Friday, May 24, 2013

Anton yang freak



Kali ini gw mau cerita tentang temen sekamar gw. Sebelumnya sori, gaya penulisan di blog ini emang suka agak berubah-rubah. Itu semua tergantung bahan yang ditulis sama tergantung mood.
Gw punya temen sebut aja namanya Anton, bukan nama sebenarnya. Tapi nama Anton gw rasa sudah bisa mewakili wujud dia untuk dijadikan bahan. Melihat profilnya dengan tubuh besar, berjenggot, mengalami perluasan jidad dan sekitarnya serta tujuh tahun lebih tua dari gw.
Dari spek yang ada, sepintas terlihat laki banget dan dewasa. Tapi sayangnya dia freak. Karena gw ga abis fikir. Ko ada laki-laki diusianya yang sudah kepala tiga alay. Oh God...! Itu tandanya dia menyalahi siklus pertumbuhan manusia yang dibilang sama Raditya Dika bahwa manusia itu tumbuh dari kecil, remaja, alay, lalu dewasa. Dengan kata lain alay adalah proses yang dilalui sebelum menjadi dewasa. Nah sekarang si Anton ini alay di usianya yang sudah kepala tiga. Mau dewasa umur berapa bang?
Singkat cerita Anton di sini sedang menjalani Long Distance Relationship dengan pacarnya yang di Indonesia, itu wajar dan sah-sah saja. Tapi yang gak wajarnya kenapa hubunganya harus dia kemas secara ovehwhelming. Contohnya suatu ketika pacarnya meng-add dia di facebook. Dan dia langsung kegirangan ga jelas, habis itu ngomong dengan suara lantang sampe sekamar pada denger dengan nada ala cewek alay,”wuaaah, si Dia nge-add di facebook, ko bisa ya?” perhatikan, pertanyaanya, “ko bisa ya?”. Aduh om, wajar kali, emang sekarang udah zamanya, dari yang tua sampe yang baru lahir udah pada punya facebook. Lah wong ada ko, bayi yang baru keluar dari rahim ibunya langsung nge-tweet,”akhirnya keluar juga, makasi @mama udh mau gendong aku Sembilan bulan”.  
Setelah selang beberapa menit, dia utak atik hape antiknya lalu dia bersuara lagi dan masih dengan aksen yang tadi,”wuaah, sekarang ibunya nge-add juga”. Dalam hati gw bilang, “apanya yang keren, itu sama aja lo bikin orang di sekeliling lw berfikir dan bertanya, sebenernya lo pacaran sama anaknya apa sama ibunya?”. Karena ga menutup kemungkinan sebelumnya terjadi percakapan antara anak sama ibunya,”nak, kamu kenal kan calon papa baru kamu yang di luar negri? Mama minta tolong dong cariin akun facebooknya trus kamu add, nanti klo bener itu punya dia baru mama add, soalnya mama ga tau cara nyarinya”.
Trus anaknya bilang,”iii…hh mama, kenapa ga langsung telfon atau sms aja sih, kan lebih simple dan langsung sampe tujuan?”
“Yaaa, biar lebih romantis dong. Kan sekarang jamanya sosial media. Lagian udah lama nih BB mama nganggur”, kata mamanya lagi.
“Lho, bukanya hape mama Nokia?”
“Owh iya… lupa…! Tapikan tetep bisa internetan”.
Dan hal ini, bikin gw berasumsi bahwa pesan yang pertama yang Anton bilang dari si Dia isinya begini,”Assalamu’alaikum, apa benar ini akunya om Anton. Klo benar tolong bales yaah!” Lalu setelah dia bales, baru mamanya nge-add. Makanya si Anton langsung bilang,”wuaah…ibunya nge-add juga”, padahal sebenarnya itu hanya untuk menutupi kata hatinya yang bilang, “akhirnya pujaan hatiku meng-add aku di facebook”.
Pernah juga, suatu ketika, anak sekamar lagi sibuk di depan laptopnya masing-masing. Lalu si Anton menegur Jepri, temen gw yang lain dan ini juga bukan nama aslinya.”Jep, emang di facebook gitu ya, klo ada pesan gak dibales dia bisa tau?” ini pertanyaan teraneh yang pernah gw denger. Karena pesankan ibarat kita ngobrol sama orang, klo kita ngobrol trus didiemin masa kita gak tau. Berhubung si Jepri sedang memakai earphone jadi tidak mendengar. Dan gw tau kalau Anton ngomong kayak gini langsung dari Jepri. Karena ternyata bukan hanya gw yang jijik melihat kelakuan Anton yang ga normal.
Merasa tidak direspon Anton mencoba menegur Jepri dan mengulang pertanyaanya. Tapi si sayang si Jepri hanya membuka earphonya sejenak, mendengarkan pertanyaan Anton, lalu menjawabnya hanya dengan menggelengkan kepala.
Masih banyak, hal-hal aneh yang menurut gw sangat gak wajar untuk dilakukan lelaki seusianya. Terkadang Anton ketika buka hape suka ngeluh-ngeluh sendiri, ketawa sendiri, guling-gulingan ga jelas, yang mana kelakuan seperti itu dia lakukan hanya untuk menarik perhatian teman sekamar biar ada yang nanya,”lo kenapa sih Ton?” Tapi karena gw dan anak kamar lainya mungkin terlalu dewasa untuk bertanya pertanyaan yang gak penting seperti itu dan disamping gw udah terdidik untuk ga kepo sama masalah pribadi orang lain, kita sekamar lebih memilih diam dan membiarkan dia bĂȘte sendiri pada akhirnya. Soalnya orang seperti itu klo kita kasih respon atau kita kasih komentar yang keluar dari mulutnya cuma kalimat,”apaan sih lw, mau tau aja?” Lalu kita jadi kikuk dan serba salah. Dan lo harus tau, di situlah puncak kepuasaanya.    
Pernah juga, waktu itu kita lagi makan bareng. Seperti biasa, tradisi makan di sini layaknya orang Arab walaupun kita orang Indonesia. Senampan rame-rame. Berhubung kita semuanya laki-laki, wajarlah klo makan diam. Karena fokus kita saat itu hanya satu, bagaimana kita tidak kalah serangan dengan lawan dari samping, atau bagaimana wilayah kita tidak dijajah dari depan. Karena laki-laki kelaparan itu seranganya random. Lalu disela kehiningan mengunyah Anton pun membuka percakapan, “di Jakarta lagi ujan yaa”, dengan intonasi yang gak jelas, sehingga kita ga tau, dia itu bertanya atau memberi kabar. Dan ternyata terbukti bukan cuma gw yang berfikiran seperti itu, karena setelah itu langsung ada yang komentar, “lw nanya apa ngasih tau sih Ton?”.
“Enggak, tadi bini cerita, katanya di Jakarta lagi ujan”, hueeek! Nikah juga belom udah berani bilang bini. Lagi pula ga penting baget. Harusnya omongan kayak gitu ditelan sendiri aja, ini malah ngajak nelen rame-rame.
Karena gw orangnya ceplas-ceplos, secara spontan yang keluar dari mulut gw,”emang bini lw pawang ujan? Ko pake cerita ujan segala”. Sontak yang lagi makan waktu itu langsung ketawa semua. Dan  Anton hanya bisa tersenyum kalah.
Sejauh ini yang bisa gw buat pelajaran, jatuh cinta di usia tua itu bisa membuat manusia keluar dari masanya. Sebagaimana Anton, dia keluar dari masanya kembali ke masa abg alay pacaran.
Kasihan Anton. Memang sudah bukan waktunya dia capek-capek kuliah. Sudah seharusnya dia merasakan kehangatan berumah tangga. Memang sih menuntut ilmu ga ada batas umuran. Tapi melihat kondisi Anton yang semakin absurd. Menurut gw menikah itu lebih baik dari pada menjadi gila di akhirnya.
Dan pernah juga suatu hari Anton lagi jalan kaki lalu berpapasan dengan Jepri dan dia bilang, “Jep, doain yaaa, biar langgeng?” hadooh… mungkin Jepri dalam hatinya bilang,”salah kali bang, aturan sih bilangnya, doain ya biar jadi”. Yang lebih freak lagi dia ngomong ke Jepri,”Jep, klo nanti pas ujian, ingetin ana ya, bilang ke ana, “Ton, jangan mikirin bini terus, inget ujian, oke Jep”. Jepri yang otaknya cerdas, langsung bego seketika denger omongan Anton seperti itu. Setelah itu amnesia dan teriak-teriak berkata, “MANA AYAM KU, AYAMKU MANA?”
Pernah juga dia curhat sama teman sekamarku yang lainya, Akbar, masih bukan nama yang sebenarnya,”Bar, ko pesan gw ga debales-bales nih sama bini?” Akbar cuma ketawa dan bilang,”haha…calon bini! kan belom jadi”. Dan anton dalam hati,”heemm… seteng sama aje lw!”
Tapi untungnya dia gak pernah curhat ala cewek alay ke gw. Mungkin dia udah tau, klo curhat ke gw resikonya cuma dua, pertama ga gw tanggepin. Ke dua gw tanggepin tapi plus serangan balik yang pasti bikin dia kesal plus malu. Habis itu ngambek, ngambil mie instan, trus masak deh kedapur. Aneh.
Anton sekarang juga jadi sering lupa. Masak air, sampe airnya habis karena dia lupa kalau dia lagi masak air. Lalu dia masak lagi airnya, dan lupa kembali untuk yang kesekian kalinya. Dia juga pernah makan padahal udah abis, tapi masih masukin nasi ke mulut lalu mengunyah dengan lahapnya. Kasihan kasihan. Ini yang salah, jatuh cintanya, LDR-nya, apa emang dia yang aneh?

 

Fiki kecil




Tumbuh dan berkembang merupakan ciri mahluk hidup. Sebagai mahluk hidup aku mencoba untuk menyesuaikan diri agar tetap eksis, walaupun dalam proses tumbuh banyak hal-hal aneh yang aku lakukan dan orang tuaku atau orang dewasa lainya menganggap itu hal lumrah karena aku masih dalam proses pembelajaran.
Aku teringat ketika aku belajar buka kancing. Secara perlahan ibuku menuntunku,”gini Ki caranya!” Pelan-pelan ibuku memperlihatkan bagaimana ia memasukkan dan mengeluarkan kancing. Akupun dengan seksama memperhatikan. Karena membuka kancing adalah jalan untuk aku meraih prestasi baru di umurku yang masih balita. Jadi ketika ada keluarga atau tetangga yang datang ibuku akan bilang,”eh liat deh… si Fiki udah bisa buka kancing!” Lalu aku keluar dari kamar dengan menggunakan baju kemeja yang sudah terkancing kemudian aku mempertunjukkan kebolehanku membuka kancing. Andai saja ketika itu aku sudah mengerti uang, maka di depan rumah akan aku taruh sebuah kaleng lalu kutulis “Pertunjukkan Membuka Kancing. Per orang Rp 100”.
Setelah belajar sekian lama, ternyata aku gagal dalam pelajaran membuka kancing. Kegagalan ku terbukti pada suatu hari, ketika itu kami sekeluarga baru pulang dari pesta perkawinan. Dan aku ketika itu memakai kemeja andalanku waktu kecil, yang mana pastinya saat itu bukan aku yang memasang kancingnya, karena tidak etis kami terlambat datang kepesta hanya karena menungguku memasang kancing.  Dengan warnanya yang tidak jelas dan coraknyapun tidak beraturan aku tetap pede memakai kemeja tersebut. Bisa dibilang abstrak.
Lalu dengan suara lantang aku memanggil ibuku,”ma… mama… sini ma! Fiki dah bisa buka kancing”. Ibuku langsung menghampiriku seraya melihat lalu berkata,”itu sih bukan buka namanya, tapi nyopotin”. Karena yang kulakukan waktu itu yaitu menarik ujung baju kuat-kuat dengan tangan kanan dan kiriku layaknya Superman yang akan berubah wujud.
“Tapi ini kebuka lho ma bajunya, liat deh”, celotehku lagi karena ingin perbuatanku dibenarkan oleh ibuku. “Iya…iya…”, sambil ibuku memunguti satu persatu biji kancing yang berserakan.
Aku juga teringat ketika aku tersengat phobia takut terhadap ledakan balon. Jadi setiap ada balon diledakkan aku langsung menangis sekencang-kencangnya. Mungkin bisa jadi sebenarnya ketika itu aku terlalu menghayati lagu nasional anak kecil yang berjudul ‘balonku’, tepatnya pada bait,”meletus balon hijau Dorr! Hatiku sangat kacau”. Dan sangking kacaunya aku jadi menangis tersedu-sedu. Seharusnya lagu itu tidak diajarkan.
Tapi sudah tahu keadaanku seperti itu, masih saja setiap perayaan ulang tahun harus ada ritual meledakkan balon. Mungkin di era ini sudah tidak lagi. Tapi di era 90-an meledakkan balon merupakan ritual wajib bahkan bisa menjadi inti setelah meniup lilin. Karena buktinya aku harus menjalani ritual tersebut setiap kali ulang tahunku dirayakan. Dan konsepnya adalah, yang meledakkan balonya harus orang yang  berulang tahun dan tidak bisa diwakilkan. Maka yang terjadi setiap kali, ulang tahunku dirayakan aku akan membuka kado setelah selesai menangis.
  Aku juga teringat ketika aku paling susah disuruh mandi. Apalagi hari minggu. Karena menurutku saat itu, mandi adalah sesuatu yang merusak suasana. Maka ketika kecil, aku tidak akan mandi kecuali momenya benar-benar penting.
Ibuku sering stress  dengan kelakuanku yang susah disuruh mandi. Sudah tampilan tidak karuan, badan kotor, baju kotor, bau lagi. Lengkap sudah. Bisa dibilang keadaanku sangat the kill and the kummel. Tapi istilah yang paling sering dilontarkan ibuku ketika menyuruhku mandi,”Fiki… ayo mandi! Ih…baunya dah tujuh rupa!” Dalam hati,”itu tujuh lupa bau apa aja ma???”
Sangking malesnya mandi, aku bisa nangis sekencang-kenjangnya bila dipaksa mandi. Suatu ketika aku sedang main pasir, karena hari sudah sore, maka ibuku seperti biasanya harus teriak-teriak dulu menyuruhku mandi, “Fiki… udah sore, ayo mandi!” kata ibuku.”Bental lagi ma, telowonganya belom jadi”, celotehku.
“Mandi dulu nanti main lagi”, ibuku tidak putus asa. Yang penting aku mandi dulu, nanti mau kotor-kotoran lagi urusan belakangan. Sekilas mungkin teorinya salah. Karena, kalau ibu biasa, dia lebih memilih membiarkan anaknya main sampe puas. Dan setelah kotor semua baru dia memandikanya, jadi tidak kerja dua kali. Berhubung ibuku luar biasa, maka dia punya teori sendiri. Dan itu mematikan.
“Ga mau ma… masih tanggung”, biasa lah anak kecil selalu menjawab dan keras kepala.
Akhirnya ketika aku sedang fokus terhadap terowongan pasirku, saat itulah aku lengah. Aku pikir ibuku sudah meridhoiku untuk terus bermain. Ternyata tidak. Dengan sigap ia menggendongku dari belakang tanpa sepengetahuanku. Lalu dibawanya aku ke kamar mandi dan tanpa basa basi lansung diguyur, byurr! Spontan aku langsung menangis berbarengan dengan guyuran air,”huaaa…huaaa…huaaa…m-m-masih m-m-mau…m-m-main pasiiii…l”, celotehku mencoba terus berbicara di tengah derasnya tangis.
“Iya… habis ini boleh ko main lagi”, kata ibuku coba menenangkanku sambil mengosok-gosok badanku dengan sabun. Dan benar saja setelah selesai mandi dan bedakan, aku diperbolehkan main pasir lagi.  
Di saat aku menyentuh pasir kembali. Pyeess! Rasanya setelah mandi jauh berbeda dengan sebelum mandi. Hambar, tidak ada rasa dan kurang menggairahkan. Memang benar, mandi itu sangat merusak suasana. Mungkin ibuku lebih tahu teori itu. Dan itulah yang membuatnya menjadi luar biasa. I love you mom.
Dan bagi yang tidak percaya, silahkan coba teori tersebut. Insya Allah ampuh.
Yang aku ingat lagi saat balita, aku paling takut cukur rambut. Entah kenapa, setiap kali dicukur, aku pasti menangis lagi tersedu-sedu. Tapi mungkin sebenarnya aku berani, karena ketika ayahku mengajak,”Fiki…cukur rambut bareng papa yuk!”.
“Ayuk!” jawabku.
“Berani ga?” Tanya ayahku.
“Belani lah pa”, celotehku.
Sampailah di tukang cukur. Ketika duduk diatas papan tambahan, dan aku mengaca aku masih biasa. Tapi ketika gunting cukur menghantam rambutku, itulah peluit start untuk aku mulai menangis,”huaa…huaa…huaaa…”. Tapi anehnya ketika itu aku tidak punya inisiatif turun atau kabur dari kursi cukur. Posisi tetap tegak, kepala tidak bergoyang, tapi menangis.
Wuah… masa kecil memang penuh kenangan. Karena dimasa itu kita baru mengenal dunia, meraba serta  mencari arti wujud kita yang sebenarnya. Dan yang tidak terlupakan juga, aku paling sering bertengkar dengan adikku. Cakar, cakaran, lempar-lemparan bantal, main guling-gulingan di kasur dan apa saja yang bisa kami jadikan sarana untuk bertengkar kami lakukan. Lalu setelah salah satu merasa dirugikan dia akan menangis dan mengadu. Dan baru setelah lelah menangis kami tertidur, dan bangun dengan saling bermaafan kembali.
Indah, lucu, dan penuh kenangan. Begitu mudah kami untuk bertengkar, tapi mudah pula untuk kembali bermaafan. Seakan tidak pernah ada beban. Karena dari kecil yang ditanamkan kedua orang tuaku adalah, kita ini bersaudara. Aku kakak, dan Fira adik. Karena kami hanya dua bersaudara, jika salah satu diantara kami hilang maka tidak ada gantinya.
Miris rasanya melihat banyak orang sekarang yang sudah tidak peduli dengan hubungan darah.
Lho…ko jadi seperti sinetron akhirnya… Mungkin ini pengaruh “Bayi yang tertukar”. Semua orang jadi mendramatisir setiap kejadian. Haha.
Dan terakhir yang aneh dari masa kecilku yang masih bisa kuingat. Entah mengapa gigi seriku tumbuhnya tidak berwarna putih? Tapi hitam. Begitu juga dengan adikku. Bedanya gigiku yang hitam 4 dan adikku 3. Mungkin karena aku kakak dan dia adik maka jumlah gigi hitamku lebih banyak. Sungguh Tuhan Maha adil. Maka jadilah kita sepasang kakak adik yang bergigi susu hitam.


 

Monday, May 20, 2013

Pembodohan Masa Kecil




Masa kecil memang merupakan masa yang paling indah. Dimana hati dan fikiran kita masih terlalu polos untuk menilai benar dan salah. Dan hal itu membuat kita lebih mudah tertipu. Ups…bukan kita lebih tepatnya aku. Karena untuk membuktikan bahwa Susan itu hanya boneka dan yang mendubing suaranya itu Ria Enes, dibutuhkan waktu sampai aku kelas 4 SD.
Waktu itu aku sedang duduk manis di kelas, menikmati setiap pelajaran yang disuguhkan oleh guruku. Tiba-tiba dari luar ada yang mengetuk pintu kelasku. Pelajaranpun langsung terhenti sejenak, dan pak guru membukakan pintu. Setelah di buka ternyata pembantuku yang datang, "maaf pak, kata ibu, fikinya disuruh pulang", katanya kepada pak Guruku. Dengan sigap Guruku langsung merespon,"Fikry...!! Bereskan bukunya dan kamu boleh pulang sekarang".
Luar biasa, hanya butuh seorang pembantu untuk membuat seorang guru menjadi terlihat tidak berwibawa. Itulah enaknya sekolah di lembaga keluarga. Dan itulah cermin masyarakat Indonesia. Setiap yang di atas bebas menabrak aturan.
Setelah berkemas, kusalami guruku, dan langsung pulang bersama pembantuku tanpa memperdulikan puluhan pasang mata yang menatap iri kepadaku. "Emang kenapa sih mba, ko pake di suruh pulang?", tanyaku. "Wah ga tau! Dek Fira juga di jemput ko", jawabnya.
Dirumah ternyata aku sudah ditunggu oleh ibuku dan tanteku, tepatnya ia anak dari adik kakekku. Tapi aku memanggilnya dengan panggilan "kak", karena ia terlalu muda untuk menjadi tante-tante. Emilda namanya. Aku memanggilnya "kak Imel". Aku sebenernya sempat bingung siapa nama sebenarnya Emilda atau Imelda. Kalau Emilda kenapa dipanggilnya Imel, kalau Imelda tapi nama aslinya Emilda.
Dari dalam kamar adikku berlari ke arahku sambil berteriak,"bang ayo! kita mau di ajak ke Pesta Anak sama kak imel". Buat yang tidak tau, Pesta Anak adalah sebuah acara televisi untuk anak-anak yang mana hostnya adalah Ria Enes dan Susan bonekanya. Mendengar itu akupun bergegas merapikan diri mengganti pakaianku. Setelah siap kamipun beranjak dari rumah menuju stasuin televisi tersebut. Selain ka Imel, tanteku yang lain juga ikut menemani, tapi yang ini tidak aku panggil tante, tapi mauo, alias mak tuo, mauo Imur  tepatnya. Karena namanya Murniati, dipanggil Imur. Ya, itu panggilan khas orang padang untuk tante yang umurnya lebih tua dari ibunya. Karena ibuku paling kecil, jadi semua saudara permpuanya ku panggil mauo, dan yang laki pauo. Stop! Jangan dipanjangkan. Karena itu hanya akan membuatku lebih terlihat seperti Tarzan. Maaa.......uo....uo.....! Paaa...uo…uo…!
Sesampainya disana aku dan adikku langsung masuk ke studio, seingatku ketika itu jam 11 siang. Ternyata di sana sudah banyak anak-anak seusiaku yang aku rasa mereka juga melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan. Melihat jam 11 siang bukan jam keluar kelas yang wajar untuk sekolah-sekolah di Jakarta kecuali kalau guru-guru di sekolah tiba-tiba rapat. Kulihat sekelilingku, kru-kru televisi sudah mulai bersiap- siap. Tapi aku belum melihat Ria Enes dan Susan di ruangan tersebut. Yang aku fikirkan saat itu, aku hanya ingin melihat Susan apakah ia akan datang digendong oleh Ria Enes atau berjalan sendiri?
1 jam berlalu syuting belum juga dimulai. Aku bersama anak-anak bodoh lainya masih setia menunggu walaupun tidak di beri snack atau sekedar minuman ringan. Harus kukatakan bodoh, karena hanya anak bodohlah yang mau menuggu sekian lama, tanpa diberi makan apa lagi dibayar. Baru setelah jarum jam menunjukkan pukul 12.15 siang Ria Enes dan Susan datang. Betapa terkejutnya aku saat itu, ternyata Susan tidak datang digendong apalagi jalan sendiri tetapi dibawa oleh salah satu kru dan Ria Enes berjalan di depanya. Mulai saat itu, aku yakin kalau Susan bukan anaknya Ria Enes. Karena tidak ada ibu sejahat itu.
Syuting pun dimulai, setelah Ria Enes mengambil posisi duduk diantara anak-anak dan Susan didukkan dipangkuanya. "Kamera...!!! Action..!!!" Mataku langsung mengamati semua gerak gerik dengan jeli, terutama mulutnya Ria Enes. Dan mulai saat itu juga kyakinanku bahwa Susan bisa bicara sendiri roboh dan aku harus mengalah untuk tidak mempertahankan prinsipku lalu mengakui bahwa Susan hanyalah boneka, tidak lebih.
Syuting pun belanjut, ditengah-tengahnya diselingi beberapa kali istirahat. Anak-anak lain sibuk berganti pakaian sedangkan aku dan adikku tidak. Karena kami tidak tau kalau tenyata syuting hari itu untuk tujuh episode. Dan kami harus berpura-pura seakan kami hadir di waktu yang berbeda setiap kali syuting dimulai kembali. Sungguh pembodohan.
Tepat jam 11 malam syuting selesai. Aku dan adikku langsung keluar dari studio menuju ke mobil mencari tanteku sekaligus mencari makan. Karena dari siang kami belum makan. Parah.
"Eh udh keluar! Makan dulu sini, laper yaa?" sambut tanteku bertutur kepadaku dan adikku. "Iya nih mauo, laper banget. Lho... Ka imel mana?" tanyaku. "Owh... Ka Imel dah pulang duluan tadi, katanya ga bareng". Dalam hatiku, "ya jelas lah ga bareng, jam 11 malam baru keluar".
Setelah beberapa tahun, akhirnya acara itu dihapuskan, entah kenapa sebabnya aku tidak peduli. Tapi kemungkinan kuat Susan memutuskan hubungan kerja dengan Ria Enes. Karena setelah itu aku tidak penah melihat Ria Enes dan Susan muncul bareng lagi di televisi.
Itu baru Susan dan Ria Enes. Masih banyak lagi acara televisi anak-anak pada zamanku yang mengandung unsur pembodohan. Dan itu diamini oleh orang tua kami. Si Komo misalnya. Yang menjadi icon di salah satu video klip. Bagi yang tidak tau, Si Komo tidak  jauh berbeda dengan Modo dan Modi, cuma bedanya Modo punya pacar Modi, dan Si Komo masih single.
Anak-anak di zamanku percaya kalau macet itu penyebabnya adalah Si Komo lewat, dan itulah isi lagu dari video klip tersebut.
Hingga pada suatu saat aku sedang tertidur pulas di mobil tiba-tiba aku terjaga karena kepanasan. Maklum, ketika itu mobil ber-AC hanya dimiliki orang kaya saja. Lalu aku bertanya kepada ibuku,"ko ga jalan jalan sih ma, macet ya?" Lalu ibuku menjawab, "iya nih, td ada si Komo lewat".
"Owh.... Udh pergi blm si Komo-nya, ko masih macet?"
"Udh sih nak, tapi kayaknya mau balik lagi, makanya masih macet".
Haadoooh..... Kenapa harus pake alasan Si Komo untuk menjawab pertanyaan kami anak kecil waktu itu. Mungkin kalau dijawab dengan jawaban yang jujur, bangsa ini bisa 10 tahun lebih maju dari sekarang. Karena jawaban seperti itu hanya akan membuat kami menghayal bahwa si Komo itu benar-benar ada dan dia sekarang lagi guling-gulingan di jalan.
Dan parahnya hal ini tidak dibenahi. Setelah Susan hilang, si Komo enyah, muncullah  Dora. Aku hanya bisa mengelus dada melihat keponakan-ponakanku berbicara dengan televisi, seakan Dora menanggapi jawaban mereka ketika dia bertanya atau meminta bantuan. Dan lebih parahnya lagi mengapa mereka harus mengajak aku,”om bantuin aku bantuin Dola yuk!” Lalu ku jawab,”ayuk!”

Dikerjain




Ga terasa udh ketemu jum'at lagi. Telalu cepat rasanya hari untuk dilalui begitu saja. Bebicara hari jum'at jadi teringat kejadian beberapa minggu lalu yg belum sempat ku abadikan...
Waktu itu seperti biasa, sebagai seorang muslim laki-laki aku menjalankan kewajibanku yaitu menunaikan ibadah sholat jum'at. Karena waktu itu aku masih harus mengikuti ujian susulan di hari selasanya maka aku datang ke masjid agak sedikit lebih pagi dari biasanya, maksud hati sembari ingin mengulang pelajaran sebelum khotib naik ke mimbar.
Setelah menunaikan sholat tahiyatul masjid aku langsung duduk dan membuka buku. Tapi memang dasar setan terlalu bnyak akalnya untuk membuat manusia lalai. Maka seketika aku sudah menyetel posisi duduk menjadi default mode secara otomatis mataku langsung mengantuk tanpa bisa diajak kompromi dan tidak lama kemudian......Zzz.....Zzzz...ZzZz!!
Allahu Akbar2x suara adzan berkumandang dan seketika itu juga aku terjaga. Kulihat di sekelilingku sudah bnyak orang yg memenuhi shaf shaf kosong di masjid Jami' Tareem. Sambil masih setengah sadar aku melihat ke samping kanan dan kiriku. Betapa kagetnya aku ketika tahu bahwa disamping kiriku ada seorang anak balita kulit hitam tersenyum kepadaku ketika aku menatapnya. Mungkin akan terlihat lebih menggemaskan jika kulitnya sedikit lebih terang.
Sejenak kuperhatikan anak itu, ternyata lucu juga. Di samping kiri balita tersebut ada anak laki2 juga, kira-kira 3 th lebih tua dari balita tersebut. Bisa aku asumsikan bahwa dia adalah kakaknya, karena setelah kulihat bentuk dan warnanya tidak jauh berbeda.
Mereka terlihat akrab, sama-sama memakai gamis warna putih, peci putih, dan sama-sama makan jagung. Yang membuat aku merasa kasihan ternyata jagung yang mereka makan itu mentah. Aku menjadi tidak habis fikir. Apa mungkin karena di sini tidak ada bioskop makanya mereka memanfaatkan momen jumatan buat makan jagung, tapi kan ga jagung mentah juga. Ah sudahlah... Selagi mereka nyaman dengan keanehan tersebut, aku hanya bisa menonton, tidak lebih.
Ada yang lucu dari pemandangan tersebut. Karena keadaan dalam masjid menuntut untuk tenang ketika khotib sedang berbicara, cara mereka menikmati jagung mentah pun harus disesuaikan. Perlahan sang adik mengambil jagung, lalu memotek bijinya satu, dua, tiga biji lalu memakanya diam-diam. Berbeda dengan adiknya, sang kakak yang aku rasa lebih berpengalaman dalam trik makan jagung ketika jumatan, memasang mimik marah menatap adiknya, serta mengisyaratkan jari telunjuk kanan ke bibirnya seakan menyruh adiknya untuk diam, tapi tangan kirinya merogoh plastik hitam berisi jagung. Lalu setelah memastikan beberapa biji jagung terpotek dengan sigap ia memindahkanya ke tangan kanan yg sebelumnya masih di bibir, lalu memakanya. Sungguh licik.
Melihat kejadian itu aku hanya bisa tertawa geli dalam hati. Tidak dimana-mana kakak selalu memanfaatkan adiknya, dan bodohnya tidak dimana-mana namanya adik selalu mudah tertipu. Jadi bagi yang terlahir sebgai adik. Berhati-hatilah dengan kakak-kakak kalian. Ups...tapi tidak denganku, karena aku selalu sayang kepada adikku. Hehe.
Tak lama kemudian, iqomahpun dikumandangkan. Sang adik sholat di samping kiriku sedangkan sang kakak maju kedepan mengisi shaf yang kosong.
Seusai sholat kutatap balita hitam disamping kiriku karena itu bersamaan dengan ucapan salamku, dan ternyata untuk kesekian ia tersenyum kepadaku. Sungguh murah senyum. Tapi sayang senyumnya tidak murni gerakan bibir tapi disertai jari telunjuk kanan terhisap di dalam mulut dan air liur bercucuran ke sekitar telapak tangan.
Lalu dengan wajah polos ia melepaskan jarinya dari dalam mulut dan seketika itu juga otakku meraba apa yang akan dilakukanya. Aku mencoba menyeleksi ribuan prediksi yg ada di kepalaku, tapi hanya satu yang paling kuat, yaitu si balita akan menjulurkan tanganya yg belumuran air liur lalu mengajakku salaman. Dan ternyata. Oh Tuhan. Prediksi ku tepat. Tapi mengapa untuk hal yg menurutku merugikan.
Maka dalam sekejap, bayanganku akan balita itupun berubah. Wajah hitam nan polos seketika berubah mimik seakan mengejek, sambil alis mata dimainkan, bibir bawah dicibir-cibirkan, dan tangan kanan terjulur kepadaku seakan berkata "calaman yuk kakak, wuhaha..ha..ha..ha..!!!"
Akhirnya dengan terpaksa, karena tidak enak menolak juluran tangan yang memberi salam disamping kurasa banyak mata yang memperhatikanku dari belakang, yang aku rasa dalam hati mereka juga ingin melepaskan tawa ketika aku bersalaman, maka dengan pasrah ku julurkan juga tangan ku menyambut tangannya. Plek! Tangan mungil yg basah itu pun akhirnya menempel dengan tanganku. Dan balita itu tersenyum manis. Tapi semanis apapun senyumnya yg ada di bayanganku ketika itu ia sedang tertawa menang seraya berkata, "wuha..ha..ha..ha... Lasain lo.....emang enak dikeljain anak kecil!"
Jadi pesan moral yang bisa diambil yaitu, ketika sholat jumat dan di samping kamu ada anak kecil, pindah tempatlah...! Karena hanya tampilanya saja yang lucu tapi sebenarnya ia ingin mengerjai kamu....