“Ayoo Bu.. terus.. Tarik nafas yang dalam Bu.. sedikit lagi.. kepalanya sudah mulai keluar ni..” ujar bidan Batak itu kembali.
“Huuuuuufff. .. haaaaaa,…. Huffff…. Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”, akhirnya dengan sekuat tenaga, tepat pukul 22.00 WIB, anak kami lahir dengan selamat,
Gue rangkul erat istri gue,, sambil mengucap syukur sedalam-dalamnya kepada Allah Swt yang telah menjadikan proses persalinan ini indah untuk dikenang suka dukanya.
Setelah 9 bulan penantian, jagoan yang ditunggu-tunggu hadir juga dengan selamat. Alhamdulillah..
Usai proses persalinan, selebiihnya tinggal proses pembersihan dan finishing laah istilahnya. Bayi gue dimandikan dan dibersihkan sebelum nanti akan gue kumandangkan adzan ditelinganya.
Malam ini kami lalui dengan tenang, tidak seperti 2 malam sebelumnya. Debar jantung terasa agak sedikit berkurang temponya. Aliran darah juga terasa lebih lancar. Semua berkat kasih sayang Allah Swt yang telah mempermudah segala prosesnya. Tidak ada kata yang dapat diucap selain syukur alhamdulillah…
Malam 25 Ramadhan 1438 hijriah, menjadi saksi sejarah atas kelahiran putra pertama kami, Muhammad Yaasin, lakal hamdu Yaa Rabb   
 Untuk anak ke 2 gue, gue lanjut di part 2 yaak, itu lebih ekstrim lagi prosesnya. Dan nanti gue juga bakal cerita tentang prosesi penguburan ari-ari. Ternyata ritualnya cukup beragam, dan unik.. ikutin terus. Jangan sampe ketinggalan cerita unik dari gue.,,,
To be continue…