Tuesday, June 3, 2014

Dasar orang Indo



Indonesia merupakan Negara berbentuk republik yang masyarakatnya terdiri dari berbagai lapisan dan golongan. Mau bentuk masyarakat yang gimana aja kita bisa temui di Indonesia. Jika di golongkan berdasarkan tingkat kekayaannya, mulai orang terkaya sampai orang termiskin ada di Indonesia. Digolongkan berdasarkan keyakinan, mulai dari yang menyembah tuhan, sampai yang menyembah cancorang juga ada di Indonesia. Berbagai macam suku, adat dan budaya bersatu di bawah naungan langit Bhineka Tunggal Ika.
Masyarakat Indonesia juga di kenal sebagai masyarakat yang memegang erat budaya ketimuran yang terkenal ramah, sopan, menghargai sesama, dan rendah hati. Tapi sayangnya budaya itu cendrung terkikis akhir-akhir ini. Banyak orang mulai menindas satu sama lain, enggan menyatukan pendapat serta lebih memilih bersebrangan dengan saudara sendri, dan yang paling parah kita sering mendapati diantara masyarakat banyak orang-orang yang merasa lebih mulia dari rekannya.
Hal tersebut gue rasain banget ketika gue transit di Dubai International Airport selama 12 jam. Kebetulan waktu itu gue cuma sendiri, jadi benar-benar gak ada teman ngobrol sama sekali. Orang asli Yaman yang bareng gue di San’a berpisah di Dubai karena dia harus melanjutkan penerbangan ke Turki. Walhasil, gue bakalan clingak-clinguk sendirian selama transit. Karena meski Dubai tergolong Negara maju, dan airportnya lumayan bagus, belum menyediakan fasilitas yang memanjakan penumpang transit di airportnya, dan mungkin hanya penumpang first class yang mendapatkan pelayanan extra.
Gue bukannya ga mau mencari kenalan atau sekedar teman ngobrol untuk mengisi ke kosongan. Tetapi dalam keadaan seperti ini gue lebih memilih keliling-keliling airport, jajan dan menghabiskan banyak cokelat, atau membuang penat dengan berselancar di dunia maya pada layanan internet yang tersedia.
Dalam kesendirian gue menikmati suasana airport, gue melihat banyak banget orang Indonesia dari berbagai lapisan. Mulai dari tingkat atas, menengah, bawah sampai yang golongan basement kayak gue ada di sana. Dan rata-rata mereka saling gengsi satu sama lain. Malu mengakui saudaranya sesama orang Indonesia.
Lapisan atas, kebanyakan mereka menghabiskan waktu transit di ruang tunggu first class yang di sediakan. Gue mencoba sesekali mengarahkan pandangan ke mereka dari luar, dan diantara mereka ada yang langsung buang muka sambil sok sibuk mengutak ngatik gadget di tangannya.
Lapisan menegah bernasib gak jauh berbeda dengan gue, tidak ada pelayanan khusus. Hanya saja kondisi dompet mereka yang agak berlebih masih cukup untuk bisa memanjakan mereka menghabiskan waktu di café-café atau tempat kuliner lainnya yang cukup nyaman untuk beristirahat.
Sedangkan lapisan bawah itu baru benar-benar senasib dengan gue. Sama-sama ngemper di plataran airport, cuma bedanya mereka bergerombol. Jadi mereka masih bisa lebih bergengsi dibanding gue. Lapisan bawah mayoritas diramaikan oleh para TKW yang hendak pulang kampung ke Indonesia. Jumlah mereka lumayan banyak. Dengan dandanan super menor dan gadget baru yang ditenteng kemana-mana, wajarlah mereka ngerasa lebih up to date dari gue.
Setelah lama transit akhirnya tiba juga waktu gue untuk melakukan penerbangan selanjutnya ke negri tercinta, Indonesia. Bosannya transit bikin gue hampir lumutan di airport. Untungnya pesawat yang akan gue tumpangi gak pakai acara delay, kalau iya, bisa-bisa gue pulang dalam keadaan tumbuh rumput di badan gue.
Sewaktu gue lagi iseng browsing pakai hape, tiba-tiba ada mas-mas yang gue taksir umurnya sekitar 27 tahun nyamperin gue yang lagi duduk sendri. Dengan dandanan yang cukup mentereng, topi khas Glen Fredly, dan kaca mata hitam boboho, bisa terlihat kalau dia termasuk golongan orang lapisan atas. Cuma sayangnya rada norak, jadi yang ada dia lebih kelihatan seperti Glen Fredly gagal nyaleg. Lalu gak lama kemudian terjadi percakapan antara gue dan dia:
Mas-mas: Hei mas, sendiri aja? Keluarganya mana? (dia manggil gue mas juga, padahal gue lebih keliatan anak hilang dari pada mas-mas)
Gue: Iya nih, sendiri aja. Kalau masnya sendri juga?
Mas-mas: Owh saya, sama keluarga dong. Tuh papa mama dan adik-adik saya.
Gue: Owh, iya iya mas. Seneng yaa jalan-jalan sekeluarga. Emangnya abis dari mana?
Mas-mas : Biasa ni kita abis jalan-jalan ke Eropa. Yaa liburan gitu deh. Kalau masnya  sendiri dari mana?
Gue: Saya dari Yaman mas, kebetulan kuliah di sana dan sekarang lagi ambil cuti. Jadinya yaa pulang ke indo. Ngomong-ngomong berapa hari mas di Eropa?
Mas-mas: Kurang lebih 10 hari gitu. Kita jalan-jalan ke empat Negara. Belanda, Prancis, Jerman, dan Belgia.
Gue: Waah, asik yaa mas. Kemana aja tuh jalan-jalannya?
Mas-mas: Kalau di belanda kita ke Den Haag, Amsterdam, dan Rotterdam. Kalau Prancis kita jalan-jalan naik mobil wisata trus foto-foto di bawah menara Eifel. Kalau Belgia sama Jerman, yaaa biasa nih, ibu-ibu pada belanja.
Gue: Di belanda gak sempet ke Madurodam mas?
Mas-mas: Wah, apa tuh?
Gue: Ih, masa ga tau. Itu tuh kayak miniatur Negara Belanda mas. Yaa, kayak taman mini lah kalau kita di indo. Cuma bedanya ini dibuat sangat mini. Jadi kita kalau ke situ serasa jadi raksasa. Oya, trus masnya ga sempet naik ke menara Eifel?
Mas-mas: Enggak tuh, soalnya waktu kita mau naik pagi-pagi belum dibuka. Sedangkan jadwal dari travel sudah ga memungkinkan kita untuk kembali lagi ke menara Eifel untuk naik.
Gue: Waaah, sayang banget mas, udah sampe sana gak naik. Padahal naik ke situ asik lho. Dari lantai satu dan duanya kita bisa menikmati indahnya kota paris mas. Tapi sayang juga sih waktu itu saya ga sempet ke lantai tiganya, katanya sih restoran, tapi kurang tau juga deh.
Mas-mas: Masnya pernah ke Eropa juga?
Gue: Alhamdulillah pernah mas. Cuma sebentar sih, gak lama, sekitar 21 hari gitu deh.
Mas-mas: Wah, lebih lama masnya. Liburan ke sana mas?
Gue: Enggak mas, kebetulan waktu itu ada event jambore nasional Belanda dan Negara kita diundang. Kebetulan juga pondok pesantren tempat saya belajar yang mendapat undangan dari Kwarnas mas.
Mas-mas: Eh, iya, gate-nya udah dibuka tuh, saya harus siap-siap dulu. Bantuin bawa barang-barang keluarga. Mari!
Gue: Iya mas, silahkan!
Dan ternyata gak cukup sampai di situ. Di kabin pesawat lagi-lagi gue diperlihatkan potret kegengsian antara sesama orang Indonesia. Kebetulan gue waktu itu dapet window seat right side, dan itu tempat paling ga enak menurut gue. Soalnya bakalan susah kalau mau izin pipis.
Ternyata firasat gue benar, teman duduk gue seorang bapak-bapak dengan muka kurang ramah duduk di kursi tengah, dan di samping kirinya ada istrinya. Tepat di barisan belakang gue berjajar anak-anaknya yang pada ribut rebutan PSP. Karena gak bisa diam, PSPnya diambil bokapnya dan dimainkan sendiri. Bapak macam apa dia?
Sebelum pesawat take off, sambil masih sibuk dengan game di PSPnya, si bapak ini heboh mengeluarkan tiga buah blackberry untuk di setting flight mode dari kantong yang berbeda-beda. Dua dari kantong celana dan satu dari kantong rompinya. Dengan ekpresi muka yang angkuh, dia memencet-mencet  tombol di blackberrynya lalu sibuk kembali dengan PSPnya. Bukannya iri sih, tapi dalam hati gue bilang, ‘haddeeh pak, biasa aja kali gak segitu juga hebohnya’.
Gue sempet mau negor sekedar say hello. Tapi baru ngelirik, dia udah melihat sinis ke gue. Yaudah gak jadi. Gue rasa dia kena post power syndrome gitu, makanya kelakuannya rada aneh dan ngerasa dirinya lebih wah.
Selama perjalanan gue sama sekali gak membuka pembicaraan, sampai akhirnya gue kebelet pipis dan gue terpaksa negor untuk minta izin. Di kasih sih, tapi sebelumnya diplototin dulu.
Gue benar-benar merasakan hawa angkuh dalam kabin pesawat tersebut, sesama orang Indonesia gak ada ramah-ramahnya cuma karena merasa baru pulang dari luar negri. Haddeeeh… Norak abis.
Lalu keadaan berlanjut sampai pesawat landing. Belum pesawat benar-benar berhenti, si bapak samping gue kembali heboh mengeluarkan tiga blackberrynya untuk diaktifkan kembali. Lalu menyuruh anak-anaknya untuk cepat berkemas. Dan hal tersebut merata ke seluruh penumpang di kabin.
Dalem hati gue, ‘emang mau kemana sih buru-buru, pesawat juga belom berhenti kali. Toh nanti bakalan kena antrian panjang juga di imigrasi’. Tapi emang dasarnya kebanyakan orang indo sekarang tingkat kenorakannya bertambah, yaa gitu deh jadinya.
Dan yang terakhir, terkikisnya budaya ketimuran Indonesia menurut gue tercermin dari supir-supir angkot yang tidak lagi ramah. Para pengendara yang mau menang sendiri di jalan, serta kejahatan yang merajalela.
Gue pernah waktu itu lagi jalan kaki mau menyebrang dalam keadaan macet. Pas gue mau menerobos diantara dua mobil, supir mobil yang berada dibelakang malah memajukan mobilnya dan membuat jarak antara mobilnya dengan mobil di depannya hanya sebatas tiga jari, sehingga gue ga bisa lewat. Waktu itu gue buru-buru dan gak mau nyari masalah. Gue cuma bisa geleng-geleng, ngelus dada sambil ngeliatin supirnya. Lagian salah gue apa coba. Gue cuma mau jalan dan gak ngusik-ngusik wilayah dia apalagi menggores mobilnya pake silet, eh… malah gak di kasih jalan.
Yaa, itu semua cuma sebagian dari potret masyarakat yang gue alami, semoga bisa membuka hati yang lain untuk bisa merubah masyarakat kita menjadi lebih baik. Masyarakat secara keseluruhan gak akan berubah selama individunya masih sakit. Hehe…    



     

4 comments:

  1. Memang indonesia sedang membutuhkan dokter untuk ngobatin penyakit gituan kri.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe.. iya gesh,, ngerasain sendri kan di malay.. pasti nemu sepesies kayak gitu.. makasi gesh dah mampir.. hehe

      Delete
  2. Wah kpn ni gue bisa kyk gitu....hehehehe....

    ReplyDelete
    Replies
    1. kapan aja antum mau bisa in syaa' Allah.. makasi mir dah mampir.. hehehe

      Delete