Sunday, December 23, 2018

Father Of Two Sons - Part 2

Di part ke dua ini gue mau lanjutin cerita part pertamanya, gimana kisah kelahiran anak pertama dan ke dua gue, hingga akhirnya gue menjadi ‘fahter of two sons’ saat ini. Gak kebayang sebelumnya sih, kalau akhirnya istri gue bakalan hamil berturut-turut dalam 2 tahun sejak pernikahan kami.
Pernah gue iseng nanya istri gue, sebelum kami menikah, “Bund, aku boleh poligami gak”.
“Boleh, kalau aku gak bisa ngasih anak untuk kita,”jawab istri gue. Lah ini baru nikah 2 tahun, anak gue udah 2. Batal laah segala sekenario poligami… hehe.. lagian itu juga pertanyaan iseng sih. Katanya kalau lo dapet cewek yang mau di poligami imannya udah tingkat dewa, sholehahnya minta ampun. Dan semoga itu semua selalu dan senantiasa ada di istri gue.
Cerita kelahiran anak ke 2 gue gak jauh beda dengan anak pertama gue. Awalnya kami berpikir, kelahiran anak ke 2 akan lebih mudah dijalani. Bahkan ketika USG terakhir sebelum akan melahirkan, dokter yang memeriksa istri gue memberikan ucapan-ucapan positif saat pemeriksaan. Jadi ketika alat USG menempel di Perut Istri gue, terlihatlah semua aktifitas bayi gue di dalam perut, dia lagi siap-siap mau keluar, dandan yang rapi, nyisir rambut, tapi gak pake acara bikin alis, soalnya anak gue laki. Mungkin anak ke tiga gue kalau nanti perempuan di dalam perut bakalan ada meja make up.
Dokter mengatakan semuanya baik, posisi ok, siap meluncur, air ketuban cukup, tidak ada lilitan. Istilahnya all clear, gak ada hal yang perlu dicemaskan. In syaa Allah akan mudah, dan lahir dengan proses normal. Sampai-sampai dokter itu bilang, “aah.. ini mah tinggal nunggu bersin aja.. nanti juga keluar.”
Hari itu Jum’at malam, kami pulang dari klinik usai USG dengan perasaan tenang. Ucapan-ucapan dokter USG mengembuskan aura positif dalam pikiran kami. Harapan akan mudahnya proses persalinan yang kedua sudah terbayang-bayang dalam benak pikiran kami. Hanya tinggal menunggu waktu. Malam itu kami tertidur dengan pulas, tanpa ada rasa gelisah sedikitpun.
***
Hari berganti, dan waktu sholat subuh telah tibah, gue dibangunkan oleh istri tercinta dengan kalimat mengejutkan, “bang… udah keluar darah flek barusan?” suaranya lembut, tapi bisa bikin langsung bangun gak pake loading.
“Hah…! Seriusan, banyak gak?” tanya gue, menanggapi perkataan istri gue.
“Kayak biasa, sih. Kayak waktu hamil yang pertama”
“Yaudah, nanti periksa.”
Hari itu, gue masih ada kegiatan di kantor, maklum pegawai swasta yang hari Sabtu tetap masuk walaupun setengah hari. Karena di tempat kerja gue, hari Sabtu walaupun aktifitas kantor gak terlalu padat, ada saja hal yang perlu diurus di hari tersebut.  
Tanpa terasa, siang hari pun tiba, istri gue mengirim pesan wa ke gue:
‘ayah, kalau urusan ayah udah selesai, kita periksa yaa, aku dah mules-mules’
Mendapat pesan tersebut, gue langsung selesaikan segala urusan gue di kantor dan cepat-cepat berkemas pulang. Yaa walaupun jarak dari kantor ke rumah bisa dibilang kesandung juga nyampe, alias deket banget, tapi tetap saja perlu persiapan.
Sesampainya di rumah, gue langsung menyiapkan mobil, “gimana Bund, udah siap?”
“Udah,” jawab istri gue.
“Yaudah yuuk, kita langsung berangkat.”
Kali ini gue berangkat ditemani sama Ibu mertua gue yang datang khusus dari Brunei untuk ikut menemani proses persalinan istri gue. Sesampainya di klinik bersalin, istri gue diperiksa, dan ternyata sudah bukaan 2. Akhirnya kami memutuskan untuk langsung menginap di klinik tersebut, mengingat ini persalinan ke 2, yang biasanya, proses pembukaannya lebih cepat dari pada persalinan anak pertama. Dan kami tidak mau mengambil resiko pulang dahulu, setelah benar-benar mules baru kembali ke klinik, karena yang ada bisa-bisa lahiran di jalan. Kesian anak ke dua gue kalau sampai kejaidan seperti itu, bingung kalau besar nanti ditanya, “Abil, dulu lahirnya dimana?” mungkin teman sebayanya akan menjawab, “di Rumah Sakit, …. Di bidan…” dan lain sebagainya. Lalu anak gue menjawab, “di mobil…” itu gak lucu dah, seriusan.
Hari Sabtu yang cerah, kami lalui dengan optimisme tinggi, menunggu detik-detik persalinan tiba. Setelah siang istri gue diperiksa, sebagaimana biasanya, sesuai SOP yang berlaku, pemeriksaan selanjutnya akan dilaksanakan setelah 4 jam dari pemeriksaan sebelumnya. Namun dikarenakan masih pembukaan 2, saat akan dilakukan pemeriksaan berikutnya, kami sendiri yang memutuskan untuk tidak diperiksa terlebih dahulu, dikarenakan jarak antara satu kontraksi dengan kontraksi berikutnya masih sangat jauh, yaitu memakan durasi antara 30 menit sampai dengan 2 jam.
Akhirnya hari itu pun kami lalui dengan beristirahat di klinik bersama-sama. Gue ambil kamar kelas 3 di klinik tersebut, dengan komposisi kamar 4 ranjang, 1 kamar mandi, dilengkapi dengan televisi dan AC. Sengaja gue ambil kelas 3, gak ambil kamar kelas 1 atau VIP, karena klinik tersebut klinik yang lumayan sepi pengunjung. Gue akan lebih nyaman mengambil kamar kelas 3 dibanding VIP yang hanya menyediakan 1 tempat tidur untuk Ibu yang akan bersalin dan 1 sofa untuk penunggu. Fasilitas tambahan lainnya bisa dibilang sama saja. Dengan begitu… menunggu persalinan di klinik sudah seperti kita memesan kamar hotel dengan 4 tempat tidur, tanpa harus membawa kasur tambahan dari rumah layaknya kita menunggu pasien opname di rumah sakit pada umumnya.
Keesokan harinya, di Minggu pagi yang indah, istri gue memperbanyak jalan pagi guna mempercepat proses persalinan. Sedangkan gue, kembali ke rumah karena ada beberapa hal yang harus diurus, sekaligus menjemput anak Gue yang pertama, Acin, sudah semalaman dia ditinggal Ayah dan Ibunya menginap di klinik.
Waktu kembali berjalan, Minggu siang istri gue kembali diperiksa, akan tetapi hasilnya masih juga pembukaan 2. Sungguh hal ini di luar ekspektasi kami semua, mengingat ini persalinan ke 2 yang secara teori lebih mudah dan lebih cepat dari pada persalinan pertama.
Keluarga mulai gelisah, dari rumah tidak henti-hentinya menanyakan perkembangan. Telepon tidak berhenti berdering, pesan singkat via wa tidak ada matinya. Selalu saja menanyakan perkembangan pembukaan istri gue, “gimana, Ki, udah pembukaan berapa?”
“Ki, gimana Vera?” hampir-hampir gue bosan menjawabnya.
Setelah pemeriksaan yang hasilnya belum menunjukkan ke arah yang signifikan terhadap perkembangan proses persalinan istri gue, gue sibuk mencari rumput Fatimah yang biasa menjadi andalan untuk memperlancar proses persalinan. Gue dapat rumput Fatimah di sore harinya.
Berdasarkan pengalaman persalinan anak pertama gue, setelah diminumkan air rumput Fatimah, istri gue langsung mules parah dan pembukaan langsung naik ke pembukaan 7.  
Gue suguhkan air rumput Fatimah ke istri gue, lalu kami sama-sama menunggu reaksi dari hasil meminum air tersebut. Jam 8 Malam istri gue kembali diperiksa, tapi lagi-lagi hasilnya masih saja pembukaan 2. Belum ada perkembangan sama sekali.
Malam itu kami lalui dengan rasa cemas, mengapa belum ada perkembangan sedikit pun. Usaha sudah banyak dilakukan, tapi hasil belum mengarah ke nilai positif. Setiap 10 menit Istri gue kesakitan menahan kontraksi. Tepat jam 3 dini hari di hari Senin, 10 Desember 2018, kontraksi semakin hebat, dan jaraknya antara 5-7 menit sekali, terkadang 4 menit sekali.
Akhirnya ketika jam 7 pagi, istri gue kembali di periksa, tapi hasilnya masih saja pembukaan 2, padahal kontraksinya sudah semakin kuat, sampai-sampai istri gue takut buang air besar. Dikhawatirkan saat mengejan untuk mengeluarkan kotoran, yang keluar malah anak gue. Kan gak lucu juga klo anak gue lahir di kakus… apa kata dunia.
Waktu terus berjalan, detik demi detik semakin mencemaskan. Nyokap gue dari rumah gak henti-hentinya menelepon dan mengirim pesan singkat via wa, “Vera gimana ki? Ada perkembangan?”
“Apa gak coba alternatif lain? Mama cemas sudah 3 hari masih pembukaan 2 juga gak nambah.” Tambah nyokap gue di pesan selanjutnya.
“Alternatif lain maksudnya apa, Ma. Kalau pindah bidan sekalipun gak akan merubah penanganannya. SOP bidan yaa selama pembukaan masih 2 blm ada tindakan apa-apa, yang ada tetap disuruh banyak jalan, banyak gerak supaya mempercepat persalinan,” tulis gue mejawab pertanyaan nyokap gue.
Istri gue semakin kesakitan di tiap menitnya, sampai-sampai beberapa keluarga gue yang menjenguk gak kuat ngeliat istri gue menahan sakitnya kontraksi. Ada yang datang membawa makanan lalu pulang, ada yang baru masuk pintu kamar perawatan, melihat istri gue kesakitan akhirnya gak jadi masuk dan langsung pulang. Bahkan uwanya istri gue di Sukabumi mules-mules sendiri di rumahnya, akibat perasaan cemas dan khawatir mendengar istri gue belum ada perkembangan sama sekali.
Adzan zuhur berkumandang, gue sholat Zuhur terlebih dahulu sambil bermunajat semoga persalinan ini dilancarkan oleh Allah Swt, bayinya selamat, Ibunya sehat walafiat. Usai gue menunaikan sholat Zuhur, istri gue kembali di periksa, mengingat sudah lebih dari 4 jam berlalu sejak di periksa pukul 7.00 WIB tadi pagi. Lagi-lagi hasilnya, masih juga pembukaan 2. Sama sekali tidak ada perkembangan.
Situasi dalam ruangan masih sama, setiap 4 menit istri gue menahan sakitnya kontraksi yang muncul. Tapi hebatnya istri gue, di saat tidak kontraksi dia masih sempat bercanda sambil terus melakukan gerakan-gerakan yang dianjurkan untuk memperlancar persalinan. Mulai dari jalan jongkok, kayang, kopral ala tantara dan gerakan-gerakan aneh lainnya yang katanya dengan gerakan tersebut akan mempermudah proses keluarnya bayi dari dalam perut.
Tanpa terasa 3 jam telah berlalu dan Adzan Ashar sudah 30 menit yang lalu berkumandang. Gue tunaikan sholat Ashar terlebih dahulu dengan bergantian dengan mertua gue. Karena disaat-saat seperti itu, istri gue harus memegang tangan orang yang ada di dekatnya saat kontraksi menghantam. Dan tidak lama setelah menunaikan sholat Ashar ada bidan yang masuk untuk mengontrol keadaan istri gue, “gimana Bu, Jam berapa di periksa lagi?” tanya gue ke bidan yang masuk ke kamar gue.
“Nanti yaa Pak, tunggu setengah jam lagi kita periksa, mulesnya udah tambah sering yaa?”
“Iya ni Bu, udah 3 menit sekali.”
“Oke deh, Pak. Tunggu setengah jam lagi yaa.. “
Saat itu jam di handphone gue menunjukkan pukul 16.15 WIB, tandanya pukul 16.45 WIB nanti baru di periksa. Keadaan istri gue saat itu seperti mulai melemah. Dia seakan kehabisan tenaga akibat menahan rasa sakit yang bertubi-tubi. Gue, sama mertua gue terus menemani istri gue di sampingnya. Tidak jauh dari tempat tidur istri gue, ada Adik gue juga, Fira, yang saat itu sedang menejenguk dan ikut menemani.
Pukul 16.35 WIB kontraksi semakin hebat dan kuat, air mata berderai di pipi istri gue. Dan gak lama setelah itu istri gue teriak, “yaaaaah, pecah”. Ternyata air ketubannya sudah keluar. Gue langsung panik, “Fira, cepet panggil suster!” Adek gue segera lari keluar kamar memanggil suster atau bidan yang ada. Tapi saat itu semua seperti sedang sibuk masing-masing.
Dengan penanganan yang lambat, sontak gue lari keluar kamar, dari depan kamar gue teriak, “susteeeeeeer, bidaaaaaaaaan… ini udah pecah ketubannya.. susteeeeer! Bidaaaaaan!” teriakan gue dari Lorong klinik cukup mengejutkan mereka. Seketika saja mereka langsung berhamburan menuju kamar gue.
“Iya, Pak.. Iya Pak.. ini mau kami tangani.”
Salah satu dari mereka sudah sampai di kamar, ia langsung memeriksa istri gue, istri gue sudah meraung-raung sambil mengejan, “Pak, ini masih agak jauh bayinya, Bapak bisa angkat istrinya gak ke ruang bersalin, digendong aja pak,” kata Bu bidan kepada gue.
“Gak mauuuuuu…! Sakiiiiiit” istri gue menimpali usulan Bidan tersebut.
“Gak mauuuuu.. di sini aja udah,” dalam hati gue mikir juga. Gak mungkin gue gendong istri gue dalam keadaan sakit seperti ini, apalalagi gue inget berat dia udah bertambah 20kg semenjak mengandung. Yang ada malah bahaya kalau gue gendong terus terjatuh.
“Udahlah, Bu! Di sini aja persalinannya..” bentak gue ke Bu Bidan
“Baik pak.. baik. Kalau begitu tolong geser tempat tidurnya ke tengah, Pak. Agak kurang leluasa posisinya kalau di pojok seperti ini,” kata bidan tersebut mengkomandokan. Gue segera geser tempat tidur istri gue ke tengah ruangan. Untungnya ruang kamar kami cukup luas.
Alat-alat persalinanpun di bawa ke kamar. Dan persalinanpun dimulai, Istri gue masih meraung-raung.
“Ayo bu, terus.. terus…”
“Hiyaaaaaaaaaaak,” Istri gue mengejan sekuat tenaganya. Sambil mengejan dia ambil leher gue trus didekapnya gue kuat-kuat dengan tangan kirinya. Tangan kanannya mengambil jilbab mertua gue, dia Tarik kuat-kuat pula ibunya..
Saat-saat seperti ini gue ngerasa kayak orang yang paling bersalah atas semua kejadian ini, Atas kehamilan istri gue, atas persalinan yang sakit banget, dan atas segala derita yang dirasakan istri gue. Padahal seingat gue waktu proses pembuatan anak kami, kami lakukan dengan kesepakatan bersama secara suka cita. Tidak ada rasa intimidasi satu sama lain. Dan semua kami nikmati bersama. Mungkin bukan gue aja yang merasakan perasaan bersalah seperti ini. Semua bapak atau suami yang menemani proses persalinan istrinya, juga mengalami perasaan yang sama.
“Hiyaaaaaaaaak,” sekali lagi dia mengejan sekuat tenaga, dan akhirnya, “eaaaa…. Eaaa… eaaaa,” suara tangisan bayi pun terdengar. Anak ke dua gue telah terlahir dengan selamat dengan proses normal.
“Catet, Sus! Cateeeeeeet! Jam berapa sekarang,” teriak bidan yang mengeluarkan bayi gue kepada suster yang membantunya.
“Jaaaaam enaaaaam belaaas empaat empaaaaat,” jawab suster yang ditanya dengan teriakan juga. Heboh lah pokoknya. Tapi apapun yang terjadi, yang jelas bayi gue sudah terlahir dengan selamat pada hari Senin, 10 Desember 2018 pukul 16.44 WIB.
“Welcome to the world, Abdurrahman Habil.”
Puji syukur gak henti-hentinya gue haturkan kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan segala keindahan dan kenikmatan ini untuk gue. Alhamdulillah.
Oya.. di penutup tulisan ini, ada sisi lain yang mau gue certain selain proses persalinan, yaitu chemistry antara gue dan istri gue. Pernikahan gue dan istri gue adalah representasi pernikahan Gemini dan Sagitarius, yaa sebenernya sih percaya gak percaya sama yang namanya Zodiak. Anggap aja ini kebetulan yang indah laah.
Jauh sebelum nikah, di tahun 2014, gue pernah berkhayal punya pasangan seorang Sagitarius, sampai-sampai ada beberapa tulisan blog gue isinya surat cinta untuk Sagitarius khayalan gue, judulnya “Dear Sagitarius.” Bentuknya kayak apa, wajahnya bagaimana dan segala kecantikannya gue sama sekali gak tau, itu cuma ada di khayalan gue dan ternyata gue berjodoh dengan istri gue sekarang.
Gak sampai di situ, chemistry gue dan istri gue berlanjut ke anak-anak kami. Anak pertama gue, Muhammad Yaasin, lahir 19 Juni 2017, dengan golongan darah O, sama seperti Ibunya, dia terlahir sebagai seorang Gemini. Sedangkan anak ke dua gue, Abdurrahman Habil, lahir 10 Desember 2018, Dengan golongan darah B, sama kayak gue, dan dia lahir sebagai seorang Sagitarius.
Asli, ini sekenario Allah yang paling indah buat gue, semoga dengan kelahiran anak ke dua gue, segala kebaikan, rahmat, dan karunia-karunia Allah selalu tercurah untuk gue dan keluarga gue. Gak lupa, semoga para pembaca blog gue juga mendapatkan hal-hal terbaik yang pernah lo semua mimpikan.  
 

No comments:

Post a Comment