Friday, October 20, 2017

Sujud yang Didengar




Sejak perkenalanku dengan Sagitarius pujaan hatiku semakin intim, walaupun laut memisahkan kami ribuan kilometer, aku mencoba mengutarakan keseriusanku kepada orang tuaku, dalam hal ini hanya tinggal Ibuku seorang. Karena ayahku sudah tiada. 

Kutunjukkan fotonya kepada Ibuku, Ibuku tersenyum. Lalu bertanya, orang mana?

 “orang Sukabumi, Ma, tapi tinggalnya di Brunei.”

“Yaa… klo bisa sih, Ki, cari calon pendamping yang deket-deket aja, yang bisa keliatan mata”

“Kalau jodohnya emang jauh di sana gimana, Ma?”
“Yaudah, gak usah buru-buru banget, pelan-pelan aja.”

Pengenalan pertama Sagitarius ke Ibuku hanya mendapat tanggapan dingin, layaknya orang tua yang berfikiran anaknya hanya cinta monyet sesaat. Tertarik para paras sekejap, lalu hilang ingatan saat manghrib tiba. 

Tapi mungkin Ibuku saat itu sedang banyak fikiran, sehingga lupa jika anaknya sudah bukan anak SD yang sedang jatuh cinta. Tapi anak berumur yang sedang merajut asa membina keluarga. Dengan idealisme di dalam dada, mencoba mewujudkan semua mimpi menjadi nyata, walaupun pada kenyatannya sering pula jatuh terluka. 

Selang percakapan saat itu, aku coba untuk tidak membahas hal tersebut kepada Ibu, aku mencoba menata waktu yang lebih baik sembari aktifitas lain juga berjalan dengan apik. Hingga pada kesempatan kedua, aku kembali mengajukan proposal yang sama kepada Ibuku. Namun jawaban yang kudapat, juga tetap sama seperti jawaban awal. “Nyari calon pendamping harus yang jelas, tau orangnya dimana, mana keluarganya, bukan lewat facebook gitu!”

Mendengar jawaban ke 2 dari Ibuku yang lebih keras, aku merasa tertantang untuk membuktikan apa yang menjadi pilihanku itu tidak salah, aku juga ingin membuktikan, facbook atau social media lainnya hanyalah perantara, hakikatnya tetap Allah lah yang mepertemukan.

Saat itu bulan September 2015, aku bertekad. Apapun caranya, aku harus sampai ke Brunei.

Perlahan, aku mencoba mencari cara, dimulai dari menanyakan harga tiket ke Brunei ke beberapa rekanku yang memiliki agen biro perjalanan. Namun ternyata harga tiket yang ada tidak ada yang sesuai dengan budget yang aku miliki. Melihat perbandingan yang sangat jauh antara harga tiket dengan uang yang aku punya rasanya seperti mustahil aku akan sampai menemui Sagitariusku di Brunei. Rasanya seperti akan mengalah dengan kata-kata Ibuku, “nyari calon pendamping yang dekat-dekat saja, yang kelihatan mata!”

Namun setiap kali ada kata-kata itu berkelebat dalam pikiranku, jiwa idealisku semakin bangkit dan berusaha mencari cara agar aku dapat sampai ke Brunei. Paling tidak, tiket sudah di tangan, urusan disana bagaimana itu belakangan. 

Akhirnya setelah lama memutar otak, browsing sana-sini belum terlihat titik terang, aku putuskan untuk shalat 2 rokaat, memohon petunjuk serta rahmat-Nya, atas semua hajat. Dalam hatiku berucap, “Yaa Rabb, jika memang ia jodohku, pastilah akan Engkau tunjukkan jalanku menemuinya di sana. Jika bukan Yaa Rabb, jadikanlah ia jodohku apapun caranya sesuai denga Ridho-Mu Yaa Rabb.”

Tak lama setelah salam ku ucap, tanda sholat usai kudirikan, aku teringat, bahwa aku punya teman di Maskapai Air Asia. 

Tanpa menunggu lama, saat itu arlojiku menunjukkan waktu pukul 22.15, aku masih ingat sekali. Segera kukirimkan pesan whatsapp kepadanya:

“Allo bro, lama gak berkabar ni. Apa kabarnya. Sorry bro ganggu. Mau nanya ni. Air asia ada tiket murah gak ke Brunei untuk akhir November 2015. Gue tanya temen kita yang di travel katanya di jaringan dia gak ada”

Pesanku belum dibaca olehnya malam itu. Mungkin ia tertidur atau sedang dinas, kebetulan kawanku seorang pramugara di Maskapai tersebut. 

Keesokan harinya setelah sholat subuh, kubuka layat smartphoneku, kulihat ada balasan dari kawanku:

“Oii… Fik, sehat2 gue. Sorry baru bales. Masa sih, Fik gak kebaca schedulnya? Masih banyak kursi kosong ko. Coba lo download airasia mobile deh, lo bisa cari tiket promo di sana juga bisa nentuin sendiri harga tiketnya sesuai budget yang lo punya.”

“Gitu yaa…”

“Iyaa coba aja… lo bisa kurangin bbrp item yang gak lo perluin kayak bagasi misalnya buat ngurangin ratenya.”

“Oke sip… gue coba”

Tanpa pikir panjang, langsung aku download aplikasi tersebut, lalu aku operasikan sesuai petunjuk kawanku sebelumnya. Dan benar saja, aku bisa mendapatkan harga sesuai dengan apa yang aku punya saat itu. 

Baru kali itu rasanya aku sujud berdoa yang jawaban doanya langsung didengar. Semakin terbuka jalan, semakin kuat lagi keyakinanku akan dia jodohku.

Cintaku Bersemi di Facebook



Sebelum jemariku rapuh tak mampu mengetik di atas keyboard. Sebelum bibirku kelu tak mampu berucap. Sebelum raga ini menjadi seonggok daging yang terbujur kaku. Inginku goreskan sebuah kejujuran hati dari relung yang terdalam yang dimiliki jasad ini. 

Mungkin judulnya terbilang aneh, namun inilah faktanya. Realita yang aku alami dan aku jalani. Tidak lupa sebelum aku bercerita panjang lebar, terima kasihku aku ucapkan juga kepada pendiri facebook, dan social media lainnya yang telah menjadi perantara kisah cintaku dengan sagitarius pilihanku. Dengan adanya media di zaman modern seperti ini, semakin mudah bagi kita untuk meninggalkan sejarah bagi keturunan kita. Bagaimanapun keturunan kita harus tau bahwa mereka punya nenek moyang. Mereka punya sejarah untuk diambil pelajarannya.

Paling tidak, jika nanti kita hanya tinggal sebuah nama di atas batu nisan, keturunan kita masih bisa bercengkrama dengan kita lewat sebuah tulisan.  

2012, tahun aku pertama kali aku bertemu dengannya di layar pc, Cliquerz Verarrian. Awalnya sapaan salamku hanya dianggap angin lalu olehnya. Bertahun-tahun aku mencoba menyapanya, namun tak jua ada sedikitpun balasan darinya. Dimulai dari tahun 2012, 2013, 2014, semua respon yang kudapat hanya dingin tak bertepi. Tak ada balasan salam atau bahkan emoticon senyum yang aku dapat. Bahkan dibaca pun tidak olehnya. 

Namun hal tersebut tak membuat hatiku pupus. Saat pertama kali ku menyapanya di tahun 2012, aku sudah pernah berjanji dalam hati, bahwa suatu saat nanti, aku akan membuatnya jatuh hati kepadaku, entah bagaimana dan seperti apa caranya, jika berjodoh, Allah lah yang akan menentukan dan membuka jalannya. Biar waktu dan takdir yang membuat semua indah pada waktunya.

Lama waktu berjalan, aku juga disibukkan dengan kuliahku di Yaman, rasanya taka da waktu untuk memikirkan balasan pesanku di facebook darinya. Hanya saja ibarat pepatah lama, pucuk di cinta ulam pun tiba. Awal 2015 pesan inboxku dibaca dan dibalas olehnya, meski hanya sekedar balasan ucapan salamku dari tahun 2012, “walaikumsalam”.

Melihat nama facebooknya muncul di layar handponeku mengirim pesan, hatiku pun berbunga-bunga. Entah apa yang ada di fikiranku, aku tak mampu berfikir untuk merangkai kata, hanya sebuah gerakan reflek jari yang aku lakukan. Segera aku buka pesan itu lalu aku balas sekenanya, “apa kabar? Masih di Brunei?”

Aku tahu ia sedang studi di Brunei melalui stalking akun facebooknya. Ia seorang WNI yang sedang melanjutkan studinya di Brunei Darussalam.

Akhirnya, setelah salam terakhirku dari sekian banyak salam yang aku ucapkan, mulai dari sanalah, hubungan kami lebih sering dan lebih intens lagi. Kami sering bertanya kabar, sharing pengalaman, dan banyak hal yang kami bagi bersama melalui perantara layar handphone ataupun laptop.

Banyak orang bilang, kenalan di facebook atau social media lainnya banyak hoaxnya, banyak orang menipu. Pada banyak kejadian memang seperti itu. Karena diantara teman-temanku ada beberapa yang mengalami penipuan dengan kenalan facebooknya. Di foto cantik, ketika bertemu, ternyata buruk rupa.  

Membangun sebuah kepercayaan melalui social media memang tidak mudah, harus benar-benar saling jujur apa adanya dengan keadaan masing-masing. Yang membuat aku semakin serius yaitu ketika aku mulai dekat dan sering mengobrol dengannya. Aku langsung dikenalkan ke Ibunya, karena ibunya juga cukup protektif kepadanya agar tidak sembarangan berkenalan di social media.

Dari pengalamanku, tidak ada yang negatif tentang social media, semua tergantung bagaimana kita menggunakan dan berinteraksi dengan orang-orang di dalamnya. Kita dapat bertemu banyak teman, namun kita juga bisa berhadapan dengan banyak musuh di social media, semua tergantung bagaimana kita menyikapi segala respon yang timbul akibat interaksi di social media ataupun internet pada umumnya.

Ini baru penggalan awal dari kisah cintaku dengan sagitariusku. Ikuti lanjutannya hanya di blog ini…

Monday, January 30, 2017

Keluarga Harmonis


Keluarga harmonis menurut pandangan gue tidak jauh berbeda dengan pandangan orang pada umumnya. Keluarga harmonis yang ada di bayangan gue yaitu sebuah keluarga yang rukun, saling mendukung dan saling mencintai, sebagaimana yang sering kita dengar dalam ucapan selamat atas pernikahan seseorang, sakinah, mawaddah, wa rohmah.
Gue rasa semua orang sepakat, bahwasannya keluarga yang demikian adalah impian mereka juga. Impian yang mereka kejar dan untuk mendapatkannya mereka rela mengorbankan waktu, pikiran dan perasaan untuk mewujudkan itu semua. Namun pada realita yang kita sering amati, tidak sedikit dari sebuah keluarga yang berujung tidak harmonis. Mengapa? Simak penjelasan gue yang gak penting ini… hehe…
Pada dasarnya, manusia diciptakan satu paket dengan egonya masing – masing. Setiap orang yang terlahir ke dunia, sudah Allah takdirkan untuk mempunyai berbagai macam rasa yang ingin dicapai oleh nafsunya. Sudah menjadi fitrah, manusia terlahir ingin merasakan disayangi, diperhatikan, dianggap, dikasihi, dan rasa – rasa lainnya yang semua orang pasti juga ingin mendapatkannya. Tapi Allah Maha adil, untuk mengatur semua rasa yang dimiliki manusia yang bersumber dari nafsunya, agar satu sama lain tidak bertentangan, Allah mensyariatkan sebuah hukum fundamental bagi setiap manusia yang tercipta, yaitu hak dan kewajiban.
Misal, ketika seorang lelaki meminang seorang wanita untuk menjadi istrinya, maka ketika itu pula hak dan kewajiban diantara keduanya itu melekat satu sama lain, tidak ada yang lebih tinggi antara hak atau kewajiban seorang suami terhadap istri, begitu pula sebaliknya. Suami mempunyai hak dan kewajiban terhadap istri, istri juga punya hak dan kewajiban terhadap suami. Agar perjalanan mereka harmonis, baik suami atau istri harus saling menghormati antara hak dan kewajiban mereka masing – masing
Ketika terlahir seorang anak ke dunia juga demikian, dengan terlahirnya seorang anak maka melekatlah hak dan kewajiban antara orang tua terhadap anaknya dan begitu pula sebaliknya.
Tapi sayang, terkadang kita sebagai manusia lalai akan nafsu dan ego kita sendiri. Kita sering kali merasa angkuh, bahkan terhadap keluarga kita sendiri. Tidak sedikit seorang suami yang menganggap haknya lebih tinggi dibanding istrinya karena merasa ia telah memenuhi semua kewajibannya. Tidak sedikit pula, seorang istri yang menuntut haknya di depan suaminya karena merasa semua kewajiban terhadap suaminya sudah tuntas.
Tidak sedikit pula orang tua yang merasa haknya lebih tinggi dari pada anaknya, lantaran ia merasa sudah memenuhi semua kewajiban terhadap anaknya, dan tidak sedikit pula anak yang menuntut orang tuanya dengan berbagai macam tuntutan dikarenakan merasa kewajibannya terhadap orang tuanya sudah ia penuhi.
Jika sudah seperti ini, maka yang akan timbul selanjutnya adalah tuntutan – tuntutan tanpa akhir atas hak – hak yang merasa kewajibannya sudah terpenuhi, “aku sudah turuti semua maumu, harusnya kamu sekarang yang mengikuti mauku.
Kamu ini anak tidak tahu diuntung, harusnya kamu bersyukur papa mamamu masih bisa menyekolahkanmu setinggi ini.
Aku sudah turuti semua kemauan papa mama, masuk sekolah unggulan, lulus SMPTN, masa sekarang ketika memilih pasangan harus papa mama juga yang menentukan?” Dan masih banyak lagi ungkapan – ungkapan pertengkaran dalam sebuah keluarga yang kebanyakan semuanya adalah tuntuan atas hak yang belum terpenuni.
Keluarga harmonis tidak seperti itu, keluarga harmonis menjalankan kekeluargaan mereka dengan rasa cinta. Bukan atas dasar hak dan kewajiban semata. Seorang ayah bekerja keras banting tulang karena ia cinta kepada anak dan istrinya. Seorang anak giat dan rajin belajar hingga berprestasi karena ia sayang dan cinta kepada orang tuanya. Semua yang dilakukan atas dasar cinta.
Dengan cinta hubungan timbal balik akan berjalan mulus. Orang tua yang cinta kepada anaknya, akan bersyukur dengan segala kekurangan anaknya, mendukung pilihan – pilihannya, serta memberikan segala yang terbaik untuk anaknya tanpa anak harus meminta.
Anak yang cinta kepada orang tuanya, suami yang cinta kepada istrinya, istri yang cinta kepada suaminya, semua berjalan demikian. Tidak ada yang berat untuk dilakukan, dijalani, dan dihadapi selama landasan mereka cinta dan kasih sayang.
Cinta akan membuat seseorang bersyukur atas segala keterbatasan, kekurangan, bahkan kekhilafan pasangannya. Cinta akan membuat orang tua bersyukur atas hadirnya seorang anak dalam kehidupannya, sekalipun ia hadir tidak sempurna.
Salahnya persepsi kebanyakan orang yang menjadikan hubungan keluarga mereka hanya sebatas hak dan kewajiban yang terpenuhi adalah, karena mereka hanya terfokus kepada hal tersebut, tapi lupa bagaimana menanamkan rasa cinta diantara mereka.
Cinta tidak datang secara otomatis, tapi melalui interaksi, dan pengorbanan – pengorbanan hati. Untuk bisa mengajarkan rasa cinta, yaitu dengan mencintai. Dengan begitu, hubungan harmonispun bisa tercipta.
Mungkin itu opini gue, buat yang punya pendapat lain, bisa diskusi di sini yaa… thx for visiting my blog.