Indonesia
merupakan Negara berbentuk republik yang masyarakatnya terdiri dari berbagai
lapisan dan golongan. Mau bentuk masyarakat yang gimana aja kita bisa temui di
Indonesia. Jika di golongkan berdasarkan tingkat kekayaannya, mulai orang
terkaya sampai orang termiskin ada di Indonesia. Digolongkan berdasarkan
keyakinan, mulai dari yang menyembah tuhan, sampai yang menyembah cancorang
juga ada di Indonesia. Berbagai macam suku, adat dan budaya bersatu di bawah
naungan langit Bhineka Tunggal Ika.
Masyarakat
Indonesia juga di kenal sebagai masyarakat yang memegang erat budaya ketimuran
yang terkenal ramah, sopan, menghargai sesama, dan rendah hati. Tapi sayangnya
budaya itu cendrung terkikis akhir-akhir ini. Banyak orang mulai menindas satu
sama lain, enggan menyatukan pendapat serta lebih memilih bersebrangan dengan
saudara sendri, dan yang paling parah kita sering mendapati diantara masyarakat
banyak orang-orang yang merasa lebih mulia dari rekannya.
Hal
tersebut gue rasain banget ketika gue transit di Dubai International Airport
selama 12 jam. Kebetulan waktu itu gue cuma sendiri, jadi benar-benar gak ada
teman ngobrol sama sekali. Orang asli Yaman yang bareng gue di San’a berpisah
di Dubai karena dia harus melanjutkan penerbangan ke Turki. Walhasil, gue
bakalan clingak-clinguk sendirian selama transit. Karena meski Dubai tergolong
Negara maju, dan airportnya lumayan bagus, belum menyediakan fasilitas yang
memanjakan penumpang transit di airportnya, dan mungkin hanya penumpang first
class yang mendapatkan pelayanan extra.
Gue
bukannya ga mau mencari kenalan atau sekedar teman ngobrol untuk mengisi ke
kosongan. Tetapi dalam keadaan seperti ini gue lebih memilih keliling-keliling
airport, jajan dan menghabiskan banyak cokelat, atau membuang penat dengan berselancar
di dunia maya pada layanan internet yang tersedia.
Dalam
kesendirian gue menikmati suasana airport, gue melihat banyak banget orang
Indonesia dari berbagai lapisan. Mulai dari tingkat atas, menengah, bawah
sampai yang golongan basement kayak gue ada di sana. Dan rata-rata mereka saling
gengsi satu sama lain. Malu mengakui saudaranya sesama orang Indonesia.
Lapisan
atas, kebanyakan mereka menghabiskan waktu transit di ruang tunggu first
class yang di sediakan. Gue mencoba sesekali mengarahkan pandangan ke
mereka dari luar, dan diantara mereka ada yang langsung buang muka sambil sok sibuk
mengutak ngatik gadget di tangannya.
Lapisan
menegah bernasib gak jauh berbeda dengan gue, tidak ada pelayanan khusus. Hanya
saja kondisi dompet mereka yang agak berlebih masih cukup untuk bisa memanjakan
mereka menghabiskan waktu di café-café atau tempat kuliner lainnya yang cukup
nyaman untuk beristirahat.
Sedangkan
lapisan bawah itu baru benar-benar senasib dengan gue. Sama-sama ngemper
di plataran airport, cuma bedanya mereka bergerombol. Jadi mereka masih bisa
lebih bergengsi dibanding gue. Lapisan bawah mayoritas diramaikan oleh para TKW
yang hendak pulang kampung ke Indonesia. Jumlah mereka lumayan banyak. Dengan
dandanan super menor dan gadget baru yang ditenteng kemana-mana, wajarlah
mereka ngerasa lebih up to date dari gue.
Setelah
lama transit akhirnya tiba juga waktu gue untuk melakukan penerbangan
selanjutnya ke negri tercinta, Indonesia. Bosannya transit bikin gue hampir
lumutan di airport. Untungnya pesawat yang akan gue tumpangi gak pakai
acara delay, kalau iya, bisa-bisa gue pulang dalam keadaan tumbuh rumput
di badan gue.
Sewaktu
gue lagi iseng browsing pakai hape, tiba-tiba ada mas-mas yang gue taksir
umurnya sekitar 27 tahun nyamperin gue yang lagi duduk sendri. Dengan dandanan
yang cukup mentereng, topi khas Glen Fredly, dan kaca mata hitam boboho, bisa
terlihat kalau dia termasuk golongan orang lapisan atas. Cuma sayangnya rada
norak, jadi yang ada dia lebih kelihatan seperti Glen Fredly gagal nyaleg. Lalu
gak lama kemudian terjadi percakapan antara gue dan dia:
Mas-mas: Hei mas, sendiri
aja? Keluarganya mana? (dia manggil gue mas juga, padahal gue lebih keliatan
anak hilang dari pada mas-mas)
Gue: Iya nih, sendiri aja.
Kalau masnya sendri juga?
Mas-mas: Owh saya, sama keluarga
dong. Tuh papa mama dan adik-adik saya.
Gue: Owh, iya iya mas.
Seneng yaa jalan-jalan sekeluarga. Emangnya abis dari mana?
Mas-mas : Biasa ni kita
abis jalan-jalan ke Eropa. Yaa liburan gitu deh. Kalau masnya sendiri dari mana?
Gue: Saya dari Yaman mas,
kebetulan kuliah di sana dan sekarang lagi ambil cuti. Jadinya yaa pulang ke
indo. Ngomong-ngomong berapa hari mas di Eropa?
Mas-mas: Kurang lebih 10
hari gitu. Kita jalan-jalan ke empat Negara. Belanda, Prancis, Jerman, dan
Belgia.
Gue: Waah, asik yaa mas.
Kemana aja tuh jalan-jalannya?
Mas-mas: Kalau di belanda
kita ke Den Haag, Amsterdam, dan Rotterdam. Kalau Prancis kita jalan-jalan naik
mobil wisata trus foto-foto di bawah menara Eifel. Kalau Belgia sama Jerman,
yaaa biasa nih, ibu-ibu pada belanja.
Gue: Di belanda gak sempet
ke Madurodam mas?
Mas-mas: Wah, apa tuh?
Gue: Ih, masa ga tau. Itu
tuh kayak miniatur Negara Belanda mas. Yaa, kayak taman mini lah kalau kita di
indo. Cuma bedanya ini dibuat sangat mini. Jadi kita kalau ke situ serasa jadi
raksasa. Oya, trus masnya ga sempet naik ke menara Eifel?
Mas-mas: Enggak tuh,
soalnya waktu kita mau naik pagi-pagi belum dibuka. Sedangkan jadwal dari
travel sudah ga memungkinkan kita untuk kembali lagi ke menara Eifel untuk
naik.
Gue: Waaah, sayang banget
mas, udah sampe sana gak naik. Padahal naik ke situ asik lho. Dari lantai satu
dan duanya kita bisa menikmati indahnya kota paris mas. Tapi sayang juga sih
waktu itu saya ga sempet ke lantai tiganya, katanya sih restoran, tapi kurang
tau juga deh.
Mas-mas: Masnya pernah ke
Eropa juga?
Gue: Alhamdulillah pernah
mas. Cuma sebentar sih, gak lama, sekitar 21 hari gitu deh.
Mas-mas: Wah, lebih lama
masnya. Liburan ke sana mas?
Gue: Enggak mas, kebetulan
waktu itu ada event jambore nasional Belanda dan Negara kita diundang. Kebetulan
juga pondok pesantren tempat saya belajar yang mendapat undangan dari Kwarnas
mas.
Mas-mas: Eh, iya, gate-nya
udah dibuka tuh, saya harus siap-siap dulu. Bantuin bawa barang-barang
keluarga. Mari!
Gue: Iya mas, silahkan!
Dan
ternyata gak cukup sampai di situ. Di kabin pesawat lagi-lagi gue diperlihatkan
potret kegengsian antara sesama orang Indonesia. Kebetulan gue waktu itu dapet window
seat right side, dan itu tempat paling ga enak menurut gue. Soalnya bakalan
susah kalau mau izin pipis.
Ternyata
firasat gue benar, teman duduk gue seorang bapak-bapak dengan muka kurang ramah
duduk di kursi tengah, dan di samping kirinya ada istrinya. Tepat di barisan
belakang gue berjajar anak-anaknya yang pada ribut rebutan PSP. Karena gak bisa
diam, PSPnya diambil bokapnya dan dimainkan sendiri. Bapak macam apa dia?
Sebelum
pesawat take off, sambil masih sibuk dengan game di PSPnya, si bapak ini heboh
mengeluarkan tiga buah blackberry untuk di setting flight mode dari
kantong yang berbeda-beda. Dua dari kantong celana dan satu dari kantong
rompinya. Dengan ekpresi muka yang angkuh, dia memencet-mencet tombol di blackberrynya lalu sibuk kembali
dengan PSPnya. Bukannya iri sih, tapi dalam hati gue bilang, ‘haddeeh pak,
biasa aja kali gak segitu juga hebohnya’.
Gue
sempet mau negor sekedar say hello. Tapi baru ngelirik, dia udah melihat
sinis ke gue. Yaudah gak jadi. Gue rasa dia kena post power syndrome
gitu, makanya kelakuannya rada aneh dan ngerasa dirinya lebih wah.
Selama
perjalanan gue sama sekali gak membuka pembicaraan, sampai akhirnya gue kebelet
pipis dan gue terpaksa negor untuk minta izin. Di kasih sih, tapi sebelumnya
diplototin dulu.
Gue
benar-benar merasakan hawa angkuh dalam kabin pesawat tersebut, sesama orang
Indonesia gak ada ramah-ramahnya cuma karena merasa baru pulang dari luar
negri. Haddeeeh… Norak abis.
Lalu
keadaan berlanjut sampai pesawat landing. Belum pesawat benar-benar
berhenti, si bapak samping gue kembali heboh mengeluarkan tiga blackberrynya
untuk diaktifkan kembali. Lalu menyuruh anak-anaknya untuk cepat berkemas. Dan
hal tersebut merata ke seluruh penumpang di kabin.
Dalem
hati gue, ‘emang mau kemana sih buru-buru, pesawat juga belom berhenti kali.
Toh nanti bakalan kena antrian panjang juga di imigrasi’. Tapi emang dasarnya
kebanyakan orang indo sekarang tingkat kenorakannya bertambah, yaa gitu deh
jadinya.
Dan
yang terakhir, terkikisnya budaya ketimuran Indonesia menurut gue tercermin
dari supir-supir angkot yang tidak lagi ramah. Para pengendara yang mau menang
sendiri di jalan, serta kejahatan yang merajalela.
Gue
pernah waktu itu lagi jalan kaki mau menyebrang dalam keadaan macet. Pas gue
mau menerobos diantara dua mobil, supir mobil yang berada dibelakang malah
memajukan mobilnya dan membuat jarak antara mobilnya dengan mobil di depannya
hanya sebatas tiga jari, sehingga gue ga bisa lewat. Waktu itu gue buru-buru
dan gak mau nyari masalah. Gue cuma bisa geleng-geleng, ngelus dada sambil ngeliatin
supirnya. Lagian salah gue apa coba. Gue cuma mau jalan dan gak ngusik-ngusik
wilayah dia apalagi menggores mobilnya pake silet, eh… malah gak di kasih
jalan.
Yaa,
itu semua cuma sebagian dari potret masyarakat yang gue alami, semoga bisa
membuka hati yang lain untuk bisa merubah masyarakat kita menjadi lebih baik.
Masyarakat secara keseluruhan gak akan berubah selama individunya masih sakit.
Hehe…
Memang indonesia sedang membutuhkan dokter untuk ngobatin penyakit gituan kri.....
ReplyDeletehehehe.. iya gesh,, ngerasain sendri kan di malay.. pasti nemu sepesies kayak gitu.. makasi gesh dah mampir.. hehe
DeleteWah kpn ni gue bisa kyk gitu....hehehehe....
ReplyDeletekapan aja antum mau bisa in syaa' Allah.. makasi mir dah mampir.. hehehe
Delete