Masa kecil memang merupakan masa yang paling indah. Dimana
hati dan fikiran kita masih terlalu polos untuk menilai benar dan salah. Dan
hal itu membuat kita lebih mudah tertipu. Ups…bukan kita lebih tepatnya aku.
Karena untuk membuktikan bahwa Susan itu hanya boneka dan yang mendubing
suaranya itu Ria Enes, dibutuhkan waktu sampai aku kelas 4 SD.
Waktu itu aku sedang duduk manis di kelas, menikmati setiap
pelajaran yang disuguhkan oleh guruku. Tiba-tiba dari luar ada yang mengetuk
pintu kelasku. Pelajaranpun langsung terhenti sejenak, dan pak guru membukakan
pintu. Setelah di buka ternyata pembantuku yang datang, "maaf pak, kata
ibu, fikinya disuruh pulang", katanya kepada pak Guruku. Dengan sigap
Guruku langsung merespon,"Fikry...!! Bereskan bukunya dan kamu boleh
pulang sekarang".
Luar biasa, hanya butuh seorang pembantu untuk membuat
seorang guru menjadi terlihat tidak berwibawa. Itulah enaknya sekolah di
lembaga keluarga. Dan itulah cermin masyarakat Indonesia. Setiap yang di atas
bebas menabrak aturan.
Setelah berkemas, kusalami guruku, dan langsung pulang
bersama pembantuku tanpa memperdulikan puluhan pasang mata yang menatap iri
kepadaku. "Emang kenapa sih mba, ko pake di suruh pulang?", tanyaku.
"Wah ga tau! Dek Fira juga di jemput ko", jawabnya.
Dirumah ternyata aku sudah ditunggu oleh ibuku dan tanteku,
tepatnya ia anak dari adik kakekku. Tapi aku memanggilnya dengan panggilan
"kak", karena ia terlalu muda untuk menjadi tante-tante. Emilda
namanya. Aku memanggilnya "kak Imel". Aku sebenernya sempat bingung
siapa nama sebenarnya Emilda atau Imelda. Kalau Emilda kenapa dipanggilnya
Imel, kalau Imelda tapi nama aslinya Emilda.
Dari dalam kamar adikku berlari ke arahku sambil
berteriak,"bang ayo! kita mau di ajak ke Pesta Anak sama kak imel".
Buat yang tidak tau, Pesta Anak adalah sebuah acara televisi untuk anak-anak
yang mana hostnya adalah Ria Enes dan Susan bonekanya. Mendengar itu akupun
bergegas merapikan diri mengganti pakaianku. Setelah siap kamipun beranjak dari
rumah menuju stasuin televisi tersebut. Selain ka Imel, tanteku yang lain juga
ikut menemani, tapi yang ini tidak aku panggil tante, tapi mauo, alias mak tuo,
mauo Imur tepatnya. Karena namanya
Murniati, dipanggil Imur. Ya, itu panggilan khas orang padang untuk tante yang
umurnya lebih tua dari ibunya. Karena ibuku paling kecil, jadi semua saudara
permpuanya ku panggil mauo, dan yang laki pauo. Stop! Jangan dipanjangkan.
Karena itu hanya akan membuatku lebih terlihat seperti Tarzan.
Maaa.......uo....uo.....! Paaa...uo…uo…!
Sesampainya disana aku dan adikku langsung masuk ke studio,
seingatku ketika itu jam 11 siang. Ternyata di sana sudah banyak anak-anak
seusiaku yang aku rasa mereka juga melakukan hal yang sama seperti yang aku
lakukan. Melihat jam 11 siang bukan jam keluar kelas yang wajar untuk
sekolah-sekolah di Jakarta kecuali kalau guru-guru di sekolah tiba-tiba rapat.
Kulihat sekelilingku, kru-kru televisi sudah mulai bersiap- siap. Tapi aku
belum melihat Ria Enes dan Susan di ruangan tersebut. Yang aku fikirkan saat
itu, aku hanya ingin melihat Susan apakah ia akan datang digendong oleh Ria
Enes atau berjalan sendiri?
1 jam berlalu syuting belum juga dimulai. Aku bersama
anak-anak bodoh lainya masih setia menunggu walaupun tidak di beri snack atau sekedar
minuman ringan. Harus kukatakan bodoh, karena hanya anak bodohlah yang mau
menuggu sekian lama, tanpa diberi makan apa lagi dibayar. Baru setelah jarum
jam menunjukkan pukul 12.15 siang Ria Enes dan Susan datang. Betapa terkejutnya
aku saat itu, ternyata Susan tidak datang digendong apalagi jalan sendiri
tetapi dibawa oleh salah satu kru dan Ria Enes berjalan di depanya. Mulai saat
itu, aku yakin kalau Susan bukan anaknya Ria Enes. Karena tidak ada ibu sejahat
itu.
Syuting pun dimulai, setelah Ria Enes mengambil posisi duduk
diantara anak-anak dan Susan didukkan dipangkuanya. "Kamera...!!!
Action..!!!" Mataku langsung mengamati semua gerak gerik dengan jeli,
terutama mulutnya Ria Enes. Dan mulai saat itu juga kyakinanku bahwa Susan bisa
bicara sendiri roboh dan aku harus mengalah untuk tidak mempertahankan
prinsipku lalu mengakui bahwa Susan hanyalah boneka, tidak lebih.
Syuting pun belanjut, ditengah-tengahnya diselingi beberapa
kali istirahat. Anak-anak lain sibuk berganti pakaian sedangkan aku dan adikku
tidak. Karena kami tidak tau kalau tenyata syuting hari itu untuk tujuh
episode. Dan kami harus berpura-pura seakan kami hadir di waktu yang berbeda
setiap kali syuting dimulai kembali. Sungguh pembodohan.
Tepat jam 11 malam syuting selesai. Aku dan adikku langsung
keluar dari studio menuju ke mobil mencari tanteku sekaligus mencari makan.
Karena dari siang kami belum makan. Parah.
"Eh udh keluar! Makan dulu sini, laper yaa?"
sambut tanteku bertutur kepadaku dan adikku. "Iya nih mauo, laper banget.
Lho... Ka imel mana?" tanyaku. "Owh... Ka Imel dah pulang duluan
tadi, katanya ga bareng". Dalam hatiku, "ya jelas lah ga bareng, jam
11 malam baru keluar".
Setelah beberapa tahun, akhirnya acara itu dihapuskan, entah
kenapa sebabnya aku tidak peduli. Tapi kemungkinan kuat Susan memutuskan
hubungan kerja dengan Ria Enes. Karena setelah itu aku tidak penah melihat Ria
Enes dan Susan muncul bareng lagi di televisi.
Itu baru Susan dan Ria Enes. Masih banyak lagi acara
televisi anak-anak pada zamanku yang mengandung unsur pembodohan. Dan itu
diamini oleh orang tua kami. Si Komo misalnya. Yang menjadi icon di
salah satu video klip. Bagi yang tidak tau, Si Komo tidak jauh berbeda dengan Modo dan Modi, cuma
bedanya Modo punya pacar Modi, dan Si Komo masih single.
Anak-anak di zamanku percaya kalau macet itu penyebabnya
adalah Si Komo lewat, dan itulah isi lagu dari video klip tersebut.
Hingga pada suatu saat aku sedang tertidur pulas di mobil
tiba-tiba aku terjaga karena kepanasan. Maklum, ketika itu mobil ber-AC hanya
dimiliki orang kaya saja. Lalu aku bertanya kepada ibuku,"ko ga jalan
jalan sih ma, macet ya?" Lalu ibuku menjawab, "iya nih, td ada si
Komo lewat".
"Owh.... Udh pergi blm si Komo-nya, ko masih
macet?"
"Udh sih nak, tapi kayaknya mau balik lagi, makanya
masih macet".
Haadoooh..... Kenapa harus pake
alasan Si Komo untuk menjawab pertanyaan kami anak kecil waktu itu. Mungkin
kalau dijawab dengan jawaban yang jujur, bangsa ini bisa 10 tahun lebih maju
dari sekarang. Karena jawaban seperti itu hanya akan membuat kami menghayal
bahwa si Komo itu benar-benar ada dan dia sekarang lagi guling-gulingan di
jalan.
Dan parahnya hal ini tidak dibenahi.
Setelah Susan hilang, si Komo enyah, muncullah
Dora. Aku hanya bisa mengelus dada melihat keponakan-ponakanku berbicara
dengan televisi, seakan Dora menanggapi jawaban mereka ketika dia bertanya atau
meminta bantuan. Dan lebih parahnya lagi mengapa mereka harus mengajak aku,”om
bantuin aku bantuin Dola yuk!” Lalu ku jawab,”ayuk!”
hahaha sama banget, smpe sd lulus ana g tau kl si komo itu komodo, dan aslinya komodo ga unyu ky gitu hahaha
ReplyDelete