Di part ke dua ini gue mau lanjutin cerita part
pertamanya, gimana kisah kelahiran anak pertama dan ke dua gue, hingga akhirnya
gue menjadi ‘fahter of two sons’ saat ini. Gak kebayang sebelumnya sih, kalau
akhirnya istri gue bakalan hamil berturut-turut dalam 2 tahun sejak pernikahan
kami.
Pernah gue iseng nanya istri gue, sebelum kami
menikah, “Bund, aku boleh poligami gak”.
“Boleh, kalau aku gak bisa ngasih anak untuk
kita,”jawab istri gue. Lah ini baru nikah 2 tahun, anak gue udah 2. Batal laah
segala sekenario poligami… hehe.. lagian itu juga pertanyaan iseng sih. Katanya
kalau lo dapet cewek yang mau di poligami imannya udah tingkat dewa,
sholehahnya minta ampun. Dan semoga itu semua selalu dan senantiasa ada di
istri gue.
Cerita kelahiran anak ke 2 gue gak jauh beda dengan
anak pertama gue. Awalnya kami berpikir, kelahiran anak ke 2 akan lebih mudah
dijalani. Bahkan ketika USG terakhir sebelum akan melahirkan, dokter yang
memeriksa istri gue memberikan ucapan-ucapan positif saat pemeriksaan. Jadi
ketika alat USG menempel di Perut Istri gue, terlihatlah semua aktifitas bayi
gue di dalam perut, dia lagi siap-siap mau keluar, dandan yang rapi, nyisir
rambut, tapi gak pake acara bikin alis, soalnya anak gue laki. Mungkin anak ke
tiga gue kalau nanti perempuan di dalam perut bakalan ada meja make up.
Dokter mengatakan semuanya baik, posisi ok, siap
meluncur, air ketuban cukup, tidak ada lilitan. Istilahnya all clear, gak ada
hal yang perlu dicemaskan. In syaa Allah akan mudah, dan lahir dengan proses
normal. Sampai-sampai dokter itu bilang, “aah.. ini mah tinggal nunggu bersin
aja.. nanti juga keluar.”
Hari itu Jum’at malam, kami pulang dari klinik usai
USG dengan perasaan tenang. Ucapan-ucapan dokter USG mengembuskan aura positif
dalam pikiran kami. Harapan akan mudahnya proses persalinan yang kedua sudah
terbayang-bayang dalam benak pikiran kami. Hanya tinggal menunggu waktu. Malam
itu kami tertidur dengan pulas, tanpa ada rasa gelisah sedikitpun.
***
Hari berganti, dan waktu sholat subuh telah tibah, gue
dibangunkan oleh istri tercinta dengan kalimat mengejutkan, “bang… udah keluar
darah flek barusan?” suaranya lembut, tapi bisa bikin langsung bangun gak pake loading.
“Hah…! Seriusan, banyak gak?” tanya gue, menanggapi
perkataan istri gue.
“Kayak biasa, sih. Kayak waktu hamil yang pertama”
“Yaudah, nanti periksa.”
Hari itu, gue masih ada kegiatan di kantor, maklum
pegawai swasta yang hari Sabtu tetap masuk walaupun setengah hari. Karena di
tempat kerja gue, hari Sabtu walaupun aktifitas kantor gak terlalu padat, ada
saja hal yang perlu diurus di hari tersebut.
Tanpa terasa, siang hari pun tiba, istri gue mengirim
pesan wa ke gue:
‘ayah, kalau urusan ayah udah selesai, kita periksa
yaa, aku dah mules-mules’
Mendapat pesan tersebut, gue langsung selesaikan
segala urusan gue di kantor dan cepat-cepat berkemas pulang. Yaa walaupun jarak
dari kantor ke rumah bisa dibilang kesandung juga nyampe, alias deket banget,
tapi tetap saja perlu persiapan.
Sesampainya di rumah, gue langsung menyiapkan mobil,
“gimana Bund, udah siap?”
“Udah,” jawab istri gue.
“Yaudah yuuk, kita langsung berangkat.”
Kali ini gue berangkat ditemani sama Ibu mertua gue
yang datang khusus dari Brunei untuk ikut menemani proses persalinan istri gue.
Sesampainya di klinik bersalin, istri gue diperiksa, dan ternyata sudah bukaan
2. Akhirnya kami memutuskan untuk langsung menginap di klinik tersebut,
mengingat ini persalinan ke 2, yang biasanya, proses pembukaannya lebih cepat
dari pada persalinan anak pertama. Dan kami tidak mau mengambil resiko pulang
dahulu, setelah benar-benar mules baru kembali ke klinik, karena yang ada
bisa-bisa lahiran di jalan. Kesian anak ke dua gue kalau sampai kejaidan
seperti itu, bingung kalau besar nanti ditanya, “Abil, dulu lahirnya dimana?”
mungkin teman sebayanya akan menjawab, “di Rumah Sakit, …. Di bidan…” dan lain
sebagainya. Lalu anak gue menjawab, “di mobil…” itu gak lucu dah, seriusan.
Hari Sabtu yang cerah, kami lalui dengan optimisme
tinggi, menunggu detik-detik persalinan tiba. Setelah siang istri gue
diperiksa, sebagaimana biasanya, sesuai SOP yang berlaku, pemeriksaan
selanjutnya akan dilaksanakan setelah 4 jam dari pemeriksaan sebelumnya. Namun
dikarenakan masih pembukaan 2, saat akan dilakukan pemeriksaan berikutnya, kami
sendiri yang memutuskan untuk tidak diperiksa terlebih dahulu, dikarenakan
jarak antara satu kontraksi dengan kontraksi berikutnya masih sangat jauh,
yaitu memakan durasi antara 30 menit sampai dengan 2 jam.
Akhirnya hari itu pun kami lalui dengan beristirahat
di klinik bersama-sama. Gue ambil kamar kelas 3 di klinik tersebut, dengan
komposisi kamar 4 ranjang, 1 kamar mandi, dilengkapi dengan televisi dan AC.
Sengaja gue ambil kelas 3, gak ambil kamar kelas 1 atau VIP, karena klinik
tersebut klinik yang lumayan sepi pengunjung. Gue akan lebih nyaman mengambil
kamar kelas 3 dibanding VIP yang hanya menyediakan 1 tempat tidur untuk Ibu
yang akan bersalin dan 1 sofa untuk penunggu. Fasilitas tambahan lainnya bisa
dibilang sama saja. Dengan begitu… menunggu persalinan di klinik sudah seperti
kita memesan kamar hotel dengan 4 tempat tidur, tanpa harus membawa kasur
tambahan dari rumah layaknya kita menunggu pasien opname di rumah sakit pada
umumnya.
Keesokan harinya, di Minggu pagi yang indah, istri gue
memperbanyak jalan pagi guna mempercepat proses persalinan. Sedangkan gue,
kembali ke rumah karena ada beberapa hal yang harus diurus, sekaligus menjemput
anak Gue yang pertama, Acin, sudah semalaman dia ditinggal Ayah dan Ibunya
menginap di klinik.
Waktu kembali berjalan, Minggu siang istri gue kembali
diperiksa, akan tetapi hasilnya masih juga pembukaan 2. Sungguh hal ini di luar
ekspektasi kami semua, mengingat ini persalinan ke 2 yang secara teori lebih
mudah dan lebih cepat dari pada persalinan pertama.
Keluarga mulai gelisah, dari rumah tidak
henti-hentinya menanyakan perkembangan. Telepon tidak berhenti berdering, pesan
singkat via wa tidak ada matinya. Selalu saja menanyakan perkembangan
pembukaan istri gue, “gimana, Ki, udah pembukaan berapa?”
“Ki, gimana Vera?” hampir-hampir gue bosan
menjawabnya.
Setelah pemeriksaan yang hasilnya belum menunjukkan ke
arah yang signifikan terhadap perkembangan proses persalinan istri gue, gue
sibuk mencari rumput Fatimah yang biasa menjadi andalan untuk memperlancar
proses persalinan. Gue dapat rumput Fatimah di sore harinya.
Berdasarkan pengalaman persalinan anak pertama gue,
setelah diminumkan air rumput Fatimah, istri gue langsung mules parah dan pembukaan
langsung naik ke pembukaan 7.
Gue suguhkan air rumput Fatimah ke istri gue, lalu
kami sama-sama menunggu reaksi dari hasil meminum air tersebut. Jam 8 Malam
istri gue kembali diperiksa, tapi lagi-lagi hasilnya masih saja pembukaan 2.
Belum ada perkembangan sama sekali.
Malam itu kami lalui dengan rasa cemas, mengapa belum
ada perkembangan sedikit pun. Usaha sudah banyak dilakukan, tapi hasil belum
mengarah ke nilai positif. Setiap 10 menit Istri gue kesakitan menahan
kontraksi. Tepat jam 3 dini hari di hari Senin, 10 Desember 2018, kontraksi
semakin hebat, dan jaraknya antara 5-7 menit sekali, terkadang 4 menit sekali.
Akhirnya ketika jam 7 pagi, istri gue kembali di
periksa, tapi hasilnya masih saja pembukaan 2, padahal kontraksinya sudah
semakin kuat, sampai-sampai istri gue takut buang air besar. Dikhawatirkan saat
mengejan untuk mengeluarkan kotoran, yang keluar malah anak gue. Kan gak lucu
juga klo anak gue lahir di kakus… apa kata dunia.
Waktu terus berjalan, detik demi detik semakin
mencemaskan. Nyokap gue dari rumah gak henti-hentinya menelepon dan mengirim
pesan singkat via wa, “Vera gimana ki? Ada perkembangan?”
“Apa gak coba alternatif lain? Mama cemas sudah 3 hari
masih pembukaan 2 juga gak nambah.” Tambah nyokap gue di pesan selanjutnya.
“Alternatif lain maksudnya apa, Ma. Kalau pindah bidan
sekalipun gak akan merubah penanganannya. SOP bidan yaa selama pembukaan masih
2 blm ada tindakan apa-apa, yang ada tetap disuruh banyak jalan, banyak gerak
supaya mempercepat persalinan,” tulis gue mejawab pertanyaan nyokap gue.
Istri gue semakin kesakitan di tiap menitnya,
sampai-sampai beberapa keluarga gue yang menjenguk gak kuat ngeliat istri gue
menahan sakitnya kontraksi. Ada yang datang membawa makanan lalu pulang, ada
yang baru masuk pintu kamar perawatan, melihat istri gue kesakitan akhirnya gak
jadi masuk dan langsung pulang. Bahkan uwanya istri gue di Sukabumi mules-mules
sendiri di rumahnya, akibat perasaan cemas dan khawatir mendengar istri gue
belum ada perkembangan sama sekali.
Adzan zuhur berkumandang, gue sholat Zuhur terlebih
dahulu sambil bermunajat semoga persalinan ini dilancarkan oleh Allah Swt,
bayinya selamat, Ibunya sehat walafiat. Usai gue menunaikan sholat Zuhur, istri
gue kembali di periksa, mengingat sudah lebih dari 4 jam berlalu sejak di
periksa pukul 7.00 WIB tadi pagi. Lagi-lagi hasilnya, masih juga pembukaan 2.
Sama sekali tidak ada perkembangan.
Situasi dalam ruangan masih sama, setiap 4 menit istri
gue menahan sakitnya kontraksi yang muncul. Tapi hebatnya istri gue, di saat
tidak kontraksi dia masih sempat bercanda sambil terus melakukan
gerakan-gerakan yang dianjurkan untuk memperlancar persalinan. Mulai dari jalan
jongkok, kayang, kopral ala tantara dan gerakan-gerakan aneh lainnya yang
katanya dengan gerakan tersebut akan mempermudah proses keluarnya bayi dari
dalam perut.
Tanpa terasa 3 jam telah berlalu dan Adzan Ashar sudah
30 menit yang lalu berkumandang. Gue tunaikan sholat Ashar terlebih dahulu
dengan bergantian dengan mertua gue. Karena disaat-saat seperti itu, istri gue
harus memegang tangan orang yang ada di dekatnya saat kontraksi menghantam. Dan
tidak lama setelah menunaikan sholat Ashar ada bidan yang masuk untuk
mengontrol keadaan istri gue, “gimana Bu, Jam berapa di periksa lagi?” tanya
gue ke bidan yang masuk ke kamar gue.
“Nanti yaa Pak, tunggu setengah jam lagi kita periksa,
mulesnya udah tambah sering yaa?”
“Iya ni Bu, udah 3 menit sekali.”
“Oke deh, Pak. Tunggu setengah jam lagi yaa.. “
Saat itu jam di handphone gue menunjukkan pukul 16.15
WIB, tandanya pukul 16.45 WIB nanti baru di periksa. Keadaan istri gue saat itu
seperti mulai melemah. Dia seakan kehabisan tenaga akibat menahan rasa sakit
yang bertubi-tubi. Gue, sama mertua gue terus menemani istri gue di sampingnya.
Tidak jauh dari tempat tidur istri gue, ada Adik gue juga, Fira, yang saat itu
sedang menejenguk dan ikut menemani.
Pukul 16.35 WIB kontraksi semakin hebat dan kuat, air
mata berderai di pipi istri gue. Dan gak lama setelah itu istri gue teriak,
“yaaaaah, pecah”. Ternyata air ketubannya sudah keluar. Gue langsung panik,
“Fira, cepet panggil suster!” Adek gue segera lari keluar kamar memanggil
suster atau bidan yang ada. Tapi saat itu semua seperti sedang sibuk
masing-masing.
Dengan penanganan yang lambat, sontak gue lari keluar
kamar, dari depan kamar gue teriak, “susteeeeeeer, bidaaaaaaaaan… ini udah
pecah ketubannya.. susteeeeer! Bidaaaaaan!” teriakan gue dari Lorong klinik
cukup mengejutkan mereka. Seketika saja mereka langsung berhamburan menuju
kamar gue.
“Iya, Pak.. Iya Pak.. ini mau kami tangani.”
Salah satu dari mereka sudah sampai di kamar, ia
langsung memeriksa istri gue, istri gue sudah meraung-raung sambil mengejan,
“Pak, ini masih agak jauh bayinya, Bapak bisa angkat istrinya gak ke ruang
bersalin, digendong aja pak,” kata Bu bidan kepada gue.
“Gak mauuuuuu…! Sakiiiiiit” istri gue menimpali usulan
Bidan tersebut.
“Gak mauuuuu.. di sini aja udah,” dalam hati gue mikir
juga. Gak mungkin gue gendong istri gue dalam keadaan sakit seperti ini,
apalalagi gue inget berat dia udah bertambah 20kg semenjak mengandung. Yang ada
malah bahaya kalau gue gendong terus terjatuh.
“Udahlah, Bu! Di sini aja persalinannya..” bentak gue
ke Bu Bidan
“Baik pak.. baik. Kalau begitu tolong geser tempat
tidurnya ke tengah, Pak. Agak kurang leluasa posisinya kalau di pojok seperti ini,”
kata bidan tersebut mengkomandokan. Gue segera geser tempat tidur istri gue ke
tengah ruangan. Untungnya ruang kamar kami cukup luas.
Alat-alat persalinanpun di bawa ke kamar. Dan
persalinanpun dimulai, Istri gue masih meraung-raung.
“Ayo bu, terus.. terus…”
“Hiyaaaaaaaaaaak,” Istri gue mengejan sekuat
tenaganya. Sambil mengejan dia ambil leher gue trus didekapnya gue kuat-kuat
dengan tangan kirinya. Tangan kanannya mengambil jilbab mertua gue, dia Tarik
kuat-kuat pula ibunya..
Saat-saat seperti ini gue ngerasa kayak orang yang
paling bersalah atas semua kejadian ini, Atas kehamilan istri gue, atas persalinan
yang sakit banget, dan atas segala derita yang dirasakan istri gue. Padahal seingat
gue waktu proses pembuatan anak kami, kami lakukan dengan kesepakatan bersama
secara suka cita. Tidak ada rasa intimidasi satu sama lain. Dan semua kami
nikmati bersama. Mungkin bukan gue aja yang merasakan perasaan bersalah seperti
ini. Semua bapak atau suami yang menemani proses persalinan istrinya, juga
mengalami perasaan yang sama.
“Hiyaaaaaaaaak,” sekali lagi dia mengejan sekuat
tenaga, dan akhirnya, “eaaaa…. Eaaa… eaaaa,” suara tangisan bayi pun terdengar.
Anak ke dua gue telah terlahir dengan selamat dengan proses normal.
“Catet, Sus! Cateeeeeeet! Jam berapa sekarang,” teriak
bidan yang mengeluarkan bayi gue kepada suster yang membantunya.
“Jaaaaam enaaaaam belaaas empaat empaaaaat,” jawab
suster yang ditanya dengan teriakan juga. Heboh lah pokoknya. Tapi apapun yang
terjadi, yang jelas bayi gue sudah terlahir dengan selamat pada hari Senin, 10
Desember 2018 pukul 16.44 WIB.
“Welcome to the world, Abdurrahman Habil.”
Puji syukur gak henti-hentinya gue haturkan kepada
Allah Swt yang telah menganugerahkan segala keindahan dan kenikmatan ini untuk
gue. Alhamdulillah.
Oya.. di penutup tulisan ini, ada sisi lain yang mau gue
certain selain proses persalinan, yaitu chemistry antara gue dan istri gue. Pernikahan
gue dan istri gue adalah representasi pernikahan Gemini dan Sagitarius, yaa
sebenernya sih percaya gak percaya sama yang namanya Zodiak. Anggap aja ini
kebetulan yang indah laah.
Jauh sebelum nikah, di tahun 2014, gue pernah berkhayal
punya pasangan seorang Sagitarius, sampai-sampai ada beberapa tulisan blog gue isinya
surat cinta untuk Sagitarius khayalan gue, judulnya “Dear Sagitarius.” Bentuknya
kayak apa, wajahnya bagaimana dan segala kecantikannya gue sama sekali gak tau,
itu cuma ada di khayalan gue dan ternyata gue berjodoh dengan istri gue
sekarang.
Gak sampai di situ, chemistry gue dan istri gue
berlanjut ke anak-anak kami. Anak pertama gue, Muhammad Yaasin, lahir 19 Juni
2017, dengan golongan darah O, sama seperti Ibunya, dia terlahir sebagai
seorang Gemini. Sedangkan anak ke dua gue, Abdurrahman Habil, lahir 10 Desember
2018, Dengan golongan darah B, sama kayak gue, dan dia lahir sebagai seorang
Sagitarius.
Asli, ini sekenario Allah yang paling indah buat gue,
semoga dengan kelahiran anak ke dua gue, segala kebaikan, rahmat, dan
karunia-karunia Allah selalu tercurah untuk gue dan keluarga gue. Gak lupa, semoga
para pembaca blog gue juga mendapatkan hal-hal terbaik yang pernah lo semua
mimpikan.