Wednesday, December 12, 2018

Father Of Two Sons - Part 1


Gak terasa perjalanan hidup sudah sampai di penghujung tahun 2018. Dan gak terasa juga udah sekian lama gue gak pernah nulis sampai akhirnya baru di akhir tahun ini gue sempetin nulis. Kayaknya banyak banget cerita sedih,,, senang duka dan gembira yang terlewati sebelum sempat terabadikan dalam sebuah tulisan.
Okelah, sesuai judul di atas, gue mau berbagi cerita gembira aja dulu dalam tulisan kali ini. Alhamdulillah, pada tanggal 10 Desember, jam 16.44 sore, gue resmi menjadi Bapak dengan dua anak laki-laki. Gue sangat bersyukur banget, di penutupan tahun 2018, Allah ngasih kado terindah buat gue yang gak ternilai sama sekali.
Gue mau berbagi pengalaman menjadi Suami yang nemenin Istrinya brojol di kamar persalinan. Di mulai dari anak pertama gue dulu yak. Muhammad Yaasin namanya.
Sebagai pasangan suami Istri yang baru saja menikah di September 2016 yang silam, dikaruniai anak adalah hal terindah pastinya. Alhamdulillah, tidak lama setelah menikah, istri gue langsung isi. Gue nikah September 2016, anak pertama gue lahir Juni 2017. Yap… seorang laki-laki Gemini.
Jadi ceritanya ketika mau lahiran anak gue yang pertama, saat itu bertepatan dengan Bulan Ramadhan, gue inget banget, gue baru aja pulang sholat Tarawih di malam Ahad tanggal 17 Juni. Seperti biasa, sepulang sholat tarawih, gue biasa ngobrol sama istri gue, tentang banyak hal, ketika itu yang gue obrolin urusan senam kegel.
Selesai ngobrol, entah dapat ilham dari mana, bini gue langsung praktek, dia ambil hanphonenya, buka youtube lalu dia ikuti seluruh rangkaian senam kegel yang ada di youtube. Sambil dia senam kegel gue tinggal makan nyeduh kopi di dapur.
Allah punya aturan, tepat jam 23.00, setelah istri gue senam kegel, dia mendapati di celana dalamnya ada flek (caiaran kental berwarna cokelat) yang membasahi, tapi belum ada tanda-tanda akan mules. Dia lapor ke gue, “bang ngeflek”. Berhubung ini anak yang pertama, gue setengah panik, buru-buru gue ambil mobil dan ngajak bini gue ke klinik tempat kami biasa kontrol.
Sesampainya di klinik, istri gue di periksa, ternyata belum ada pembukaan sama sekali. Akhirnya gue dan istri gue balik ke rumah. Kita coba untuk istirahat di malam itu, berharap ada hal baik yang terjadi esok hari.
Belum lama kita memejamkan mata, jam 01.30 dini hari, bini gue mules, dan setelah mengecek di kamar mandi, ternyata keluar flek lagi untuk ke dua kalinya. Sontak gue kaget, kemudian seketika itu juga gue bawa bini gue ke kelinik untuk diperiksa kembali. Namun hasilnya masih sama, belum ada pembukaan. Dan yang istri gue alami adalah kontraksi palsu (mules tapi belum mau keluar). Di pemeriksaan ke dua, bidannya agak bete karena gue datang ke dua kalinya untuk melaporkan kendala yang sama. Akhirnya gue gak cuma dapat pemeriksaan, tapi juga khotbah panjang sang bidan tentang apa itu kontraksi palsu dan bagaimana penanganannya. Istri gue di suruh banyak jalan, banyak gerak, dan banyak olahraga untuk mempercepat adanya pembukaan dan memudahkan persalinannya.
Setelah selesai, kami memutuskan untuk kembali ke rumah, sambil melipir dulu di pinggir jalan untuk menikmati santap sahur di warung roti bakar. Semenjak itu, istri gue mulesnya semakin rutin. Hampir setiap setengah jam sekali dia ngerasain mules. Dan malam itu, setelah sampai di rumah, kami tidak bisa tidur nyenyak.
Pagi hari pun tiba. Matahari pagi itu terlihat cerah, seakan memberi harapan baru untuk gue dan istri gue di pagi itu. Kami pun berharap, ada secercah cahaya yang membawa kabar gembira di hari itu. Namun keadaan belum berubah, istri gue masih terus-terusan mengalami kontraksi palsu. Sedikit-sedikit mules. Akhirnya gue memutuskan untuk periksa lagi, tapi di klinik lain. Bilang aja klinik B.
Sesampainya di klinik B, Istri gue diperiksa lagi, ternyata sudah pembukaan 1. Dalam proses persalinan, pembukaan mempunyai skala 1 – 10. Tandanya masih adala 9 pembukaan lagi yang harus ditunggu, untuk bisa melakukan proses persalinan. Dan biasanya, untuk anak pertama, dari pembukaan 1 ke pembukaan 4 bisa memakan waktu 1 – 2 hari. Akhirnya kami disuruh pulang kembali oleh bidan di klinik B, karena proses persalinannya masih jauh. Lagi – lagi disuruh banyak jalan, banyak gerak dan banyak olahraga.
Okelah, hari minggu itu kita lalui dengan banyak jalan bareng istri gue keliling sekitar rumah, sambil setiap kali jalan, istri gue harus berhenti sesekali, karena mengalami kontraksi.
Malam harinya keluarga istri gue datang dari Sukabumi, melihat istri gue yang kontraksinya semakin sering, pukul 22.00 gue bawa istri gue barang keluarganya ke klinik B untuk kembali diperiksa perkembangan pembukaannya. Tapi hasilnya masih saja pembukaan 1. Istri gue udah merintih kesakitan, tapi pembukaan belum juga bertambah. Dan kami kembali disuruh pulang, mengingat belum ada kemajuan yang signifikan
Esok harinya di hari senin, 19 Juni 2017, kontraksi semakin hebat dan tidak terperi. Semua orang yang ada ketika itu menyuarakan usulan yang sama, “udahlaaaa…h, sesar aja. Kesian atuh si eneng (panggilang istri gue) udah kesakitan kayak gitu”.
Ada lagi yang bahasanya lebih halus, mengarahkan tapi tidak to the point, meraka hanya memberi premis tapi tidak menyebutkan maksud dari perkataannya secara langsung, “ini si Vera kan udah lama mulesnya, apa gak mau coba jalan lain, biar bayinya selamat Veranya juga enak ngeluarinnya?”
Ada juga yang cuma mencibir, memprovokasi, tanpa solusi, “ih, gue sih gak tega ngeliatnya, udah dua malem mules, tapi yaudahlah, terserah suaminya aja”.
Pada keadaan seperti ini menurut gue, nalar, logika, dan prinsip seorang suami dan calon bapak diuji. Sekuat apa dia mempertahankan prinsipnya untuk menjaga agar bayinya bisa terlahir dengan proses normal. Setahan apa dia mendengar masukan-masukan dan ide-ide tidak bertanggungjawab yang masuk ke kupingnya.
Yap, “gue bilang masukan dan ide yang tidak bertanggungjawab”, karenan di posisi ini, apapun keputusan yang gue ambil, akibat, biaya, dan resiko semua bakalan gue yang nanggung. Orang-orang itu cuma bisa ngasih masukan dan setelah itu yaudah…
Kalau masukannya gue pakai dan berhasil, mereka akan senang dan berbangga diri, tapi kalau masukannya gue pakai dan ternyata gagal, atau terjadi hal yang tidak diinginkan, mereka cuma bisa bilang, “yaa.. kita kan cuma ngasih masukan, keputusan ada di Fiki”.
Tapi sebaliknya, kalau masukan mereka gak gue pakai, dan ternyata apa yang menjadi keyakinan gue jadi kenyataan. Yaa, omongan mereka datar-datar aja, gak akan memuji keputusan gue. Tetapi jika yang terjadi justru hal yang tidak diinginkan dengan keputusan yang gue ambil, mereka akan dengan suara lantang berkata, “tuuuuuuu ….. kaaaaaan, gak mau denger kata orang sih!”
“Tuuuuuuu…. Kaaaaan! Dibilang juga apa.. keras kepala sih jadi orang!”
Kampret kan? Makanya situasi-situasi seperti ini gue menyebutnya, ‘the kampret situation’. Karena efeknya emang kampret banget, apapun hasilnya.
Akhirnya, dengan situasi tersebut, gue tetap kembali kepada prinsip awal, dan tujuan awal gue sama istri gue. Bayi gue harus lahir secara normal, apapun caranya. Sampai dititik bidanpun angkat tangan dan menyarankan jalan lain. Tapi selama bidan bilang bayi gue masih bisa lahir secara normal. Itu yang gue pegang.
Gak lama setelah memutuskan itu di dalam hati gue bilang ke istri gue, “Bund, tetap mau laihiran normal kan? Gak mau sesar kan?”
Istri gue jawab, “yaa normal atuh maunya, siapa juga yang mau sesar?”
Setelah mendapat jawaban yang menguatkan dari istri gue, gue langsung mutar otak, gue inget-inget, bahwasannya salah seorang rekan kerja gue ada yang pernah menyarankan ke klinik bersalin C.
Tanpa pikir panjang, gue langsug kontak dia, dan alhamdulillah, dia bisa dihubungi dengan cepat. Gue langsung ambil mobil dan minta dia ikut gue nganter istri gue ke klinik C.
***
Dalam perjalanan gue nganter Istri ke klinik C, gue dianter rekan gue, sama satu orang tukang urut yang agak mistis. Gue sebut mistis, karena semenjak gue kecil, dia udah ngurut gue, sampai sekarang gue udah beranak, tiap kali diurut, apapun keluhannya, penyebabnya cuma itu-itu aja, kalau tidak, kesambet, yaa ketumpangan. Kalau enggak ada salah satu arwah keluarga gue yang kangen minta didoain. Gue menyebut dia,’ibu baju item’. Karena waktu gue kecil, itu tukang urut tiap dipanggil kostumnya selalu kaos hitam dan rok hitam, entah dia gak punya baju lain, atau memang itu jimatnya gue gak tau dah. 
Dan sepanjang jalan ini ibu baju item omongannya berantakan, “ini neneknya masih nahan ini, minta dibikinin kopi item dari sumatera”.
Gue diem aja, sambil terus focus bawa mobil, jangan sampai ada guncangan yang bikin istri gue kesakitan.
Gak lama, dia ngoceh lagi, “ini bayinya minta bawang bombai disiangin sambil dibacain ayat kursi,” dan masih banyak lagi ocehan-ocehannya yang gak masuk akal yang bikin pengen nabok bawannya. Gimana gak emosi, dalam keadaan kayak gitu, sempet-sempetnya mulut dibiarin ngoceh.
Kalau bukan karena hormatin dia tukang pijet kepercayaan nyokap, dan warisan turun temurun dari nenek gue, udah gue turunin di jalan tu orang.
Lagian dari mana logikanya nenek gue minta kopi tiba-tiba di saat istri gue lagi kesakitan mau lahiran, dan dari mana urusannya bayi gue minta bawang bombai coba. Hadeeeeh. Yang ada kalau emang nenek gue masih hidup, pastinya bakan cepet-cepet nyuruh ke bidan. Gak mungkin lah, istri gue lagi kesakitan, trus nenek gue bilang, “fikiiiii.. mau cepet lahiran gak? Cepet buatin nenek kopi hitam dari sumatera!”
Sesampainya di klinik C, istri gue langsung di periksa sama salah seorang bidan di klinik tersebut. Asli, liat perangainya itu bidan lebih supir angkot dari pada tukang bantuin ngelahirin. Dia asli Medan, tinggi besar, rambut pendek seleher, dan berkacamata kayak Pak Raden.
“Bagaimana, Bu?” gue bertanya kepada bidan tersebut tentang perkembangan istri gue.
“Masih bukaan 1,” jawab bidan itu dengan aksen bataknya. “mau di sini apa di bawa pulang dulu?”
Dalam hati, akhirnya gue dikasih pilihan, gak seperti di klinik A dan B yang istri gue langsung di suruh pulang karena masih bukaan 1. Tanpa pikir panjang, akhirnya gue mutusin untuk langsung dirawat di klinik tersebut. Karena agak repot kalau gue harus bawa istri gue pulang lagi, karena jarak klinik C agak sedikit jauh dari rumah gue.
Gue urus registrasinya, pesan kamar di kelas I saat itu.
***
Waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB. Istri gue diperiksa kembali setelah 4 jam berlalu, ternyata hasilnya alhamdulillah sudah bukaan 2, sakit yang dirasa masih terus ada. Tiap 5 menit sekali istri gue mules dan menahan sakit. Dan setiap dia mules, gue selalu jadi sasaran tembaknya. Apapun dari badan gue bisa dicubit sekencang-kencangnya. Kalau pas yang kepegang rambut, yaa rambut gue dijambak. Gak percaya? Buat para single baik laki-laki ataupun perempuan, silahkan alamin sendiri nanti yaaak..
Mulai dari sejak istri gue diperiksa pembukaannya, gue gak henti-hentinya memanjatkan doa, semoga apa yang menjadi keyakinan gue dan istri gue, bisa terklaksana dengan bai katas izin Allah Swt.
Waktu 4 jam pun kembali berlalu. Sepertinya istri gue sudah hamper kehilangan tenaga akibat menahan rasa sakit yang begitu hebat setiap kali mengalami kontraksi. Yang terjadi, setiap kali kontraksi, ia akan mengerang hebat, lalu jika sudah lewat masa kontraksi antara 10 – 20 detik, ia akan kembali melemah seakan kehabisan tenaga.
Bayangkan, sudah dua hari dua malam ia mengalami hal tersebut, mulai dari kotraksi, 30 menit sekali, sampai saat ini sudah semakin rapat jaraknya, 2-3 menit sekali.
Tepat pukul 16.15 WIB, istri gue kembali diperiksa, dan alhamdulillah, sudah bukaan 4, masih ada 6 bukaan lagi yang harus dilalui. Banyak orang bilang, kalau sudah bukaan 4 tandanya waktunya sudah dekat. Dari bukaan 4 ke bukaan selanjutnya biasanya tidak akan lama.
Detik pada jam tangan gue terus berjalan, hingga saat ini waktu maghrib pun tiba. Sementara istri gue ada bibinya yang menemani, gue sholat dulu di masjid depan klinik.
Sepulangnya gue dari Masjid, gue lihat ada rekan gue yang tadi pagi mengantar ke klinik sedang duduk di kursi ruang tunggu sambil membaca Al-Qur’an. Lalu gue sapa, “udah lama?”
“Enggak baru aja dateng ni, itu Akh, ana bawa air rumput Fatimah, tadi udah coba diminumin sih, semoga aja bisa jadi wasilah mempercepat kelahirannya”.
“Oo… gitu! Oke siaap.. makasi banyak yaaa.”
Memang menurut sebagian orang, air rendaman rumput Fatimah bisa membantu jalannya persalinan, dan gak ada salahnya juga dicoba. Dan setelah istri gue diminumin air rendaman rumput Fatimah, tidak lama kemudian, kontraksinya semakin hebat dari sebelum-sebelumnya, akhirnya istri gue diperiksa lagi di tempat bersalin, dan ternyata sudah bukaan 7.
Akhirnya kata bidan yang memeriksa, “udah gak usah balik ke kamar perawatan, di sini aja”
Benar saja, setelah bukaan 7 itu, kontraksi bukan main rutinnya, hamper tidak ada jeda waktu. Hanya menyisakan beberapa menit setiap sehabis multi kontraksi. Sampai-sampai tidak ada waktu istirahat untuk istri gue mengumpulkan tenaga.
Orang bilang, wanita mau melahirkan harus mengumpulkan tenaga. Karena dia akan butuh nafas yang panjang, dan kekuatan penuh saat mengejan.
Tidak ada habisnya gue berzikir, karena hanya itu yang bisa gue lakukan sambil menemani istri gue di ruang bersalin.
***
Lantunan ayat suci Al-Qur’an begitu terasa terdengar, karena saat itu memang bulan Ramadhan, malam yang ke 25. Bacaan imam saat shalat tarawih lumayan menyejukkan hati kami yang sedang gundah gulana menunggu detik – detik sang bayi akan keluar. Buah hati yang kami tunggu-tunggu kehadirannya.
Tidak habis rasanya bibir ini mengucap takbir, tahlil dan sholawat kepada baginda Nabi Besar Muhammad Saw, sebagai ungkapan doa akan harapan, semoga semua proses ini dilancarkan oleh Allah Swt.
Jam diding ruang bersalin terasa begitu lambat berdetak, jarumnya menunjukkan pukul 21.15 WIB. Bidan Batak yang dari hari ini beberapa kali memeriksa istri gue sudah masuk ke ruangan bersalin. “ayo Bu, kita latian Tarik nafasnya, sambil atur posisinya”.
Beberapa kali atur posisi, masih saja belum menemukan posisi yang pas untuk istri gue bersalin menurut bidan tersebut, “Ibu jangan kayak gitu, kalau kayak gitu susah keluar nanti bayinya,” gretak bidan tersebut. Udahlah istri gue lagi kesakitan masih juga diomelin… kadang-kadang emang dasar orang Indonesia.
Kali ini saat-saat paling mendebarkan semakin dekat, jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.50 WIB. Sudah 35 menit berlalu akhirnya ditemukan juga posisi yang pas.
“Ayo bu, kumpulkan tenaga,” ujar bidan Batak tersebut.
“huff.. haaaaah…. Huuuffff… haaaaaaa,” istri gue berusaha mengejan sekuat mungkin.
“Ibu kepalanya jangan liat ke atas, liat ke arah perut…!”
Gue semakin berdebar menyaksikan hal tersebut, gue pegang erat tangan istri gue sambil merangkulnya. Mencoba terus memberi semangat, agar ia kuat melalu proses ini.
“Ayo Bu.. Terus! Tarik nafas yang dalam, terus mengejan sekuat-kuatnya…. Ayoo Bu.. !
Agak sedikit penasaran, gue coba melirik ke arah tempat keluarnya bayi, tetapi, belum sempat gue melirik, suara bidan Batak sudah lebih dahulu menggelegar, “Bapak jangan liat kesitu! Tatap muka istrinya…!”
“Iya bu,,, iya,, maaf”
“Ayoo Bu.. terus.. Tarik nafas yang dalam Bu.. sedikit lagi.. kepalanya sudah mulai keluar ni..” ujar bidan Batak itu kembali.
“Huuuuuufff. .. haaaaaa,…. Huffff…. Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”, akhirnya dengan sekuat tenaga, tepat pukul 22.00 WIB, anak kami lahir dengan selamat,
Gue rangkul erat istri gue,, sambil mengucap syukur sedalam-dalamnya kepada Allah Swt yang telah menjadikan proses persalinan ini indah untuk dikenang suka dukanya.
Setelah 9 bulan penantian, jagoan yang ditunggu-tunggu hadir juga dengan selamat. Alhamdulillah..
Usai proses persalinan, selebiihnya tinggal proses pembersihan dan finishing laah istilahnya. Bayi gue dimandikan dan dibersihkan sebelum nanti akan gue kumandangkan adzan ditelinganya.
Malam ini kami lalui dengan tenang, tidak seperti 2 malam sebelumnya. Debar jantung terasa agak sedikit berkurang temponya. Aliran darah juga terasa lebih lancar. Semua berkat kasih sayang Allah Swt yang telah mempermudah segala prosesnya. Tidak ada kata yang dapat diucap selain syukur alhamdulillah…
Malam 25 Ramadhan 1438 hijriah, menjadi saksi sejarah atas kelahiran putra pertama kami, Muhammad Yaasin, lakal hamdu Yaa Rabb   
 Untuk anak ke 2 gue, gue lanjut di part 2 yaak, itu lebih ekstrim lagi prosesnya. Dan nanti gue juga bakal cerita tentang prosesi penguburan ari-ari. Ternyata ritualnya cukup beragam, dan unik.. ikutin terus. Jangan sampe ketinggalan cerita unik dari gue.,,,
To be continue…

No comments:

Post a Comment