Sunday, October 5, 2014

Rindu Madinah

Mentari pagi  mulai memunculkan biasnya, perlahan sinarnya menerobos celah awan gemawan, lalu tembus sampai ke bumi berupa batang-batang cahaya. Semilir angin musim semi begitu lembut menerpa dedaunan dan membuatnya bergesekkan. Kicauan burung yang saling bersahutan tidak mau ketinggalan untuk membuat suasana pagi hari lebih ceria. Satu kata. Indah. Seperti inilah gambaran kota Syam setiap paginya. 

Tetapi di sudut lain, seorang lelaki kulit hitam, berambut keriting sedang menangis sesengukan di dalam rumahnya. Derai air mata terus mengucur tanpa henti membasahi pipinya. Suara gemuruh dari dalam dada menunjukkan ia menyimpan kesedihan yang mendalam.

Tak lama kemudian, seorang wanita cantik jelita keluar dari dalam kamar menghampiri dan duduk di sampingnya, “kamu kenapa menangis, Bilal, suamiku?” tanya istrinya.

Lalu dengan terbata-bata oleh karena air mata yang terus berderai, Bilal mencoba menjawab, “a…aku, mimpi bertemu Rosulullah semalam?”

Setelah menjawab, bilal kembali larut dalam kesedihannya, ia tak mampu membendung kucuran air mata setiap kali menghadirkan sosok Muhammad dalam ingatan. Apalagi semalam Rosulullah datang dalam mimpinya. Bermimpi bertemu Rosulullah adalah sesuatu yang nyata, karena setan tidak akan bisa menyerupainya. 

Sengaja setelah wafatnya Rosulullah Saw, Bilal meminta izin kepada Khalifah Abu Bakar untuk pergi berhijrah meninggalkan kota Madinah. Ia tidak kuat untuk tetap berdiam di sana, karena setiap sudut kota Madinah selalu mengingatkan ia kepada sosok Muhammad yang sangat ia cintai. Terus menerus kalut dalam kesedihan, bukan cara yang tepat untuk melanjutkan hidup. 

Perlahan Bilal meneruskan perkataanya, “Rosulullah berkata kepadaku, ‘apa arti semua kehampaan ini, Bilal? Sudah saatnya sekarang engkau datang menziarahiku’.”

Genap setahun Bilal bin Rabah pergi meningalkan Madinah. Kepergian Rosulullah ke haribaan Rabbnya begitu menyisakan pedih di hati para sahabat. Bukan hanya Bilal, di detik wafatnya Rosulullah, para sahabat merasa sangat terpukul. Mereka sungguh tidak percaya kalau Rosulullah benar-benar wafat. Ali bin Abi Thalib seketika membisu tidak bisa bicara saat Rosulullah mengembuskan napas terakhir, Utsman bin Affan terduduk dan tidak bisa berdiri, Umar bin Khattab si Singa Padang Pasir pergi berkeliling kota Madinah sambil mengacungkan pedangnya seraya berkata, “siapa yang berani mengatakan Muhammad telah wafat, akan kutebas lehernya dengan pedangku ini.” Diantara sahabat juga ada yang berkata, “Muhammad tidak meninggal, ia hanya pergi selama 40 hari, seperti dulu Musa meninggalkan kaumnya.” Kesemuanya berusaha menepis kenyataan bahwa Rosulullah telah tiada.  

Hanya Abu Bakar yang ketika itu bisa ikhlas menerima kenyataan. Ia mengumpulkan para sahabat di masjid lalu berbicara di mimbar. Setelah mengucap hamdalah dan shalawat, ia melantunkan ayat:

وما محمد إلا رسول قد خلت من قبله الرسل أفإين مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم، ومن ينقلب على عبيه فلن يضر الله شيئا، وسيجزي الله الشاكرين [آل عمران :144]

Artinya: Muhammad itu tidak lain hanyalah Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang maka ia tidak dapat mendatankan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali Imran: 144)

Para sahabat sungguh tercengang ketika mendengarkan ayat tersebut, mereka seakan baru pertama kali mendengarnya, padahal Al-Qur’an sudah mengalir dan mendarah daging dalam jiwa dan raga mereka. 

Lalu Abu Bakar melanjutkan perkataannya, “wahai para sahabat, barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah tiada. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka sungguh dialah Allah yang Maha hidup tidak akan binasa.”

Detik wafatnya Rosulullah adalah saat dimana Kota Madinah pecah oleh tangis kesedihan para sahabat, meski mereka sangat paham bahwa kematian Rosulullah hanyalah perpindahannya ke alam barzakh yang abadi. Mereka paham, bahwa kematian adalah sunnatullah yang pasti tanpa terkecuali. Mereka juga sangat paham, bahwa tubuh yang membujur kaku hakikatnya tidak benar-benar mati, karena sebagaimana yang tersampaikan dalam sabdanya, bumi tidak akan memakan jasad para Nabi, begitu juga dengan dirinya yang ia adalah imamnya para Nabi dan Rosul. Nabi dan Rosul akan tetap hidup dalam kuburnya.  

Tidak sampai di situ. Para sahabat juga paham, bahwa wafatnya Rosulullah, adalah saat terindah yang ia nanti untuk bertemu Rabb yang begitu mencintainya. Rabb yang menyandingkan namanya tepat setelah nama agung-Nya di pintu surga dan di pilar-pilar arsy singgasana-Nya – ‘laa Ilaaha Illallah, Muhammadun Rosulullah.’ Dan sudah dipastikan, Tuhan semesta alam tidak akan menyandingkan nama seseorang dengan namanya kecuali ia adalah mahluk ciptaanNya yang tercinta. 

Tapi yang namanya perpisahan di dunia akan selalu meninggalkan sedih, apalagi yang pergi adalah orang tercinta. Dialah Muhammad yang telah mengorbankan jiwa raganya demi umatnya. Dialah Muhammad yang siang dan malamnya ia curahkan untuk kesejahteraan umatnya di dunia dan akhirat. Dialah Muhammad yang selalu memohonkan ampun atas umatnya dalam setiap munajat panjangnya. Bukan hanya manusia yang bersedih, tapi alam semesta ikut berduka atas kepergiannya.

Keesokan harinya, Bilal bin Rabah pergi meninggalkan Kota Syam menuju Madinah. Ribuan kilometer ia tempuh demi memenuhi panggilan Rosulullah untuk ziarah kepadanya. Langkah demi langkah yang ia tempuh semakin mendidihkan rasa rindu yang membuncah dalam dada. Sudah tidak sabar rasanya ia ingin cepat sampai di Madinah. 

***

Perjalanan panjang telah ditempuh, akhirnya sampai juga Bilal di gerbang pintu Madinah. Tak terasa air mata mulai meleleh kembali bercucuran di pipinya. Pelan ia melangkah menuju makam Rosulullah. Sesekali ia bertemu dengan sahabat di tengah jalan, ia berhenti sebentar melepas rindu, lalu berjalan kembali. 

Udara kota Madinah yang terhirup olehnya, membangun kembali kenangan-kenangan bersama Rosulullah yang tak lekang oleh waktu. Setiap penjurunya begitu kental menghadirkan wujud Rosulullah dalam khayalan. Sungguh hanya jasadnya yang pergi, hakikatnya ia tetap hidup dalam jiwa mereka para sahabat dan umat-umat yang begitu mencintainya. 

Sesampainya di makam Rosulullah, Bilal berdiri tepat di depannya, lalu diucapkanlah salam olehnya. Dan tak lama kemudian, oleh karena rasa rindu di dalam yang tak tertahankan, Bilal meracau dan menangis di pusara yang tercinta, Muhammad. Sekelebat ingatan akan masa-masa ketika Rosulullah masih hidup kembali hadir di memorinya. Ia teringat saat ia selalu membawakan barang-barang Rosulullah, kemana Rosulullah pergi ia selalu ikut dengannya. Bayangan-bayangan tersebut semakin jelas terbingkai, sehingga membuat tangisan Bilal semakin menjadi.  

Sudah puas rasanya Bilal melepas rindu di pusara Rosulullah, meski perasaan sedih akan kepergianya masih terus tersisa di sanubarinya. Setelah berziarah, ia duduk-duduk bersama para sahabat yang lainnya di dalam masjid. Diantara mereka ada Abu bakar dan Umar. Mereka berbincang ringan sekedar bernostalgia mengenang sosok Muhammad yang akan terus hidup dalam hati dan pikiran mereka.  

“Bilal,” sapa Abu Bakar, “sebentar lagi Zuhur, sudah lama rasanya kami tidak mendengarkan suara adzanmu. Bagaimana jika Zuhur ini kamu yang mengumandangkan adzannya?”

“Ayolah Bilal,” Umar menambahkan, “adzanlah untuk kami sebagai mana kamu adzan ketika Rosulullah masih hidup.”

Bilal termenung lalu menyunggingkan sedikit senyuman tanda ia menolak halus permintaan Abu Bakar dan Umar. Dan lagi-lagi ia menitikkan air mata, “maaf Abu Bakar, aku tidak bisa. Setelah Rosulullah wafat, aku sudah tidak lagi mengumandangkan adzan. Mengumandangkan adzan selalu mengingatkanku akan Rosulullah. Dulu setiap setelah selesai adzan, biasanya aku langsung berlari ke kamar Rosulullah sekedar mengingatkannya, ‘wahai Rosulullah, telah tiba waktu sholat.’ Tapi sekarang…” Bilal terhenti. 

Abu Bakar dan Umar memaklumi. Satu tahun kepergian Rosulullah, belum cukup untuk menghilangkan kenangan bersamanya. Setiap kali teringat, rasa sedih itu kembali muncul dari dalam diri. 

Suasana hening. Kemudian datanglah Hasan dan Husein – cucu Rosulullah, buah hati Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib – masuk ke dalam masjid. Saat ini Hasan telah berumur 9 tahun dan Husein 8 tahun. Mereka menghampiri Bilal, kemudian Bilal merangkul keduanya. 

Melihat Hasan dan Husein, Bilal teringat waktu mereka dimanja oleh Rosulullah, bermain dengan Rosulullah, dan bercengkrama bersama Rosulullah. Betapa Rosulullah sangat sayang kepada mereka. Perangai Hasan dan Husein sangat mirip dengan Rosulullah, siapapun yang melihat mereka seakan melihat Rosulullah ada dalam diri mereka. Aroma kehidupan Rosulullah akan terus harum bersemi pada anak cucu keturunannya. 

“Apa kabarmu, Bilal?” Hasan membuka percakapan.
“Mengapa kamu baru datang? kami di sini merindukanmu,” Husein menimpali. 

Bilal tersenyum menatap mereka berdua, “aku baik-baik, dan aku juga rindu pada kalian.” 

“Bilal,” Hasan melanjutkan, “aku merindukan suara adzanmu. Aku ingin medengarmu melantunkan adzan, seperti waktu kakek kami masih ada.”

“Iya, Bilal,” Husein ikut menimpali, “aku juga ingin mendengarmu melantunkan adzan kembali.”

Bilal terdiam beberapa saat setelah mendengan permintaan Hasan dan Husein, sambil menyeka air matanya, ia melanjutkan, “Hasan, Husein, baru saja aku menolak permintaan Abu Bakar dan Umar untuk kembali mengumandangkan adzan seperti waktu Rosulullah masih ada. Tapi kalian, apa yang akan aku katakan kepada kalian? Aku takut, jika aku tidak menghiraukan permintaan kalian di dunia, Rosulullah tidak akan menghiraukanku nanti di akhirat. Baiklah aku akan adzan Zuhur ini,” Bilal tersenyum menatap keduanya. 

Mendengar permintaanya dikabulkan, seutas senyum bahagia terukir di bibir Hasan dan Husein cucu kesayangan Rosulullah. Mereka dan para sahabat yang berada di dalam masjid sudah tidak sabar menanti waktu Zuhur demi mendengarkan kumandang adzan dari seorang Bilal bin Rabah, muadzin Rosulullah.

Waktu Zuhur pun tiba, Bilal bersiap-siap lalu berjalan menaiki tempat tinggi di atas Masjid dimana ia biasa mengumandangkan Adzan. Ia berusaha menguatkan dirinya, meski rasa sedih di dada kembali bergolak menggelora memenuhi jiwanya. Jari telujuk kanan ia masukkan ke telinga, lalu telapak tangan menutupi sebagian pipi kanannya. Ia siap memulai, ‘Bismillahirrohmanirrahim.’

Allahu Akbar, Allahu Akbar

Seketika gemparlah kota Madinah dengan tangisan. Siapapun yang mendengarnya secara spontan menitikkan air mata. 

Allahu Akbar, Allahu Akbar

Lalu terdengarlah suara wanita-wanita meraung berteriak dari dalam rumah, “adakah Rosulullah diutus lagi?” 

Asyhadu an laa Ilaaha illallah. Asyhadu an laa ilaaha illallah.

Tidak sedikit dari para wanita yang ikut berhamburan keluar ketika menedengar suara Bilal mengumandangkan adzan. Para penduduk Madinah semua berkumpul bersatu di masjid. Teriakan-teriakan pun tak henti terdengar, “… Rosulullah diutus lagi, Rosulullah diutus lagi,” mereka saling bersahutan.

Sampailah pada kalimat:

Asyhadu anna Muhammadan Rosulullah...

Suara Bilal menjadi sayu, ia tidak mampu meneruskan adzanya. Air mata bercucuran membasahi pipinya. Dan pada saat itulah kota Madinah berlinangan Air mata lebih deras dari pada saat Rosulullah wafat. 

Suara adzan Bilal telah membasahi hati mereka dengan kerinduan kepada Rosulullah. Semua itu menunjukkan bahwa Rosulullah selalu hidup di hati mereka para sahabat dan orang-orang yang mencintainya. 

Dan jika hidup itu seluruhnya tentang mencinta, maka mencintainya lebih dari apapun, bahkan lebih dari diri sendiri adalah hakikat hidup. Cinta kepadanya merupakan simbol kesempurnaan iman, yang diikuti setelahnya dengan pengamalan ajarannya serta pelestarian sunnah-sunnahnya.

Saturday, September 20, 2014

Luka

Salah jika aku ingin dicinta? Salah jika aku ingin dimanja dan dikasihi? Salah jugakah jika aku ingin mendapatkan kasih sayang dari orang yang telah mengikrarkan janji sucinya kepadaku? Mungkin salah, karena aku mengharapkan semua itu dari dia yang ucapnya hanya sampai di bibir tanpa bisa terus meresap lalu mengendap ke dalam relung.

Kejutan manisnya, sapaan hangatnya di pagi hari, lelucon jenakanya yang selalu membuatku tersenyum, bahkan kata-kata puitisnya yang sering ia rangkai sebelum mataku terpejam di malam gelap, begitu apik ia merangkai semuanya menjadi topeng kesatria srigala biru. Ia menyembunyikan wajah aslinya dibalik paras sang pangeran tirta. Menawan. Mempesona. Aku tertipu.

Ingin rasanya aku berteriak mencaci, meracau di depannya, seraya berkata, ‘kamu bajingan Andreeee!’ Tapi untuk apa, semua cercaku pasti kan ditampik dengan segala pembelaan egonya.  Mulut besarnya akan dengan mudah mematahkan rasa kecewaku yang mendalam hanya dengan beberapa kata. Ya, beberapa kata saja. Itulah lelaki, mereka selalu begitu…

***

“Nabilaaa, tunggu! Aku bisa jelasin semuanya ke kamu. Apa yang kamu lihat tadi tidak sepenuhnya sama dengan apa yang kamu pikirkan.” Andre terus berlari mengikutiku sambil  meneriakkan kata-kata agar aku berhenti dan mendengarkan semua alasannya.

Aku tak peduli.

Hujan deras di tengah malam tak menyurutkan langkahku untuk berlari dan berlari. Gemuruh angin dan hantaman geledek tak sedikitpun membuat nyaliku ciut menembus gulita dengan pasti. Aku benar-benar muak dengan kejadian malam ini. Meski lelah, kupaksakan kakiku untuk terus mengambil langkah demi langkah. 

“Nabilaaa, tunggu!” Andre masih mengejarku. Pikiranku kalap. Yang kumau sekarang hanya pulang ke rumah orang tuaku. Aku rindu Ibu. 
“Taksiiii!” Kupanggil taksi yang sedang berjalan pelan ke arahku, sambil sesekali menoleh kebelakang, memastikan bahwa jarak Andre cukup jauh dariku. 

Dengan sigap dan agak tergesa aku masuk ke dalam taksi tersebut, “jalan, Pak!” Setelah taksi melaju, aku melihat Andre dari balik kaca sedang berhenti tersengal-sengal, ia mengatur napasnya dengan sedikit merunduk di sisi trotorar. 

Bibirku kelu, badanku basah kuyup, otakku sudah tidak bisa mencerna lagi kejadian yang barusan aku lihat di rumah. Semua begitu cepat. Dalam hatiku berharap semua hanya mimpi. Tapi ternyata tidak. Semua begitu nyata dan tegas menyapaku. Mungkin, ini adalah akhir dari kisah rumah tanggaku yang hanya seumur jagung. 

Perjalanan tugasku ke Medan dibatalkan. Aku pulang ke rumah tepat jam 10.00 malam. Sungguh tak disangka. Dibalik semua itu ada sekenario Tuhan yang ingin Ia sampaikan. 

September kelabu. Rasanya judul lagu tersebut sangat cocok disandingkan dengan kisahku yang suram. Sungguh sebuah akhir yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Bulan ini tepat bulan ke enam aku menjalani sebuah mahligai rumah tangga bersama orang yang sudah kutancapkan akan kucintai seumur hidup. Tetapi awal yang indah, ternyata tidak bisa menjamin mulusnya jalan. 

Andre. Seorang wiraswasta mapan yang melamarku enam bulan yang lalu. Parasnya yang tampan, serta latar belakang keluarga yang baik cukup, bisa meluluhkan hatiku dan keluargaku, meski baru kali itu aku mengenalnya secara langsung ketika ia datang melamar. Sebelumnya, aku hanya mengenal profilnya sekilas dari penjelasan pamanku. Cukup baik, makanya setelah lamaran, tanpa jeda waktu yang panjang pernikahan kami pun berlangsung.

“Ini kita mau ke mana ya, Bu?” Sapaan supir taksi di tengah rintik hujan menyadarkan lamunanku. Aku terhenyak, kemudian mencoba meraba-raba kembali pertanyaan supir taksi tersebut, aku masih trauma, “hmm, kita ke arah Depok, Pak. Margonda,” jawabku singkat. 

“Bisa minta tolong turunkan sedikit cooler AC-nya, Pak. Saya kedinginan.” Pintaku kepada sopir taksi. Pandanganku kosong ke luar. Jalanan terlihat sepi sekali, hanya beberapa mobil yang masih lalu lalang di tengan malam seperti ini.

Entah mengapa lajunya taksi terasa pelan dan tidak kunjung sampai. Padahal jarak antara rumahku yang berada di bilangan Cibubur dengan rumah Ibu tidak terlalu jauh. Suasana hatiku yang kalut menyebabkan semua begitu melambat. Sudah tidak sabar rasanya ingin cepat bertemu dengan Ibu. Hanya kepadanyalah aku bisa berbagi keluh kesah, setelah malaikat penjagaku lebih dulu pergi meninggalkan Ibu di bulan pertama usia pernikahanku. 

Jam digital di dashboard taksi menunjukkan pukul 10.30 pm. Kurang lebih setengah jam yang lalu kejadian itu menimpaku. Dan seketika bayangan akan kejadian tadi terekam jelas berbayang di memori kepalaku. Sungguh memilukan. Wanita mana yang tidak tersayat hatinya, melihat orang yang ia cintai mengkhianatinya di rumahnya sendiri. Hatiku remuk.

Layaknya seorang wanita yang telah dinikahi, aku ingin menjadi seseorang yang bisa membahagiakan suamiku tercinta. Menjadi tuan putri di hatinya, dan melahirkan anak-anak yang pintar hasil buah cinta kami. Pintaku sederhana, aku hanya ingin mencinta dan dicintai, lalu bersama-sama membangun sebuah istana bernama keluarga yang bahagia. Tekad yang kubangun di awal pernikahan pun sudah meraja, menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadanya, dan berusaha saling menguatkan dalam suka dan duka, adalah niatan tulusku mengabdi kepadanya.

Tapi semua sirna.

Enam bulan aku bersabar, selama itu pula suamiku belum mau menjadikan aku wanita seutuhnya. Entah apa alasannya. Ia hanya bilang bahwa kondisinya tidak memungkinkan. Ia butuh waktu dan selalu meminta waktu. Dan lagi-lagi sebagai wanita, aku hanya bisa menunggu dan bersabar, toh selama ini perhatiannya yang tercurah kepadaku begitu besar, kasih sayangnya juga terasa tulus. Satu kalimat. Aku bahagia dalam tanda tanya.

*** 

Rona kuning lampu jalan, menghias aspal basah menjadi mengkilap indah bak jalan sutra meruas jingga. Rintikan hujan yang mulai mereda, mengubah kelam yang tadinya begitu mencekam dengan geretakan petir dan cahaya kilat, menjadi lebih tentram dan sedikit bersahabat. Aku termenung, mengenang masa indah yang berakhir luka, sama saja seperti membuat luka baru dan menyiramnya dengan air garam. Aku luka tapi mencinta. Aku mencintai suamiku dengan segala goresan yang menorehkan merah di dada. 

“Kita sudah di jalan raya Margonda, Bu. Terus kita mau kemana?” 

“Terus aja, Pak. Nanti lampu merah samping gedung telkomsel belok kanan yaa, Pak. Gak jauh dari situ kok.”

Sudah tidak sabar rasanya ingin bertemu Ibu, ingin sekali kuluapkan semua sesakku dalam peluknya. Aku ingin melepaskan segala gundah yang selama ini mengendap, dalam belaian hangat titisan surga yang mengalir dari tangannya.  Tapi aku masih bingung dengan apa yang akan aku sampaikan. Meski Ibu tempatku mengadu, untuk masalah ini aku belum sampai hati menceritakan kepadanya. Ia pasti kecewa dan menitikkan air mata karenaku. Sebagai anak sulung, akulah yang diharapkan menjadi contoh bagi adik-adikku dalam membina sebuah rumah tangga.

Tak lama kemudian, taksi berhenti di depan rumah Ibu. Perlahan aku turun dari taksi lalu berjalan mendekati pagar rumah. Perasaanku semakin kalut. Tak henti-hentinya air mata menetes hangat membasahi permukaan pipiku. 

Malam ini tidak seperti biasanya. Lampu ruang tamu depan masih menyala, padahal malam sudah cukup larut. Sambil masih menitikkan air mata, kupencet bel yang berada tepat di ujung pagar. Kemudian terlihat adikku Rafa mengintip dari balik jendela, lalu keluar membuka pintu dengan cepat.

Rafa datang ke arahku dengan sedikit berlari, “Kak Nabila? Kak Nabila kenapa?” tanyanya sambil membukakan kunci pagar. 

“Ibu sudah tidur, Raf?” tanyaku dengan suara lirih di sertai sesenggukan. 

“Ibu ada, Kak. Belum tidur, masih wiridan habis sholat witir tadi. Gak biasanya juga Ibu belum tidur jam segini.”

Aku dan Rafa masuk ke dalam rumah, setelah ia mengunci pagar kembali. Jantungku berdebar, dan air mata pun semakin menjadi saat aku memasuki rumah. 

“Bu, ada Kak Nabila, Bu.”

Ibuku bangun dari tempat sholatnya dan datang menghampiriku yang sudah duduk di sofa ruang tamu, “Nabila! Kamu kenapa malam-malam begini?”
Kupeluk Ibuku erat, lalu tumpahlah tangisku dalam rangkulnya. Sungguh pelukannyalah yang bisa membuatku meluapkan semuanya. Aku belum bisa berucap apa-apa. Hanya tangis dan tangis yang bisa kucurahkan. 

Ibu membelai lembut kepalaku penuh sayang, “mengangislah, Nak. Menangislah dulu. Ibu ada di sini.” Mendekapku dalam tangis, membuat Ibu juga meneteskan air mata. Ia mengerti betul apa yang sedang aku rasakan, walaupun aku belum bercerita sepatah kata kepadanya. 

Puas sudah aku menangis, dan perlahan sesenggukanku mulai mereda. Kucoba mengeluarkan kata-kata dari mulutku dengan tertatih, “Ma… Mas Andre, Bu.”

“Mas Andre kenapa, Nak?”

“Mas Andre,” aku kembali sesenggukan menyebut nama suamiku.

Ibu mengusap-usap kepalaku lembut dan terus menenangkanku, “iya, Nak. Ada apa dengan Mas Andremu?”

“Mas Andre tidur dengan Rio di kamarku, Bu.”

“Apa?” Ibuku terkejut, seakan tidak percaya dengan apa yang barusan aku katakan.

“Iya, Bu. Mas Andre tidur dengan Rio. Itu makanya sampai saat ini ia tidak bisa menyentuhku sebagai istrinya.” Tangisku kembali menderai. Meski luka, aku merasa sedikit lega telah menceritakannya kepada Ibu.

“Ya Allah,  yang sabar ya, Nak. Ini ujian bagimu dan bagi kita semua.” Ibu terus menenangkanku. 

“Iya, Bu. Maafkan aku. Rumah tanggaku gagal.”

“Sudah, Nak. Sudah. Ini bukan salahmu.”

*** 

28 September 2007. Hari ini aku resmi bercerai dengan Mas Andre, suamiku. Begitu singkat perjalananku bersamanya. Enam bulan. 

Aku tidak tahu, entah kepada siapa selanjutnya hatiku akan berlabuh. Perjalanan cinta yang aku impikan hanya sekali seumur hidup berakhir kandas di awal jalan. Tapi aku yakin semua ada hikmahnya. Rencana Tuhan begitu indah. Perihnya luka di muka, berarti pertanda tangan-Nya meraihku keluar dari jurang kepedihan yang lebih dalam.

Aku ikhlas.






   

   



Friday, September 19, 2014

The Liebster Award 2014



Whooaaa… gue gak tau juga harus mengungkapkan perasaan dengan cara gimana ketika gue dengan secara terhormat mendapat penghargaan Liebster Award, *sambil terharu ala Agnes Mo*. Soalnya yang gue rasain itu campur aduk brooh, antara senang, harap-harap cemas, sama tanda tanya, ‘ini liebster award sebenarnya apaan sih?’ Dan dengan tololnya, ketika mendapat penghargaan ini otak gue langsung berimajinasi tentang hadiah yang bakal gue dapet, mulai dari liburan keliling eropa, dapet Chevrolet Camaro, atau dapet kupon gratis makan es krim Baskin Robin sepuasnya. Hahaha… tapi sayang, ternyata ekspektasi gue terlalu tinggi waktu gue baca deskripsi tentang liebster award dari bang Fandhy. 
Di blognya bang Fandhy, My Blog, ada yang bilang Liebster Award itu penghargaan buat blogger yang followersnya di bawah 200. Omaigaaaad, followers blog gue cuma 8 butir, hahaha… Itu penghargaan apa penghinaan? Hahaha.. Ada juga yang bilang klo liebster award itu semacam Panasonic award, cuma bedanya kalau Panasonic Award buat para artis, ini buat blogger, jadi gue gak salah dong terharu ala Agnes Mo pas dapet penghargaan ini, hoho… Tapi sesungguhnya, ce ile sesungguhnya haha… liebster award ini adalah sarana silaturrahimnya para blogger. Dia mirip acara tukeran kado yang seinget gue rame banget tu di era 90-an waktu gue masih TK.
Nah, cara kerjanya liebster award sampe doi bisa dibilang sarana silaturahimnya para blogger tu gini brooh…:
Pertama-tama, yang dapet ginian ni kudu ngenalin 11 fakta tentang dirinya sendiri. Kedua, dia harus menjawab 11 pertanyaan dari orang yang memberi liebster award. Di sini gue dapet 2 biji ni, dari bang Fandhy sama Nikmal, jadi gue harus jawab 22 pertanyaan sekaligus, hohoo… Ketiga, dia harus ngasih award ini kepada 11 teman blogernya (NB: si empunya blog  harus tau dengan cara komentar di blog yang kita kasih award/mention ke kun twitternya). Dan yang terakhir dia harus ngasih 11 pertanyaan ke 11 teman blogger yang dia kasih award ini. 
Oke sip langsung aja deh, gue mau ngasih tau 11 fakta tentang gue, hehe… Berasa jadi objek On the spot euy…

1. Gue seorang jomblo yang baru kembali ke fitrah setelah sadar menjomblo itu lebih terhormat.
2. Penikmat teh, gue paling suka minum teh Kenya yang dicampur sedikit daun mint, itu rasanya gila. Lo harus nyobain! Hehe…
3. Ice Cream addict, khususnya Baskin Robin. Gak tau juga, gue bisa berubah sifat seketika menjadi balita kalau udah diiming-imingin sama ni es krim. 
4. Mengidolakan jengkol sebagai makanan favorit, jadi kalau ada rendang vs jengkol balado, gue lebih milih jengkol, hidup jengkooool!
5. Mahasiswa semester akhir di negri antah berantah, Yaman, yang lagi berusaha sibuk dengan tugas akhir dan ujian akhir. Gue juga kurang paham tu konsep ‘berusaha sibuk.’
6. Suka banget main basket, tapi sayang gak berefek ke badan. Haha…
7. Pengen bisa karate, tapi malu belajarnya gara-gara trauma di cie-ciein waktu ngikutin kuda-kuda pas waktu kecil… haddeeh.
8. Pengen jadi penulis yang nelorin banyak buku, tapi nulis 2 lembar aja udah pilek.
9. Pengen tinggal di Prancis 3 th aja. Jualan kardus bekas juga boleh, yang penting tinggal di sana. 
10. Senang berteman, tapi paling gak suka dibohongin dan dikecewain, hohoo… yang ini lagi akting sok alay. 
11. Paling gak suka dengan sesuatu apa aja yang bersifat terlalu formal, contoh: Upacara Bendera.

Nah, sekarang gue mau jawab 11 pertanyaan dari bang Fandhy:
1. Bagaimana pendapt kalian tentang blog saya (My Blog)? Blognya keren bang, tulisannya asik-asik, banyak dapet pengetahuan baru…
2. Dalam waktu seminggu, berapa banyak postingan blog yang dapat kalian buat? Kalau buat nulis blog aja sih, tiap hari satu tulisan kayaknya bisa, tapikan ya males,  ya internet kusut, ya badan pegel-pegel, sariwan, bibir pecah-pecah, susah buang air besar, de-el-el daah, itu kadang menghambat mood menulis blog.
3. Pilih Syahrini atau Ashanty? Ashanty laaah… haha
4. Selain ngeblog, apa hobi kalian? Kayaknya paling hobi makan deh gue…
5.  Apakah saya termasuk idola kalian? Kalau tidak siapakah idola kalian? Wah, kayaknya belum termasuk idola deh bang, kalau udah pasti fotonya udah gue jadiin baleho sunatan ponakan gue, hehe. Idola gue yang paling top sih bokap, baru dah yang laen laen…
6.  Moment apakah yang pernah kalian dapat dari ngeblog? Moment masih pengen nulis tapi kebelet pipis, akhirnya pipis dulu, pas balik gak taunya semua ide nulisnya ikut kebuang. Nah lho! Haha…
7. Punya cita-cita kan? Kalo punya, itu kalian mau jadi apa? Punya dong, jujur gue pengen banget jadi pembalap, haha… tapi kayaknya gak kesampean daah… malah nyasar ke Yaman coba…
8.  Kalau suruh milih, hewan apa yang ingin kalian jadokan hewan peliharaan? Gue gak melihara sih, tapi kalau kepinding tiba-tiba bersarang di bawah kasur gue itu termasuk melihara gak yaa?
9.  Apa genre music yang kalian suka? Apa aja sih, tp biasanya kalau suasana hati lagi kurang enak, gue suka dengerin musik yang agak dustak-dustak, abis itu karokean lagunya Eminem sampe mulut keram…hahaha
10. Ada momen yang kamu sesali? Kalaupun ada momen apakah itu? Momen ketika apa yg diharapkan tidak tercapai, alias gagal. hehe... Untungnya gue punya ortu yang super sayang... Thx, Mom, Dad....
11. Suka baca buku? Kalo suka baca buku, jenis buku apa yang kalian suka? Suka dong, kalau yang paling di suka sih yang bikin ngakak pastinya. Selebihnya tergantung minat lagi mau baca apa… hehe…

Sekarang gue bakal jawab 11 pertanyaan dari Nikmal:
1. Jomblo itu adalah mahluk mulia yang sedang mempersiapkan dirinya menjadi pribadi yang anggun untuk pasangan yang akan ia jadikan cahaya abadinya seumur hidup. Gila! keren kan defenisi gue tentang jomblo… haha..
2. Aku pengen jadi pahlawan bertopeng, karena pahlawan bertopeng idolannya Sinchan.
3. Aku mau di Indonesia ada kereta bawah tanah karena bosan banget sama yang namnya macet, apalagi di Jakarta, mungkin kereta bawah tanah bisa sedikit meringanka kesumpekan yang ada di Jakarta.
4. Saat ini aku mau makan mie ayam yamin, karena kangen banget dah lama gak makan itu… 
5. Aku ngefans sama Andrea Hirata, karena tulisannya keren dan menginspirasi banget.
6. Tempat favoritku adalah alam, semua yang berbau alam, gunung, air terjun, pantai, hutan, de el el yang berbau alam daah…
7. Sebelum aku mati aku ingin semua tanggunganku lunas, gak ada beban, dan mengucapkan dua kalimat syahadat di embusan nafas terakhir.
8. Aku pengen ke negara Prancis karena di Negara itu aku merasa bisa melihat lebih dalam, #apa sih… haha.. gak tau deh pokoknya pengen ke sana aja. 
9. Aku pengen liburan ke Manado, trus nyobain diving di Bunaken.
10. Aku ingin punya hati yang kuat karena itu modal utama hidup.. hohoo…
11. Aku milih capres nomer urut 1

Oke, sekarang giliran gue yang bakalan milih 11 blogger nominator yang akan menerima award ini, mereka adalah, jreng… jreng…!
1. Einca Ratnasari  eincasarii.blogspot.com
2. Rofie Khalifa rokhaworld.blogspot.com
3. Anggie world-sastra.blogspot.com
4. Meylisa Eka meilisaekana.blogspot.com
5. Eka Annisa kaannisa.blogspot.com
6. Syammas Zuzu syammaszuzu.blogspot.com
7. Fidelia Harris fideliaharris.blogspot.com
8. Icha Rahma notorious-swag.blogspot.com
9. Ahmad Kocil kakang-prabu85.blogspot.com
10. Ira Chandra Puspita aierachan.blogspot.com
11. Kamal Rummy bujangpadangpasir.blogspot.com

Dan pertanyaan gue buat kalian adalah:
1. Sahabat itu…
2. Kenapa menulis?
3. Siapa orang yang paling menginspirasi dalam hidup kalian? Dan mengapa?
4. Menurut kalian Dora itu orangnya gimana? #nah_lho, haha… Jawab aja deh… hehe…
5. Pernah jatuh atau kecewa? Kalau pernah, apa yang memotivasi kalian bisa bangkit?
6. Rumah makan Padang atau Sunda? Kenapa?
7. Dari kapan suka menulis? 
8. Siapa penulis favorit kalian? Mengapa?
9. Hantu paling menyeramkan adalah…
10. Pilih es krim atau cokelat? Kenapa?
11. Apa pengalaman kalian tentang Doa?
Oke sip, itu aja dari gue. Selamat mengerjakan. Diisi dari yang paling mudah dulu aja. Itu saran gue… hehe…




  1.  

Saturday, September 6, 2014

Flight with Russian Man


Udara pagi benar-benar sejuk dengan tetesan embunnya. Jalan-jalan terlihat masih sangat sepi, belum ada tanda-tanda aktifitas masyarakat akan dimulai pagi itu. Mungkin orang-orang masih enggan keluar rumah atau sekedar mencari minuman hangat dan sepotong roti untuk sarapan, sebab suasana kota yang beriklim dingin sedang hangat menggentarkan karena suara-suara tembakan yang hampir terdengar setiap saat.
Land Cruiser Prado dengan plat CD melesat dengan gagahnya menembus pos-pos penjagaan tanpa hambatan, padahal ketika itu hampir semua jalan protokol di San’a - ibu kota Yaman - ditutup karena situasi politik yang masih tidak stabil di Negara tersebut. Setiap kali melewati pos, para tentara bersentaja laras panjang yang berjaga hanya hormat, lalu mempersilahkan mobil untuk berjalan kembali.
Aku yang duduk di sebelah kanan supir begitu asik menikmati suasana indah pagi hari yang tersuguhkan dari kota tempat istana Ratu Balkis pernah berdiri megah, sebelum akhirnya Nabi Sulaiman As memindahkannya ke Palestina. Meskipun begitu, kesunyian malam masih terasa hingga sang mentari muncul.
Pagi itu tujuanku ke Bandara Internasional San’a. Aku diantar oleh salah seorang staf KBRI yang kebetulan kerabat dekat sepupu iparku. Pak Huda namanya. Ia duduk di kursi tengah tepat di belakang sopir. Sengaja ia mengantarku ke bandara lantaran situasi keamanan kurang memungkinkan bagiku untuk pergi sendiri. Karena  pastinya akan banyak hal sulit yang aku hadapi di tengah perjalanan, mengingat situasi kota dalam keadaan siaga I.
Sesampainya di bandara, aku langsung diantar masuk oleh Pak Huda. Pagi ini ia berpenampilan agak santai tidak seperti waktu aku  menemuinya di kantor. Dengan celana jeans biru langit, Polo T-shirt berkerah, dan jas cokelat, serta id-card yang selalu terkalung di lehernya, ia terlihat cukup berwibawa, dan dengan tanda pengenalnya tersebut ia bisa menemaniku hingga masuk ke ruang tunggu yang biasanya hanya diperkenankan untuk penumpang.
Tak lama setelah itu ia pamit, karena masih ada banyak pekerjaan yang harus di selesaikan di kantor. Lalu akupun beranjak menghilangkan jengah dalam diriku dengan melihat-lihat jajanan yang ada di ruang tunggu sambil membeli sedikit tambahan souvenir untuk oleh-oleh keluargaku di rumah.
***
Menunggu adalah hal menyebalkan yang selalu saja menyelingi kisah perjalanan hidup, entah sudah berapa cokelat yang habis kumakan di ruang tunggu, untung akhirnya tiba juga waktuku untuk masuk ke pesawat. Para petugas terlihat bersiap-siap untuk menertibkan para penumpang. 
Sesaat kemudian pintu kaca terbuka, lalu aku mengambil langkah maju bersama para penumpang lain memasuki bus yang akan mengantarkan penumpang ke pesawat yang akan mereka tumpangi. Maklum, bandara internasional San'a mungkin hanya sepertigapuluhnya bandara Soekarno-Hatta, sehingga belum mempunyai fasilitas belalai gajah untuk masuk ke pesawat.
Di atas pesawat, aku langsung mencari tempat dudukku dan dengan sigap kumasukkan ransel kecilku ke bagasi kabin. Alhamdulillah, aku dapat window seat left side. Tempat yang menurutku paling nyaman ketika bepergian sendiri naik pesawat terbang. Karena aku tahu kemana harus membuang jenuh saat kudapatkan teman sebangkuku kurang familiar untuk diajak bicara. 
Tapi sayangnya, teori 'kebahagian dan kesedihan datang sepaket dalam kehidupan kita' itu juga berlaku di sini. Di saat aku bahagia bisa membuang jenuhku dengan melihat pemandangan di luar, ketika itu juga aku sedih karena sulit berkomunikasi untuk sekedar bilang "maaf saya mau pipis." Resiko.
Orang-orang masih sibuk mencari tempat duduknya masing-masing. Diantara mereka juga ada berusaha memaksakan kopernya yang besar untuk tetap masuk, padahal seharusnya ditempatkan dibagasi pesawat pada saat chek-in tadi, bukan diletakkan di bagasi kabin. Pramugari berparas cantik dengan wajah campuran arab dan eropa terlihat sangat sibuk menertibkan penumpang. Meski demikian, senyum manisnya tak henti tersungging dari bibir merahnya.
Sesudah mengambil posisi nyaman, aku mengambil majalah dari kantong belakang kursi di depanku. Perlahan aku baca judulnya dengan terbata-bata, “F-l-y  E-m-i-r-a-t-e-s…”. Ya, akhirnya aku berhasil membaca judul besar dari majalah tersebut, masih ada beberapa kata lagi yang harus aku baca. Sebenarnya aku cukup lancar berbahasa Inggris, tapi terkadang bepergian jauh menurunkan kecerdasanku hingga 80 persen. Maka hanya 20 persen dari kecerdasan yang bisa aku gunakan selama bepergian, dan satu persennya sudah kugunakan untuk membaca judul majalah petunjuk keselamatan penumpang. Bodoh.
“Buffh…!” Di tengah konsentrasiku membaca judul majalah tersebut, seorang laki-laki berkulit putih dengan kemeja hitam dan celana jeans biru tiba-tiba duduk di sebelah kananku. Apa yang ia lakukan sebenarnya hal biasa. Duduk. Tapi dengan ukuran badannya yang super jumbo, yaitu empat kali lebih besar dariku, perubahan posisinya dari berdiri ke duduk cukup mennggetarkan singgasanaku di kabin pesawat tersebut. Saat itu juga aku merasa tidak sedang berada di pesawat, tapi di angkot 06 A, duduk di pojok dengan volume penumpang tidak wajar, yang pada saat itu biasanya supir angkot berteriak sambil melihat spion tengah, “woi…! yang kecil dipangku”, dan pada saat yang bersamaan juga ayahku berteriak, “saya bayar dua bang!”.
Tapi saat ini aku tidak bersama ayahku di pesawat, dan pramugari juga tidak mungkin bilang kepada orang bule di sampingku, “excuse me Sir, can you lap your child, please!” Aku tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi dan bule itu benar-benar memangkuku, mungkin penerbangaku akan lebih terasa seperti naik bapak hamil terbang dari pada naik pesawat.
Pemumpang sudah menempati tempat duduk mereka masing-masing, tapi belum ada tanda-tanda pesawat akan lepas landas. Aku mencoba menatap ke bule di sampingku. Ia sepertinya sedang menikmati posisi nyamannya sembari menarik nafas panjang. Terfikir olehku untuk mencoba menyapanya, sekedar salam kenal agar ia tau bahwa di sampingnya ada anak manusia bukan siluman upil yang biasa diplintir-plintir lalu dibuang.
“Ehm.. excuse me Sir!” kataku pelan sambil mencoba meneguhkan pandangan ke wajahnya. Sebenarnya saat itu aku agak cemas, takut ia menjawab sapaanku sambil mengeluarkan api dari mulutnya.
“Owh.. yeah! Anything wrong? Am I disturbing you?” jawabnya sambil sedikit tersenyum. Ternyata ia terlihat baik.
“Hemm… no, sorry! Nothing…” jawabku singkat. Terdengar olehku dari cara dia mengeja huruf  R, sepertinya ia berasal dari Rusia atau Prancis. Tapi dugaan kuatku ia dari Rusia, dan itu berangkat dari bau badannya. Ya, walaupun kecerdasan yang aku pakai hanya 20 persen, penciumanku cukup tajam dalam menerka sesuatu.
Setelah diam, kucoba sapa ia kembali, “sorry, where are you from?” pertanyaan standar, tapi sekaligus berperan untuk membuktikan dugaanku bahwa ia orang Rusia.
“Owh, I’m from Russia, and you?” dia balik bertanya, “hemm… I’m from Indonesia, have you visited Indonesia, Sir?”
“No, where is it?”
“It’s at Asia, near Singapore. Don’t you hear about it before?” dengan  rasa penasaran aku bertanya kepada bule tersebut. Tapi dengan santai ia menjawab, “no I don’t.”
“Hemm… okay, no problem. But for your information, Indonesia is the biggest country in Asia.”
“Owh… that’s great! But long time ago and I don’t remember when, I’ve visited Bali at Asia. It’s amazing island you know.”
“Oh my God, so that is Indonesia, Sir!”
“No, I visited Bali, not Indonesia.”
“Yes, I know you visited Bali, but Bali is inside Indonesian Republic’s area, and if you are visiting Bali then you are visiting Indonesia”. Dalam hati, “ini bulenya yang kurang cerdas, tidak bisa mengerti bahwa Bali adalah pulau yang ada di dalam Negara kesatuan Republik Indonesia, atau jangan-jangan aku yang salah tidak pernah tahu kalau bali sudah jadi Negara sendiri.
“Owh, okay… forget it!” Jawab bule tersebut santai.
“Whaaaaat? It’s okay, no problem,” sebagai pribumi yang ingin negaranya diakui orang asing aku cukup terkejut dengan tanggapan santainya yang kurang peduli, tapi mungkin lebih baik aku diam dan mengalah, dari pada harus buang waktu berdebat dengan bule yang aku rasa tidak pernah belajar Geografi. Kami pun diam.
***
Tak terasa pesawat sudah berputar-putar mengambil ancang-ancang akan lepas landas. Sebelum mesin pesawat berderu kencang, bule Russia ini mengeluarkan iPhone dari dalam saku celananya yang aku rasa sudah di setting flight mode, karena tidak mungkin ia berani mengaktifakannya sedangkan pesawat akan lepas landas. Selang beberapa detik kemudian ia menegurku sambil menjulurkan iPhone-nya kepadaku, “hey, see this…! This is my dog!” 
Aku memperhatikannya. 
Lalu ia geser lagi ke gambar selanjutnya, “see! This is when it was child”. Terlihat olehku sesosok anjing hitam, yang lebih tepatnya balita anjing hitam, yang saking hitamnya, hanya putih bola matanya saja yang mungkin terlihat di saat gelap. 
Entah apa yang ada dipikiran bule tersebut, mungkin ia ingin menghiburku dengan foto-foto anjingnya. Tapi sebagai seorang muslim timur, aku merasa serba salah dalam menyikapi hal tersebut. Tidak tahu apa yang harus aku katakan. Akhirnya aku menanggapi semampuku dan tetap menjaga agar tidak menyinggung perasaannya, "owh, Sir, your dog so cute, it's really pure black." Tapi tanggapan balasan darinya malah melotot aneh.
Ibu jari besarnya kembali menggerakkan layar ke gambar berikutnya, “and this, when it was four. And this one, it is now… hehe”. Terakhir adalah gambar anjing itu sekarang. Ia sedang berbaring di atas spring bed besar dengan bed cover warna biru bercorak bintang-bintang. Di lehernya terdapat kalung berduri besi yang membuatnya terlihat lebih sangar. Anjing yang beruntung.
“Owh… how old is it now?”
“six… hehe”
Untungnya di usianya yang ke enam, ia masih diperlakukan layaknya anjing biasa, hanya bedanya ia agak sedikit disayang, kalau tidak, pasti fotonya sekarang ia sedang mengenakan seragam putih merah dengan tas ransel Teletubies di punggungnya.
***
Mesin pesawat mulai berderu, seorang pramugari cantik terlihat berjalan agak tergesa dari bangku depan menuju ke belakang sambil sesekali mengingatkan penumpang yang belum mengenakan sabuk pengamannya. Maksud hati ingin mencari perhatiannya dengan tidak mengenakan sabuk pengaman dulu sampai ia mendekat ke kursiku. Yah, paling tidak ia bisa membantuku mengenakannya dan mengusap kepalaku seraya berkata, “hei handsome, fasten your seatbelt, please!”
Tapi sayang, sebelum hal itu terjadi, bahkan sebelum pramugari tersebut mendekat ke kursiku, tangan besar bule Russia dari samping kananku langsung menyambar tali sabuk pengamanku dan mengikatkan pengaitnya dengan kencang sambil bilang, “fasten your seatbelt boy, we get to fly now!” Seketika itu juga perutku seperti diinjak gajah dan mataku langsung melotot menahan sakit. Mungkin niatnya baik, tapi sayang dia lupa, bahwa aku ini manusia bukan kantong sampah yang harus diikat kencang agar tidak berserakan. Ya, budaya timurlah yang memaksaku untuk tidak melawan dan mencoba memahami serta memaklumi apa yang menurut mereka baik walaupun buruk bagi kita. Dan itulah jawaban mengapa bangsa kita dulu dijajah dan sampai saat ini masih terjajah. Kita selalu memandang positif segala budaya luar yang masuk dengan multi etika yang seharusnya tidak semua kita serap, dan bak keledai galau, kita mengamini bahwa itulah kemajuan.
Sambil masih menahan sakit, kucoba melonggarkan pengait sabuk pengaman tersebut, hingga akhirnya aku bisa kembali bernafas normal. Tidak mau mengambil pusing, kupalingkan pandanganku jauh ke luar jendela pesawat memandang barisan rumah yang semakin terlihat kecil seiring dengan bertambah tingginya pesawatku terbang, hingga akhirnya menembus permukaan mega kemudian tampaklah gugusan awan putih yang terbentang luas sejauh mata memandang.
Maha Suci Engkau Yaa Rabb yang telah menganugrahiku mata untuk melihat kebesaran kuasa-Mu. Meski aku sering lalai dalam mensyukuri nikmat-Mu, Engkau masih memberiku waktu untuk kembali tunduk di hadap-Mu.
Penerbangan kali ini sebernarnya hanya sebentar, karena jarak tempuh yang memang tidak terlalu jauh, yaitu dari San’a International Airport menuju Dubai International Airport. Berhubung tempat dan teman duduk yang kurang bersahabat waktu dua jam menjadi terasa amat panjang. Monitor kecil di depanku yang berisi berbagai macam hiburan pun terasa membosankan. Tiada tempat bagiku mencurahkan segala gundahku selain kepada-Nya. Aku berharap, pesawat bisa cepat mendarat dan aku bisa menghirup udara segar Dubai meski hanya sebatas transit, dan untuk penerbangan selanjutnya, aku tidak bertemu lagi dengan mahluk sejenis bule Rusia tadi. 

Thursday, August 21, 2014

Pupus



Gemerlap langit berbintang begitu indah melukis wajah malam purnama. Para pengamen jalanan silih berganti menyajikan nada irama tuk menemani Farel yang sedari tadi duduk termenung di ujung taman kota. Namun hadirnya pengamen hanya ia sambut dengan lambaian tangan tanda ia tidak mengantongi recehan.  Sebotol air mineral dingin dan sebungkus cokelat Toblerone begitu setia menemani kesendiriannya. Ia selalu melakukan hal tersebut saat alur kehidupan sedang kalut, gabungan manis cokelat dan dingin air mineral adalah obat mujarab yang selalu bisa menetralkan suasana hatinya, sehingga otaknya bisa kembali berpikir logis.
Farel bukan perokok yang biasa melepaskan setiap masalah bersama kepulan asap yang berembus, tapi ia pecinta cokelat yang selalu mencairkan setiap problem melebur bersama rasa manis yang memanjakan lidah. Ia begitu menikmati suasana mengemut cokelat serta meneguk air mineral dingin di bawah hamparan langit gemintang
Tatapan mata Farel masih kosong, hingar bingar suasana kota di malam minggu tidak bisa juga membuatnya bergeming lalu beranjak berbaur bersama orang-orang menikmati indahnya malam. Ia sudah tenggelam dalam dunianya sendiri, angannya pergi jauh menembus dimensi yang entah berada dimana.
Tapi sesaat kemudian heningnya terhenti. Ia mengubah posisi duduk santai menjadi lebih tegap ketika bola matanya memandang lurus ke depan ke arah wanita yang berada di seberang jalan sedang menuju menghampirinya. Wanita yang sudah tidak asing lagi baginya. Sosok berambut panjang sebahu yang selama ini mengisi kosong ruang hati dan pikirannya. Gadis pujaan nan cantik menawan yang ia dambakan kelak akan menjadi pendamping hidupnya. Farah.
Jantung Farel berdetak semakin cepat seiring langkah Farah yang datang mendekatinya. Pikirannya kacau, ia sedang meraba-raba kalimat apa yang akan ia lontarkan ke Farah. Hatinya kembali bergolak setelah sebungkus cokelat berhasil menetralisir pola pikirnya. Dan sosok Farah pun sekarang berada tepat di hadapannya.
“Farel,” Farah mencoba menegur laki-laki yang mengambil posisi mematung tidak menghiraukan kedatangannya.
Hening. Farel masih belum tau akan menjawab bagaimana sapaan Farah. Otaknya masih memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
“Mau apa datang kemari, bukannya kita sudah berakhir ya?” Farel mencoba menjawab Farah dengan pertanyaan langsung.
“Iya aku ngerti Farel, kita memang sudah berakhir, tapi plis Farel, untuk kali ini saja izinkan aku bicara.” Farel terdiam mendengar kata-kata Farah, “boleh aku duduk?”
“Duduklah,” jawab Farel datar.
Setelah Farah duduk di sampingnya, Farel kembali melemparkan pertanyaan yang cukup tajam bagi Farah, “kapan kamu melangsungkan akad nikah?”
“Farel plis, izinkan aku menjelaskan semuanya dulu,” jawab Farah mencoba menangkan hati Farel yang sedang berkecamuk.
Semarah apapun Farel, Farah selalu saja bisa mengambil hatinya dan membuat suasana menjadi cair, “owh begitu, baiklah, aku mendengarkan.” Pandangan Farel tetap lurus ke depan tanpa menghiraukan Farah yang ada di sampingnya. Setiap kali melihat Farah, yang ada terbesit di dirinya hanya sakit hati yang tak kunjung sembuh.
“Jadi begini Farel,” Farah mulai meneruskan pembicaraannya, “ternyata pria yang datang berta’aruf kepadaku sudah dicarikan calon juga oleh keluarganya. Ibu pria tersebut saat ini lebih condong kepada wanita pilihan keluarga. Memang dia memilih aku, tapi jika ibunya memilih wanita itu, ia tidak bisa menolak pilihan ibunya. Dia meminta waktu kepadaku untuk untuk beristikhoroh dan bicara kepada ibunya.
Dan kamu perlu tau Farel, saat kamu memaksa aku menentukan pilihan antara kamu dan dia, aku tertekan. Aku berada diantara tuntutan keluarga yang ingin aku menikah cepat dan keinginanku menikah dengan orang yang aku cintai. Aku menyesal telah memilih dia dan meninggalkanmu. Setelah ia datang dan bertemu dengan papa mama, aku masih belum bisa menghilangkan bayangmu dari ingatanku. Yang ada dibenakku cuma kamu.
Dan kamu juga harus tau Farel, laki-laki yang selalu ditanyai dan diperhatikan oleh mamaku itu kamu bukan dia. Mama selalu tanya, ‘Farel kemana? Kenapa gak sama Farel aja?’
Memang iya, kemarin papa dan mamaku mendesak aku untuk menikah lebih cepat, melihat usiaku yang sudah terlalu matang. Tapi saat ini papa dan mama sudah tidak menekan aku lagi. Mereka tidak memaksakan aku harus menikah tahun ini, mereka ingin aku menikah dengan orang yang aku cintai. Dan kamu pastinya tau siapa laki-laki yang aku cintai yang tidak bisa aku lepaskan dari hati dan pikiranku.
Aku ingin menikah dengan orang yang aku sayangi, Farel. Aku ingin tertawa saat setelah menikah nanti, bukannya canggung. Aku ingin membangun keluarga bersama orang yang benar-benar bisa mengerti aku. Aku maunya kamu, Farel.
Sekarang dia sedang bimbang, antara memilih aku dan wanita pilihan keluarganya. Jadi kemungkinan aku akan menjadi pengantin dengan dia sangat tipis. Tapi sayang, dulu kamu sudah bilang akan menutup rapat hatimu untukku, padahal aku masih berharap bisa kembali kepadamu.”
Setelah penjelasan Farah, mereka berdua terdiam. Farel belum bisa menjawab semua penjelasan Farah. Ia belum mampu mengiyakan keinginan Farah untuk bisa kembali kepadanya, karena sebelumnya, berkali-kali ia beri kesempatan kepada Farah, tapi selalu saja Farah yang menyianyiakan kesempatan tersebut. Farah lebih memilih meninggalkan Farel.
Suasana masih hening, keduanya membisu saling menahan perasaan. Dalam hati, Farel benar-benar ingin Farah kembali, tapi ia juga tidak mau patah hati untuk kesekian kali karena setiap kali ia memberi hatinya untuk Farah, Farah melepasnya dan hanya bisa berkata ‘maaf’. Farel bimbang antara menerima Farah, atau menyuruhnya pergi selamanya.
Perlahan Farel mencoba membuka pembicaraan, “jadi kamu belum dilamar?”
“Iya, dan belum ada kepastian dari dia,” jawab Farah.
“Kamu maunya aku?” tanya Farel lagi memastikan.
“Iya Farel, kamu tau itukan? Dan aku cuma bahagia sama kamu,” jawab Farah meyakinkan.
Farel tertegun. Ia masih berpikir dan berpikir apakah Farah sungguh-sungguh menginginkannya atau masih seperti sebelum-sebelumnya, Farah hanya menjadikannya lelaki cadangan.
“Tapi Farah,” Farel melanjutkan pembicaraan, “ jika dia memilih kamu dan meninggalkan wanita pilihan keluarganya, serta ibunya merestui, apa kamu mau menolaknya?”
Dan keadaanpun berbalik, sekarang Farah yang tertegun dengan pertanyaan Farel, karena ia tau ia tidak akan bisa menolak jika pria tersebut memilihnya. Tapi egonya yang masih menginginkan Farel mendorong ia untuk berkilah, “Farel, aku kan sudah bilang, aku maunya kamu, dan dengan keadaan seperti ini tidak mungkin dia memilih aku. Wanita itu didukung oleh keluarganya sedangkan aku tidak.”
Farel kembali tertegun dan hatinya mulai luluh oleh semua bujuk rayuan Farah. Ia tergoda dan mulai mencoba membuka hati lagi untuk Farah yang selama ini sudah ia coba tuk menguburnya dalam-dalam.
“Baiklah, jika memang benar itu maumu, aku akan buka hatiku untukmu. Tapi Farah, aku masih lama, kamu tau kan aku harus membiayai adikku dulu yang tahun ini akan lulus. Paling cepat tahun depan aku baru bisa menikahimu. Apa kamu siap menungguku?”
“Hei Farel, kamu itu adalah alasan kenapa aku kuat menunggu, sedangkan menunggu adalah hal yang paling aku benci. Lagi pula aku menuggumu tidak dengan diam mematung. Kamu tau, aku berkali-kali dipanggil Rektor mendapat tawaran menjadi dosen di universitas tempat aku kuliah, jadi menunggumu akan menjadi hal indah yang menghiasi hari-hariku?” jawab Farah.
“Benarkah begitu?” tanya Farel ragu.
“Ya benarlah Farel,” jawab Farah meyakinkan.
Malam itu di hati Farel mulai tumbuh kembali harapan yang selama ini telah pupus. Ia pulang mengantar Farah dengan sejuta harapan terpendam yang menjadi suratan doa kepada penciptan-Nya.
Lampu-lampu jalan yang terang menguning membuat suasana hati Farel yang hampir tandus kembali bersemi. Ia mulai bersemangat lagi, karena bagian dari dirinya yang hilang telah ia temukan kembali.
***   
Arloji di tangan kiri Farel menunjukkan pukul 10.00 malam. Ia memarkir sepeda motornya tepat di depan gerbang rumah Farah.
“Farah!” sebelum Farah beranjak masuk, Farel menghampirinya. Sambil memegang tangan Farah dan mata mereka bertemu, Farel bertanya memastikan, “benar kamu maunya aku?”
“Sungguh Farel!”
“Baiklah, kalau begitu, aku mau kamu bilang ke papa dan jelaskan semuanya. Aku tunggu jawabannmu besok. Kamu siap bilang ke papa kan?”
“In Syaa Allah, Farel.”
***
Keesokan harinya di hari Senin seperti biasa, Farel menjalankan rutinitasnya sebagai pekerja kantoran. Tapi hari ini terasa berbeda baginya, ia masih diselimuti tanda tanya akan jawaban yang akan Farah berikan kepadanya. Ia ragu akan Farah yang benar-benar menginginkannya kembali. Konsentrasinya buyar, ia tidak sanggup mengerjakan pekerjaannya dengan baik hari ini.
Di sela-sela bekerja, berkali-kali ia melihat pemberitahuan di hanphone-nya. Ia menunggu bbm dari Farah. Ia menunggu jawaban atas apa yang Farah utarakan semalam. Ia berharap Farah membawa kabar gembira dengan memilihnya dan mau menunggu.
Harap-harap cemas tak henti-henti meranggaskan hatinya. Dia bukan laki-laki egois yang selalu memaksakan kehendak, melainkan sosok penyabar yang selalu mampu bertahan meski berkali-kali disakiti oleh orang yang ia sayangi. Terlihat bodoh, tapi itulah Farel dengan segala ketulusannya.
Farel bukan tergolong pria tidak laku yang mengharap dipilih oleh wanita pujaannya. Begitu banyak wanita yang ingin mendampinginya, tapi untuk saat ini cintanya masih menatap ke satu arah dan berdiam untuk waktu yang lama. Entah sampai kapan, mungkin sampai cintanya benar-benar membunuh dan membuangnya percuma.
***   
Senja mulai menampakkan rona merahnya, Farel semakin tidak sabar menunggu jawaban dari Farah. Lalu dengan cepat, di pintu keluar kantor ia mengambil handphone-nya dan mencoba mengirim pesan ke bbm ke Farah.
Farel: Hasil akhir?
Pesannya begitu singkat dan padat. Cukup lama Farel menunggu balasan dari Farah. Logo pesan yang ia kirim masih berlambang D berwarna biru, pesannya belum dibaca oleh Farah.
Farel semakin cemas, ia bertanya-tanya dalam hati sekaligus mempersiapkan dirinya untuk jawaban yang tidak ia harapkan.
Pelan ia melanjutkan langkahnya ke tempat parkir motor sambil terus mengutak-atik hapenya tanpa tau apa yang ingin ia cari. Yang ada dibenaknya, ia hanya ingin cepat mendapatkan jawaban dari Farah, sekali pun itu menyakitkan.
Langit senja yang tadinya cerah kemudian mendung menambah suasa hati Farel makin berkecamuk. Ia hanya mampu memendamnya dalam hati. Sendiri.
Tak lama kemudian, yang ditunggu-tunggu pun datang, bbm dari Farah. Dengan detak jantung yang berdegup semakin kencang Farel mencoba menguatkan diri membuka pesannya.
Farah: Farel, Sandi dan keluarganya datang pagi tadi, aku benar-benar tidak tahu. Sandi langsung ngomong ke papa. Semua sudah diurus. Aku akan menikah minggu depan, Farel. Farel maaf!
Langit seakan runtuh, Farel tidak tahu harus menjawab apa pesan dari Farah. Setelah ia mencoba membuka hatinya kembali untuk Farah, lagi-lagi Farah mempermainkan perasaannya untuk yang kesekian kali.
Farel melangkah lesu, ternyata dugaannya benar, bahwa selama ini Farah orang yang begitu ia sayangi hanya mempermainkannya. Farah tidak benar-benar mencintai Farel sebagaimana Farel mencintai Farah.
Farah: Farel maafin aku!
Farel: Iya…