Gak terasa perjalanan hidup sudah sampai di penghujung
tahun 2018. Dan gak terasa juga udah sekian lama gue gak pernah nulis sampai
akhirnya baru di akhir tahun ini gue sempetin nulis. Kayaknya banyak banget
cerita sedih,,, senang duka dan gembira yang terlewati sebelum sempat
terabadikan dalam sebuah tulisan.
Okelah, sesuai judul di atas, gue mau berbagi cerita
gembira aja dulu dalam tulisan kali ini. Alhamdulillah, pada tanggal 10
Desember, jam 16.44 sore, gue resmi menjadi Bapak dengan dua anak laki-laki.
Gue sangat bersyukur banget, di penutupan tahun 2018, Allah ngasih kado
terindah buat gue yang gak ternilai sama sekali.
Gue mau berbagi pengalaman menjadi Suami yang nemenin
Istrinya brojol di kamar persalinan. Di mulai dari anak pertama gue dulu yak.
Muhammad Yaasin namanya.
Sebagai pasangan suami Istri yang baru saja menikah di
September 2016 yang silam, dikaruniai anak adalah hal terindah pastinya.
Alhamdulillah, tidak lama setelah menikah, istri gue langsung isi. Gue nikah
September 2016, anak pertama gue lahir Juni 2017. Yap… seorang laki-laki
Gemini.
Jadi ceritanya ketika mau lahiran anak gue yang
pertama, saat itu bertepatan dengan Bulan Ramadhan, gue inget banget, gue baru
aja pulang sholat Tarawih di malam Ahad tanggal 17 Juni. Seperti biasa,
sepulang sholat tarawih, gue biasa ngobrol sama istri gue, tentang banyak hal,
ketika itu yang gue obrolin urusan senam kegel.
Selesai ngobrol, entah dapat ilham dari mana, bini gue
langsung praktek, dia ambil hanphonenya, buka youtube lalu dia ikuti seluruh
rangkaian senam kegel yang ada di youtube. Sambil dia senam kegel gue tinggal
makan nyeduh kopi di dapur.
Allah punya aturan, tepat jam 23.00, setelah istri gue
senam kegel, dia mendapati di celana dalamnya ada flek (caiaran kental berwarna
cokelat) yang membasahi, tapi belum ada tanda-tanda akan mules. Dia lapor ke
gue, “bang ngeflek”. Berhubung ini anak yang pertama, gue setengah panik,
buru-buru gue ambil mobil dan ngajak bini gue ke klinik tempat kami biasa
kontrol.
Sesampainya di klinik, istri gue di periksa, ternyata
belum ada pembukaan sama sekali. Akhirnya gue dan istri gue balik ke rumah.
Kita coba untuk istirahat di malam itu, berharap ada hal baik yang terjadi esok
hari.
Belum lama kita memejamkan mata, jam 01.30 dini hari,
bini gue mules, dan setelah mengecek di kamar mandi, ternyata keluar flek lagi
untuk ke dua kalinya. Sontak gue kaget, kemudian seketika itu juga gue bawa
bini gue ke kelinik untuk diperiksa kembali. Namun hasilnya masih sama, belum
ada pembukaan. Dan yang istri gue alami adalah kontraksi palsu (mules tapi
belum mau keluar). Di pemeriksaan ke dua, bidannya agak bete karena gue datang
ke dua kalinya untuk melaporkan kendala yang sama. Akhirnya gue gak cuma dapat
pemeriksaan, tapi juga khotbah panjang sang bidan tentang apa itu kontraksi
palsu dan bagaimana penanganannya. Istri gue di suruh banyak jalan, banyak
gerak, dan banyak olahraga untuk mempercepat adanya pembukaan dan memudahkan
persalinannya.
Setelah selesai, kami memutuskan untuk kembali ke
rumah, sambil melipir dulu di pinggir jalan untuk menikmati santap sahur di
warung roti bakar. Semenjak itu, istri gue mulesnya semakin rutin. Hampir
setiap setengah jam sekali dia ngerasain mules. Dan malam itu, setelah sampai
di rumah, kami tidak bisa tidur nyenyak.
Pagi hari pun tiba. Matahari pagi itu terlihat cerah,
seakan memberi harapan baru untuk gue dan istri gue di pagi itu. Kami pun
berharap, ada secercah cahaya yang membawa kabar gembira di hari itu. Namun
keadaan belum berubah, istri gue masih terus-terusan mengalami kontraksi palsu.
Sedikit-sedikit mules. Akhirnya gue memutuskan untuk periksa lagi, tapi di
klinik lain. Bilang aja klinik B.
Sesampainya di klinik B, Istri gue diperiksa lagi,
ternyata sudah pembukaan 1. Dalam proses persalinan, pembukaan mempunyai skala
1 – 10. Tandanya masih adala 9 pembukaan lagi yang harus ditunggu, untuk bisa
melakukan proses persalinan. Dan biasanya, untuk anak pertama, dari pembukaan 1
ke pembukaan 4 bisa memakan waktu 1 – 2 hari. Akhirnya kami disuruh pulang
kembali oleh bidan di klinik B, karena proses persalinannya masih jauh. Lagi –
lagi disuruh banyak jalan, banyak gerak dan banyak olahraga.
Okelah, hari minggu itu kita lalui dengan banyak jalan
bareng istri gue keliling sekitar rumah, sambil setiap kali jalan, istri gue
harus berhenti sesekali, karena mengalami kontraksi.
Malam harinya keluarga istri gue datang dari Sukabumi,
melihat istri gue yang kontraksinya semakin sering, pukul 22.00 gue bawa istri
gue barang keluarganya ke klinik B untuk kembali diperiksa perkembangan
pembukaannya. Tapi hasilnya masih saja pembukaan 1. Istri gue udah merintih
kesakitan, tapi pembukaan belum juga bertambah. Dan kami kembali disuruh
pulang, mengingat belum ada kemajuan yang signifikan
Esok harinya di hari senin, 19 Juni 2017, kontraksi
semakin hebat dan tidak terperi. Semua orang yang ada ketika itu menyuarakan
usulan yang sama, “udahlaaaa…h, sesar aja. Kesian atuh si eneng (panggilang
istri gue) udah kesakitan kayak gitu”.
Ada lagi yang bahasanya lebih halus, mengarahkan tapi
tidak to the point, meraka hanya memberi premis tapi tidak menyebutkan maksud
dari perkataannya secara langsung, “ini si Vera kan udah lama mulesnya, apa gak
mau coba jalan lain, biar bayinya selamat Veranya juga enak ngeluarinnya?”
Ada juga yang cuma mencibir, memprovokasi, tanpa
solusi, “ih, gue sih gak tega ngeliatnya, udah dua malem mules, tapi yaudahlah,
terserah suaminya aja”.
Pada keadaan seperti ini menurut gue, nalar, logika,
dan prinsip seorang suami dan calon bapak diuji. Sekuat apa dia mempertahankan
prinsipnya untuk menjaga agar bayinya bisa terlahir dengan proses normal.
Setahan apa dia mendengar masukan-masukan dan ide-ide tidak bertanggungjawab
yang masuk ke kupingnya.
Yap, “gue bilang masukan dan ide yang tidak
bertanggungjawab”, karenan di posisi ini, apapun keputusan yang gue ambil,
akibat, biaya, dan resiko semua bakalan gue yang nanggung. Orang-orang itu cuma
bisa ngasih masukan dan setelah itu yaudah…
Kalau masukannya gue pakai dan berhasil, mereka akan
senang dan berbangga diri, tapi kalau masukannya gue pakai dan ternyata gagal,
atau terjadi hal yang tidak diinginkan, mereka cuma bisa bilang, “yaa.. kita
kan cuma ngasih masukan, keputusan ada di Fiki”.
Tapi sebaliknya, kalau masukan mereka gak gue pakai,
dan ternyata apa yang menjadi keyakinan gue jadi kenyataan. Yaa, omongan mereka
datar-datar aja, gak akan memuji keputusan gue. Tetapi jika yang terjadi justru
hal yang tidak diinginkan dengan keputusan yang gue ambil, mereka akan dengan
suara lantang berkata, “tuuuuuuu ….. kaaaaaan, gak mau denger kata orang sih!”
“Tuuuuuuu…. Kaaaaan! Dibilang juga apa.. keras kepala
sih jadi orang!”
Kampret kan? Makanya situasi-situasi seperti ini gue
menyebutnya, ‘the kampret situation’. Karena efeknya emang kampret banget,
apapun hasilnya.
Akhirnya, dengan situasi tersebut, gue tetap kembali
kepada prinsip awal, dan tujuan awal gue sama istri gue. Bayi gue harus lahir
secara normal, apapun caranya. Sampai dititik bidanpun angkat tangan dan
menyarankan jalan lain. Tapi selama bidan bilang bayi gue masih bisa lahir
secara normal. Itu yang gue pegang.
Gak lama setelah memutuskan itu di dalam hati gue
bilang ke istri gue, “Bund, tetap mau laihiran normal kan? Gak mau sesar kan?”
Istri gue jawab, “yaa normal atuh maunya, siapa juga yang
mau sesar?”
Setelah mendapat jawaban yang menguatkan dari istri
gue, gue langsung mutar otak, gue inget-inget, bahwasannya salah seorang rekan
kerja gue ada yang pernah menyarankan ke klinik bersalin C.
Tanpa pikir panjang, gue langsug kontak dia, dan
alhamdulillah, dia bisa dihubungi dengan cepat. Gue langsung ambil mobil dan
minta dia ikut gue nganter istri gue ke klinik C.
***
Dalam perjalanan gue nganter Istri ke klinik C, gue
dianter rekan gue, sama satu orang tukang urut yang agak mistis. Gue sebut
mistis, karena semenjak gue kecil, dia udah ngurut gue, sampai sekarang gue
udah beranak, tiap kali diurut, apapun keluhannya, penyebabnya cuma itu-itu
aja, kalau tidak, kesambet, yaa ketumpangan. Kalau enggak ada salah satu arwah
keluarga gue yang kangen minta didoain. Gue menyebut dia,’ibu baju item’.
Karena waktu gue kecil, itu tukang urut tiap dipanggil kostumnya selalu kaos hitam dan rok hitam, entah dia gak punya baju lain, atau memang itu jimatnya
gue gak tau dah.
Dan sepanjang jalan ini ibu baju item omongannya
berantakan, “ini neneknya masih nahan ini, minta dibikinin kopi item dari
sumatera”.
Gue diem aja, sambil terus focus bawa mobil, jangan
sampai ada guncangan yang bikin istri gue kesakitan.
Gak lama, dia ngoceh lagi, “ini bayinya minta bawang
bombai disiangin sambil dibacain ayat kursi,” dan masih banyak lagi
ocehan-ocehannya yang gak masuk akal yang bikin pengen nabok bawannya. Gimana
gak emosi, dalam keadaan kayak gitu, sempet-sempetnya mulut dibiarin ngoceh.
Kalau bukan karena hormatin dia tukang pijet
kepercayaan nyokap, dan warisan turun temurun dari nenek gue, udah gue turunin
di jalan tu orang.
Lagian dari mana logikanya nenek gue minta kopi
tiba-tiba di saat istri gue lagi kesakitan mau lahiran, dan dari mana urusannya
bayi gue minta bawang bombai coba. Hadeeeeh. Yang ada kalau emang nenek gue
masih hidup, pastinya bakan cepet-cepet nyuruh ke bidan. Gak mungkin lah, istri
gue lagi kesakitan, trus nenek gue bilang, “fikiiiii.. mau cepet lahiran gak?
Cepet buatin nenek kopi hitam dari sumatera!”
Sesampainya di klinik C, istri gue langsung di periksa
sama salah seorang bidan di klinik tersebut. Asli, liat perangainya itu bidan
lebih supir angkot dari pada tukang bantuin ngelahirin. Dia asli Medan, tinggi
besar, rambut pendek seleher, dan berkacamata kayak Pak Raden.
“Bagaimana, Bu?” gue bertanya kepada bidan tersebut
tentang perkembangan istri gue.
“Masih bukaan 1,” jawab bidan itu dengan aksen
bataknya. “mau di sini apa di bawa pulang dulu?”
Dalam hati, akhirnya gue dikasih pilihan, gak seperti
di klinik A dan B yang istri gue langsung di suruh pulang karena masih bukaan
1. Tanpa pikir panjang, akhirnya gue mutusin untuk langsung dirawat di klinik
tersebut. Karena agak repot kalau gue harus bawa istri gue pulang lagi, karena
jarak klinik C agak sedikit jauh dari rumah gue.
Gue urus registrasinya, pesan kamar di kelas I saat
itu.
***
Waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB. Istri gue diperiksa
kembali setelah 4 jam berlalu, ternyata hasilnya alhamdulillah sudah bukaan 2,
sakit yang dirasa masih terus ada. Tiap 5 menit sekali istri gue mules dan
menahan sakit. Dan setiap dia mules, gue selalu jadi sasaran tembaknya. Apapun
dari badan gue bisa dicubit sekencang-kencangnya. Kalau pas yang kepegang
rambut, yaa rambut gue dijambak. Gak percaya? Buat para single baik laki-laki
ataupun perempuan, silahkan alamin sendiri nanti yaaak..
Mulai dari sejak istri gue diperiksa pembukaannya, gue
gak henti-hentinya memanjatkan doa, semoga apa yang menjadi keyakinan gue dan
istri gue, bisa terklaksana dengan bai katas izin Allah Swt.
Waktu 4 jam pun kembali berlalu. Sepertinya istri gue sudah
hamper kehilangan tenaga akibat menahan rasa sakit yang begitu hebat setiap
kali mengalami kontraksi. Yang terjadi, setiap kali kontraksi, ia akan
mengerang hebat, lalu jika sudah lewat masa kontraksi antara 10 – 20 detik, ia
akan kembali melemah seakan kehabisan tenaga.
Bayangkan, sudah dua hari dua malam ia mengalami hal
tersebut, mulai dari kotraksi, 30 menit sekali, sampai saat ini sudah semakin
rapat jaraknya, 2-3 menit sekali.
Tepat pukul 16.15 WIB, istri gue kembali diperiksa,
dan alhamdulillah, sudah bukaan 4, masih ada 6 bukaan lagi yang harus dilalui.
Banyak orang bilang, kalau sudah bukaan 4 tandanya waktunya sudah dekat. Dari bukaan
4 ke bukaan selanjutnya biasanya tidak akan lama.
Detik pada jam tangan gue terus berjalan, hingga saat ini
waktu maghrib pun tiba. Sementara istri gue ada bibinya yang menemani, gue
sholat dulu di masjid depan klinik.
Sepulangnya gue dari Masjid, gue lihat ada rekan gue
yang tadi pagi mengantar ke klinik sedang duduk di kursi ruang tunggu sambil
membaca Al-Qur’an. Lalu gue sapa, “udah lama?”
“Enggak baru aja dateng ni, itu Akh, ana bawa air
rumput Fatimah, tadi udah coba diminumin sih, semoga aja bisa jadi wasilah
mempercepat kelahirannya”.
“Oo… gitu! Oke siaap.. makasi banyak yaaa.”
Memang menurut sebagian orang, air rendaman rumput
Fatimah bisa membantu jalannya persalinan, dan gak ada salahnya juga dicoba. Dan
setelah istri gue diminumin air rendaman rumput Fatimah, tidak lama kemudian,
kontraksinya semakin hebat dari sebelum-sebelumnya, akhirnya istri gue diperiksa
lagi di tempat bersalin, dan ternyata sudah bukaan 7.
Akhirnya kata bidan yang memeriksa, “udah gak usah
balik ke kamar perawatan, di sini aja”
Benar saja, setelah bukaan 7 itu, kontraksi bukan main
rutinnya, hamper tidak ada jeda waktu. Hanya menyisakan beberapa menit setiap
sehabis multi kontraksi. Sampai-sampai tidak ada waktu istirahat untuk istri
gue mengumpulkan tenaga.
Orang bilang, wanita mau melahirkan harus mengumpulkan
tenaga. Karena dia akan butuh nafas yang panjang, dan kekuatan penuh saat
mengejan.
Tidak ada habisnya gue berzikir, karena hanya itu yang
bisa gue lakukan sambil menemani istri gue di ruang bersalin.
***
Lantunan ayat suci Al-Qur’an begitu terasa terdengar,
karena saat itu memang bulan Ramadhan, malam yang ke 25. Bacaan imam saat
shalat tarawih lumayan menyejukkan hati kami yang sedang gundah gulana menunggu
detik – detik sang bayi akan keluar. Buah hati yang kami tunggu-tunggu kehadirannya.
Tidak habis rasanya bibir ini mengucap takbir, tahlil
dan sholawat kepada baginda Nabi Besar Muhammad Saw, sebagai ungkapan doa akan
harapan, semoga semua proses ini dilancarkan oleh Allah Swt.
Jam diding ruang bersalin terasa begitu lambat
berdetak, jarumnya menunjukkan pukul 21.15 WIB. Bidan Batak yang dari hari ini
beberapa kali memeriksa istri gue sudah masuk ke ruangan bersalin. “ayo Bu,
kita latian Tarik nafasnya, sambil atur posisinya”.
Beberapa kali atur posisi, masih saja belum menemukan
posisi yang pas untuk istri gue bersalin menurut bidan tersebut, “Ibu jangan
kayak gitu, kalau kayak gitu susah keluar nanti bayinya,” gretak bidan
tersebut. Udahlah istri gue lagi kesakitan masih juga diomelin… kadang-kadang
emang dasar orang Indonesia.
Kali ini saat-saat paling mendebarkan semakin dekat,
jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.50 WIB. Sudah 35 menit berlalu
akhirnya ditemukan juga posisi yang pas.
“Ayo bu, kumpulkan tenaga,” ujar bidan Batak tersebut.
“huff.. haaaaah…. Huuuffff… haaaaaaa,” istri gue berusaha
mengejan sekuat mungkin.
“Ibu kepalanya jangan liat ke atas, liat ke arah perut…!”
Gue semakin berdebar menyaksikan hal tersebut, gue
pegang erat tangan istri gue sambil merangkulnya. Mencoba terus memberi
semangat, agar ia kuat melalu proses ini.
“Ayo Bu.. Terus! Tarik nafas yang dalam, terus
mengejan sekuat-kuatnya…. Ayoo Bu.. !
Agak sedikit penasaran, gue coba melirik ke arah
tempat keluarnya bayi, tetapi, belum sempat gue melirik, suara bidan Batak
sudah lebih dahulu menggelegar, “Bapak jangan liat kesitu! Tatap muka istrinya…!”
“Iya bu,,, iya,, maaf”
“Ayoo Bu.. terus.. Tarik nafas yang dalam Bu.. sedikit
lagi.. kepalanya sudah mulai keluar ni..” ujar bidan Batak itu kembali.
“Huuuuuufff. .. haaaaaa,…. Huffff…. Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”,
akhirnya dengan sekuat tenaga, tepat pukul 22.00 WIB, anak kami lahir dengan selamat,
Gue rangkul erat istri gue,, sambil mengucap syukur sedalam-dalamnya
kepada Allah Swt yang telah menjadikan proses persalinan ini indah untuk
dikenang suka dukanya.
Setelah 9 bulan penantian, jagoan yang ditunggu-tunggu
hadir juga dengan selamat. Alhamdulillah..
Usai proses persalinan, selebiihnya tinggal proses
pembersihan dan finishing laah istilahnya. Bayi gue dimandikan dan dibersihkan
sebelum nanti akan gue kumandangkan adzan ditelinganya.
Malam ini kami lalui dengan tenang, tidak seperti 2
malam sebelumnya. Debar jantung terasa agak sedikit berkurang temponya. Aliran darah
juga terasa lebih lancar. Semua berkat kasih sayang Allah Swt yang telah
mempermudah segala prosesnya. Tidak ada kata yang dapat diucap selain syukur
alhamdulillah…
Malam 25 Ramadhan 1438 hijriah, menjadi saksi sejarah atas
kelahiran putra pertama kami, Muhammad Yaasin, lakal hamdu Yaa Rabb
Untuk anak ke 2
gue, gue lanjut di part 2 yaak, itu lebih ekstrim lagi prosesnya. Dan nanti gue
juga bakal cerita tentang prosesi penguburan ari-ari. Ternyata ritualnya cukup
beragam, dan unik.. ikutin terus. Jangan sampe ketinggalan cerita unik dari
gue.,,,
To be continue…
No comments:
Post a Comment