“Bu, ambilkan kopi dan rokok bapak, Bu,” kata Sukirman kepada Maimunah.
Entah sudah berapa lama bola matanya tak bergerak sedikitpun
dari menatap bendera merah putih yang berkibar di halaman sekolah depan
rumahnya. Pandangannya kosong. Mungkin jiwa sedang tidak bersama jasadnya saat
ini. Hingar bingar tawa dan canda anak-anak yang sedang mengikuti berbagai
lomba di bawah kibaran bendera juga tidak mampu meluluhkan raut kaku di wajah Sukirman. Hanya balai bambu dan sepoi
angin yang bercampur asap kotor polusi udara Jakarta yang menemani kebisuan
dalam kesendirianya di teras rumah yang sempit.
Tak lama terdengar langkah
kaki Maimunah, istri Sukirman dari dalam rumah membawakan apa yang dipesan, “ini
kopi dan rokok, Pak,” ucap sang istri sembari menaruh secangkir kopi dan
sebungkus rokok kretek di atas meja kecil dekat Sukirman duduk.
“Bapak ini kenapa toh?” celoteh sang istri dengan logat Jawa. “Setiap tanggal 17 Agustus
selalu saja termenung memandangi bendera merah putih. Kita ini sudah merdeka Pak,
sudah tidak ada lagi yang perlu disesali!”
“Kamu itu ndak ngerti
apa-apa, Bu,” jawab Sukirman datar, sambil mengambil sebatang rokok, lalu
menyeruput kopi hitam yang disuguhkan.
17 Agustus 2013.
Genap enam puluh delapan
kali sudah Sukirman merayakan kemerdekaan negeri tercinta Indonesia. Tapi
penyesalan akan kemerdekaan yang ia perjuangkan mati-matian dulu tak kunjung
pupus dari dalam sanubari. Perasaan ingin berontak selalu saja muncul bak
dendam membara yang kian menyulut setiap kali perayaan kemerdekaan
dilaksanakan. Jauh dari dalam sosok yang lugu tersirat sebuah nota protes yang
selalu menemani serta mengutuk kemerdekaan yang selama ini sudah dijalani
bangsanya, lalu dengan mudah mengubahnya menjadi sebuah kalimat ‘KITA MASIH
DIJAJAH DAN BELUM MERDEKA!’.
Rokok pun disundut dengan
api, lalu dalam-dalam Sukirman menghisapnya perlahan. Saat ini tidak ada yang
lebih nikmat menurut Sukirman selain melepaskan sesal di dada bersamaan dengan
hembusan asap rokok yang keluar dari mulutnya.
Hal yang sama juga sering ia lakukan jauh
sebelum enam puluh delapan tahun yang lalu, ketika ia masih menggendong senjata
kesana kemari demi mengemban tugas sebagai pejuang veteran 45. Tetapi hal itu
ia lakukan tidak untuk meluruhkan sempit di dada, melainkan untuk menghilangkan
penat yang merasuki tubuhnya dan mengumpulkan tenaga kembali di sela-sela waktu
istirahat yang terbatas.
Diam-diam Sukirman mencoba
memutar ingatannya kembali yang ada jauh di kota Blitar di saat rekan-rekan
seperjuangannya dibrondong pasukan Belanda tatkala bersembunyi di belakang dagangan kios
kelontong milik orang Tionghoa saat mereka mencoba kabur dari kejaran pasukan
Belanda. Klise-klise bayangan akan kejadian tersebut berkelebat rapi dalam
memori usangnya. Kala itu setiap dari mereka berjanji, bahwa siapa saja yang
bisa lolos dan hidup harus meneruskan perjuangan kemerdekaan ini.
Sukirman yang pada saat
itu tergolong paling muda (belia), diajak oleh pemilik kios untuk naik ke balkon
lantai dua agar bersembunyi bersamanya. Di sana terdapat tempat persembunyian
yang sempit dan hanya cukup untuk dua orang. Sedangkan rekannya yang lain hanya
bisa menutupi badan mereka di balik dagangan-dagangan kios tersebut, sambil
sesekali mata mereka mengawasi keadaan
luar dari celah-celah kecil yang berada di antara tumpukan barang.
Sangat disayangkan, kecemasan mereka dalam
persembunyian berakhir suram. Karena dengan tanpa
sengaja salah satu anggota pasukan Belanda melihat kemana arah lari mereka.
Sehingga sesampainya mobil Jeep di depan kios tersebut, tujuh anggota pasukan
Belanda langsung mengarahkan senjata mereka ke arah kios tersebut lalu
menghujaninya dengan ratusan peluru tanpa ampun.
Mereka yang saat itu
sedang kehabisan amunisi tidak bisa berbuat apa-apa. Semua rekan Sukirman mati
mengenaskan penuh luka tembak di sekujur tubuh mereka. Untungnya tempat
persembunyian Sukirman dan pemilik kios benar-benar aman, sehingga ketika salah
satu anggota pasukan Belanda memeriksa ke balkon lantai dua ia tidak menemukan
mereka. Lalu setelah kondisi terkendali Sukirman akhirnya bisa menyelamatkan
diri kemudian kabur ke Batavia.
Semakin memutar rekaman
peristiwa tersebut, kian kental pula rasa sakit hati menyelimuti dirinya. Rayuan–rayuan angin seraya
berbisik menelusup sukma terdalam di relung hati Sukirman dan menghantarkannya
ke muara penyesalan tak bertepi yang memaksa ia untuk mencaci maki kehidupan
yang telah ia alami selama ini, “kenapa bukan aku yang tertembak ketika it?.
Kenapa harus aku yang menyaksikan bangsa ini diinjak-injak lebih keji dari
penjajahan Belanda atau Jepang sekalipu?. Percuma! aku hidup, kalau toh masih harus melihat bangsa ini
terpuruk”.
Selang beberapa waktu
terdengar lagi langkah kaki Maimunah dari dalam rumah. Sedangkan Sukirman masih
asyik memainkan asap-asap tembakau yang ia hisap lantas ia
keluarkan berhembus, sambil sesekali ia menyeruput kopinya. “Ini pak, ibu
bawakan pisang goreng buat menemani bapak”.
Kemudian Maimunah duduk
bersama Sukirman.
Setelah lima menit
berjalan belum ada sepatah kata tertutur dari mulut mereka, yang ada hanya
suara gesek dedaunan diterpa angin dari pohon mangga di depan rumah Sukirman.
Keduanya membisu layaknya sepasang kekasih yang sedang menikmati dunianya
masing-masing, tetapi secara batin mereka berdekatan. Suasana pun hening.
“Pak, ya mbok
cerita kalau ada masalah. Bagaima juga, aku sebagai isterimu ndak enak
melihat bapak termenung seperti itu terus,” Maimunah membuka
pembicaraaan.
Mereka memang pasangan
yang sangat harmonis sekaligus romantis. Karena di usia mereka yang cukup
lanjut, mereka masih dianugerahi umur panjang dan tubuh yang sehat, sehingga
masih bisa menikmati hari tua mereka berdua.
Budi, anak semata wayang mereka, sudah lama ingin mengajak Sukirman dan Maimunah untuk
tinggal bersama di rumahnya yang cukup besar dan nyaman. Tapi Sukirman menolak
dan lebih memilih tinggal di gubuknya yang sederhana. Baginya rumah mungil
tersebut lebih bisa menguatkan ia menjalani realita hidup yang seringkali tidak
berpihak kepada masyarakat kecil serta membuatnya sadar bahwa ia juga adalah
bagian dari mereka yang tak terpisahkan. Ketimbang jika ia mengamini ajakan
Budi untuk tinggal di kediaman mewahnya, suasana surga di dalam dunia yang fana
ini mungkin akan membuatnya lupa akan tangisan dan rintihan orang-orang tertindas
yang dulu pernah mengenyam asam garam bersama dan membutuhkan meski hanya
uluran kelingkingnya.
“Begini loh Bu, aku ini sedih melihat
nasib bangsa kita yang tidak lepas-lepas dari penjajahan,” kata Sukirman mulai
menjawab.
Dengan penuh rasa
penasaran, Maimunah kembali bertanya, “loh, bukannya kita sudah merdeka Pak?
Sekarang ini sudah tidak ada lagi bule-bule yang menodongkan senjata ke kita
dan memaksa kita untuk melakukan hal apapun yang mereka inginkan. Sekarang kita
bebas, berbuat apa saja yang kita mau selagi tidak mengganggu kepentingan orang
lain. Kita bebas belajar, berpendapat, berekpresi, berkarya dan masih banyak
hal-hal yang bisa kita lakukan tanpa batasan dan tekanan. Bukan begitu pak?”
Sukirman terdiam sambil
mulutnya mengunyah pisang goreng buatan istrinya. Matanya tertuju ke satu arah,
menandakan otaknya sedang bekerja keras merangkai kata untuk menjawab
pertanyaan istrinya. Memang agak sulit untuk mengungkapkan arti kemerdekaan
baginya kepada orang lain, kendati kepada istrinya sendiri.
“Bu, ibu pernah berfikir
tidak, berapa kekayaan yang bangsa kita miliki?”
“Yaa… banyak Pak.”
“Apa ibu juga pernah
berfikir, dari sekian banyak kekayaan bangsa kita, kemana perginya kekayaan
tersebut, dan siapa yang menikmati?” Kata Sukirman kembali bertanya kepada istrinya.
Maimunah termenung.
Selang beberapa detik
kemudian Sukirman melanjutkan pembicaraanya, “kalau seandainya bangsa ini yang
menikmati, harusnya sudah tidak ada orang-orang yang tinggal di pinggir rel
kereta api, apa lagi di kolong jembatan. Dan harusnya anak-anak bangsa yang ada
di plosok-plosok daerah sudah bisa mengenyam pendidikan setara dengan anak-anak
yang ada di perkotaan. Terkadang aku sangat miris melihat komposisi
kesejahteraan di Negara ini yang tak kunjung bisa merata. Memang sih Bu, sudah
menjadi sunnah kehidupan, ada kaya ada miskin, tapi kan paling tidak,
rakyat tidak sampai harus mengais rezeki dari sisa makanan yang ada di tong
sampah- tong sampah kaum elit”.
Maimunah menarik nafas
panjang, lalu menghembuskanya perlahan. Tidak
dapat dipungkiri apa yang dikatakan Sukirman adalah kenyataan sekalipun itu
pahit. “Yaaah… Mungkin pemerintah kita terlalu sibuk Pak!
Negara ini kan luas. Cukup rumit dan sulit untuk membangun Negara ini dengan
cepat. Sebaiknya kita percayakan saja kepada mereka-mereka yang sedang duduk
disana. Toh kewajiban kita sebagai warga kan mendukung pemimpinya, bukan begitu
Pak?”
“Nah, hal itulah yang aku
sesali selama ini.” Dengan tanpa jeda Sukirman kembali menimpali omongan
istrinya. “ Semenjak kudeta militer brutal tahun 1965, yang membawa Jenderal Soeharto ke puncak kepemimpinan, kita sudah ndak punya lagi
sosok pemimpin yang dapat dipercaya yang benar-benar ingin membawa bangsa ini
kearah perubahan. Karena zaman itu sudah mengkikis habis moral anak bangsa,
sehingga setiap diadakanya pemilu, kita tidak benar-benar memilih pemimpin. Sebab
yang menjadi caleg, cagub, atau capres sekalipun hanyalah
kandidat korup dengan kepentingan bisnisnya, melawan kandidat korup lainya
dengan kepentingan bisnisnya juga. Dengan kata lain Bu, bangsa ini masih terus
disetir oleh barat, selama kaum elite yang duduk di sana hanya
mementingkan kepentingan bisnisnya. Dan jika seandainya ada yang mencoba
mengadakan perubahan, pasti akan dihadang dengan segala cara”, kata Sukirman
panjang lebar kepada isterinya. Lalu ia kembali mengambil sebatang rokok, dan
menyeruput kopi hitamnya yang sudah dingin.
Percakapan mereka tentang
bangsa ini semakin asik. Sukirman yang mantan pejuang veteran 45 cukup apik
mengikuti perkembangan bangsanya. Mulai dari kasus-kasus kecil sampai kasus-kasus besar yang sedang terjadi di Negara ini. Sedangkan
Maimunah, yang mantan guru era penjajahan juga tidak kalah kritis dalam
menilai. Ia lebih mengedepankan realita yang dilihat oleh masyarakat kecil
seperti mereka tanpa harus mengusik apa yang terjadi sebenarnya di kalangan
kaum elit.
“Yaaah… Sudah lah Pak,
kita ini rakyat kecil bisa apa. Sekalipun kita berkoar-koar di bunderan HI
(Hotel Indonesia) pastinya tidak akan digubris. Harapan kita hanya doa. Dan
yang bisa kita lakukan untuk bangsa ini
adalah memperbaikinya dimulai dari diri kita sendiri,” kata Maimunah mencoba
menanggapi ucapan suaminya tadi.
Mereka kembali membisu.
Setelah percakapan panjang hanya diam yang dapat mereka simpulkan. Ya, seperti
itulah potret kebebasan berpendapat di Negara ini yang tidak pernah
tersampaikan. Rakyat hanya bisa berdebat satu sama lain tanpa ada sedikitpun
jalan untuk pendapatnya bisa didengar. Ribuan surat yang melayang ke kaum elit
semuanya berakhir menumpuk di gudang. Diarsipkan tanpa pernah dibuka apalagi
dibaca. Jutaan e-mail yang masuk hanya dibalas oleh pesan otomatis
bahkan terkadang dibiarkan sama sekali. Dan dari sekian banyak biro pelayanan
masyarakat yang ada, hampir semuanya sebatas kamuflase demi meraup keuntungan
pribadi untuk membuncitkan perut-perut mereka harus selalu terisi.
Di sela-sela keheningan, dari jauh
terdengar suara mobil yang mendekat ke arah rumah tua mereka.
“Budi!” kata Maimunah terperangah.
“Budi pak!”
Maimunah pun beranjak dari
tempat duduk lalu berjalan keluar pagar rumahnya dan berdiri menyambut kedatangan
mobil tersebut.
Budi memang rutin setiap
sebulan sekali mengunjungi kedua orang tuanya. Ia selalu meluangkan waktu di sela-sela kesibukanya yang cukup padat sebagai pejabat
pemerintah. Dan untuk bulan ini karena ada perayaan hari kemerdekaan 17
Agustus, sengaja setelah apel serta upacara bendera di kantor, ia mengajak kedua
anak laki-laki dan istrinya mengunjungi ayah dan ibunya.
Mobil pun berhenti, Budi
turun dan langsung menyalami ibunya, lalu diikuti oleh istri dan kedua anaknya, yang
bernama Eka dan Bagus. Setelah itu mereka
berdua berlarian masuk melewati pagar rumah kemudian
berebutan memeluk kakek mereka yang sedang duduk menunggu dibalai bambu.
“Kakeek!”
“Kakeek!” teriak mereka
bersahutan.
Sukirman pun menyambut
bahagia pelukan Eka dan Bagus. Tiada yang lebih menghibur selain kedatangan
anak, menantu beserta cucunya. Hidupnya terasa lebih lengkap dengan kehadiran
mereka berkunjung. Walaupun saat ini ia sedang diselimuti kekalutan yang tak
menentu.
“Bud, coba lihat bapakmu!”,
Maimunah membuka pembicaraan sembari memasuki pintu pagar.
“Dari tadi pagi, melamun
saja di teras rumah. Kerjanya hanya merokok dan minum kopi. Setiap 17 Agustus
pastiii seperti itu. Untungnya kamu datang jadi bapak agak terhibur oleh
jagoan-jagoan cilikmu.”
“Biar saja lah Bu! mungkin bapak ingin bernostalgia dengan kenangan-kenangan masa lalunya,” Budi
mencoba menetralisir keadaan.
“Yaa… tapi kan seharusnya
tidak seperti itu, coba kamu ajak mengobroll! Mungkin kali ini kamu bisa
merubah pandangan bapak tentang bangsa ini.”
“Baiklah Bu, saya coba.”
Lalu Budi dan isterinya
masuk dan menyalami bapaknya yang sedang asik bercengkrama bersama kedua
cucunya.
“Bapak sehat?”
“Alhamdulillah, bagaimana
pekerjaanmu Bud? Lancar?” Sukirman menjawab dengan nada khas kebapak-bapakanya.
“Eka, Bagus, main dulu
sana sama mama dan nenek, kakek mau bicara sebentar sama ayah kalian. Nanti
kalau sudah selesai kita lanjut lagi main perang-peranganya.”
Sembari mengambil posisi
duduk di samping ayahnya, Budi mulai berbicara, “Pak, bapak tau ndak, sudah berapa lama bangsa
ini merdeka?”
“Sudah 68 tahun toh?” jawab Sukirman.
“Bukan Pak! Bangsa ini
sudah merdeka jauh sebelum 68 tahun yang lalu,”
“Loh… ko kamu bisa bilang begitu Bud?” Sukirman balik
bertanya.
“Proklamasi yang dibacakan oleh Presiden
Soekarno hanyalah sekedar simbol
kemerdekaan bukan kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan yang sesungguhnya
ada di dalam jiwa setiap anak bangsa Indonesia. Karena jiwa merdeka merekalah
yang mendorong simbol itu dapat terwujud. Dan bapak sudah menanamkan jiwa itu
dalam diri Budi, hingga Budi bisa menjadi seperti sekarang.”
“Haha…” Sukirman tertawa
kecil sambil menepuk-nepuk pundak anaknya. “Benar sekali apa yang kamu katakan, Bud, kok bapak baru sadar yaa!”
Lantas Budi menyambung
lagi, “O ya, Bapak ingat ndak, Bapak kan pernah mengutipkan perkataan Napoleon
Hill sewaktu Budi masih SMP dulu, dan perkataan itu masih Budi ingat sampai
sekarang.”
‘Jika kau tidak bahagia
dengan duniamu dan ingin mengubahnya, tempat untuk memulainya adalah dirimu
sendiri.’
“Haha… Bapak sendiri sudah
lupa, Bud. Kalau bapak
pernah mengutip kata-kata tersebut.” Sukirman kembali tertawa kecil sambil
pikiranya mendalami makna kalimat tersebut.
Dan tak lama ia
melanjutkan perkataanya, “itu sama ibarat secangkir kopi ini Bud! Dia akan
tetap pahit selama kita tidak mau menuangkan gula kedalamnya. Kita tinggal
memilih, membiarkanya tetap pahit, atau menjadikanya manis.
Apalah arti kita rakyat
kecil di antara ratusan juta warga Indonesia. Mungkin kita tidak bisa merubah
bangsa ini dengan hanya membalik telapak tangan. Tetapi harapan kita akan
bangsa ini bisa terwujud sedikit demi sedikit dimulai dari diri kita yang
menanamkan benih-benih jiwa merdeka kepada keturunan kita yang terkandung di dalamnya
budi pekerti yang luhur. Karena kemerdekaan mengajarkan kita arti perjuangan,
pengorbanan, cinta, kasih sayang dan harapan akan masa depan yang lebih baik.”
“Betul sekali, Pak. Hahaha…!”
Tawa lepas akhirnya
menghiasi bibir mereka berdua. Sukirman sadar, bahwa kemerdekaan bukanlah
sebuah teks proklamasi yang dibacakan ataupun bebasnya Negara dari penjajahan.
Tapi kemerdekaan adalah kebebasan jiwa untuk mengendalikan pikiran dan hati untuk
berbuat yang terbaik dengan sekuat tekad demi kemajuan negeri tercinta,
Indonesia.
Berapa banyak orang bebas
tapi jiwanya terjajah. Dan berapa banyak orang hidup dibalik jeruji besi, tapi
akal, pikiran dan hatinya terbang bebas melalang buana mengukir sebuah teori
hidup membangunkan jiwa-jiwa yang mati.