Monday, May 20, 2013

Pembodohan Masa Kecil




Masa kecil memang merupakan masa yang paling indah. Dimana hati dan fikiran kita masih terlalu polos untuk menilai benar dan salah. Dan hal itu membuat kita lebih mudah tertipu. Ups…bukan kita lebih tepatnya aku. Karena untuk membuktikan bahwa Susan itu hanya boneka dan yang mendubing suaranya itu Ria Enes, dibutuhkan waktu sampai aku kelas 4 SD.
Waktu itu aku sedang duduk manis di kelas, menikmati setiap pelajaran yang disuguhkan oleh guruku. Tiba-tiba dari luar ada yang mengetuk pintu kelasku. Pelajaranpun langsung terhenti sejenak, dan pak guru membukakan pintu. Setelah di buka ternyata pembantuku yang datang, "maaf pak, kata ibu, fikinya disuruh pulang", katanya kepada pak Guruku. Dengan sigap Guruku langsung merespon,"Fikry...!! Bereskan bukunya dan kamu boleh pulang sekarang".
Luar biasa, hanya butuh seorang pembantu untuk membuat seorang guru menjadi terlihat tidak berwibawa. Itulah enaknya sekolah di lembaga keluarga. Dan itulah cermin masyarakat Indonesia. Setiap yang di atas bebas menabrak aturan.
Setelah berkemas, kusalami guruku, dan langsung pulang bersama pembantuku tanpa memperdulikan puluhan pasang mata yang menatap iri kepadaku. "Emang kenapa sih mba, ko pake di suruh pulang?", tanyaku. "Wah ga tau! Dek Fira juga di jemput ko", jawabnya.
Dirumah ternyata aku sudah ditunggu oleh ibuku dan tanteku, tepatnya ia anak dari adik kakekku. Tapi aku memanggilnya dengan panggilan "kak", karena ia terlalu muda untuk menjadi tante-tante. Emilda namanya. Aku memanggilnya "kak Imel". Aku sebenernya sempat bingung siapa nama sebenarnya Emilda atau Imelda. Kalau Emilda kenapa dipanggilnya Imel, kalau Imelda tapi nama aslinya Emilda.
Dari dalam kamar adikku berlari ke arahku sambil berteriak,"bang ayo! kita mau di ajak ke Pesta Anak sama kak imel". Buat yang tidak tau, Pesta Anak adalah sebuah acara televisi untuk anak-anak yang mana hostnya adalah Ria Enes dan Susan bonekanya. Mendengar itu akupun bergegas merapikan diri mengganti pakaianku. Setelah siap kamipun beranjak dari rumah menuju stasuin televisi tersebut. Selain ka Imel, tanteku yang lain juga ikut menemani, tapi yang ini tidak aku panggil tante, tapi mauo, alias mak tuo, mauo Imur  tepatnya. Karena namanya Murniati, dipanggil Imur. Ya, itu panggilan khas orang padang untuk tante yang umurnya lebih tua dari ibunya. Karena ibuku paling kecil, jadi semua saudara permpuanya ku panggil mauo, dan yang laki pauo. Stop! Jangan dipanjangkan. Karena itu hanya akan membuatku lebih terlihat seperti Tarzan. Maaa.......uo....uo.....! Paaa...uo…uo…!
Sesampainya disana aku dan adikku langsung masuk ke studio, seingatku ketika itu jam 11 siang. Ternyata di sana sudah banyak anak-anak seusiaku yang aku rasa mereka juga melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan. Melihat jam 11 siang bukan jam keluar kelas yang wajar untuk sekolah-sekolah di Jakarta kecuali kalau guru-guru di sekolah tiba-tiba rapat. Kulihat sekelilingku, kru-kru televisi sudah mulai bersiap- siap. Tapi aku belum melihat Ria Enes dan Susan di ruangan tersebut. Yang aku fikirkan saat itu, aku hanya ingin melihat Susan apakah ia akan datang digendong oleh Ria Enes atau berjalan sendiri?
1 jam berlalu syuting belum juga dimulai. Aku bersama anak-anak bodoh lainya masih setia menunggu walaupun tidak di beri snack atau sekedar minuman ringan. Harus kukatakan bodoh, karena hanya anak bodohlah yang mau menuggu sekian lama, tanpa diberi makan apa lagi dibayar. Baru setelah jarum jam menunjukkan pukul 12.15 siang Ria Enes dan Susan datang. Betapa terkejutnya aku saat itu, ternyata Susan tidak datang digendong apalagi jalan sendiri tetapi dibawa oleh salah satu kru dan Ria Enes berjalan di depanya. Mulai saat itu, aku yakin kalau Susan bukan anaknya Ria Enes. Karena tidak ada ibu sejahat itu.
Syuting pun dimulai, setelah Ria Enes mengambil posisi duduk diantara anak-anak dan Susan didukkan dipangkuanya. "Kamera...!!! Action..!!!" Mataku langsung mengamati semua gerak gerik dengan jeli, terutama mulutnya Ria Enes. Dan mulai saat itu juga kyakinanku bahwa Susan bisa bicara sendiri roboh dan aku harus mengalah untuk tidak mempertahankan prinsipku lalu mengakui bahwa Susan hanyalah boneka, tidak lebih.
Syuting pun belanjut, ditengah-tengahnya diselingi beberapa kali istirahat. Anak-anak lain sibuk berganti pakaian sedangkan aku dan adikku tidak. Karena kami tidak tau kalau tenyata syuting hari itu untuk tujuh episode. Dan kami harus berpura-pura seakan kami hadir di waktu yang berbeda setiap kali syuting dimulai kembali. Sungguh pembodohan.
Tepat jam 11 malam syuting selesai. Aku dan adikku langsung keluar dari studio menuju ke mobil mencari tanteku sekaligus mencari makan. Karena dari siang kami belum makan. Parah.
"Eh udh keluar! Makan dulu sini, laper yaa?" sambut tanteku bertutur kepadaku dan adikku. "Iya nih mauo, laper banget. Lho... Ka imel mana?" tanyaku. "Owh... Ka Imel dah pulang duluan tadi, katanya ga bareng". Dalam hatiku, "ya jelas lah ga bareng, jam 11 malam baru keluar".
Setelah beberapa tahun, akhirnya acara itu dihapuskan, entah kenapa sebabnya aku tidak peduli. Tapi kemungkinan kuat Susan memutuskan hubungan kerja dengan Ria Enes. Karena setelah itu aku tidak penah melihat Ria Enes dan Susan muncul bareng lagi di televisi.
Itu baru Susan dan Ria Enes. Masih banyak lagi acara televisi anak-anak pada zamanku yang mengandung unsur pembodohan. Dan itu diamini oleh orang tua kami. Si Komo misalnya. Yang menjadi icon di salah satu video klip. Bagi yang tidak tau, Si Komo tidak  jauh berbeda dengan Modo dan Modi, cuma bedanya Modo punya pacar Modi, dan Si Komo masih single.
Anak-anak di zamanku percaya kalau macet itu penyebabnya adalah Si Komo lewat, dan itulah isi lagu dari video klip tersebut.
Hingga pada suatu saat aku sedang tertidur pulas di mobil tiba-tiba aku terjaga karena kepanasan. Maklum, ketika itu mobil ber-AC hanya dimiliki orang kaya saja. Lalu aku bertanya kepada ibuku,"ko ga jalan jalan sih ma, macet ya?" Lalu ibuku menjawab, "iya nih, td ada si Komo lewat".
"Owh.... Udh pergi blm si Komo-nya, ko masih macet?"
"Udh sih nak, tapi kayaknya mau balik lagi, makanya masih macet".
Haadoooh..... Kenapa harus pake alasan Si Komo untuk menjawab pertanyaan kami anak kecil waktu itu. Mungkin kalau dijawab dengan jawaban yang jujur, bangsa ini bisa 10 tahun lebih maju dari sekarang. Karena jawaban seperti itu hanya akan membuat kami menghayal bahwa si Komo itu benar-benar ada dan dia sekarang lagi guling-gulingan di jalan.
Dan parahnya hal ini tidak dibenahi. Setelah Susan hilang, si Komo enyah, muncullah  Dora. Aku hanya bisa mengelus dada melihat keponakan-ponakanku berbicara dengan televisi, seakan Dora menanggapi jawaban mereka ketika dia bertanya atau meminta bantuan. Dan lebih parahnya lagi mengapa mereka harus mengajak aku,”om bantuin aku bantuin Dola yuk!” Lalu ku jawab,”ayuk!”

1 comment:

  1. hahaha sama banget, smpe sd lulus ana g tau kl si komo itu komodo, dan aslinya komodo ga unyu ky gitu hahaha

    ReplyDelete