Monday, April 20, 2015

Selamat jalan, Pa....

Ini postingan pertama gue di tahun 2015. Tahun yang benar-benar begitu mewarnai hidup gue. Di tahun ini gue ngerasain bahagia, senang, risau, sedih, dan segala rasa yang ada dalam satu paket. Asli, tahun ini Allah benar-benar ngasih ke gue sebuah gambaran hidup yang bakal gue jalanin entah 10, 20, atau 30 th ke depan yang hanya Ia yang tau kapan gue harus berhenti.
Bahagianya gue di tahun ini, pertama, gue bisa pulang ke temu keluarga, setelah sekian lama gak ketemu, dan gue bisa menemui mereka dalam keadaan sehat walafiat. Itu tepatnya di November 2014.
Bahagianya gue yang ke dua di tahun 2015 itu karena gue bisa ikut repot ngurusin pernikahan adik gue tersayang, Fira, di awal Februari 2015. Mungkin antara November 2014 sampai Februari 2015 adalah momen paling indah yang gue punya bersama keluarga. Bonyok gue sehat, dan adik gue udah punya suami yang sayang sama dia.
Pertengahan Februari 2015, gue harus balik lagi ke Yaman, lantaran Exit permit gue udah abis. Jatah yang singkat, 3 bulan. Belum habis rasa kangen gue, eh… tau-tau gue udah harus berkelana lagi. Yaaah, gitu deh, namanya juga hidup.
Terus terang, gue ngerasain keberangkatan gue di pertengahan Februari itu gak kayak biasanya. Gue udah biasa banget melanglang buana entah kemana, dan itu gue jalani dengan happy. Tapi keberangkatan kali ini sangat berbeda. Berat banget rasanya mau ninggalin keluarga, terutama Bonyok. Tapi apa boleh buat, gue harus tetap berangkat.
Kurang dari dua bulan gue di Yaman, konflik yang ada di Negara tersebut berubah menjadi peperangan. Sebabnya apa? Nanti deh, kapan-kapan gue bahas di tulisan-tulisan gue yang lain. Akhirnya pemerintah Indonesia mengadakan evakuasi besar-besaran untuk semua WNI yang ada di Yaman.
Untuk tempat yang gue tinggalin sih, sampai saat ini masih terbilang aman, walaupun imbas dari terjadinya perang mulai terasa. Sebelum ada evakuasi Nyokap gue udah wanti-wanti, “Fiki, mama ngerti daerah Fiki aman, tapi kalau pemerintah Indonesia sudah mengadakan evakuasi untuk WNI, Fiki harus pulang!.”
Benar aja, awal April, perwakilan Kemenlu datang ke tempat gue di Tarim, Hadhromaut, Yaman. Setelah mengadakan pertemuan dengan mahasiswa, mereka langsung membuka pendaftaran evakuasi, dan gue langsung ikutan daftar. Tepat hari sabtu 11 April 2015 kemarin gue sampai di bandara Soetta di jemput bokap.
Perasaan gue senang banget waktu itu. Dalam hati, ‘mungkin ini benar-benar kesempatan yang Allah kasih buat gue bisa bercengkrama bersama keluarga.’ Gue lihat muka Bokap gue segar banget, senyumnya juga cerah, gak ada sedikitpun tanda-tanda dia sakit. Emang sih, bokap gue penderita gagal ginjal yang sudah divonis harus cuci darah sejak 10 th yang lalu, dan akhirnya menjalani cuci darah sejak th 2009, tapi jujur, bokap gue sama sekali gak ada tampang orang penderita HD (hemodialisa) pada umumnya. Karena setiap kali gue nganter Bokap cuci darah, gue lihat, temen-temen bokap tu pada menghitam kulitnya, loyo-loyo, dan gak punya gairah hidup sama sekali.
Alhamdulillah Bokap gue gak gitu. Bokap terlihat bugar, hidupnya semangat, ibadanya rajin pula. Hampir semua yang sunnah tetap di jalani. Bokap Emang sakit, tapi untuk ibadah dia selalu bilang sama dirinya sendiri, ‘saya sehat.’
Hari senin kemarin, 13 April 2015, Bokap meriang di subuh hari. Nyokap gue udah bilang ke Bokap, “Pa, gak usah ke Masjid, sholat di rumah aja. Akhirnya Bokap duduk di sofa dan Nyokap gue nungguin di sampingnya.
Gak lama kemudian, terdengar dari rumah suara Ahmad (ipar gue) udah jadi imam sholat subuh. Ketika itu gue lagi gak ada di rumah, gue di rumah Ustadz gue di Citayam. Nah, nyokap izin deh tu sama Bokap buat ke kamar mandi ambil air wudlu, “tu, Pa. Ahmad dah jadi Imam, mama wudlu dulu yaa.”
Pas keluar dari kamar mandi, Nyokap kaget, Bokap gue udah nggak ada di sofa, ternyata Bokap maksain ke masjid. Benar aja, gak lama setelah sholat subuh selesai Bokap gue balik dari masjid dengan dipapah. Tangan dan kaki kirinya sudah kebas gak berasa. Asumsi nyokap, Bokap gue kena serangan struk.
Saat itu juga Bokap langsung dilariin ke RS. Meilia. Gue yang waktu itu masih di perjalanan pulang sama sekali gak dikasih kabar keadaan Bokap. Mungkin Nyokap takut, kalau gue dikabarin, gue bakalan panik, dan gak konsen menyetir mobil.
Baru selesai parkir mobil di halaman rumah, mak tuo gue teriak, “Fiki! Buruan, papanya udah di bawa ke Meilia.” Gak pake pikir panjang, gue langsung ambil mobil dan bergegas ke Meilia.
Sesampainya di sana, gue langsung ke IGD, gue nemuin Bokap, Nyokap gue berdiri di sampingnya. “Ini Fiki, Pa. Fiki udah datang”, kata Nyokap ke Bokap. “Mana Fiki, sini!” Gue langsung deketin Bokap gue. Gue dirangkul abis-abisan.
“Maafin Papa yaa, Ki, klo Papa banyak salah ke Fiki. Doain Papa semoga Allah mengampuni dosa-dosa Papa yaa, Ki.” Hati gue langsung hancur seketika itu juga, gue gak bisa ngomong apa-apa. Cuma air mata yang netes terus di pipi. “Enggak, Pa. Papa gak ada salah sama Fiki, Papa sabar yaa, abis ini Papa diobatin. Papa pasti sembuh.”
Gue terus nemenin Bokap di sampingnya, sementara nyokap lagi diskusi sama dokter. Dan gak lama setelah itu, karena Bokap gue ngeluh kesakitan terus di kepalanya, dan Bokap gak ada henti-hentinya meneriakkan takbir dan istighfar untuk menahan rasa sakit, dokter memutuskan untuk melakukan CT. Scan guna melihat apa yang terjadi di kepala Bokap.
Setelah sejam berlalu, hasil CT. Scan pun diterima. Ternyata Bokap kena serangan struk yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah. Sehingga terjadi penggumpalan darah yang menekan otaknya. Dari hasil CT. Scan diketahui bahwasannya, luas penggumpalan darah yang ada di otak sudah mencapai 52%. Jika seperti itu tindakan yang harus diambil adala operasi, guna mengeluarkan darah yang menggumpal dan menyumbat pembuluh darah yang pecah. Diketahui pula sebab pecahnya pembuluh darah di kepala bokap adalah akibat tekanan darah yang terlalu tinggi dan tidak beraturan.
Akhirnya, keluarga sepakat untuk mengambil tindakan operasi. Mengapa? Karena konsekuensi dari tidak atau dilakukannya operasi itu sama. Kalau tidak dioperasi, pendarahan di otak semakin melebar, bokap terus kesakitan, dan akan mengalami kelumpuhan total, alias koma. Sedangkan kalau dioperasi, yang menjadi masalah adalah bokap penderita HD yang kadar kreatininnya di atas rata-rata orang pada umumnya, meskipun sudah cuci darah.
Kalau orang pada umumnya, kadar kreatinin dalam tubuhnya itu 0-1, sedangakan penderita gagal ginjal yang cuci darah bisa sampai 14. Adapun setelah dicuci darahnya, paling maksimal kadar kreatinin hanya bisa menyentuh angka 4-5. Dan keratinin itu pengaruhnya sangat rentan terhadap proses anastesi.
Semua konsekuensi hasilnya sangat memberatkan, tapi jika tidak dioperasi, kita tidak ada ikhtiarnya sama sekali, sedangkan jalan satu-satunya hanya operasi.
Sambil menunggu waktu operasi, bokap dilarikan dulu ke ICU untuk penanganan lebih intensif. Gak lama, sesampainya di ruang ICU azan Zuhur berkumandang. Sementara dari tadi bokap masih terus kesakitan. Gue cuma bisa meratap sambil bantuin bokap istighfar. “Papa mau sholat, Ki, udah Zuhur,” Bokap bilang ke gue sambil menatap selang-selang dan kabel-kabel yang ada di sekujur tubuhnya, maksudnya bokap mau wudlu dan sholat seperti biasanya. “Gak bisa, Pa, Papa sholatnya gini aja, yaa…” jawab gue.
“Yaaaah, klo gitu sholatnya buat hurmatul waqti[i] dong!”
“Iya, nanti, kalau Papa udah sembuh baru di qodho.”
Bokap akhirnya nurut apa kata gue, dan dia sholat semampunya. Dalem hati, ‘Allah ngasih ujian ini ke Bokap, pastinya Allah tau lah, dalam lubuk hati bokap, gak ada niatan sama sekali mengkhianati-Nya.’
Gue melihat bokap sholat ketika itu kayaknya tenaaaaaang banget. Seakan-akan rasa sakitnya hilang dari tubuhnya seketika ia melakukan takbiratul ihrom “Allahu Akbar.” Dan setelah salam, bokap bisa tertidur pulas. Sholatnya sudah berasil membuatnya lupa dengan sakitnya.
Estimasi, operasi akan dilakukan malam ini juga. Tapi sebelum itu, bokap harus cuci darah dulu, guna menurunkan kadar kreatinin dalam tubuhnya dan membuat dirinya sediktit lebih segar. Jam 4 sore bokap dipindah dari ruangan ICU ke tempat cuci darah. Sudah semenjak bangun dari tidurnya tadi bokap kembali kesakitan dan tak henti-hentinya meneriakkan takbir dan istighfar. Tapi setelah cuci darah di mulai, bokap baru agak sedikit tenang. Karena sudah dari pagi bokap menahan rasa badan yang gak enak, berhubung hari senin ini adalah jadwal rutinnya bokap cuci darah. Dan setiap pasien HD memang seperti itu, kalau sudah waktunya cuci, tapi belum di cuci, badan rasanya gak enak bukan main.
Gak lalma kemudian, Bokap pun bisa tertidur kembali.
Tepat sebelum maghrib, bokap kembali terbangun, rupanya bokap ingat kalau bokap belum sholat Ashar, “Kalau waktunya sholat, Papa diingetin dong, Ki, jangan dibiarin!” sambil agak sedikit tinggi nadanya bokap ngomong ke gue. “Iya, Pa”. Cuma itu yang bisa gue jawab, dan gak lama bokap kembali larut dalam sholatnya.
Cuci darah akhirnya selesai, jam 20.30 Bokap di bawa menuju kamar operasi. Semua keluarga, tetangga yang ketika itu menjenguk, dan murid-murid bokap ikut berkumpul di depan ruang operasi. Gue gak tau gimana caranya ngungkapin rasa yang berkecamuk dalam diri gue. Di depan bokap gue harus tetap keliatan tegar, dan gak boleh sedih, itu pesan nyokap, “Fiki gak boleh keliatan sedih di depan Papa”.
“Mohon maafnya yaa semuanya. Maafin Papa yaa, Ma, Ra, Ki. Doain Papa yaa. Semuanya, doain saya yaa.” Dalam keadaan seperti itu, bokap masih keliatan tegar dan gak gentar sedikitpun. Ia sudah ikhlas dengan jalan Allah yang tertuliskan untuknya.
Gue lihat, air mata gak ada hentinya mengalir dari orang-orang yang ada ketika itu. Setelah selesai berpamitan, jam 21.00 bokap masuk ke ruang operasi. Baru ketika itu tumpah semua air mata yang sudah gue tahan dari tadi. Benar-benar hancur hati gue, gue seakan-seakan lagi bermain undian sama Allah yang gue gak tau ketentuan apa yang akan Allah tuliskan buat Bokap.
Setelah bokap masuk ruang operasi, semua yang mengantar Bokap pulang, cuma tinggal gue sama nyokap yang menunggu di ruang tunggu. Adik gue pulang karena dia lagi hamil muda. Tapi gak lama setelah itu, bang Ifan dan Ka Lia datang sama suaminya. Jadilah kita berlima ketar ketir menunggu hasil operasi.
Operasi, dimulai pukul 21.30, setengah jam setelah bokap masuk kamar operasi. Estimasi dokter Saleh spesialis bedah syaraf, operasi akan berlangsung selama dua setengah jam. Jadi kurang lebih tepat pukul 00.00 operasi selesai.
Tapi Alhamdulillah, jam 23.00, perawat dari kamar operasi dateng ke ruang tunggu ICU, “keluarga Bpk. Hasyim!” kata perawat manggil gue, nyokap dan sepupu2 gue, “operasi selesai dan berjalan lancar, ibu ditunggu dokter Saleh di ruangannya.” Akhirnya gue, nyokap, dan sepupu yang laen buru-buru nemuin dokter Saleh.
“Selamat ibu, operasinya berhasil. Semua diluar yang saya perkirakan. Perkiraan operasi dua setengah jam, Alhamdulillah bisa selesai hanya dalam satu jam setengah, semua berjalan lancar”. Bokap pun setelah itu dipindahkan ke ruang ICU.
Hati gue lega banget waktu itu, dan sepupu gue pun pulang dengan tenang setelah mendengar kabar operasi berhasil. Mereka akhirnya mohon diri, dan yang menginap cuma gue sama nyokap. Gue sama nyokap pun beristirahat.
Ternyata gak selesai sampe di situ, pukul 01.00 gue sama nyokap dipanggil lagi, “keluarga Bpk. Hasyim!” Sontak nyokap langsung kebangun dan menghampiri perawat yang datang. “Ini ibu, bapak darahnya tinggi lagi, tensinya mencapai 230/100. Jadi bapak harus diberi obat penurun tensinya.”
“Owh begitu….”
“Iya, Ibu, Ibu silahkan tanda tangan di sini,” kata perawatnya. Setelah itu nyokap kembali istirahat.
Masih berat rasanya mata untuk terbuka, sebelum subuh, kami dipanggil lagi, “keluarga Bpk. Hasyim!” gila emang, setiap kali perawat datang, kami lagi-lagi dibikin deg-degan. Kami terus berharap-harap cemas menunggu kabar yang dia bawa. Perasaan cemas tersebut bukan hanya kami yang merasakan, tapi semua yang menuggui pasien ICU merasakan rasa yang sama, “Ibu, kesadaran bapak menurun, bapak tidak bisa bernafas secara normal, jadi kita harus memasangkan ventilator (alat bantu pernafasan) pada bapak.”
“Owh begitu, baiklah suster...” kata nyokap.
“Terima kasih ibu, silahkan tanda tangan di sini!”
Dan mulai saat itu Bokap udah gak sadarkan diri, alias koma. Sampai hari rabu sore, 15 April 20, 2015 gue dipanggil oleh dokter Saleh spesialis bedah syaraf. “Dek, tadi kami baru saja melakukan tes batang otak, dan hasilnya negatif. Tidak optimal. Artinya, semua yang bekerja di bapak 100 persen mesin. Tidak ada respon sama sekali dari Bapak. In syaa Allah besok, kita akan melakukan tes batang otak sekali lagi, jika hasilnya masih tetap sama, itu tandanya keluarga sudah bisa harus mengikhlaskan. Setelah itu kita akan melepas semua alat yang menempel pada Bapak, hanya ventilator saja yang akan kita biarkan tetap terpasang.”
Asli, gue gak tau harus bagaimana lagi. Gue cuma bisa pasrah sambil terus mengupdate kabar ke kerabat agar terus mendoakan Bokap. Gue berharap apa yang baru gue dengar hari itu hanya mimpi, trus gue bangun dan melihat Bokap baik-baik aja. Atau, kalaupun itu benar-benar nyata, gue berharap, keajaiban terjadi, Bokap tiba-tiba sembuh, atau apalah yang jelas bukan kesedihan yang gue harapkan.
Tapi ternyata enggak, sunnatullah tetap berjalan. Bokap tetap koma sampai esok harinya. Tepat hari Kamis, 16 April 2015 jam 07.00 pagi, pas gue sama nyokap mau sarapan, perawat datang ke ruang tunggu ICU, dan lagi-lagi, “keluarga Bpk. Hasyim!”
“Iya, suster, ada apa?”
“Ibu dipanggil dr. Saleh!”
“Baik,” gue sama nyokap langsung ke ruang ICU.
“Begini, Ibu,” dokter Saleh memulai pembicaraan, “seperti yang sudah saya jelaskan kemarin kepada dek Fikri, bahwasannya hari ini saya akan melakukan tes batang otak yang terakhir. Tes yang kemarin hasilnya negatif, artinya yang bekerja di bapak 100% alat. Sekarang saya mau coba tes sekali lagi, kalau masih negatif tidak ada perubahan, tandanya ibu dan adik harus bisa mengikhlaskan. Buat apa kita menahan-nahan orang yang lebih dicintai oleh Allah.
Jadi nanti prosesnya, apabila setelah tes hasilnya negatif, kita akan mencopot satu persatu alat yang menempel di bapak. Hanya ventilator saja yang kita biarkan tetap terpasang. Kadar oksigen yang ada di ventilator pun nanti kita turunkan setiap 10 atau 15 menit. Sekarang kadarnya masih 100%, 15 menit kemudian akan kita turunkan menjadi 60 persen. Begitu seterusnya sampai kadarnya menyentuh titik 21% yang mana itu adalah kadar oksigen yang dihirup manusia pada umumnya yang merupakan anugerah alami dari Allah Swt.”
Dan gak lama setelah penjelasan dokter, tes batang otak pun dilakukan. Hasilnya negatif. Maka setelah itu, seperti yang sudah dijelaskan, alat-alat yang menempel di Bokap akan dilepas, dan kita hanya tinggal menunggu kapan waktunya.
Sejak saat itu, baik dari keluarga ataupun yang datang menjenguk tidak henti henti menalqinkan kalimat tauhid di telinga Bokap. Monitor yang menggambarkan denyut jantung perlahan mulai terlihat menurun frekuensinya. Gue udah pasrah, gue juga udah ikhlas kalau memang harus begini pada akhirnya.
Segala usaha sudah ditempuh. Sisanya tinggal tawakkal dan berserah diri. Toh kematian memang sudah menjadi sunnatullah yang setiap orang pasti merasakannya. Hanya saja setiap orang berhak memilih sendiri-sendiri jalan matinya, ingin berakhir baik atau buruk. Dan Bokap sudah meninggalkan banyak pesan agar gue bisa menempuh jalan mati yang terbaik.
Bokap gak berwasiat macam-macam sebelum kepergiannya, tepatnya bokap berwasiat ketika sedang cuci darah sebelum operasi. Wasiatnya sangat simple, “Fiki, jangan tinggalin masjid. Papa mau, masjid itu makmur. Papa titip anak-anak kecil yang papa asuh, jangan tinggalkan mereka. Bimbing terus mereka, biar nanti mereka jadi generasi-generasi penerus yang cinta masjid. Juga dimana pun Fiki berkiprah nantinya, tetap berbuat untuk Al-Ma’ruf (Lembaga pendidikan peninggalan nenek gue). Berbuat untuk Al-Ma’ruf, tapi jangan menggantungkan hidup dari Al-Ma’ruf.
Sampai saat ini wasiat itu masih terngiang-ngiang di telinga gue.
Akhirnya, kurang lebih jam 13.03 Bokap mengembuskan nafas terakhirnya. Saat-saat yang paling gue takutin akhirnya datang juga. Semua bayang-bayang buruk gue menjadi kenyataan. Takdir Allah telah tertulis, Bokap harus pergi lebih dulu.
Yaa… mungkin itu jalan yang terbaik buat Bokap. Kita yang ditinggal sangat wajar jika bersedih dan merasa kehilangan. Tapi bokap, dengan segala yang sudah dilakukan semasa hidupnya, in syaa Allah, tempat terbaiklah yang sudah menunggu di sana.
Sejak jenazah datang dari rumah sakit, tak henti-hentinya, para kerabat, murid, kenalan, dan masyarkat datang silih berganti membacakan surat Yasin, tahlil dan kumandang doa. Bukan hanya keluarga yang merasa kehilangan, semua orang yang kenal Bokap sangat terpukul atas kepergiannya. 


Selamat jalan, Pa. Selesai sudah semua tugas-tugasmu. Berakhir sudah semua deritamu. Sudah saatnya sekarang engkau menggapai semua ketenangan dan karunia Robb-mu yang kau cinta. Doa kami anak-anakmu selalu menyertaimu.
من أحب لقاء الله، أحب الله لقاءه
Artinya: Barang siapa yang cinta kepada pertemuan dengan Allah, maka Allah juga cinta pertemuan dengannya.


   




[i] Sholat dengan maksud menghormati masuknya waktu sholat. Dilaksanakan ketika kita tidak bisa memenuhi syarat sahnya sholat. Dan kita wajib mengqhodonya jika sudah mampu. Tujuannya yaitu, semoga kita tidak termasuk yang melalaikan sholat apa bila dihisab nanti.