Ini
postingan pertama gue di tahun 2015. Tahun yang benar-benar begitu mewarnai
hidup gue. Di tahun ini gue ngerasain bahagia, senang, risau, sedih, dan segala
rasa yang ada dalam satu paket. Asli, tahun ini Allah benar-benar ngasih ke gue
sebuah gambaran hidup yang bakal gue jalanin entah 10, 20, atau 30 th ke depan
yang hanya Ia yang tau kapan gue harus berhenti.
Bahagianya
gue di tahun ini, pertama, gue bisa pulang ke temu keluarga, setelah sekian
lama gak ketemu, dan gue bisa menemui mereka dalam keadaan sehat walafiat. Itu tepatnya
di November 2014.
Bahagianya
gue yang ke dua di tahun 2015 itu karena gue bisa ikut repot ngurusin pernikahan
adik gue tersayang, Fira, di awal Februari 2015. Mungkin antara November 2014
sampai Februari 2015 adalah momen paling indah yang gue punya bersama keluarga. Bonyok gue sehat, dan adik gue udah punya suami yang sayang sama dia.
Pertengahan
Februari 2015, gue harus balik lagi ke Yaman, lantaran Exit permit gue
udah abis. Jatah yang singkat, 3 bulan. Belum habis rasa kangen gue, eh… tau-tau
gue udah harus berkelana lagi. Yaaah, gitu deh, namanya juga hidup.
Terus
terang, gue ngerasain keberangkatan gue di pertengahan Februari itu gak kayak
biasanya. Gue udah biasa banget melanglang buana entah kemana, dan itu gue
jalani dengan happy. Tapi keberangkatan kali ini sangat berbeda. Berat banget
rasanya mau ninggalin keluarga, terutama Bonyok. Tapi apa boleh buat, gue harus
tetap berangkat.
Kurang
dari dua bulan gue di Yaman, konflik yang ada di Negara tersebut berubah
menjadi peperangan. Sebabnya apa? Nanti deh, kapan-kapan gue bahas di
tulisan-tulisan gue yang lain. Akhirnya pemerintah Indonesia mengadakan evakuasi
besar-besaran untuk semua WNI yang ada di Yaman.
Untuk
tempat yang gue tinggalin sih, sampai saat ini masih terbilang aman, walaupun imbas
dari terjadinya perang mulai terasa. Sebelum ada evakuasi Nyokap gue udah wanti-wanti, “Fiki,
mama ngerti daerah Fiki aman, tapi kalau pemerintah Indonesia sudah mengadakan evakuasi
untuk WNI, Fiki harus pulang!.”
Benar
aja, awal April, perwakilan Kemenlu datang ke tempat gue di Tarim, Hadhromaut,
Yaman. Setelah mengadakan pertemuan dengan mahasiswa, mereka langsung membuka
pendaftaran evakuasi, dan gue langsung ikutan daftar. Tepat hari sabtu 11 April 2015
kemarin gue sampai di bandara Soetta di jemput bokap.
Perasaan
gue senang banget waktu itu. Dalam hati, ‘mungkin ini benar-benar kesempatan
yang Allah kasih buat gue bisa bercengkrama bersama keluarga.’ Gue lihat muka Bokap gue segar banget, senyumnya juga cerah, gak ada sedikitpun tanda-tanda
dia sakit. Emang sih, bokap gue penderita gagal ginjal yang sudah divonis harus
cuci darah sejak 10 th yang lalu, dan akhirnya menjalani cuci darah sejak th
2009, tapi jujur, bokap gue sama sekali gak ada tampang orang penderita HD
(hemodialisa) pada umumnya. Karena setiap kali gue nganter Bokap cuci darah,
gue lihat, temen-temen bokap tu pada menghitam kulitnya, loyo-loyo, dan gak punya
gairah hidup sama sekali.
Alhamdulillah Bokap gue gak gitu. Bokap terlihat bugar, hidupnya
semangat, ibadanya rajin pula. Hampir semua yang sunnah tetap di jalani. Bokap Emang
sakit, tapi untuk ibadah dia selalu bilang sama dirinya sendiri, ‘saya sehat.’
Hari
senin kemarin, 13 April 2015, Bokap meriang di subuh hari. Nyokap gue udah
bilang ke Bokap, “Pa, gak usah ke Masjid, sholat di rumah aja. Akhirnya Bokap
duduk di sofa dan Nyokap gue nungguin di sampingnya.
Gak
lama kemudian, terdengar dari rumah suara Ahmad (ipar gue) udah jadi imam
sholat subuh. Ketika itu gue lagi gak ada di rumah, gue di rumah Ustadz gue di
Citayam. Nah, nyokap izin deh tu sama Bokap buat ke kamar mandi ambil air
wudlu, “tu, Pa. Ahmad dah jadi Imam, mama wudlu dulu yaa.”
Pas
keluar dari kamar mandi, Nyokap kaget, Bokap gue udah nggak ada di sofa, ternyata Bokap
maksain ke masjid. Benar aja, gak lama setelah sholat subuh selesai Bokap gue
balik dari masjid dengan dipapah. Tangan dan kaki kirinya sudah kebas gak
berasa. Asumsi nyokap, Bokap gue kena serangan struk.
Saat
itu juga Bokap langsung dilariin ke RS. Meilia. Gue yang waktu itu masih di
perjalanan pulang sama sekali gak dikasih kabar keadaan Bokap. Mungkin Nyokap
takut, kalau gue dikabarin, gue bakalan panik, dan gak konsen menyetir mobil.
Baru
selesai parkir mobil di halaman rumah, mak tuo gue teriak, “Fiki! Buruan, papanya
udah di bawa ke Meilia.” Gak pake pikir panjang, gue langsung ambil mobil dan
bergegas ke Meilia.
Sesampainya
di sana, gue langsung ke IGD, gue nemuin Bokap, Nyokap gue berdiri di
sampingnya. “Ini Fiki, Pa. Fiki udah datang”, kata Nyokap ke Bokap. “Mana Fiki,
sini!” Gue langsung deketin Bokap gue. Gue dirangkul abis-abisan.
“Maafin Papa yaa, Ki, klo Papa banyak salah ke Fiki. Doain Papa semoga Allah mengampuni
dosa-dosa Papa yaa, Ki.” Hati gue langsung hancur seketika itu juga, gue gak
bisa ngomong apa-apa. Cuma air mata yang netes terus di pipi. “Enggak, Pa. Papa
gak ada salah sama Fiki, Papa sabar yaa, abis ini Papa diobatin. Papa pasti
sembuh.”
Gue
terus nemenin Bokap di sampingnya, sementara nyokap lagi diskusi sama dokter. Dan
gak lama setelah itu, karena Bokap gue ngeluh kesakitan terus di kepalanya, dan Bokap gak ada henti-hentinya meneriakkan takbir dan istighfar untuk menahan
rasa sakit, dokter memutuskan untuk melakukan CT. Scan guna melihat apa yang
terjadi di kepala Bokap.
Setelah
sejam berlalu, hasil CT. Scan pun diterima. Ternyata Bokap kena serangan struk
yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah. Sehingga terjadi penggumpalan
darah yang menekan otaknya. Dari hasil CT. Scan diketahui bahwasannya, luas
penggumpalan darah yang ada di otak sudah mencapai 52%. Jika seperti itu
tindakan yang harus diambil adala operasi, guna mengeluarkan darah yang
menggumpal dan menyumbat pembuluh darah yang pecah. Diketahui pula sebab pecahnya
pembuluh darah di kepala bokap adalah akibat tekanan darah yang terlalu tinggi
dan tidak beraturan.
Akhirnya,
keluarga sepakat untuk mengambil tindakan operasi. Mengapa? Karena konsekuensi
dari tidak atau dilakukannya operasi itu sama. Kalau tidak dioperasi,
pendarahan di otak semakin melebar, bokap terus kesakitan, dan akan mengalami
kelumpuhan total, alias koma. Sedangkan kalau dioperasi, yang menjadi masalah
adalah bokap penderita HD yang kadar kreatininnya di atas rata-rata orang pada
umumnya, meskipun sudah cuci darah.
Kalau
orang pada umumnya, kadar kreatinin dalam tubuhnya itu 0-1, sedangakan penderita gagal
ginjal yang cuci darah bisa sampai 14. Adapun setelah dicuci darahnya, paling
maksimal kadar kreatinin hanya bisa menyentuh angka 4-5. Dan keratinin itu
pengaruhnya sangat rentan terhadap proses anastesi.
Semua
konsekuensi hasilnya sangat memberatkan, tapi jika tidak dioperasi, kita tidak
ada ikhtiarnya sama sekali, sedangkan jalan satu-satunya hanya operasi.
Sambil
menunggu waktu operasi, bokap dilarikan dulu ke ICU untuk penanganan lebih
intensif. Gak lama, sesampainya di ruang ICU azan Zuhur berkumandang. Sementara
dari tadi bokap masih terus kesakitan. Gue cuma bisa meratap sambil bantuin
bokap istighfar. “Papa mau sholat, Ki, udah Zuhur,” Bokap bilang ke gue sambil
menatap selang-selang dan kabel-kabel yang ada di sekujur tubuhnya, maksudnya
bokap mau wudlu dan sholat seperti biasanya. “Gak bisa, Pa, Papa sholatnya gini
aja, yaa…” jawab gue.
“Yaaaah,
klo gitu sholatnya buat hurmatul waqti[i]
dong!”
“Iya,
nanti, kalau Papa udah sembuh baru di qodho.”
Bokap
akhirnya nurut apa kata gue, dan dia sholat semampunya. Dalem hati, ‘Allah
ngasih ujian ini ke Bokap, pastinya Allah tau lah, dalam lubuk hati bokap, gak
ada niatan sama sekali mengkhianati-Nya.’
Gue melihat bokap sholat ketika itu kayaknya tenaaaaaang banget. Seakan-akan rasa
sakitnya hilang dari tubuhnya seketika ia melakukan takbiratul ihrom “Allahu
Akbar.” Dan setelah salam, bokap bisa tertidur pulas. Sholatnya sudah berasil
membuatnya lupa dengan sakitnya.
Estimasi,
operasi akan dilakukan malam ini juga. Tapi sebelum itu, bokap harus cuci darah
dulu, guna menurunkan kadar kreatinin dalam tubuhnya dan membuat dirinya
sediktit lebih segar. Jam 4 sore bokap dipindah dari ruangan ICU ke tempat cuci
darah. Sudah semenjak bangun dari tidurnya tadi bokap kembali kesakitan dan tak
henti-hentinya meneriakkan takbir dan istighfar. Tapi setelah cuci darah di
mulai, bokap baru agak sedikit tenang. Karena sudah dari pagi bokap menahan
rasa badan yang gak enak, berhubung hari senin ini adalah jadwal rutinnya bokap
cuci darah. Dan setiap pasien HD memang seperti itu, kalau sudah waktunya cuci,
tapi belum di cuci, badan rasanya gak enak bukan main.
Gak lalma kemudian, Bokap
pun bisa tertidur kembali.
Tepat
sebelum maghrib, bokap kembali terbangun, rupanya bokap ingat kalau bokap belum
sholat Ashar, “Kalau waktunya sholat, Papa diingetin dong, Ki, jangan dibiarin!”
sambil agak sedikit tinggi nadanya bokap ngomong ke gue. “Iya, Pa”. Cuma itu
yang bisa gue jawab, dan gak lama bokap kembali larut dalam sholatnya.
Cuci
darah akhirnya selesai, jam 20.30 Bokap di bawa menuju kamar operasi. Semua keluarga,
tetangga yang ketika itu menjenguk, dan murid-murid bokap ikut berkumpul di
depan ruang operasi. Gue gak tau gimana caranya ngungkapin rasa yang berkecamuk
dalam diri gue. Di depan bokap gue harus tetap keliatan tegar, dan gak boleh
sedih, itu pesan nyokap, “Fiki gak boleh keliatan sedih di depan Papa”.
“Mohon
maafnya yaa semuanya. Maafin Papa yaa, Ma, Ra, Ki. Doain Papa yaa. Semuanya,
doain saya yaa.” Dalam keadaan seperti itu, bokap masih keliatan tegar dan gak
gentar sedikitpun. Ia sudah ikhlas dengan jalan Allah yang tertuliskan
untuknya.
Gue
lihat, air mata gak ada hentinya mengalir dari orang-orang yang ada ketika itu. Setelah
selesai berpamitan, jam 21.00 bokap masuk ke ruang operasi. Baru ketika itu
tumpah semua air mata yang sudah gue tahan dari tadi. Benar-benar hancur hati
gue, gue seakan-seakan lagi bermain undian sama Allah yang gue gak tau
ketentuan apa yang akan Allah tuliskan buat Bokap.
Setelah
bokap masuk ruang operasi, semua yang mengantar Bokap pulang, cuma tinggal gue
sama nyokap yang menunggu di ruang tunggu. Adik gue pulang karena dia lagi
hamil muda. Tapi gak lama setelah itu, bang Ifan dan Ka Lia datang sama
suaminya. Jadilah kita berlima ketar ketir menunggu hasil operasi.
Operasi,
dimulai pukul 21.30, setengah jam setelah bokap masuk kamar operasi. Estimasi
dokter Saleh spesialis bedah syaraf, operasi akan berlangsung selama dua
setengah jam. Jadi kurang lebih tepat pukul 00.00 operasi selesai.
Tapi
Alhamdulillah, jam 23.00, perawat dari kamar operasi dateng ke ruang tunggu
ICU, “keluarga Bpk. Hasyim!” kata perawat manggil gue, nyokap dan sepupu2 gue, “operasi
selesai dan berjalan lancar, ibu ditunggu dokter Saleh di ruangannya.” Akhirnya
gue, nyokap, dan sepupu yang laen buru-buru nemuin dokter Saleh.
“Selamat
ibu, operasinya berhasil. Semua diluar yang saya perkirakan. Perkiraan operasi
dua setengah jam, Alhamdulillah bisa selesai hanya dalam satu jam setengah,
semua berjalan lancar”. Bokap pun setelah itu dipindahkan ke ruang ICU.
Hati
gue lega banget waktu itu, dan sepupu gue pun pulang dengan tenang setelah mendengar
kabar operasi berhasil. Mereka akhirnya mohon diri, dan yang menginap cuma gue
sama nyokap. Gue sama nyokap pun beristirahat.
Ternyata
gak selesai sampe di situ, pukul 01.00 gue sama nyokap dipanggil lagi, “keluarga
Bpk. Hasyim!” Sontak nyokap langsung kebangun dan menghampiri perawat yang datang.
“Ini ibu, bapak darahnya tinggi lagi, tensinya mencapai 230/100. Jadi bapak
harus diberi obat penurun tensinya.”
“Owh
begitu….”
“Iya,
Ibu, Ibu silahkan tanda tangan di sini,” kata perawatnya. Setelah itu nyokap
kembali istirahat.
Masih berat rasanya mata untuk terbuka, sebelum
subuh, kami dipanggil lagi, “keluarga Bpk. Hasyim!” gila emang, setiap kali perawat
datang, kami lagi-lagi dibikin deg-degan. Kami terus berharap-harap cemas
menunggu kabar yang dia bawa. Perasaan cemas tersebut bukan hanya kami yang merasakan, tapi semua yang menuggui pasien ICU merasakan rasa yang sama, “Ibu, kesadaran bapak menurun, bapak tidak bisa
bernafas secara normal, jadi kita harus memasangkan ventilator (alat bantu pernafasan) pada bapak.”
“Owh
begitu, baiklah suster...” kata nyokap.
“Terima
kasih ibu, silahkan tanda tangan di sini!”
Dan
mulai saat itu Bokap udah gak sadarkan diri, alias koma. Sampai hari rabu sore,
15 April 20, 2015 gue dipanggil oleh dokter Saleh spesialis bedah syaraf. “Dek,
tadi kami baru saja melakukan tes batang otak, dan hasilnya negatif. Tidak optimal.
Artinya, semua yang bekerja di bapak 100 persen mesin. Tidak ada respon sama
sekali dari Bapak. In syaa Allah besok, kita akan melakukan tes batang otak
sekali lagi, jika hasilnya masih tetap sama, itu tandanya keluarga sudah bisa
harus mengikhlaskan. Setelah itu kita akan melepas semua alat yang menempel
pada Bapak, hanya ventilator saja yang akan kita biarkan tetap terpasang.”
Asli,
gue gak tau harus bagaimana lagi. Gue cuma bisa pasrah sambil terus mengupdate
kabar ke kerabat agar terus mendoakan Bokap. Gue berharap apa yang baru gue
dengar hari itu hanya mimpi, trus gue bangun dan melihat Bokap baik-baik aja. Atau,
kalaupun itu benar-benar nyata, gue berharap, keajaiban terjadi, Bokap
tiba-tiba sembuh, atau apalah yang jelas bukan kesedihan yang gue harapkan.
Tapi
ternyata enggak, sunnatullah tetap berjalan. Bokap tetap koma sampai esok
harinya. Tepat hari Kamis, 16 April 2015 jam 07.00 pagi, pas gue sama nyokap
mau sarapan, perawat datang ke ruang tunggu ICU, dan lagi-lagi, “keluarga Bpk.
Hasyim!”
“Iya,
suster, ada apa?”
“Ibu
dipanggil dr. Saleh!”
“Baik,”
gue sama nyokap langsung ke ruang ICU.
“Begini,
Ibu,” dokter Saleh memulai pembicaraan, “seperti yang sudah saya jelaskan
kemarin kepada dek Fikri, bahwasannya hari ini saya akan melakukan tes batang
otak yang terakhir. Tes yang kemarin hasilnya negatif, artinya yang bekerja di
bapak 100% alat. Sekarang saya mau coba tes sekali lagi, kalau masih negatif
tidak ada perubahan, tandanya ibu dan adik harus bisa mengikhlaskan. Buat apa
kita menahan-nahan orang yang lebih dicintai oleh Allah.
Jadi
nanti prosesnya, apabila setelah tes hasilnya negatif, kita akan mencopot satu
persatu alat yang menempel di bapak. Hanya ventilator saja yang kita biarkan
tetap terpasang. Kadar oksigen yang ada di ventilator pun nanti kita turunkan
setiap 10 atau 15 menit. Sekarang kadarnya masih 100%, 15 menit kemudian akan
kita turunkan menjadi 60 persen. Begitu seterusnya sampai kadarnya menyentuh
titik 21% yang mana itu adalah kadar oksigen yang dihirup manusia pada umumnya
yang merupakan anugerah alami dari Allah Swt.”
Dan
gak lama setelah penjelasan dokter, tes batang otak pun dilakukan. Hasilnya negatif.
Maka setelah itu, seperti yang sudah dijelaskan, alat-alat yang menempel di Bokap
akan dilepas, dan kita hanya tinggal menunggu kapan waktunya.
Sejak
saat itu, baik dari keluarga ataupun yang datang menjenguk tidak henti henti
menalqinkan kalimat tauhid di telinga Bokap. Monitor yang menggambarkan denyut
jantung perlahan mulai terlihat menurun frekuensinya. Gue udah pasrah, gue juga
udah ikhlas kalau memang harus begini pada akhirnya.
Segala
usaha sudah ditempuh. Sisanya tinggal tawakkal dan berserah diri. Toh kematian
memang sudah menjadi sunnatullah yang setiap orang pasti merasakannya. Hanya saja
setiap orang berhak memilih sendiri-sendiri jalan matinya, ingin berakhir baik
atau buruk. Dan Bokap sudah meninggalkan banyak pesan agar gue bisa menempuh
jalan mati yang terbaik.
Bokap
gak berwasiat macam-macam sebelum kepergiannya, tepatnya bokap berwasiat ketika
sedang cuci darah sebelum operasi. Wasiatnya sangat simple, “Fiki, jangan tinggalin masjid. Papa
mau, masjid itu makmur. Papa titip anak-anak kecil yang papa asuh, jangan
tinggalkan mereka. Bimbing terus mereka, biar nanti mereka jadi
generasi-generasi penerus yang cinta masjid. Juga dimana pun Fiki berkiprah nantinya,
tetap berbuat untuk Al-Ma’ruf (Lembaga pendidikan peninggalan nenek gue).
Berbuat untuk Al-Ma’ruf, tapi jangan menggantungkan hidup dari Al-Ma’ruf.
Sampai
saat ini wasiat itu masih terngiang-ngiang di telinga gue.
Akhirnya,
kurang lebih jam 13.03 Bokap mengembuskan nafas terakhirnya. Saat-saat yang
paling gue takutin akhirnya datang juga. Semua bayang-bayang buruk gue menjadi
kenyataan. Takdir Allah telah tertulis, Bokap harus pergi lebih dulu.
Yaa…
mungkin itu jalan yang terbaik buat Bokap. Kita yang ditinggal sangat wajar
jika bersedih dan merasa kehilangan. Tapi bokap, dengan segala yang sudah
dilakukan semasa hidupnya, in syaa Allah, tempat terbaiklah yang sudah menunggu
di sana.
Sejak
jenazah datang dari rumah sakit, tak henti-hentinya, para kerabat, murid,
kenalan, dan masyarkat datang silih berganti membacakan surat Yasin, tahlil dan
kumandang doa. Bukan hanya keluarga yang merasa kehilangan, semua orang yang kenal Bokap sangat terpukul atas kepergiannya.
Selamat
jalan, Pa. Selesai sudah semua tugas-tugasmu. Berakhir sudah semua deritamu.
Sudah saatnya sekarang engkau menggapai semua ketenangan dan karunia Robb-mu
yang kau cinta. Doa kami anak-anakmu selalu menyertaimu.
من أحب لقاء الله، أحب الله لقاءه
Artinya: Barang siapa yang
cinta kepada pertemuan dengan Allah, maka Allah juga cinta pertemuan dengannya.
[i]
Sholat dengan maksud menghormati masuknya waktu sholat. Dilaksanakan ketika
kita tidak bisa memenuhi syarat sahnya sholat. Dan kita wajib mengqhodonya jika
sudah mampu. Tujuannya yaitu, semoga kita tidak termasuk yang melalaikan
sholat apa bila dihisab nanti.
ini postingan kenapa ga da yg komentar sih? tulisannya nyentuh bgt. pasti nulis sambil berkaca2
ReplyDeleteMakasi mampir.. emang udh jarang apdet.. ^_^
Delete