Saturday, September 20, 2014

Luka

Salah jika aku ingin dicinta? Salah jika aku ingin dimanja dan dikasihi? Salah jugakah jika aku ingin mendapatkan kasih sayang dari orang yang telah mengikrarkan janji sucinya kepadaku? Mungkin salah, karena aku mengharapkan semua itu dari dia yang ucapnya hanya sampai di bibir tanpa bisa terus meresap lalu mengendap ke dalam relung.

Kejutan manisnya, sapaan hangatnya di pagi hari, lelucon jenakanya yang selalu membuatku tersenyum, bahkan kata-kata puitisnya yang sering ia rangkai sebelum mataku terpejam di malam gelap, begitu apik ia merangkai semuanya menjadi topeng kesatria srigala biru. Ia menyembunyikan wajah aslinya dibalik paras sang pangeran tirta. Menawan. Mempesona. Aku tertipu.

Ingin rasanya aku berteriak mencaci, meracau di depannya, seraya berkata, ‘kamu bajingan Andreeee!’ Tapi untuk apa, semua cercaku pasti kan ditampik dengan segala pembelaan egonya.  Mulut besarnya akan dengan mudah mematahkan rasa kecewaku yang mendalam hanya dengan beberapa kata. Ya, beberapa kata saja. Itulah lelaki, mereka selalu begitu…

***

“Nabilaaa, tunggu! Aku bisa jelasin semuanya ke kamu. Apa yang kamu lihat tadi tidak sepenuhnya sama dengan apa yang kamu pikirkan.” Andre terus berlari mengikutiku sambil  meneriakkan kata-kata agar aku berhenti dan mendengarkan semua alasannya.

Aku tak peduli.

Hujan deras di tengah malam tak menyurutkan langkahku untuk berlari dan berlari. Gemuruh angin dan hantaman geledek tak sedikitpun membuat nyaliku ciut menembus gulita dengan pasti. Aku benar-benar muak dengan kejadian malam ini. Meski lelah, kupaksakan kakiku untuk terus mengambil langkah demi langkah. 

“Nabilaaa, tunggu!” Andre masih mengejarku. Pikiranku kalap. Yang kumau sekarang hanya pulang ke rumah orang tuaku. Aku rindu Ibu. 
“Taksiiii!” Kupanggil taksi yang sedang berjalan pelan ke arahku, sambil sesekali menoleh kebelakang, memastikan bahwa jarak Andre cukup jauh dariku. 

Dengan sigap dan agak tergesa aku masuk ke dalam taksi tersebut, “jalan, Pak!” Setelah taksi melaju, aku melihat Andre dari balik kaca sedang berhenti tersengal-sengal, ia mengatur napasnya dengan sedikit merunduk di sisi trotorar. 

Bibirku kelu, badanku basah kuyup, otakku sudah tidak bisa mencerna lagi kejadian yang barusan aku lihat di rumah. Semua begitu cepat. Dalam hatiku berharap semua hanya mimpi. Tapi ternyata tidak. Semua begitu nyata dan tegas menyapaku. Mungkin, ini adalah akhir dari kisah rumah tanggaku yang hanya seumur jagung. 

Perjalanan tugasku ke Medan dibatalkan. Aku pulang ke rumah tepat jam 10.00 malam. Sungguh tak disangka. Dibalik semua itu ada sekenario Tuhan yang ingin Ia sampaikan. 

September kelabu. Rasanya judul lagu tersebut sangat cocok disandingkan dengan kisahku yang suram. Sungguh sebuah akhir yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Bulan ini tepat bulan ke enam aku menjalani sebuah mahligai rumah tangga bersama orang yang sudah kutancapkan akan kucintai seumur hidup. Tetapi awal yang indah, ternyata tidak bisa menjamin mulusnya jalan. 

Andre. Seorang wiraswasta mapan yang melamarku enam bulan yang lalu. Parasnya yang tampan, serta latar belakang keluarga yang baik cukup, bisa meluluhkan hatiku dan keluargaku, meski baru kali itu aku mengenalnya secara langsung ketika ia datang melamar. Sebelumnya, aku hanya mengenal profilnya sekilas dari penjelasan pamanku. Cukup baik, makanya setelah lamaran, tanpa jeda waktu yang panjang pernikahan kami pun berlangsung.

“Ini kita mau ke mana ya, Bu?” Sapaan supir taksi di tengah rintik hujan menyadarkan lamunanku. Aku terhenyak, kemudian mencoba meraba-raba kembali pertanyaan supir taksi tersebut, aku masih trauma, “hmm, kita ke arah Depok, Pak. Margonda,” jawabku singkat. 

“Bisa minta tolong turunkan sedikit cooler AC-nya, Pak. Saya kedinginan.” Pintaku kepada sopir taksi. Pandanganku kosong ke luar. Jalanan terlihat sepi sekali, hanya beberapa mobil yang masih lalu lalang di tengan malam seperti ini.

Entah mengapa lajunya taksi terasa pelan dan tidak kunjung sampai. Padahal jarak antara rumahku yang berada di bilangan Cibubur dengan rumah Ibu tidak terlalu jauh. Suasana hatiku yang kalut menyebabkan semua begitu melambat. Sudah tidak sabar rasanya ingin cepat bertemu dengan Ibu. Hanya kepadanyalah aku bisa berbagi keluh kesah, setelah malaikat penjagaku lebih dulu pergi meninggalkan Ibu di bulan pertama usia pernikahanku. 

Jam digital di dashboard taksi menunjukkan pukul 10.30 pm. Kurang lebih setengah jam yang lalu kejadian itu menimpaku. Dan seketika bayangan akan kejadian tadi terekam jelas berbayang di memori kepalaku. Sungguh memilukan. Wanita mana yang tidak tersayat hatinya, melihat orang yang ia cintai mengkhianatinya di rumahnya sendiri. Hatiku remuk.

Layaknya seorang wanita yang telah dinikahi, aku ingin menjadi seseorang yang bisa membahagiakan suamiku tercinta. Menjadi tuan putri di hatinya, dan melahirkan anak-anak yang pintar hasil buah cinta kami. Pintaku sederhana, aku hanya ingin mencinta dan dicintai, lalu bersama-sama membangun sebuah istana bernama keluarga yang bahagia. Tekad yang kubangun di awal pernikahan pun sudah meraja, menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadanya, dan berusaha saling menguatkan dalam suka dan duka, adalah niatan tulusku mengabdi kepadanya.

Tapi semua sirna.

Enam bulan aku bersabar, selama itu pula suamiku belum mau menjadikan aku wanita seutuhnya. Entah apa alasannya. Ia hanya bilang bahwa kondisinya tidak memungkinkan. Ia butuh waktu dan selalu meminta waktu. Dan lagi-lagi sebagai wanita, aku hanya bisa menunggu dan bersabar, toh selama ini perhatiannya yang tercurah kepadaku begitu besar, kasih sayangnya juga terasa tulus. Satu kalimat. Aku bahagia dalam tanda tanya.

*** 

Rona kuning lampu jalan, menghias aspal basah menjadi mengkilap indah bak jalan sutra meruas jingga. Rintikan hujan yang mulai mereda, mengubah kelam yang tadinya begitu mencekam dengan geretakan petir dan cahaya kilat, menjadi lebih tentram dan sedikit bersahabat. Aku termenung, mengenang masa indah yang berakhir luka, sama saja seperti membuat luka baru dan menyiramnya dengan air garam. Aku luka tapi mencinta. Aku mencintai suamiku dengan segala goresan yang menorehkan merah di dada. 

“Kita sudah di jalan raya Margonda, Bu. Terus kita mau kemana?” 

“Terus aja, Pak. Nanti lampu merah samping gedung telkomsel belok kanan yaa, Pak. Gak jauh dari situ kok.”

Sudah tidak sabar rasanya ingin bertemu Ibu, ingin sekali kuluapkan semua sesakku dalam peluknya. Aku ingin melepaskan segala gundah yang selama ini mengendap, dalam belaian hangat titisan surga yang mengalir dari tangannya.  Tapi aku masih bingung dengan apa yang akan aku sampaikan. Meski Ibu tempatku mengadu, untuk masalah ini aku belum sampai hati menceritakan kepadanya. Ia pasti kecewa dan menitikkan air mata karenaku. Sebagai anak sulung, akulah yang diharapkan menjadi contoh bagi adik-adikku dalam membina sebuah rumah tangga.

Tak lama kemudian, taksi berhenti di depan rumah Ibu. Perlahan aku turun dari taksi lalu berjalan mendekati pagar rumah. Perasaanku semakin kalut. Tak henti-hentinya air mata menetes hangat membasahi permukaan pipiku. 

Malam ini tidak seperti biasanya. Lampu ruang tamu depan masih menyala, padahal malam sudah cukup larut. Sambil masih menitikkan air mata, kupencet bel yang berada tepat di ujung pagar. Kemudian terlihat adikku Rafa mengintip dari balik jendela, lalu keluar membuka pintu dengan cepat.

Rafa datang ke arahku dengan sedikit berlari, “Kak Nabila? Kak Nabila kenapa?” tanyanya sambil membukakan kunci pagar. 

“Ibu sudah tidur, Raf?” tanyaku dengan suara lirih di sertai sesenggukan. 

“Ibu ada, Kak. Belum tidur, masih wiridan habis sholat witir tadi. Gak biasanya juga Ibu belum tidur jam segini.”

Aku dan Rafa masuk ke dalam rumah, setelah ia mengunci pagar kembali. Jantungku berdebar, dan air mata pun semakin menjadi saat aku memasuki rumah. 

“Bu, ada Kak Nabila, Bu.”

Ibuku bangun dari tempat sholatnya dan datang menghampiriku yang sudah duduk di sofa ruang tamu, “Nabila! Kamu kenapa malam-malam begini?”
Kupeluk Ibuku erat, lalu tumpahlah tangisku dalam rangkulnya. Sungguh pelukannyalah yang bisa membuatku meluapkan semuanya. Aku belum bisa berucap apa-apa. Hanya tangis dan tangis yang bisa kucurahkan. 

Ibu membelai lembut kepalaku penuh sayang, “mengangislah, Nak. Menangislah dulu. Ibu ada di sini.” Mendekapku dalam tangis, membuat Ibu juga meneteskan air mata. Ia mengerti betul apa yang sedang aku rasakan, walaupun aku belum bercerita sepatah kata kepadanya. 

Puas sudah aku menangis, dan perlahan sesenggukanku mulai mereda. Kucoba mengeluarkan kata-kata dari mulutku dengan tertatih, “Ma… Mas Andre, Bu.”

“Mas Andre kenapa, Nak?”

“Mas Andre,” aku kembali sesenggukan menyebut nama suamiku.

Ibu mengusap-usap kepalaku lembut dan terus menenangkanku, “iya, Nak. Ada apa dengan Mas Andremu?”

“Mas Andre tidur dengan Rio di kamarku, Bu.”

“Apa?” Ibuku terkejut, seakan tidak percaya dengan apa yang barusan aku katakan.

“Iya, Bu. Mas Andre tidur dengan Rio. Itu makanya sampai saat ini ia tidak bisa menyentuhku sebagai istrinya.” Tangisku kembali menderai. Meski luka, aku merasa sedikit lega telah menceritakannya kepada Ibu.

“Ya Allah,  yang sabar ya, Nak. Ini ujian bagimu dan bagi kita semua.” Ibu terus menenangkanku. 

“Iya, Bu. Maafkan aku. Rumah tanggaku gagal.”

“Sudah, Nak. Sudah. Ini bukan salahmu.”

*** 

28 September 2007. Hari ini aku resmi bercerai dengan Mas Andre, suamiku. Begitu singkat perjalananku bersamanya. Enam bulan. 

Aku tidak tahu, entah kepada siapa selanjutnya hatiku akan berlabuh. Perjalanan cinta yang aku impikan hanya sekali seumur hidup berakhir kandas di awal jalan. Tapi aku yakin semua ada hikmahnya. Rencana Tuhan begitu indah. Perihnya luka di muka, berarti pertanda tangan-Nya meraihku keluar dari jurang kepedihan yang lebih dalam.

Aku ikhlas.






   

   



Friday, September 19, 2014

The Liebster Award 2014



Whooaaa… gue gak tau juga harus mengungkapkan perasaan dengan cara gimana ketika gue dengan secara terhormat mendapat penghargaan Liebster Award, *sambil terharu ala Agnes Mo*. Soalnya yang gue rasain itu campur aduk brooh, antara senang, harap-harap cemas, sama tanda tanya, ‘ini liebster award sebenarnya apaan sih?’ Dan dengan tololnya, ketika mendapat penghargaan ini otak gue langsung berimajinasi tentang hadiah yang bakal gue dapet, mulai dari liburan keliling eropa, dapet Chevrolet Camaro, atau dapet kupon gratis makan es krim Baskin Robin sepuasnya. Hahaha… tapi sayang, ternyata ekspektasi gue terlalu tinggi waktu gue baca deskripsi tentang liebster award dari bang Fandhy. 
Di blognya bang Fandhy, My Blog, ada yang bilang Liebster Award itu penghargaan buat blogger yang followersnya di bawah 200. Omaigaaaad, followers blog gue cuma 8 butir, hahaha… Itu penghargaan apa penghinaan? Hahaha.. Ada juga yang bilang klo liebster award itu semacam Panasonic award, cuma bedanya kalau Panasonic Award buat para artis, ini buat blogger, jadi gue gak salah dong terharu ala Agnes Mo pas dapet penghargaan ini, hoho… Tapi sesungguhnya, ce ile sesungguhnya haha… liebster award ini adalah sarana silaturrahimnya para blogger. Dia mirip acara tukeran kado yang seinget gue rame banget tu di era 90-an waktu gue masih TK.
Nah, cara kerjanya liebster award sampe doi bisa dibilang sarana silaturahimnya para blogger tu gini brooh…:
Pertama-tama, yang dapet ginian ni kudu ngenalin 11 fakta tentang dirinya sendiri. Kedua, dia harus menjawab 11 pertanyaan dari orang yang memberi liebster award. Di sini gue dapet 2 biji ni, dari bang Fandhy sama Nikmal, jadi gue harus jawab 22 pertanyaan sekaligus, hohoo… Ketiga, dia harus ngasih award ini kepada 11 teman blogernya (NB: si empunya blog  harus tau dengan cara komentar di blog yang kita kasih award/mention ke kun twitternya). Dan yang terakhir dia harus ngasih 11 pertanyaan ke 11 teman blogger yang dia kasih award ini. 
Oke sip langsung aja deh, gue mau ngasih tau 11 fakta tentang gue, hehe… Berasa jadi objek On the spot euy…

1. Gue seorang jomblo yang baru kembali ke fitrah setelah sadar menjomblo itu lebih terhormat.
2. Penikmat teh, gue paling suka minum teh Kenya yang dicampur sedikit daun mint, itu rasanya gila. Lo harus nyobain! Hehe…
3. Ice Cream addict, khususnya Baskin Robin. Gak tau juga, gue bisa berubah sifat seketika menjadi balita kalau udah diiming-imingin sama ni es krim. 
4. Mengidolakan jengkol sebagai makanan favorit, jadi kalau ada rendang vs jengkol balado, gue lebih milih jengkol, hidup jengkooool!
5. Mahasiswa semester akhir di negri antah berantah, Yaman, yang lagi berusaha sibuk dengan tugas akhir dan ujian akhir. Gue juga kurang paham tu konsep ‘berusaha sibuk.’
6. Suka banget main basket, tapi sayang gak berefek ke badan. Haha…
7. Pengen bisa karate, tapi malu belajarnya gara-gara trauma di cie-ciein waktu ngikutin kuda-kuda pas waktu kecil… haddeeh.
8. Pengen jadi penulis yang nelorin banyak buku, tapi nulis 2 lembar aja udah pilek.
9. Pengen tinggal di Prancis 3 th aja. Jualan kardus bekas juga boleh, yang penting tinggal di sana. 
10. Senang berteman, tapi paling gak suka dibohongin dan dikecewain, hohoo… yang ini lagi akting sok alay. 
11. Paling gak suka dengan sesuatu apa aja yang bersifat terlalu formal, contoh: Upacara Bendera.

Nah, sekarang gue mau jawab 11 pertanyaan dari bang Fandhy:
1. Bagaimana pendapt kalian tentang blog saya (My Blog)? Blognya keren bang, tulisannya asik-asik, banyak dapet pengetahuan baru…
2. Dalam waktu seminggu, berapa banyak postingan blog yang dapat kalian buat? Kalau buat nulis blog aja sih, tiap hari satu tulisan kayaknya bisa, tapikan ya males,  ya internet kusut, ya badan pegel-pegel, sariwan, bibir pecah-pecah, susah buang air besar, de-el-el daah, itu kadang menghambat mood menulis blog.
3. Pilih Syahrini atau Ashanty? Ashanty laaah… haha
4. Selain ngeblog, apa hobi kalian? Kayaknya paling hobi makan deh gue…
5.  Apakah saya termasuk idola kalian? Kalau tidak siapakah idola kalian? Wah, kayaknya belum termasuk idola deh bang, kalau udah pasti fotonya udah gue jadiin baleho sunatan ponakan gue, hehe. Idola gue yang paling top sih bokap, baru dah yang laen laen…
6.  Moment apakah yang pernah kalian dapat dari ngeblog? Moment masih pengen nulis tapi kebelet pipis, akhirnya pipis dulu, pas balik gak taunya semua ide nulisnya ikut kebuang. Nah lho! Haha…
7. Punya cita-cita kan? Kalo punya, itu kalian mau jadi apa? Punya dong, jujur gue pengen banget jadi pembalap, haha… tapi kayaknya gak kesampean daah… malah nyasar ke Yaman coba…
8.  Kalau suruh milih, hewan apa yang ingin kalian jadokan hewan peliharaan? Gue gak melihara sih, tapi kalau kepinding tiba-tiba bersarang di bawah kasur gue itu termasuk melihara gak yaa?
9.  Apa genre music yang kalian suka? Apa aja sih, tp biasanya kalau suasana hati lagi kurang enak, gue suka dengerin musik yang agak dustak-dustak, abis itu karokean lagunya Eminem sampe mulut keram…hahaha
10. Ada momen yang kamu sesali? Kalaupun ada momen apakah itu? Momen ketika apa yg diharapkan tidak tercapai, alias gagal. hehe... Untungnya gue punya ortu yang super sayang... Thx, Mom, Dad....
11. Suka baca buku? Kalo suka baca buku, jenis buku apa yang kalian suka? Suka dong, kalau yang paling di suka sih yang bikin ngakak pastinya. Selebihnya tergantung minat lagi mau baca apa… hehe…

Sekarang gue bakal jawab 11 pertanyaan dari Nikmal:
1. Jomblo itu adalah mahluk mulia yang sedang mempersiapkan dirinya menjadi pribadi yang anggun untuk pasangan yang akan ia jadikan cahaya abadinya seumur hidup. Gila! keren kan defenisi gue tentang jomblo… haha..
2. Aku pengen jadi pahlawan bertopeng, karena pahlawan bertopeng idolannya Sinchan.
3. Aku mau di Indonesia ada kereta bawah tanah karena bosan banget sama yang namnya macet, apalagi di Jakarta, mungkin kereta bawah tanah bisa sedikit meringanka kesumpekan yang ada di Jakarta.
4. Saat ini aku mau makan mie ayam yamin, karena kangen banget dah lama gak makan itu… 
5. Aku ngefans sama Andrea Hirata, karena tulisannya keren dan menginspirasi banget.
6. Tempat favoritku adalah alam, semua yang berbau alam, gunung, air terjun, pantai, hutan, de el el yang berbau alam daah…
7. Sebelum aku mati aku ingin semua tanggunganku lunas, gak ada beban, dan mengucapkan dua kalimat syahadat di embusan nafas terakhir.
8. Aku pengen ke negara Prancis karena di Negara itu aku merasa bisa melihat lebih dalam, #apa sih… haha.. gak tau deh pokoknya pengen ke sana aja. 
9. Aku pengen liburan ke Manado, trus nyobain diving di Bunaken.
10. Aku ingin punya hati yang kuat karena itu modal utama hidup.. hohoo…
11. Aku milih capres nomer urut 1

Oke, sekarang giliran gue yang bakalan milih 11 blogger nominator yang akan menerima award ini, mereka adalah, jreng… jreng…!
1. Einca Ratnasari  eincasarii.blogspot.com
2. Rofie Khalifa rokhaworld.blogspot.com
3. Anggie world-sastra.blogspot.com
4. Meylisa Eka meilisaekana.blogspot.com
5. Eka Annisa kaannisa.blogspot.com
6. Syammas Zuzu syammaszuzu.blogspot.com
7. Fidelia Harris fideliaharris.blogspot.com
8. Icha Rahma notorious-swag.blogspot.com
9. Ahmad Kocil kakang-prabu85.blogspot.com
10. Ira Chandra Puspita aierachan.blogspot.com
11. Kamal Rummy bujangpadangpasir.blogspot.com

Dan pertanyaan gue buat kalian adalah:
1. Sahabat itu…
2. Kenapa menulis?
3. Siapa orang yang paling menginspirasi dalam hidup kalian? Dan mengapa?
4. Menurut kalian Dora itu orangnya gimana? #nah_lho, haha… Jawab aja deh… hehe…
5. Pernah jatuh atau kecewa? Kalau pernah, apa yang memotivasi kalian bisa bangkit?
6. Rumah makan Padang atau Sunda? Kenapa?
7. Dari kapan suka menulis? 
8. Siapa penulis favorit kalian? Mengapa?
9. Hantu paling menyeramkan adalah…
10. Pilih es krim atau cokelat? Kenapa?
11. Apa pengalaman kalian tentang Doa?
Oke sip, itu aja dari gue. Selamat mengerjakan. Diisi dari yang paling mudah dulu aja. Itu saran gue… hehe…




  1.  

Saturday, September 6, 2014

Flight with Russian Man


Udara pagi benar-benar sejuk dengan tetesan embunnya. Jalan-jalan terlihat masih sangat sepi, belum ada tanda-tanda aktifitas masyarakat akan dimulai pagi itu. Mungkin orang-orang masih enggan keluar rumah atau sekedar mencari minuman hangat dan sepotong roti untuk sarapan, sebab suasana kota yang beriklim dingin sedang hangat menggentarkan karena suara-suara tembakan yang hampir terdengar setiap saat.
Land Cruiser Prado dengan plat CD melesat dengan gagahnya menembus pos-pos penjagaan tanpa hambatan, padahal ketika itu hampir semua jalan protokol di San’a - ibu kota Yaman - ditutup karena situasi politik yang masih tidak stabil di Negara tersebut. Setiap kali melewati pos, para tentara bersentaja laras panjang yang berjaga hanya hormat, lalu mempersilahkan mobil untuk berjalan kembali.
Aku yang duduk di sebelah kanan supir begitu asik menikmati suasana indah pagi hari yang tersuguhkan dari kota tempat istana Ratu Balkis pernah berdiri megah, sebelum akhirnya Nabi Sulaiman As memindahkannya ke Palestina. Meskipun begitu, kesunyian malam masih terasa hingga sang mentari muncul.
Pagi itu tujuanku ke Bandara Internasional San’a. Aku diantar oleh salah seorang staf KBRI yang kebetulan kerabat dekat sepupu iparku. Pak Huda namanya. Ia duduk di kursi tengah tepat di belakang sopir. Sengaja ia mengantarku ke bandara lantaran situasi keamanan kurang memungkinkan bagiku untuk pergi sendiri. Karena  pastinya akan banyak hal sulit yang aku hadapi di tengah perjalanan, mengingat situasi kota dalam keadaan siaga I.
Sesampainya di bandara, aku langsung diantar masuk oleh Pak Huda. Pagi ini ia berpenampilan agak santai tidak seperti waktu aku  menemuinya di kantor. Dengan celana jeans biru langit, Polo T-shirt berkerah, dan jas cokelat, serta id-card yang selalu terkalung di lehernya, ia terlihat cukup berwibawa, dan dengan tanda pengenalnya tersebut ia bisa menemaniku hingga masuk ke ruang tunggu yang biasanya hanya diperkenankan untuk penumpang.
Tak lama setelah itu ia pamit, karena masih ada banyak pekerjaan yang harus di selesaikan di kantor. Lalu akupun beranjak menghilangkan jengah dalam diriku dengan melihat-lihat jajanan yang ada di ruang tunggu sambil membeli sedikit tambahan souvenir untuk oleh-oleh keluargaku di rumah.
***
Menunggu adalah hal menyebalkan yang selalu saja menyelingi kisah perjalanan hidup, entah sudah berapa cokelat yang habis kumakan di ruang tunggu, untung akhirnya tiba juga waktuku untuk masuk ke pesawat. Para petugas terlihat bersiap-siap untuk menertibkan para penumpang. 
Sesaat kemudian pintu kaca terbuka, lalu aku mengambil langkah maju bersama para penumpang lain memasuki bus yang akan mengantarkan penumpang ke pesawat yang akan mereka tumpangi. Maklum, bandara internasional San'a mungkin hanya sepertigapuluhnya bandara Soekarno-Hatta, sehingga belum mempunyai fasilitas belalai gajah untuk masuk ke pesawat.
Di atas pesawat, aku langsung mencari tempat dudukku dan dengan sigap kumasukkan ransel kecilku ke bagasi kabin. Alhamdulillah, aku dapat window seat left side. Tempat yang menurutku paling nyaman ketika bepergian sendiri naik pesawat terbang. Karena aku tahu kemana harus membuang jenuh saat kudapatkan teman sebangkuku kurang familiar untuk diajak bicara. 
Tapi sayangnya, teori 'kebahagian dan kesedihan datang sepaket dalam kehidupan kita' itu juga berlaku di sini. Di saat aku bahagia bisa membuang jenuhku dengan melihat pemandangan di luar, ketika itu juga aku sedih karena sulit berkomunikasi untuk sekedar bilang "maaf saya mau pipis." Resiko.
Orang-orang masih sibuk mencari tempat duduknya masing-masing. Diantara mereka juga ada berusaha memaksakan kopernya yang besar untuk tetap masuk, padahal seharusnya ditempatkan dibagasi pesawat pada saat chek-in tadi, bukan diletakkan di bagasi kabin. Pramugari berparas cantik dengan wajah campuran arab dan eropa terlihat sangat sibuk menertibkan penumpang. Meski demikian, senyum manisnya tak henti tersungging dari bibir merahnya.
Sesudah mengambil posisi nyaman, aku mengambil majalah dari kantong belakang kursi di depanku. Perlahan aku baca judulnya dengan terbata-bata, “F-l-y  E-m-i-r-a-t-e-s…”. Ya, akhirnya aku berhasil membaca judul besar dari majalah tersebut, masih ada beberapa kata lagi yang harus aku baca. Sebenarnya aku cukup lancar berbahasa Inggris, tapi terkadang bepergian jauh menurunkan kecerdasanku hingga 80 persen. Maka hanya 20 persen dari kecerdasan yang bisa aku gunakan selama bepergian, dan satu persennya sudah kugunakan untuk membaca judul majalah petunjuk keselamatan penumpang. Bodoh.
“Buffh…!” Di tengah konsentrasiku membaca judul majalah tersebut, seorang laki-laki berkulit putih dengan kemeja hitam dan celana jeans biru tiba-tiba duduk di sebelah kananku. Apa yang ia lakukan sebenarnya hal biasa. Duduk. Tapi dengan ukuran badannya yang super jumbo, yaitu empat kali lebih besar dariku, perubahan posisinya dari berdiri ke duduk cukup mennggetarkan singgasanaku di kabin pesawat tersebut. Saat itu juga aku merasa tidak sedang berada di pesawat, tapi di angkot 06 A, duduk di pojok dengan volume penumpang tidak wajar, yang pada saat itu biasanya supir angkot berteriak sambil melihat spion tengah, “woi…! yang kecil dipangku”, dan pada saat yang bersamaan juga ayahku berteriak, “saya bayar dua bang!”.
Tapi saat ini aku tidak bersama ayahku di pesawat, dan pramugari juga tidak mungkin bilang kepada orang bule di sampingku, “excuse me Sir, can you lap your child, please!” Aku tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi dan bule itu benar-benar memangkuku, mungkin penerbangaku akan lebih terasa seperti naik bapak hamil terbang dari pada naik pesawat.
Pemumpang sudah menempati tempat duduk mereka masing-masing, tapi belum ada tanda-tanda pesawat akan lepas landas. Aku mencoba menatap ke bule di sampingku. Ia sepertinya sedang menikmati posisi nyamannya sembari menarik nafas panjang. Terfikir olehku untuk mencoba menyapanya, sekedar salam kenal agar ia tau bahwa di sampingnya ada anak manusia bukan siluman upil yang biasa diplintir-plintir lalu dibuang.
“Ehm.. excuse me Sir!” kataku pelan sambil mencoba meneguhkan pandangan ke wajahnya. Sebenarnya saat itu aku agak cemas, takut ia menjawab sapaanku sambil mengeluarkan api dari mulutnya.
“Owh.. yeah! Anything wrong? Am I disturbing you?” jawabnya sambil sedikit tersenyum. Ternyata ia terlihat baik.
“Hemm… no, sorry! Nothing…” jawabku singkat. Terdengar olehku dari cara dia mengeja huruf  R, sepertinya ia berasal dari Rusia atau Prancis. Tapi dugaan kuatku ia dari Rusia, dan itu berangkat dari bau badannya. Ya, walaupun kecerdasan yang aku pakai hanya 20 persen, penciumanku cukup tajam dalam menerka sesuatu.
Setelah diam, kucoba sapa ia kembali, “sorry, where are you from?” pertanyaan standar, tapi sekaligus berperan untuk membuktikan dugaanku bahwa ia orang Rusia.
“Owh, I’m from Russia, and you?” dia balik bertanya, “hemm… I’m from Indonesia, have you visited Indonesia, Sir?”
“No, where is it?”
“It’s at Asia, near Singapore. Don’t you hear about it before?” dengan  rasa penasaran aku bertanya kepada bule tersebut. Tapi dengan santai ia menjawab, “no I don’t.”
“Hemm… okay, no problem. But for your information, Indonesia is the biggest country in Asia.”
“Owh… that’s great! But long time ago and I don’t remember when, I’ve visited Bali at Asia. It’s amazing island you know.”
“Oh my God, so that is Indonesia, Sir!”
“No, I visited Bali, not Indonesia.”
“Yes, I know you visited Bali, but Bali is inside Indonesian Republic’s area, and if you are visiting Bali then you are visiting Indonesia”. Dalam hati, “ini bulenya yang kurang cerdas, tidak bisa mengerti bahwa Bali adalah pulau yang ada di dalam Negara kesatuan Republik Indonesia, atau jangan-jangan aku yang salah tidak pernah tahu kalau bali sudah jadi Negara sendiri.
“Owh, okay… forget it!” Jawab bule tersebut santai.
“Whaaaaat? It’s okay, no problem,” sebagai pribumi yang ingin negaranya diakui orang asing aku cukup terkejut dengan tanggapan santainya yang kurang peduli, tapi mungkin lebih baik aku diam dan mengalah, dari pada harus buang waktu berdebat dengan bule yang aku rasa tidak pernah belajar Geografi. Kami pun diam.
***
Tak terasa pesawat sudah berputar-putar mengambil ancang-ancang akan lepas landas. Sebelum mesin pesawat berderu kencang, bule Russia ini mengeluarkan iPhone dari dalam saku celananya yang aku rasa sudah di setting flight mode, karena tidak mungkin ia berani mengaktifakannya sedangkan pesawat akan lepas landas. Selang beberapa detik kemudian ia menegurku sambil menjulurkan iPhone-nya kepadaku, “hey, see this…! This is my dog!” 
Aku memperhatikannya. 
Lalu ia geser lagi ke gambar selanjutnya, “see! This is when it was child”. Terlihat olehku sesosok anjing hitam, yang lebih tepatnya balita anjing hitam, yang saking hitamnya, hanya putih bola matanya saja yang mungkin terlihat di saat gelap. 
Entah apa yang ada dipikiran bule tersebut, mungkin ia ingin menghiburku dengan foto-foto anjingnya. Tapi sebagai seorang muslim timur, aku merasa serba salah dalam menyikapi hal tersebut. Tidak tahu apa yang harus aku katakan. Akhirnya aku menanggapi semampuku dan tetap menjaga agar tidak menyinggung perasaannya, "owh, Sir, your dog so cute, it's really pure black." Tapi tanggapan balasan darinya malah melotot aneh.
Ibu jari besarnya kembali menggerakkan layar ke gambar berikutnya, “and this, when it was four. And this one, it is now… hehe”. Terakhir adalah gambar anjing itu sekarang. Ia sedang berbaring di atas spring bed besar dengan bed cover warna biru bercorak bintang-bintang. Di lehernya terdapat kalung berduri besi yang membuatnya terlihat lebih sangar. Anjing yang beruntung.
“Owh… how old is it now?”
“six… hehe”
Untungnya di usianya yang ke enam, ia masih diperlakukan layaknya anjing biasa, hanya bedanya ia agak sedikit disayang, kalau tidak, pasti fotonya sekarang ia sedang mengenakan seragam putih merah dengan tas ransel Teletubies di punggungnya.
***
Mesin pesawat mulai berderu, seorang pramugari cantik terlihat berjalan agak tergesa dari bangku depan menuju ke belakang sambil sesekali mengingatkan penumpang yang belum mengenakan sabuk pengamannya. Maksud hati ingin mencari perhatiannya dengan tidak mengenakan sabuk pengaman dulu sampai ia mendekat ke kursiku. Yah, paling tidak ia bisa membantuku mengenakannya dan mengusap kepalaku seraya berkata, “hei handsome, fasten your seatbelt, please!”
Tapi sayang, sebelum hal itu terjadi, bahkan sebelum pramugari tersebut mendekat ke kursiku, tangan besar bule Russia dari samping kananku langsung menyambar tali sabuk pengamanku dan mengikatkan pengaitnya dengan kencang sambil bilang, “fasten your seatbelt boy, we get to fly now!” Seketika itu juga perutku seperti diinjak gajah dan mataku langsung melotot menahan sakit. Mungkin niatnya baik, tapi sayang dia lupa, bahwa aku ini manusia bukan kantong sampah yang harus diikat kencang agar tidak berserakan. Ya, budaya timurlah yang memaksaku untuk tidak melawan dan mencoba memahami serta memaklumi apa yang menurut mereka baik walaupun buruk bagi kita. Dan itulah jawaban mengapa bangsa kita dulu dijajah dan sampai saat ini masih terjajah. Kita selalu memandang positif segala budaya luar yang masuk dengan multi etika yang seharusnya tidak semua kita serap, dan bak keledai galau, kita mengamini bahwa itulah kemajuan.
Sambil masih menahan sakit, kucoba melonggarkan pengait sabuk pengaman tersebut, hingga akhirnya aku bisa kembali bernafas normal. Tidak mau mengambil pusing, kupalingkan pandanganku jauh ke luar jendela pesawat memandang barisan rumah yang semakin terlihat kecil seiring dengan bertambah tingginya pesawatku terbang, hingga akhirnya menembus permukaan mega kemudian tampaklah gugusan awan putih yang terbentang luas sejauh mata memandang.
Maha Suci Engkau Yaa Rabb yang telah menganugrahiku mata untuk melihat kebesaran kuasa-Mu. Meski aku sering lalai dalam mensyukuri nikmat-Mu, Engkau masih memberiku waktu untuk kembali tunduk di hadap-Mu.
Penerbangan kali ini sebernarnya hanya sebentar, karena jarak tempuh yang memang tidak terlalu jauh, yaitu dari San’a International Airport menuju Dubai International Airport. Berhubung tempat dan teman duduk yang kurang bersahabat waktu dua jam menjadi terasa amat panjang. Monitor kecil di depanku yang berisi berbagai macam hiburan pun terasa membosankan. Tiada tempat bagiku mencurahkan segala gundahku selain kepada-Nya. Aku berharap, pesawat bisa cepat mendarat dan aku bisa menghirup udara segar Dubai meski hanya sebatas transit, dan untuk penerbangan selanjutnya, aku tidak bertemu lagi dengan mahluk sejenis bule Rusia tadi.