Wednesday, June 11, 2014

Secangkir Kopi Kemerdekaan



 “Bu, ambilkan kopi dan rokok bapak, Bu,” kata Sukirman kepada Maimunah. Entah sudah berapa lama bola matanya tak bergerak sedikitpun dari menatap bendera merah putih yang berkibar di halaman sekolah depan rumahnya. Pandangannya kosong. Mungkin jiwa sedang tidak bersama jasadnya saat ini. Hingar bingar tawa dan canda anak-anak yang sedang mengikuti berbagai lomba di bawah kibaran bendera juga tidak mampu meluluhkan raut kaku di wajah Sukirman. Hanya balai bambu dan sepoi angin yang bercampur asap kotor polusi udara Jakarta yang menemani kebisuan dalam kesendirianya di teras rumah yang sempit.
Tak lama terdengar langkah kaki Maimunah, istri Sukirman dari dalam rumah membawakan apa yang dipesan, “ini kopi dan rokok, Pak,” ucap sang istri sembari menaruh secangkir kopi dan sebungkus rokok kretek di atas meja kecil dekat Sukirman duduk.
“Bapak ini kenapa toh?” celoteh sang istri dengan logat Jawa. Setiap tanggal 17 Agustus selalu saja termenung memandangi bendera merah putih. Kita ini sudah merdeka Pak, sudah tidak ada lagi yang perlu disesali!”   
“Kamu itu ndak ngerti apa-apa, Bu,” jawab Sukirman datar, sambil mengambil sebatang rokok, lalu menyeruput kopi hitam yang disuguhkan.    
17 Agustus 2013.
Genap enam puluh delapan kali sudah Sukirman merayakan kemerdekaan negeri tercinta Indonesia. Tapi penyesalan akan kemerdekaan yang ia perjuangkan mati-matian dulu tak kunjung pupus dari dalam sanubari. Perasaan ingin berontak selalu saja muncul bak dendam membara yang kian menyulut setiap kali perayaan kemerdekaan dilaksanakan. Jauh dari dalam sosok yang lugu tersirat sebuah nota protes yang selalu menemani serta mengutuk kemerdekaan yang selama ini sudah dijalani bangsanya, lalu dengan mudah mengubahnya menjadi sebuah kalimat ‘KITA MASIH DIJAJAH DAN BELUM MERDEKA!’.
Rokok pun disundut dengan api, lalu dalam-dalam Sukirman menghisapnya perlahan. Saat ini tidak ada yang lebih nikmat menurut Sukirman selain melepaskan sesal di dada bersamaan dengan hembusan asap rokok yang keluar dari mulutnya.
 Hal yang sama juga sering ia lakukan jauh sebelum enam puluh delapan tahun yang lalu, ketika ia masih menggendong senjata kesana kemari demi mengemban tugas sebagai pejuang veteran 45. Tetapi hal itu ia lakukan tidak untuk meluruhkan sempit di dada, melainkan untuk menghilangkan penat yang merasuki tubuhnya dan mengumpulkan tenaga kembali di sela-sela waktu istirahat yang terbatas.
Diam-diam Sukirman mencoba memutar ingatannya kembali yang ada jauh di kota Blitar di saat rekan-rekan seperjuangannya dibrondong pasukan Belanda tatkala  bersembunyi di belakang dagangan kios kelontong milik orang Tionghoa saat mereka mencoba kabur dari kejaran pasukan Belanda. Klise-klise bayangan akan kejadian tersebut berkelebat rapi dalam memori usangnya. Kala itu setiap dari mereka berjanji, bahwa siapa saja yang bisa lolos dan hidup harus meneruskan perjuangan kemerdekaan ini.
Sukirman yang pada saat itu tergolong paling muda (belia), diajak oleh pemilik kios untuk naik ke balkon lantai dua agar bersembunyi bersamanya. Di sana terdapat tempat persembunyian yang sempit dan hanya cukup untuk dua orang. Sedangkan rekannya yang lain hanya bisa menutupi badan mereka di balik dagangan-dagangan kios tersebut, sambil sesekali  mata mereka mengawasi keadaan luar dari celah-celah kecil yang berada di antara tumpukan barang.
 Sangat disayangkan, kecemasan mereka dalam persembunyian berakhir suram. Karena dengan tanpa sengaja salah satu anggota pasukan Belanda melihat kemana arah lari mereka. Sehingga sesampainya mobil Jeep di depan kios tersebut, tujuh anggota pasukan Belanda langsung mengarahkan senjata mereka ke arah kios tersebut lalu menghujaninya dengan ratusan peluru tanpa ampun.
Mereka yang saat itu sedang kehabisan amunisi tidak bisa berbuat apa-apa. Semua rekan Sukirman mati mengenaskan penuh luka tembak di sekujur tubuh mereka. Untungnya tempat persembunyian Sukirman dan pemilik kios benar-benar aman, sehingga ketika salah satu anggota pasukan Belanda memeriksa ke balkon lantai dua ia tidak menemukan mereka. Lalu setelah kondisi terkendali Sukirman akhirnya bisa menyelamatkan diri kemudian kabur ke Batavia.  
Semakin memutar rekaman peristiwa tersebut, kian kental pula rasa sakit hati menyelimuti dirinya. Rayuan–rayuan angin seraya berbisik menelusup sukma terdalam di relung hati Sukirman dan menghantarkannya ke muara penyesalan tak bertepi yang memaksa ia untuk mencaci maki kehidupan yang telah ia alami selama ini, “kenapa bukan aku yang tertembak ketika it?. Kenapa harus aku yang menyaksikan bangsa ini diinjak-injak lebih keji dari penjajahan Belanda atau Jepang sekalipu?. Percuma! aku hidup, kalau toh masih harus melihat bangsa ini terpuruk”.
Selang beberapa waktu terdengar lagi langkah kaki Maimunah dari dalam rumah. Sedangkan Sukirman masih asyik memainkan asap-asap tembakau yang ia hisap lantas ia keluarkan berhembus, sambil sesekali ia menyeruput kopinya. “Ini pak, ibu bawakan pisang goreng buat menemani bapak”.
Kemudian Maimunah duduk bersama Sukirman.
Setelah lima menit berjalan belum ada sepatah kata tertutur dari mulut mereka, yang ada hanya suara gesek dedaunan diterpa angin dari pohon mangga di depan rumah Sukirman. Keduanya membisu layaknya sepasang kekasih yang sedang menikmati dunianya masing-masing, tetapi secara batin mereka berdekatan. Suasana pun hening.
“Pak, ya mbok cerita kalau ada masalah. Bagaima juga, aku sebagai isterimu ndak enak melihat bapak termenung seperti itu terus,” Maimunah membuka pembicaraaan.
Mereka memang pasangan yang sangat harmonis sekaligus romantis. Karena di usia mereka yang cukup lanjut, mereka masih dianugerahi umur panjang dan tubuh yang sehat, sehingga masih bisa menikmati hari tua mereka berdua.  
Budi, anak semata wayang mereka, sudah lama ingin mengajak Sukirman dan Maimunah untuk tinggal bersama di rumahnya yang cukup besar dan nyaman. Tapi Sukirman menolak dan lebih memilih tinggal di gubuknya yang sederhana. Baginya rumah mungil tersebut lebih bisa menguatkan ia menjalani realita hidup yang seringkali tidak berpihak kepada masyarakat kecil serta membuatnya sadar bahwa ia juga adalah bagian dari mereka yang tak terpisahkan. Ketimbang jika ia mengamini ajakan Budi untuk tinggal di kediaman mewahnya, suasana surga di dalam dunia yang fana ini mungkin akan membuatnya lupa akan tangisan dan rintihan orang-orang tertindas yang dulu pernah mengenyam asam garam bersama dan membutuhkan meski hanya uluran kelingkingnya. 
“Begini loh Bu, aku ini sedih melihat nasib bangsa kita yang tidak lepas-lepas dari penjajahan,” kata Sukirman mulai menjawab.
Dengan penuh rasa penasaran, Maimunah kembali bertanya, “loh, bukannya kita sudah merdeka Pak? Sekarang ini sudah tidak ada lagi bule-bule yang menodongkan senjata ke kita dan memaksa kita untuk melakukan hal apapun yang mereka inginkan. Sekarang kita bebas, berbuat apa saja yang kita mau selagi tidak mengganggu kepentingan orang lain. Kita bebas belajar, berpendapat, berekpresi, berkarya dan masih banyak hal-hal yang bisa kita lakukan tanpa batasan dan tekanan. Bukan begitu pak?”
Sukirman terdiam sambil mulutnya mengunyah pisang goreng buatan istrinya. Matanya tertuju ke satu arah, menandakan otaknya sedang bekerja keras merangkai kata untuk menjawab pertanyaan istrinya. Memang agak sulit untuk mengungkapkan arti kemerdekaan baginya kepada orang lain, kendati kepada istrinya sendiri.
“Bu, ibu pernah berfikir tidak, berapa kekayaan yang bangsa kita miliki?”
“Yaa… banyak Pak.”
“Apa ibu juga pernah berfikir, dari sekian banyak kekayaan bangsa kita, kemana perginya kekayaan tersebut, dan siapa yang menikmati?” Kata Sukirman kembali bertanya kepada istrinya.
Maimunah termenung. 
Selang beberapa detik kemudian Sukirman melanjutkan pembicaraanya, “kalau seandainya bangsa ini yang menikmati, harusnya sudah tidak ada orang-orang yang tinggal di pinggir rel kereta api, apa lagi di kolong jembatan. Dan harusnya anak-anak bangsa yang ada di plosok-plosok daerah sudah bisa mengenyam pendidikan setara dengan anak-anak yang ada di perkotaan. Terkadang aku sangat miris melihat komposisi kesejahteraan di Negara ini yang tak kunjung bisa merata. Memang sih Bu, sudah menjadi sunnah kehidupan, ada kaya ada miskin, tapi kan paling tidak, rakyat tidak sampai harus mengais rezeki dari sisa makanan yang ada di tong sampah- tong sampah kaum elit”.
Maimunah menarik nafas panjang, lalu menghembuskanya perlahan. Tidak dapat dipungkiri apa yang dikatakan Sukirman adalah kenyataan sekalipun itu pahit. “Yaaah… Mungkin pemerintah kita terlalu sibuk Pak! Negara ini kan luas. Cukup rumit dan sulit untuk membangun Negara ini dengan cepat. Sebaiknya kita percayakan saja kepada mereka-mereka yang sedang duduk disana. Toh kewajiban kita sebagai warga kan mendukung pemimpinya, bukan begitu Pak?”
“Nah, hal itulah yang aku sesali selama ini.” Dengan tanpa jeda Sukirman kembali menimpali omongan istrinya. “ Semenjak kudeta militer brutal tahun 1965, yang membawa Jenderal Soeharto ke puncak kepemimpinan, kita sudah ndak punya lagi sosok pemimpin yang dapat dipercaya yang benar-benar ingin membawa bangsa ini kearah perubahan. Karena zaman itu sudah mengkikis habis moral anak bangsa, sehingga setiap diadakanya pemilu, kita tidak benar-benar memilih pemimpin. Sebab yang menjadi caleg, cagub, atau capres sekalipun hanyalah kandidat korup dengan kepentingan bisnisnya, melawan kandidat korup lainya dengan kepentingan bisnisnya juga. Dengan kata lain Bu, bangsa ini masih terus disetir oleh barat, selama kaum elite yang duduk di sana hanya mementingkan kepentingan bisnisnya. Dan jika seandainya ada yang mencoba mengadakan perubahan, pasti akan dihadang dengan segala cara”, kata Sukirman panjang lebar kepada isterinya. Lalu ia kembali mengambil sebatang rokok, dan menyeruput kopi hitamnya yang sudah dingin.
Percakapan mereka tentang bangsa ini semakin asik. Sukirman yang mantan pejuang veteran 45 cukup apik mengikuti perkembangan bangsanya. Mulai dari kasus-kasus kecil sampai kasus-kasus besar yang sedang terjadi di Negara ini. Sedangkan Maimunah, yang mantan guru era penjajahan juga tidak kalah kritis dalam menilai. Ia lebih mengedepankan realita yang dilihat oleh masyarakat kecil seperti mereka tanpa harus mengusik apa yang terjadi sebenarnya di kalangan kaum elit.
“Yaaah… Sudah lah Pak, kita ini rakyat kecil bisa apa. Sekalipun kita berkoar-koar di bunderan HI (Hotel Indonesia) pastinya tidak akan digubris. Harapan kita hanya doa. Dan yang bisa kita lakukan untuk  bangsa ini adalah memperbaikinya dimulai dari diri kita sendiri,” kata Maimunah mencoba menanggapi ucapan suaminya tadi.
Mereka kembali membisu. Setelah percakapan panjang hanya diam yang dapat mereka simpulkan. Ya, seperti itulah potret kebebasan berpendapat di Negara ini yang tidak pernah tersampaikan. Rakyat hanya bisa berdebat satu sama lain tanpa ada sedikitpun jalan untuk pendapatnya bisa didengar. Ribuan surat yang melayang ke kaum elit semuanya berakhir menumpuk di gudang. Diarsipkan tanpa pernah dibuka apalagi dibaca. Jutaan e-mail yang masuk hanya dibalas oleh pesan otomatis bahkan terkadang dibiarkan sama sekali. Dan dari sekian banyak biro pelayanan masyarakat yang ada, hampir semuanya sebatas kamuflase demi meraup keuntungan pribadi untuk membuncitkan perut-perut mereka harus selalu terisi.   
Di sela-sela keheningan, dari jauh terdengar suara mobil yang mendekat ke arah rumah tua mereka.
“Budi!” kata Maimunah terperangah. “Budi pak!”
Maimunah pun beranjak dari tempat duduk lalu berjalan keluar pagar rumahnya dan berdiri menyambut kedatangan mobil tersebut.
Budi memang rutin setiap sebulan sekali mengunjungi kedua orang tuanya. Ia selalu meluangkan waktu di sela-sela kesibukanya yang cukup padat sebagai pejabat pemerintah. Dan untuk bulan ini karena ada perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus, sengaja setelah apel serta upacara bendera di kantor, ia mengajak kedua anak laki-laki dan istrinya mengunjungi ayah dan ibunya.
Mobil pun berhenti, Budi turun dan langsung menyalami ibunya, lalu diikuti oleh istri dan kedua anaknya, yang bernama Eka dan Bagus. Setelah itu mereka berdua berlarian masuk melewati pagar rumah kemudian berebutan memeluk kakek mereka yang sedang duduk menunggu dibalai bambu.
Kakeek!”
“Kakeek!” teriak mereka bersahutan.
Sukirman pun menyambut bahagia pelukan Eka dan Bagus. Tiada yang lebih menghibur selain kedatangan anak, menantu beserta cucunya. Hidupnya terasa lebih lengkap dengan kehadiran mereka berkunjung. Walaupun saat ini ia sedang diselimuti kekalutan yang tak menentu.
“Bud, coba lihat bapakmu!”, Maimunah membuka pembicaraan sembari memasuki pintu pagar.
“Dari tadi pagi, melamun saja di teras rumah. Kerjanya hanya merokok dan minum kopi. Setiap 17 Agustus pastiii seperti itu. Untungnya kamu datang jadi bapak agak terhibur oleh jagoan-jagoan cilikmu.”
“Biar saja lah Bu!  mungkin bapak ingin bernostalgia dengan kenangan-kenangan masa lalunya,” Budi mencoba menetralisir keadaan.
“Yaa… tapi kan seharusnya tidak seperti itu, coba kamu ajak mengobroll! Mungkin kali ini kamu bisa merubah pandangan bapak tentang bangsa ini.”
“Baiklah Bu, saya coba.”
Lalu Budi dan isterinya masuk dan menyalami bapaknya yang sedang asik bercengkrama bersama kedua cucunya.
“Bapak sehat?”
“Alhamdulillah, bagaimana pekerjaanmu Bud? Lancar?” Sukirman menjawab dengan nada khas kebapak-bapakanya.
“Eka, Bagus, main dulu sana sama mama dan nenek, kakek mau bicara sebentar sama ayah kalian. Nanti kalau sudah selesai kita lanjut lagi main perang-peranganya.”
Sembari mengambil posisi duduk di samping ayahnya, Budi mulai berbicara, “Pak, bapak tau ndak, sudah berapa lama bangsa ini merdeka?”
“Sudah 68 tahun toh?” jawab Sukirman.
“Bukan Pak! Bangsa ini sudah merdeka jauh sebelum 68 tahun yang lalu,”
“Loh… ko kamu bisa bilang begitu Bud?” Sukirman balik bertanya.
 “Proklamasi yang dibacakan oleh Presiden Soekarno hanyalah sekedar simbol kemerdekaan bukan kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan yang sesungguhnya ada di dalam jiwa setiap anak bangsa Indonesia. Karena jiwa merdeka merekalah yang mendorong simbol itu dapat terwujud. Dan bapak sudah menanamkan jiwa itu dalam diri Budi, hingga Budi bisa menjadi seperti sekarang.”
“Haha…” Sukirman tertawa kecil sambil menepuk-nepuk pundak anaknya. “Benar sekali apa yang kamu katakan, Bud, kok bapak baru sadar yaa!”
Lantas Budi menyambung lagi, “O ya, Bapak ingat ndak, Bapak kan pernah mengutipkan perkataan Napoleon Hill sewaktu Budi masih SMP dulu, dan perkataan itu masih Budi ingat sampai sekarang.”
‘Jika kau tidak bahagia dengan duniamu dan ingin mengubahnya, tempat untuk memulainya adalah dirimu sendiri.’
“Haha… Bapak sendiri sudah lupa, Bud. Kalau bapak pernah mengutip kata-kata tersebut.” Sukirman kembali tertawa kecil sambil pikiranya mendalami makna kalimat tersebut.
Dan tak lama ia melanjutkan perkataanya, “itu sama ibarat secangkir kopi ini Bud! Dia akan tetap pahit selama kita tidak mau menuangkan gula kedalamnya. Kita tinggal memilih, membiarkanya tetap pahit, atau menjadikanya manis.
Apalah arti kita rakyat kecil di antara ratusan juta warga Indonesia. Mungkin kita tidak bisa merubah bangsa ini dengan hanya membalik telapak tangan. Tetapi harapan kita akan bangsa ini bisa terwujud sedikit demi sedikit dimulai dari diri kita yang menanamkan benih-benih jiwa merdeka kepada keturunan kita yang terkandung di dalamnya budi pekerti yang luhur. Karena kemerdekaan mengajarkan kita arti perjuangan, pengorbanan, cinta, kasih sayang dan harapan akan masa depan yang lebih baik.”
“Betul sekali, Pak. Hahaha…!”
Tawa lepas akhirnya menghiasi bibir mereka berdua. Sukirman sadar, bahwa kemerdekaan bukanlah sebuah teks proklamasi yang dibacakan ataupun bebasnya Negara dari penjajahan. Tapi kemerdekaan adalah kebebasan jiwa untuk mengendalikan pikiran dan hati untuk berbuat yang terbaik dengan sekuat tekad demi kemajuan negeri tercinta, Indonesia.
Berapa banyak orang bebas tapi jiwanya terjajah. Dan berapa banyak orang hidup dibalik jeruji besi, tapi akal, pikiran dan hatinya terbang bebas melalang buana mengukir sebuah teori hidup membangunkan jiwa-jiwa yang mati.


No comments:

Post a Comment